semula indikasi geogaris dan indikasi asal juga diatur dalam UU No.19 Tahun 1992 tentang Merek yang direvisi dengan UU No.14 Tahun 1997 tentang Merek.
80
1. Delik Aduan
Pada masa berlakunya UU No.19 Tahun 1992 tentang Merek yang direvisi dengan UU No.14 Tahun 1997 tentang Merek atau pada masa UU No.15 Tahun 2001
tentang Merek ini masih dalam Rancangan Undang-Undang RUU, ketentuan pidana merek dalam RUU tersebut tidak ada rancangan tentang tindak pidana merek sebagai
pelanggaran, melainkan dirancang sebagai tindak pidana merek adalah kejahatan.
81
Ternyata setelah UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2001, ketentuan pidana yang diatur dalam UU No.15 Tahun 2001
ini hanya diatur tindak pidana pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 dan tindak pidana pelanggaran tersebut
merupakan delik aduan. Sungguh sangat disayangkan pengaturan ketentuan pidana dalam UU No.15
Tahun 2001 mengalami penurunan kualitas, di mana yang semula diatur ancaman pidana maksimal 7 tujuh tahun pada UU No.19 Tahun 1992 jo UU No.14 Tahun
1997 mengalami penurunan jumlah sanksi maksimal hanya 5 lima tahun pada UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek.
80
Ibid., hal. 4 dan hal. 106. Indikasi geografis dilindungi setelah terdaftar sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor
alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Sedangkan indikasi asal tidak didaftarkan tetapi tetap dilindungi seperti
indikasi geografis.
81
Insan Budi Maulana, Op. cit., hal. 142.
Universitas Sumatera Utara
Ironisnya pula terjadi penurunan kualitas pengaturan dari delik biasa pada UU No.19 Tahun 1992 jo UU No.14 Tahun 1997 menjadi delik aduan dalam UU No.15
Tahun 2001 tentang Merek. Konsekuensi dari delik aduan berarti hukum merek tidak akan dapat diupayakan untuk menjerat pelaku kejahatan atau pelanggaran merek jika
tidak ada pihak khususnya pihak pemilik merek yang mengadukan atas pemalsuan merek kepada pihak yang berwajib.
Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, mengatakan delik aduan dalam UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek merupakan suatu kemunduran, “Jika ancaman
hukuman ini dan tuntutan pidana, hanya bergantung pada pengaduan dari orang yang merasa dirinya dirugikan”. Akan lebih efektif jika jaksa penuntut sendiri tanpa perlu
adanya aduan dari orang yang berkepntingan, diadakan tindakan-tindakan penuntutan dalam hal terjadi yang tidak wajar dalam masyarakat.
82
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Insan Budi Maulana, sejak berlakunya UU No.19 Tahun 1992 jo UU No.14 Tahun 1997, sekitar antara tahun
1990 sd 1996 jumlah kasus-kasus perdata menampakkan kecenderungan penurunan kasus-kasus merek, yaitu dari jumlah 253 dua ratus lima puluh tiga perkara pada
tahun 1990 naik menjadi 293 dua ratus sembilan puluh tiga perkara pada tahun 1991 puncak tertinggi, menurun menjadi 266 dua ratus enam puluh enam perkara
pada tahun 1992, menurun menjadi 137 seratus tiga puluh tujuh perkara pada tahun 1993, menurun menjadi 95 sembilan puluh lima perkara pada tahun 1994, menurun
menjadi 79 tujuh puluh sembilan perkara pada tahun 1995, dan tetap 79 tujuh
82
Gautama dan Rizawanto Winata, Op. cit., hal. 27.
Universitas Sumatera Utara
puluh sembilan perkara pada tahun 1996, dan diperkirakan pada tahun 1997 tidak mencapai 50 lima puluh perkara perdata merek.
83
Sebaliknya kasus-kasus pidana merek menunjukkan kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahu yaitu: terdapat 2 dua kasus merek pada tahun 1992,
naik menjadi 8 delapan kasus merek pada tahun 1993, naik menjadi 23 dua puluh tiga kasus merek pada tahun 1994, naik menjadi 46 empat puluh enam kasus merek
pada tahun 1995, dan naik menjadi 60 enam puluh kasus merek pada tahun 1996.
84
Adanya penurunan jumlah perkara perdata merek dan peningkatan jumlah kasus merek yang masuk ke pengadilan pada masa itu disebabkan karena beberapa
faktor sebagai berikut:
85
a. Pemilik merek lebih menyukai menyelesaikan kasus merek melalui proses
pidana merek karena adanya sanksi pidana maksimum 7 tujuh tahun dan adanya kemungkinan kesempatan mengajukan kompensasi ganti rugi.
b. Adanya peningkatan efektivitas pelaksanaan pasal-pasal pidana merek.
c. Kemampuan profesionalisme para penegak hukum, seperti: Polisi, PPNS,
Jaksa, dan Hakim yang meningkat terhadap pemahaman HKI khususnya UU No.19 Tahun 1992 tentang Merek jo UU No.14 Tahun 1997 tentang Merek.
d. Biaya yang diperlukan untuk mengajukan kasus pidana merek lebih rendah
dibandingkan dengan mengajukan perkara perdata merek. e.
Jangka waktu memproses dan pelaksanaan persidangan perkara pidana merek lebih cepat dibandingkan perkara perdata merek.
Faktor lain bahwa menyelesaikan perkara merek secara perdata dianggap kurang menguntungkan, karena:
86
a. Tidak semua pengacara memahami HKI khususnya UU No.19 Tahun 1992
tentang Merek jo UU No.14 Tahun 1997 tentang Merek dalam menyusun
83
Insan Budi Maulana, Op. cit., hal. 166.
84
Ibid.
85
Ibid., hal. 167.
86
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
argumentasi gugatan atau jawaban dalam perkara merek tidak menguntungkan posisi penggugat dalam upaya memenangkan perkara tersebut.
b. Kurangnya pemahaman para Hakim pengadilan di bidang merek karena tidak
semua Hakim di Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung menguasai bidang merek.
c. Meskipun penyelesaian perkara perdata merek di tingkat Pengadilan Negeri
berlangsung paling lama 60 enam puluh bulan, tetapi jika para pihak mengajukan kasasi, maka perkara itu akan diputuskan oleh Mahkamah Agung
tanpa diketahui kapan kepastian hukumnya, sehingga bisa berlangsung dalam waktu 2 dua sd 5 lima tahun.
UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek yang berlaku saat ini mengandung ketentuan ancaman sanksi pidana maksimum 5 lima tahun, tentu ketentuan ini
menjadi pertimbangan pula bagi pemilik merek untuk memilih menyelesaikan kasus pidana merek melalui proses pidana, ketentuan pidana dalam undang-undang ini
ditetapkan sebagai pelanggaran bukan kejahatan. Sehingga potensial pemilik merek tidak memilih jalur pengaduan atas pelanggaran pemalsuan mereknya.
Sedangkan dari sisi hukum perdata saat ini telah berkembang sistim penyelesaian sengketa secara non litigasi yang meliputi: arbitrase, mediasi, konsiliasi,
negoisasi, minitrial HKI, Somasi HKI, perdamaian dading.
87
UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek khususnya pada sisi ranah hukum pidana nampaknya seolah-seolah hendak meminimalisir kasus-kasus pidana merek
yang masuk ke Pengadilan Negeri dengan cara menetapkan ketentuan delik aduan Demikian pula dalam
hal perkara perdata merek juga berpotensi dapat diselesaikan melalui jalur non litigasi sehingga tidak mesti harus menempuh jalur hukum di Pengadilan Niaga.
87
Adi Sulistiyono, Op. cit., hal. 75-98.
Universitas Sumatera Utara
dan pelanggaran dalam ketentuan pidana merek pada Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek.
Pelanggaran dalam Pasal 90 sampai dengan Pasal 94 merupakan delik aduan klacht delict. Artinya bahwa hanya dengan adanya pengaduan dari si pemilik merek
yang dipalsukan tersebut, baru akan dituntut dan dikenakan sanksi pidana atau diadakan penyidikan. Tanpa adanya pengaduan dari pihak yang merasa dirinya
dirugikan dari tindakan pemalsuan itu, maka tidak ada penyidikan dari pihak Kepolisian.
88
Pemilik merek cenderung tidak mau mengadu, disebabkan sanksi maksimum tidak memberikan kepuasan kepada pemilik merek dan tidak memberikan efek jera
kepada pelanggar. Bahkan kecenderungan itu disebabkan karena sangat tidak memungkinkan jika hanya pemilik merek saja yang boleh mengadukan mereknya
sendiri, tetapi seharusnya orang lain yang tidak berkaitan sebagai pemilik merek yang dipalsukan juga bisa membuat laporan sebagaimana delik biasa yang berlaku pada
masa UU No.19 Tahun 1992 jo UU No.14 Tahun 1997. Delik biasa merupakan delik yang tergolong ke dalam delik pencurian,
melindungi hak milik di tengah masyarakat, sedangkan delik aduan merupakan delik pencurian dalam keluarga. Jika korban pemerkosaan sendiri yang dapat ke kantor
Polisi, maka informasi yang disampaikannya adalah aduan, tetapi jika temannya atau orang lain yang melihat kejadian itu lalu datang ke kantor Polisi, maka informasi
88
Gautama dan Rizawanto Winata, Loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
yang ini disebut dengan laporan. Informasi dalam bentuk laporan ini masuk dalam kategori delik biasa.
Sifat delik aduan adalah terdapat orang yang mengadu atau pengadu dapat mencabut aduannya
89
Menurut EY. Kanter dan SR. Sianturi, kepentingan seseorang dalam delik aduan bahwa yang berhak membuat pengaduan dikarenakan sangat dirugikan jika
perkara itu disidangkan dibandingkan dengan kerugian kepentingan umum. Sedangkan kepentingan umum dalam hukum pidana hukum publik lebih
diutamakan, tidak tergantung pada orang yang menderita akibat suatu delik, tetapi pada dasarnya dibebankan atau ditugaskan oleh undang-undang kepada penguasa
karena jabatannya berwenang untuk itu. bukan laoprannya. Kalau delik biasa dalam bentuk laporan,
oleh karena yang melaporkan adalah bukan korbannya sendiri, maka tidak ada kewenangan bagi pelapor untuk mencabut laporannya itu, kecuali telah dimaafkan
atai diizinkan oleh si korban untuk mencabut laporannya. Tetapi masalah cabut- mencabut laporan hanya berlaku untuk jenis pelanggaran dan tidak berlaku untuk
jenis kejahatan.
90
Penggunaan delik aduan dalam UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek karena pembentuk undang-undang menilai adalah jauh lebih penting melindungi kepentingan
kebutuhan keluarga dalam masyarakat ketimbang melindungi hak milik di tengah
89
Julius Rizaldi, Op. cit., hal. 312.
90
EY. Kanter dan SR. Sianturi, Op. Cit., hal. 416.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat.
91
Penggunaan delik aduan menjadi dari yang semula sebagai delik biasa sesungguhnya dapat dimengerti oleh karena dilatarbelakangi pilihan nilai yang lebih
cenderung melindungi wilayah hukum privat daripada wilayah hukum pidana. Artinya lebih diutamakan penerapan sanksi denda atau ganti rugi daripada penerapan
sanksi pidana. Jika diperhatikan secara hakikatnya delik aduan ini kurang memberikan perlindungan kepada konsumen melainkan menurut penulis seolah-olah
ketentuan hendak meminimalisir potensi meningkatnya kasus-kasus pidana. Jika hal ini menjadi dasar pertimbangan filosofisnya, maka berarti
kedudukan hak milik atas merek tidak begitu tinggi nilainya untuk mempertahankan hak-hak dalam HKI dan yang lebih penting adalah kebutuhan keluarga dalam
masyarakat.
Julius Rizaldi tidak sependpaat dengan pemberlakuan delik aduan yang dianut dalam UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek, delik aduan seharusnya diubah atau
dikembalikan kepada delik biasa, sehingga dengan demikian lebih menekankan penegakan dan perlindungan hukum terhadap para konsumen dan menimbulkan efek
jera bagi pelaku atau pemalsu merek.
92
2. Pembuktian Persamaan Pada Pokoknya atau Keseluruhannya dengan Merek Terdaftar