Dampak Pengambilalihan Pradata Dalem di Kasunanan
C. Dampak Pengambilalihan Pradata Dalem di Kasunanan
Pengambilalihan sistem peradilan Keraton Kasunanan yang digerakkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda menandai adanya gejala perubahan lembaga peradilan (yang dahulunya bersifat tradisional) ke arah modernisasi. Upaya menggeser hukum Adat melalui penyatuan hukum dalam skala nasional di Hindia Belanda, juga merupakan salah satu cara modernisasi peradilan keraton. Dampak perubahan pengambilalihan sistem peradilan tahun 1903 terhadap pranata hukum dan pengadilan di Keraton Kasunanan, mengakibatkan dihapuskannya beberapa lembaga peradilan yang pernah dimiliki oleh pemerintah Keraton Surakarta. Contohnya pengadilan Balemangu, tidak lagi berfungsi setelah tahun 1847 (Pangreh Praja Bond, 1938: 115).
sentana dalem sejak pengambilalihan sistem peradilan tahun 1903, dilakukan pada Pengadilan Pradata Gedhe. Akibatnya, pemerintah Keraton Kasunanan Surakarta hanya menjalankan dua jenis pengadilan, yaitu pengadilan Pradata Gedhe dan Surambi. Keberadaan Pengadilan Surambi diantara penegakan hukum pengadilan Keraton Kasunanan Surakarta menjadi polemik bagi Pemerintah Kolonial Belanda. Pada awalnya, Pemerintah Kolonial Belanda juga akan menghapus Pengadilan Surambi. Pemerintah Kolonial Belanda menganggap bahwa keberadaan Pengadilan Surambi sebagai pengadilan agama di Keraton Kasunanan Surakarta tidak relevan dengan kondisi yang ada. Namun, mengingat mayoritas masyarakat Keraton Kasunanan Surakarta beragama Islam, akhirnya pemerintah kolonial mengijinkan pemerintah Keraton Kasunanan untuk menyelenggarakan Pengadilan Agama sendiri (Lembaran Sejarah, 1997/1998: 65).
Dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie 1847, dinyatakan bahwa perkara-perkara yang ditangani pada Pengadilan Surambi berkaitan dengan masalah-masalah kekeluargaan, seperti: perkara kang dadi bubuhane ing surambi, angrampungi iki rupane bab: salaki rabi, talak, waris, wasiat, sarta para padu liyane awit saka salaki rabi . Sebelum pengambilalihan sistem peradilan, Pengadilan Surambi berwenang menjatuhkan hukuman kisas (Staatsblad van Nederlandsch Indie 1847).
Pejabat pelaksana hukum kisas, diantaranya: abdi dalem Nirbaya, abdi dalem Mertalulut, abdi dalem Singanegara. Semua pelaksana hukum kisas tersebut diangkat oleh Kanjeng Sunan. Abdi dalem Nirbaya bertugas menangkap penjahat menggunakan tali, abdi dalem Mertalulut bertugas memotong leher terdakwa yang sudah dijatuhi hukuman kisas. Sedangkan abdi dalem Singanegara bertugas melakukan hukuman berupa memotong leher terdakwa yang divonis hukuman mati menggunakan keris, memotong tangan atau kaki, menyayat daging (abungis), dan menyiksa (Amisesa) (Serat Nitik Kaprajan, 1936: 157-158).
Eksekusi seperti hukuman kisas secara psikologis merugikan terdakwa.
terhadap terdakwa. Hukuman kisas dianggap sebagai jenis hukuman yang mengakibatkan kematian atau cacat tubuh. Sebenarnya, larangan pemberian hukum yang bersifat kejam sudah dikeluarkan jauh sebelum pengambilalihan sistem peradilan, namun benar-benar dijalankan setelah tahun 1903 (pengambilalihan peradilan). Hukuman mati baru dapat dijalankan apabila Gubernur Jendral Belanda sudah memeberikan persetujuan (Staatsblad 1847 nomor 30, hal.3).
Secara tidak langsung masuknya tata hukum Pemerintah Kolonial Belanda memberikan dampak positif ke dalam pranata hukum Jawa di Keraton Kasunanan Surakarta. Putusan hukuman kisas secara manusiawi bertentangan dengan keadaan sosial keagamaan masyarakat Jawa, diganti dengan hukuman denda maupun penjara, yang menurut Pemerintah Kolonial Belanda lebih bersifat manusiawi. Namun bukan berarti hukuman mati tidak ada, hukuman mati tetap ada tetapi harus mendapat ijin terlebih dahulu dari Gupernemen. Bagi yang melakukan pelanggaran-pelanggaran berat, selain pemeberian hukuaman mati, ada juga hukuman berupa pembuangan ke suatu tempat. Mengenai tempat-tempat pembuangan bagi narapidana akan ditunjuk Gupernemen (Staatsblad 1847 nomor
30, hal. 3). Pengambilalihan sistem peradilan memberikan dampak yang berat, bukan saja dalam bidang tata pemerintahan Keraton Kasunanan, namun juga bidang-bidang lain yang terkait. Dampak-dampak tersebut antara lain dalam bidang:
a. Hukum dan Peradilan
Pengambilalihan Pradata Dalem ini mengakibatkan dihapuskannya beberapa lembaga peradilan yang dimiliki pemerintah Kasunanan Surakarta. Contohnya, Pengadilan Balemangu tidak berfungsi setelah tahun 1847 (Pangreh Praja Bond Soerakarta, 1938: 115). Sedangkan Peradilan Kadipaten Anom, yang merupakan pengadilan bagi sentana dalem, sejak pengambilalihan sistem peradilan pada tahun 1903 dialihkan pada Pengadilan Pradata Gedhe. Akibatnya
Nederlandsch Indie 1847 nomor 30). Perubahan begitu terlihat pada tata hukum dan sistem peradilan yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pada dasarnya dampak di bidang ini lebih ditekankan untuk mengacu pada masalah penanggulangan tindak kejahatan dan kerusuhan yang terjadi di wilayah Keraton Kasunanan Surakarta. Lembaga peradilan yang tersisa hanya Pengadilan Surambi dan Pradata Gedhe. Pengawasan lembaga Pengadilan Surambi sepenuhnya dipegang langsung oleh Residen . Kemudian para penghulu keraton tidak lagi menempati posisi teratas pada susunan organisasi Pengadilan Surambi. Residen menunjuk abdi dalem wedana sebagai ketua, menggantikan penghulu, yang bertanggung jawab dalam proses pengadilan (Lembaran Sejarah, 1997/1998: 70).
b. Sosial
Pengaruh aspek sosial bukan hanya dirasakan oleh rakyat, golongan elite birokrasi di Keraton Kasunanan Surakarta juga merasakan dampak dari apa yang telah diterapkan Pemerintah Kolonial Belanda, maka semua kasus/perkara yang terjadi di luar Keraton Kasunanan, seperti: pencurian, pemerkosaan, pembunuhan, gadai-menggadai, hutang-piutang, dan sebagainya menjadi tanggung jawab Belanda. Raja hanya bertanggung jawab terhadap perkara yang terjadi di dalam Keraton Kasunanan (Lembaran Sejarah, 1997/1998: 67).
c. Pendidikan
Dampak dalam bidang pendidikan yaitu mulai diperkenalkannnya sekolah hukum meskipun yang bisa masuk hanya dari kalangan atas masyarakat keraton (priyayi). Ada anggapan bahwa pendidikan hukum dipandang sebagai persiapan untuk menjadi pegawai-pegawai pemerintahan, sehingga sekolah ini banyak diminati masyarakat, terutama kaum priyayi. Sarana pendidikan hukum tersebut merupakan salah satu inovasi yang diberikan Pemerintah Kolonial Belanda kepada masyarakat pribumi. Sekolah ini sebenarnya untuk lebih memprofesionalkan penyelenggaraan hukum kolonial yang lebih banyak menguntungkan Pemerintah Kolonial Belanda (Danial S. Lev, 1990: 325).
Dalam konsep negara yang baik, keraton harus mempunyai tiga lembaga dalam menjalankan roda pemerintahan keraton, antara lain: lembaga perundang- undangan (badan legislatif), lembaga penyelenggara pemerintahan (badan eksekutif ), dan lembaga peradilan (badan yudikatif). Namun konsep tersebut tidak berlaku dalam tata pemerintahan Keraton Kasunanan Surakarta. Dalam susunan kelembagaan sebagai suatu bentuk negara yang bersifat tradisional, di Keraton Kasunanan ada lembaga pelaksana negara yang bertugas membantu Sunan dalam menjalankan roda pemerintahan. Pada masa Kanjeng Sunan Paku Buwana X, di Keraton Kasunanan Surakarta terdapat Raad (dewan) beserta abdi dalem yang mendampingi Sunan dalam tugas pemerintahan (Pangreh Praja Bond Soerakarta, 1938: 110).
Penguasa Kolonial Belanda mengajukan berbagai alasan untuk menanamkan pengaruhnya. Sehingga sedikit demi sedikit, Pemerintah Kolonial Belanda mampu mengusai hampir seluruh tatanan pemerintahan di Keraton Kasunanan Surakarta. Dampak pada bidang ini adalaah perubahan pada teritorial di daerah-daerah (Rijksblad Soerakarta 1918 nomor 22: 165-168).
e. Keuangan Keraton
Pada masa pemerintahan Kanjeng Susuhunan Paku Buwana X, muncul aturan keuangan keraton. Anggaran belanja keraton dipisahkan dengan pengeluaran pribadi raja. Keperluan keraton diatur dalam laporan keuangan (begrooting) yang lebih rinci sehingga pertanggungjawabannya lebih jelas. Keraton Kasunanan harus membiayai para tahanan dan petugas penjara meskipun telah resmi diambilalih oleh Pemerintah Kolonial Belanda (Sri Poestoko, 1924: 76).