Gangguan Keamanan di Wilayah Kasunanan

3. Gangguan Keamanan di Wilayah Kasunanan

Secara mutlak, raja adalah pemilik semua tanah. Petani/rakyat yang mengerjakan tanahnya dan mendapatkan hasilnya, harus menyerahkan separuh dari hasil itu kepada raja. Sistem ini yang kemudian dikenal dengan sistem paron (Rouffaer, 1932: 52). Pembagian negara (palihan nagari) Kerajaan Mataram tahun 1755 mengakibatkan campur aduknya letak daerah Surakarta, Yogyakarta, Kedu dan Bagelen. Hal tersebut menyebabkan adanya perang-perang desa (Rouffaer, 1931: 57) . Perang desa terjadi karena letak apanage yang simpang siur. Keadaan yang semacam ini tidak dapat dicegah selama masih berlaku sistem apanage . Banyaknya birokrat yang diangkat setelah palihan nagari pada tahun 1755 di satu pihak dan penyempitan daerah vorstenlanden pada tahun 1830, kemudian adanya pemecatan bekel juga mengakibatkan terjadinya perang desa sehingga situasi di pedesaan tidak pernah stabil (Suhartono, 1991: 43-44).

Dalam mengerjakan tanah, petani akan mendapatkan pengawasan dari raja, meskipun tidak secara langsung. Raja menyerahkan urusan pengawasan dan pemeriksaan tersebut kepada para lurah/bekel dan kepala desa. Raja memberi upah berupa lungguh (Rouffaer, 1932: 53). Tanah kerajaan berkurang pada tahun 1812 dengan lepasnya Kedu, kemudian tanah Jabarangkah pada tahun 1825. Raja memberikan beberapa tanah mancanegara (tanah kekuasaan Kasunanan yang berada di luar Surakarta), yaitu tanah di daerah Madiun dan Kediri kepada patih dan beberapa pangeran (Rouffaer, 1932: 54).

polisi desa dengan dibantu oleh mancapat atau mancakaki yang memberikan nasihat kepadanya (Rouffaer, 1932: 57). Bekel diangkat dengan sebuah nawala. Bersama lurah, dia akan merundingkan dan menentukan apa yang diminta orang kecil. Sistem apanage menciptakan peranan seorang bekel sebagai penebas pajak untuk para patuh. Untuk menambah efisiensi pemsukan pajak, bekel diberi peranan baru sebagai pengawas desa atau sebagai penguasa desa (Suhartono, 1991: 61). Petani sangat menderita karena dihisap oleh para bekel atas nama lurah . Selain pajak, petani harus memberikan setoran setiap setengah tahun pada waktu Grebeg Mulud atau Grebeg Puasa (Rouffaer, 1932: 61). Dalam perkembangannya, peranan bekel semakin berkurang dengan masuknya para pengusaha swasta. Para bekel sebagai patron para sikep (petani pemilik tanah), jumlahnya secara sengaja dijadikan sedikit hingga benar-benar tidak dipakai lagi setelah tahun 1870. Para penyewa tanah telah menggantikan posisi pemilik lungguh yang langsung menerima uang sewa dari petani. Mereka lebih membutuhkan peran kepala kampung (desa) daripada seorang bekel, karena para penyewa tanah berkepentingan dengan fungsi kepala kampung itu sebagi mediator untuk memperoleh tenaga kerja dari penduduk setempat (Houben, 1994: xi-xiii). Penyusutan wewenang bekel ini menyebabkan semakin mendalamnya penetrasi birokrasi pemerintah diatas suasana desa. Pemerintah Kolonial Belanda memberikan peran kepada para kepala kampung untuk mengurusi administrasi dan perpanjangan pemerintahan ke wilayah desa. Dengan begitu, kepala kampung mempunyai wewenang terhadap desa-desa yang berada di wilayahnya (Suhartono, 1991: 130).

Rakyat semakin menderita dengan berlakunya sistem persewaan tanah untuk perkebunan swasta yang dalam prakteknya menyerupai tanam paksa. Praktik perkebunan tidak memberi hak hidup bagi petani. Perkebunan telah menelan tanah dan tenaga kerja petani, akibatnya penderitaan petani semakin parah. Makin buruknya kehidupan sosial ekonomi petani karena makin kuatnya desakan perkebunan menimbulkan perasaan tidak puas di kalangan petani.

(Suhartono, 1995: 2-4). Radikalisasi petani dapat berasal dari elite kota maupun elite desa. Ada banyak kasus yang menunjukkan pemberontakan petani yang dipimpin oleh para bangsawan, dan lebih banyak lagi kasus pemberontakan yang dipimpin oleh ulama pedesaan atau guru. Gerakan radikal ini menetang kekuasaan feodal dan kolonial , serta eksploitasi oleh perusahaan perkebunan yang dianggap sebagai penyebab makin menurunnya kesejahteraan rakyat. Mobilisasi petani kebanyakan memakai ideologi Ratu Adil atau jihad fi-sabilillah sebagaimana tampak dalam gerakan messianisme dan millenarianisme. Kebanyakan gerakan-gerakan radikal ini bersifat lokal (Kuntowijoyo, 2002: 6-7). Gerakan dengan ideologi messianisme mengandung harapan akan datangnya jaman adil dan makmur. Jaman itu didatangkan oleh Ratu Adil atau Imam Mahdi karena ia memiliki kharisma yang dapat dijadikan dasar kekuasaannya (Suhartono, 1991: 141).

Gerakan messianisme yang besar diantaranya adalah gerakan Mangkuwijoyo di desa Merbung, Klaten pada tahun 1865. Yang bertindak sebagai pemimpin gerakan Mangkuwijoyo adalah R. Mangkuwijoyo, seorang petani dari desa Merbung, sebelah barat kota Klaten. Gerakan ini mengalami kegagalan setelah Mangkuwijoyo dan lima belas orang pengikutnya ditangkap pemerintah karena dianggap akan melakukan pemberontakan. Beberapa hari setelah penangkapannya pada tanggal 8 Juli 1865, Mangkuwijoyo ditemukan meninggal di kamar tahanan benteng Surakarta. Gerakan ini dapat dipastikan mempunyai kaitan erat dengan gerakan di berbagai tempat lain yang sangat merepotkan pemerintah kolonial. Gerakan messianisme yang lain (yang menimbulkan dampak yang besar), yaitu gerakan Srikaton di desa Girilayu. Ia dikenal sebagai seorang santri dengan nama Abdul Gani. Gerakan Srikaton terbatas di beberapa desa di sekitar Girilayu, namun tidak dapat dielakkan bahwa gerakan ini mempunyai jaringan luas dengan gerakan-gerakan di daerah lain (Suhartono, 1991: 141-145).

Petani yang mengalami penderitaan mulai melakukan protes. Protes petani dilakukan secara kolektif dengan mengadakan mogok, nggogol, Petani yang mengalami penderitaan mulai melakukan protes. Protes petani dilakukan secara kolektif dengan mengadakan mogok, nggogol,

Dari sudut pandang Pemerintah Kolonial Belanda, gerakan petani adalah penggangu keamanan. Kasus-kasus kerusuhan di pedesaan dirasa sangat mengganggu ketentraman bahkan mengganggu usahanya di bidang agraria. Untuk mencegah kerusuhan, pemerintah kolonial melakukan penjagaan yang ketat. Pada dasarnya, petani tidak senang kepada perusahaan perkebunan dan agen-agennya yang membantu eksploitasi yang merugikan, baik kehidupan ekonomi maupun kelembagaan petani. Yang dirasakan berat oleh petani adalah penyerahan wajib dan kerja wajib (Suhartono, 1991: 162).

Di Surakarta, perbanditan meliputi jenis individual dan juga kolektif. Pencurian dan pembakaran lebih menunjukkan kegiatan perseorangan, sedangkan kecu merupakan kegiatan kolektif yang sangat dominan. Akan tetapi resistensi mereka lebih bersifat tidak terang-terangan atau berhadapan muka. Hanya kecu saja yang berani berhadapan dengan korban bukan hanya itu tetapi juga memaksa, menyiksa dan tidak segan-segan membunuh korban. Istilah kecu digunakan untuk menyebut sekelompok orang bersenjata yang meminta dengan paksa harta korban pada malam hari, dan tidak jarang disertai tindakan nekad dengan menyiksa atau membunuh korbannya. Kecu merupakan perbanditan sosial dalam pergerakan sosial. Menurut pemerintah kolonial, kegiatan kecu bertentangan dengan tata tertib masyarakat sehingga diklasifikasikan sebagai gerakan anti ketertiban dan juga dipandang sebagai gerakan bawah tanah di pedesaan (Sartono Kartodirdjo, 1971: 42-43).

Pada dasarnya daerah operasi kecu adalah di pedesaan karena di tempat itu sering terjadi ketidakadilan. Kecu dipimpin oleh seorang benggol yang kebal dan mahir berkelahi. Pembagian tugas bagi anggotanya dilakukan dengan ketat. Jabatan penting dalam struktur organisasi kecu itu antara lain adalah benggol, mata-mata, semacam bendahara, dan tenaga pengangkut barang rampokan.

mengetahui kelemahan korban yang akan menjadi sasarannya karena ada keterangan mengenai korbannya melalui mata-mata yang diturunkan lebih dulu (Suhartono, 1991: 154-155).

Sejak awal abad XIX, kecu telah beroperasi di Surakarta dengan korban para penguasa lokal dan orang-orang kaya. Sejalan dengan perluasan perkebunan yang berkembang setelah tahun 1830, maka tumbuhnya kecu seperti cendawan di musim hujan. Tidak asing lagi bahwa korbannya adalah orang-orang yang ikut dalam birokrasi kolonial. Gerombolan kecu menempati tempat yang strategis sehingga merepotkan pemerintah dan penyewa tanah karena terancam keselamatannya. Pada tahun 1830 terjadi kerusuhan di Kediri, khususnya daerah Ngliman. Daerah ini merupakan daerah yang mempunyai hak prerogatif untuk tidak dikenai pajak karena mereka adalah keturunan kyai Ageng Ngliman, menentu Sunan Giri. Namun, pemerintah yang terdiri dari dari orang-orang Eropa tidak menyadari akan hal itu bahkan membebankan pajak yang berat kepada mereka. Gerakan-gerakan perlawanan pada prinsipnya merupakan reaksi atas diberlakukannya pemerintahan dan sistem pajak baru di daerah-daerah Swapraja Kasunanan (van Deventer, 1865: 423).

Ekspresi-ekspresi perlawanan terhadap tatanan yang ada muncul di luar pusat Keraton Kasunanan Surakarta. Gerakan ini sering kali memiliki sebuah karakter lokal dan hanya berlangsung singkat karena gerakan-gerakan ini muncul dari protes-protes sosio ekonomi yang konkret. Para pemberontak biasanya menggunakan jargon-jargon messianis (Houben, 1994: 437).

Pada bulan Juli 1843, di daerah Klaten, J. Jozes menjadi korban segerombolan perampok. Rumah Jozes diserang, Jozes sendiri dibunuh dan barang-barang berharga yang dimiliknya dibawa kabur. J. Jozes adalah penyewa tanah dari Eropa. Di daerah yang sama, pada tahun 1864 dilaporkan bahwa penduduk sangat direpotkan oleh gerombolan-gerombolan perampok. Mereka memperkaya diri dengan mengorbankan Residen-Residen kaya, dan menentang penguasa-penguasa Pemerintah Kolonial Belanda dengan mengirimkan surat-surat

Verslag, 1864: 9). Menjelang akhir tahun 1860-an, maslah kecu telah menarik perhatian pemerintah, bahkan perhatian parlemen Belanda, yang berarti bahwa sejak saat itu jumlah laporan yang masuk juga semakin meningkat. Antara bulan Februari dan Agustus 1867, terjadi kejahatan-kejahatan regular di daerah Solo. Pada bulan Maret 1868, seorang janda Eropa yang pekerjaannya mengelola rumah gadai, dirampok. Dua bulan kemudian ada dua kejahatan lagi, satu diantaranya terjadi di sebuah perkebunan sewa di daerah Kartasura. Totalnya, pada tahun 1867 terjadi sepuluh kejahatan, pada tahun 1868 terjadi dua belas kejahatan, sebelas kejahatan pada tahun 1869 dan pada tahun 1870 ada tujuh insiden kecu yang terdaftar (Kolonial Verslag, 1866-1871).

Meningkatnya jumlah insiden kecu tidak terbatas hanya di wilayah Jogjakarta dan Surakarta, tetapi juga meluas ke Karesidenan Semarang. Para pelaku kecu adalah orang-orang jalanan yang putus asa dan kurang beruntung (dalam hal pekerjaan), yang saling bekerja sama dalam jarak yang saling berjauhan, yang antara lain, menggunakan alat-alat transportasi modern termasuk kereta api (Djoko Suryo, 1982: 267-269).

Sebagian dari sebab terjadinya insiden-insiden kecu harus dicari dalam tradisi Jawa, misalnya dalam tindakan-tindakan para jago (orang-orang yang kuat secara fisik) dibawah komando para pemimpin pribumi. Alasan lain terjadinya pemberontakan tersebut pada proses perubahan sosial yang menguntungkan beberapa kelompok, tetapi merugikan kelompok-kelompok lainnya (Houben, 1994: 441). Selain gerakan-gerakan setempat yang memiliki karakter messianis, serangan-serangan kecu juga semakin banyak terjadi dibanding waktu-waktu sebelumnya. Hal ini merupakan sebuah ekspresi dari tradisi perampokan lama dan akibat dari berubahnya kondisi-kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kelompok- kelompok orang-orang yang tersingkirkan kadang-kadang bekerja sama dengan eselon rendahan dalam aristokrasi pribumi. Mereka berkeliaran di seluruh daerah- daerah perbatasan untuk mencari nafkah bagi penghidupan mereka dengan cara Sebagian dari sebab terjadinya insiden-insiden kecu harus dicari dalam tradisi Jawa, misalnya dalam tindakan-tindakan para jago (orang-orang yang kuat secara fisik) dibawah komando para pemimpin pribumi. Alasan lain terjadinya pemberontakan tersebut pada proses perubahan sosial yang menguntungkan beberapa kelompok, tetapi merugikan kelompok-kelompok lainnya (Houben, 1994: 441). Selain gerakan-gerakan setempat yang memiliki karakter messianis, serangan-serangan kecu juga semakin banyak terjadi dibanding waktu-waktu sebelumnya. Hal ini merupakan sebuah ekspresi dari tradisi perampokan lama dan akibat dari berubahnya kondisi-kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kelompok- kelompok orang-orang yang tersingkirkan kadang-kadang bekerja sama dengan eselon rendahan dalam aristokrasi pribumi. Mereka berkeliaran di seluruh daerah- daerah perbatasan untuk mencari nafkah bagi penghidupan mereka dengan cara

Kejadian serupa masih terus berlanjut, pada tahun 1867, pemilik perkebunan Melambong, D.C.L Blommestein, takut akan kekejaman dan keganasan kecu. Untuk menjaga diri maka ia mempekerjakan dua orang Afrika untuk menghadapi para bandit. Pada tahun 1870-an gangguan kecu di Surakarta semakin meningkat. Residen Zoutelief memerintahkan agar jalan-jalan desa ditutup pada malam hari dan diadakan ronda malam. Hal ini untuk mengurangi adanya serangan kecu (Suhartono, 1995: 146). Selain perkecuan, pembegalan juga dianggap sebagai gangguan keamanan di pedesaan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Biasanya begal terdiri dari kelompok kecil; mereka memaksa korban untuk menyerahkan barang-barangnya. Korban begal adalah para pedagang dan orang-orang yang bepergian. Para pedagang keliling dan Cina kelontong selalu diincar dan dijadikan sasaran para begal. Banyaknya pembegalan disebabkan oleh lemahnya pengawasan yang tidak menjangkau seluruh pedesaan (Suhartono, 1991: 158-159).

Pada tahun 1871, terjadi beberapa perkecuan. Pada malam tanggal 12 April 1871, Ngabehi Onggodimejo di desa Keringan, Klaten menjadi korban kecu. Setelah berhasil mengambil kekayaan kawanan bandit melarikan diri dengan aman. Semalam kemudian terjadi kecu di rumah seorang Cina, di desa Jotangan, Kalikebo, juga di daerah Klaten. Selanjutnya, pada tanggal 24 April 1871, terjadi perkecuan di rumah bekel Wirokromo dari desa Popongan, Sragen yang mengancam akan membunuh korban dengan senjata tajam (Suhartono, 1995: Pada tahun 1871, terjadi beberapa perkecuan. Pada malam tanggal 12 April 1871, Ngabehi Onggodimejo di desa Keringan, Klaten menjadi korban kecu. Setelah berhasil mengambil kekayaan kawanan bandit melarikan diri dengan aman. Semalam kemudian terjadi kecu di rumah seorang Cina, di desa Jotangan, Kalikebo, juga di daerah Klaten. Selanjutnya, pada tanggal 24 April 1871, terjadi perkecuan di rumah bekel Wirokromo dari desa Popongan, Sragen yang mengancam akan membunuh korban dengan senjata tajam (Suhartono, 1995:

Kawanan kecu juga mengincar para penyewa tanah dan pengusaha perkebunan dengan pengertian bahwa mereka adalah termasuk aparat yang merugikan petani. Selain itu mereka dapat menjarah dan merusak harta korban lebih banyak dan lebih leluasa. Pada tanggal 17 Juni 1880, rumah Casperz, seorang penyewa tanah di Gondang Manis, Ampel menjadi korban perkecuan. Sebulan kemudian pengusaha perkebunan yang tinggal di Gebong, Simo didatangi kecu . Ia menjadi korban penasaran dan pelampiasan kawanan bandit yang sudah lama mengincar rumah para tuan tanah besar. Pada tanggal 9 Januari 1885, terjadi kasus perkecuan terhadap seorang bekel yang bernama Sumowedono di desa Onggopatran, Klaten. Pelaku perkecuan tersebut berhasil membawa lari harta senilai 1117,50 Gulden (Suhartono, 1991: 151-161). Pada tahun 1886, terjadi banjir besar. Para pengusaha perkebunan khawatir dan sudah memperkirakan datangnya bahaya kecu. Mereka mengedarkan kecu serkuler untuk mencegah para bandit dengan mengerahkan polisi lebih banyak (Suhartono, 1995: 144).

Di perkebunan sering terjadi kebakaran sebagai gerakan protes petani terhadap perusahaan perkebunan yang banyak merugikan petani. Selain itu, kebakaran tersebut dimaksudkan untuk mempercepat penyerahan sawah-sawah petani. Kebakaran yang terjadi membuktikan meluasnya protes petani yang bersifat destruktif (Suhartono, 1991: 160). Pada tanggal 24 Juli 1898, pada waktu malam hari terjadi perkecuan atau perampokan terhadap seorang penyewa tanah yang bernama Josep di Klaten, pelaku kemudian mebunuh penyewa tanah tersebut. Perampokan tersebut dilakukan oleh 16 orang pelaku (Darsiti Soeratman, 2000: 8). Pada tanggal 8 Februari 1900, terjadi perkecuan atau perampokan di daerah Klaten terhadap seorang pedagang Cina yang membwa uang senilai 1000 Gulden . Pada tanggal 16 Juli 1901, rumah Djojosemito di desa Ngluwang yang berada di kelurahan Kriwen, Sukoharjo termasuk kecu yang berhasil mengambil Di perkebunan sering terjadi kebakaran sebagai gerakan protes petani terhadap perusahaan perkebunan yang banyak merugikan petani. Selain itu, kebakaran tersebut dimaksudkan untuk mempercepat penyerahan sawah-sawah petani. Kebakaran yang terjadi membuktikan meluasnya protes petani yang bersifat destruktif (Suhartono, 1991: 160). Pada tanggal 24 Juli 1898, pada waktu malam hari terjadi perkecuan atau perampokan terhadap seorang penyewa tanah yang bernama Josep di Klaten, pelaku kemudian mebunuh penyewa tanah tersebut. Perampokan tersebut dilakukan oleh 16 orang pelaku (Darsiti Soeratman, 2000: 8). Pada tanggal 8 Februari 1900, terjadi perkecuan atau perampokan di daerah Klaten terhadap seorang pedagang Cina yang membwa uang senilai 1000 Gulden . Pada tanggal 16 Juli 1901, rumah Djojosemito di desa Ngluwang yang berada di kelurahan Kriwen, Sukoharjo termasuk kecu yang berhasil mengambil