Pradata Dalem
3. Pradata Dalem
a. Pengertian Pradata
Pradata terdiri dari kata pra dan data. Pra yang merupakan kependekan dari poro yang berarti semuanya. Sedangkan data berasal dari bahasa Kawi yang artinya sengketa. Jadi pradata adalah semua sengketa atau tempat mengadili semua sengketa (Winter, 98-99).
b. Pengertian Pradata Dalem
Pradata Dalem adalah sistem yudikatif keraton; sistem peradilan yang diterapkan di Keraton Kasunanan Surakarta. Pradata Dalem mengatur tata hukum Pradata Dalem adalah sistem yudikatif keraton; sistem peradilan yang diterapkan di Keraton Kasunanan Surakarta. Pradata Dalem mengatur tata hukum
Pradata Dalem akan mengikut kepada raja yang berkuasa di wilayah tersebut, karena dalam politik tradisionalisme (feodalisme), seorang raja berkuasa absolut sehingga setiap kata yang diucapkan raja bagai sumber hukum; dalam masyarakat Jawa sering dikenal dengan istilah sabdo pandito ratu. Peranan raja terhadap rakyat terkait masalah Pradata Dalem adalah untuk melakukan pemerintahan tanpa mengenal pilih kasih dan selalu berpegang teguh pada hukum yang berlaku (Serat Raja Kapa-Kapa, hal. 19). Selain itu, raja (dalam menjalankan pemerintahan) tidak boleh mengenal anak, sanak saudara, istri maupun kekasih; yang dianut hanyalah kebenaran hukum keadilan (Serat Wulangreh, hal. 16).
Pradata Dalem diatur dalam Serat Angger-anggeran Jawi. Buku ini terdiri lima bagian yaitu Nawala Pradata Dalem, Angger Sadasa, Angger Agung, Angger Redi/Gunung dan Angger Arubiru. Nawala Pradata Dalem, terdiri dari 42 bab merupakan petunjuk dari raja kepada Ngabehi Amongpraja untuk melaksanakan hukum pidana/perdata bagi rakyat setempat. Undang-undang berdasarkan persetujuan Sunan (Surakarta) dan Sultan (Yogyakarta) yang dilaksanakan di Jatisari. Juga hasil persetujuan Sunan dan Mangkunegara di Salatiga. Peraturan ini dibuat di Surakarta tahun 1831 M. Isinya antara lain masalah hutang-piutang, pinjam-meminjam, gadai-menggadaikan, cara mengadili kejahatan (pencurian, perjudian dan lain-lain), serta masalah perkawinan.
Angger Sadasa , terdiri dari 50 bab berisi peraturan tentang surat-surat tugas yang ditujukan kepada seluruh petugas sepuluh Mantri, dari Adipati Sasradiningrat yang sudah disetujui segenap Nayaka dan Sentana Surakarta, Angger Sadasa , terdiri dari 50 bab berisi peraturan tentang surat-surat tugas yang ditujukan kepada seluruh petugas sepuluh Mantri, dari Adipati Sasradiningrat yang sudah disetujui segenap Nayaka dan Sentana Surakarta,
Angger Ageng , terdiri 41 bab merupakan peraturan-peraturan umum /bersama yang dikeluarkan oleh Kangjeng Adipati Sasradiningrat (Surakarta) dan Kangjeng Adipati Danureja (Yogyakarta) dengan persetujuan para pembesar Surakarta dan Yogyakarta, Residen Surakarta dan Yogyakarta, KPH Prabu Prangwedana dan KPH Pakualam. Perundingan dilakukan di Loji, Klaten 16 Oktober 1817. Angger Ageng memuat undang-undang yang mengatur peradilan di Surakarta dan Yogyakarta, misal permasalahan antara Abdi Dalem Surakarta dan Yogyakarta, cara orang berdagang, jaminan bagi orang yang sedang menginap, hukuman bagi pelarian, peraturan jual beli senjata dan lain-lain. Meskipun pembesar/orang yang berkedudukan dan mempunyai wewenang bila menghambat jalannya pemerintahan akan mendapat hukuman.
Angger Redi/Gunung , terdiri 102 bab berisi perintah Paku Buwana VII kepada Adipati Sasradiningrat, diteruskan kepada tumenggung, kliwon dan panewu gunung . Perintah itu sebagai pedoman untuk menyelesaikan semua perkara yang berlaku di wilayahnya (kapatihan, kadipaten, katanggungan, pajawi dan sokawati ) ditulis tahun 1768 Jawa (1840 M). Angger Gunung memuat peraturan khusus bagi abdi dalem yang termasuk wilayah Surakarta, antara lain peraturan cara memperbaiki jalan tempat pemberhentian kereta pos, jembatan, barang usungan milik gupermen, pesanggrahan dan sebagainya. Juga berisi aturan tentang bandar judi, candu, sarang burung, obat-obatan, senjata, penebangan hutan, pencurian, hewan ternak yang membuat celaka, berjual beli garam tamper, aturan-aturan bepergian ke luar daerah dan sebagainya. Bagi pejabat yang melalaikan kewajiban atau mempersulit jalannya pemerintah akan mendapat sanksi.
Angger Arubiru, terdiri 4 bab, ditulis di Semarang tahun 1699 Jawa (1773 M), merupakan undang-undang dari Kangjeng Raden Adipati Danureja atas
Peraturan ini untuk menyelesaikan perkara-perkara rakyat di kedua wilayah, misal orang yang suka menghalangi jalannya pemerintahan, membuat rintangan di jalan, memecah belah kerukunan, orang yang merebut hak tanah orang lain, tata cara menghadap raja dan lain-lain (Roorda, 1844: 124-126).
Pelaksanaan Pradata Dalem Keraton Kasunanan pada awalnya menggunakan hukum Islam dan hukum Adat (Roorda, 1844: 3), namun tidak dipakai lagi setelah masuknya hegemoni Pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah Kolonial Belanda menempatkan sistem hukum dan peradilan Barat pada posisi yang lebih tinggi di atas hukum dan peradilan Keraton Kasunanan.
Pradata dalem juga mengatur tentang lembaga-lembaga peradilan yang berkembang pada saat itu (Serat Perjanjian Dalem Nata, hal. 41), antara lain: (a) Pengadilan Balemangu, (b) Pengadilan Kadipaten Anom, (c) Pengadilan Surambi, (d) Pengadilan Pradata Gedhe. Pradata Dalem memuat peraturan-peraturan yang dinamis dan selalu berkembang mengikuti keadaan yang berlaku di masyarakat. Pradata Dalem merupakan sistem peradilan yang berpedoman pada raja yang berkuasa.
Keterangan: Belanda melaksanakan kolonialisme di berbagai negara terutama negara- negara yang baru berkembang. Salah satu negara yang diterapkan praktik kolonialisme oleh Pemerintah Belanda adalah Indonesia. Belanda menerapkan kolonialisme nya di Indonesia sebagai bagian dari hegemoni politik bangsanya. Belanda berkeinginan untuk menguasai bangsa lain sehingga mendapatkan kekayaan (baik dari sumber daya alam, pajak tanah yang diterapkan, dsb.) maupun tenaga kerja yang murah.
Kolonialisme
Hegemoni Politik
Pemerintah Belanda
Penguasa Tradisional
Kasunanan
Pengambilalihan Pradata Dalem
Penghapusan Pradata Dalem
Pradata Dalem
Tidak mampu menjamin stabilitas
politik dan
keamanan
Sistem Peradilan Barat
mampu menguasai Indonesia; bahkan kekuasaan tersebut bertahan dalam waktu yang lama. Belanda mampu menerapkan hegemoni politiknya terhadap penguasa- penguasa tradisional di berbagai daerah di Indonesia termasuk di Surakarta. Penguasa tradisional Kraton Kasunanan Surakarta tidak mampu menahan penetrasi dari Belanda meskipun telah berupaya mempertahankan hegemoninya melalui perang maupun pemberontakan-pemberotakan (P. Mangkubumi dan P. Sambernyawa) yang terjadi secara sporadis di berbagai daerah kekuasaan Kasunanan.
Penetrasi demi penetrasi dilakukan Pemerintah Belanda di Surakarta, khususnya di Keraton Kasunanan karena Kasunanan masih dianggap sebagai pemegang kekuasaan di Surakarta pada saat itu. Akibat dari tindakan Pemerintah Belanda tersebut adalah diambilalihnya semua kekuasaan yang dipegang Raja Kasunanan Surakarta oleh Pemerintah Belanda. Pengambilalihan kekuasaan tersebut bukan hanya dalam bidang politik, namun juga di bidang ekonomi, sosial, hukum maupun peradilan.
Pelaksanaan hukum dan peradilan Keraton Kasunanan pada awalnya menggunakan hukum Islam dan hukum Adat, namun tidak dipakai lagi setelah masuknya hegemoni Pemerintah Kolonial Belanda. Peradilan di Keraton Kasunanan telah mengalami banyak perubahan, terutama sejak menguatnya penetrasi dari Pemerintah Kolonial Belanda. Kekuasaan pengadilan atas orang- orang bumi putera sebenarnya berada di tangan Sunan, tetapi dalam kenyataannya, Pemerintah Kolonial Belanda yang berkuasa. Hal itu dapat dilihat dalam pelaksanaan proses pengadilan sampai dengan pemberian hukuman yang hampir seluruhnya harus mendapatkan persetujuan Pemerintah Kolonial Belanda.
Sistem peradilan Keraton Kasunanan mampu digeser oleh sistem peradilan Barat yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Kemudian, Pemerintah Kolonial Belanda menghapuskan sistem peradilan Keraton Kasunanan dan menggantinya dengan sistem peradilan Barat yang sangat menguntungkan bagi Pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah Kolonial Belanda menempatkan Sistem peradilan Keraton Kasunanan mampu digeser oleh sistem peradilan Barat yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Kemudian, Pemerintah Kolonial Belanda menghapuskan sistem peradilan Keraton Kasunanan dan menggantinya dengan sistem peradilan Barat yang sangat menguntungkan bagi Pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah Kolonial Belanda menempatkan
Penghapusan sistem peradilan kasunanan yang berdasar pada hukum Adat dan Islam tersebut, menandai runtuhnya sistem peradilan Jawa. Hal ini telah membuktikan bahwa Raja telah mengalami degradasi kekuasaan. Elite birokrasi dan rakyat harus menjalankan dan mematuhi hukum-hukum buatan Belanda. Raja akan memerintah sesuai dengan hukum-hukum yang ada, dan tetap setia kepada pemerintah dengan cara membahas semua persoalan pemerintahan dengan Residen dan mengikuti saran serta nasihatnya sebelum memutuskan sesuatu.
Dalam perkembangannya, Pemerintah Belanda mampu menggeser kedudukan para penguasa pribumi termasuk Raja Keraton Kasunanan. Pemerintah Belanda menjadikan Sunan hanya sebagai sebuah simbol, sementara pengendali kekuasaan di wilayah Kasunanan dipegang oleh Pemerintah Belanda. Raja hanya mempunyai budaya untuk mempertahankan eksistensi kekuasaannya di mata rakyat. Raja akan merangkul massa melalui budaya yang masih ada; budaya Islam dan Jawa. Raja mempertahankan kebudayaan Islam, seperti grebeg mulud dan tetap memelihara tradisi Jawa.
Dengan memegang berbagai kekuasaan di Keraton Kasunanan, berarti Belanda telah memantabkan kedudukannya bahkan mendapatkan jaminan hukum atas kekuasaannya di Surakarta. Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menjamin kelancaran eksploitasinya. Tata peraturan hukum dan peradilan yang tidak sesuai dengan kepentingan Belanda dihapuskan; bahkan Belanda membuat hukum dan peradilan baru untuk mendukung dan menjamin pergerakan politiknya di Surakarta.