Penetrasi Belanda terhadap Pemerintahan Kasunanan
1. Penetrasi Belanda terhadap Pemerintahan Kasunanan
Kerajaan Mataram mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung. Namun kejayaan tersebut mulai terusik ketika bangsa asing mulai masuk dan mencampuri urusan intern kerajaan. Bangsa asing yang sangat berpengaruh terhadap runtuhnya kejayaan Kerajaan Mataram adalah bangsa Belanda dengan persekutuan dagangnya, yakni Verenigde Oost Indish Compagnie (VOC). Keterlibatan VOC dalam urusan intern Kerajaan Mataram dimulai sejak pemerintahan Amangku Rat II pada tahun 1677. Bahkan keterlibatan VOC mampu bertahan sampai dengan pecahnya Kerajaan Mataram (Darsiti Soeratman, 2000: 17).
Pada tahun 1755, Kerajaan Mataram mengalami peristiwa penting yang menyangkut wilayah kekuasaannya, yakni perjanjian Giyanti. Perjanjian ini melibatkan 3 pihak, yaitu: Paku Buwana III, Pangeran Mangkubumi dan Kompeni Belanda. Sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian tersebut, wilayah Mataram dibagi ke dalam dua wilayah menjadi Kerajaan Kasultanan Hadiningrat dibawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi; yang kemudian mengambil gelar Sultan Hamengku Buwana I dan Kerajaan Kasunanan Hadiningrat dibawah Sunan kekuasaan Sunan Paku Buwana III. Pembagian wilayah Mataram semakin mempermudah Belanda untuk menanamkan pengaruh kemudian menguasainya (Darsiti Soeratman, 2000: 27-28).
Kasunanan Surakarta adalah kerajaan yang mendapat hak otonomi untuk melestarikan birokrasi pemerintahan tradisionalnya dalam wilayah yang semakin dipersempit dan mendapat pengawasan ketat oleh Pemerintah Belanda (Suwarno, 2003: 70). Wilayah Kasunanan Surakarta semakin sempit ketika Pemerintah Kasunanan Surakarta adalah kerajaan yang mendapat hak otonomi untuk melestarikan birokrasi pemerintahan tradisionalnya dalam wilayah yang semakin dipersempit dan mendapat pengawasan ketat oleh Pemerintah Belanda (Suwarno, 2003: 70). Wilayah Kasunanan Surakarta semakin sempit ketika Pemerintah
15 Juni 1830 ing nalika punika pangawasanipun kagunan dalem siti
mancanegari kapasrahaken kaasta Kanjeng Gupernemen. Amargi saking prakawis ingkang sampun kalampahan laminipun ngantos gangsal tahun (Perang Dipanegara), sanget andadosaken kasisahanipun siti-siti bawah Surakarta lan Ngayogyakarta awit dening perang kang angrisaki, kang saget ngrampungi amung saking santosanipun dedalemipun Kanjeng Gupernemen Walandi saha saking amedalaken ragat kathah kagunganipun Kanjeng Gupernemen . Kutipan serat di atas, apabila dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
Pada tanggal 15 Juni 1830, tanah mancanegara milik Kanjeng Susuhunan Surakarta diserahkan kepada Kanjeng Gupernemen. Karena perkara yang telah dilalui selama lima tahun (Perang Diponegoro) yang sangat menyusahkan tanah-tanah surakarta dan Yogyakarta akibat perang yang merusak, yang bisa menyelesaikan hanya dari kemurahan hati Kanjeng Gupernemen Belanda yang mengeluarkan banyak dana (Serat Perjanjian Dalem Nata, tth: 102-103).
Keraton Kasunanan berada di bawah kekuasaan Pemerintah Belanda, namun tetap mempunyai pemerintahan sendiri (Rouffaer, 1932: 194). Dalam konsep pemerintahan, kekuasaan hukum dan peradilan merupakan salah satu faktor prinsipil. Sebagai Raja Keraton Kasunanan Surakarta, Paku Buwana adalah pemegang kekuasaan peradilan; sebelum Pemerintah Belanda ikut campur tangan di dalam tata hukum dan peradilan Kasuanan. Awalnya, campur tangan Pemerintah Kolonial Belanda di bidang hukum dan peradilan hanya terbatas pada orang-orang Eropa, Arab, Cina, dan sejumlah rakyat Jawa di bawah yuridiksi Pemerintah Kolonial Belanda (Houben, 1994: 283).
Dalam hierarki sistem peradilan di Keraton Kasunanan Surakarta, raja menempati posisi utama. Raja sebagai pusat, secara khusus mempunyai makna bahwa di dalam diri seorang raja memancarkan hukum. Perbuatan dosa pada Dalam hierarki sistem peradilan di Keraton Kasunanan Surakarta, raja menempati posisi utama. Raja sebagai pusat, secara khusus mempunyai makna bahwa di dalam diri seorang raja memancarkan hukum. Perbuatan dosa pada
Undang-undang hukum Keraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogayakarta mempunyai banyak persamaan, karena kedua keraton berasal dari satu rumpun, yakni Kerajaan Mataram. Pada awalnya, Keraton Kasunanan dan Kasultanan menggunakan undang-undang hukum yang sama, namun dalam perkembangannya mengalami modifikasi sesuai kebijakan masing-masing. Dalam pembuatan undang-undang yang menyangkut urusan (perkara) di kedua wilayah, akan ada persetujuan diantara mereka.
Kasunanan Surakarta menggunakan Undang-Undang Hukum yang telah diterapkan sejak jaman Kerajaan Mataram, yakni Undang-Undang Jawa atau sering disebut Serat Angger-Anggeran Jawi. Serat ini disusun Pemerintah Kasunanan Surakarta melalui patihnya, Sosrodiningrat pada tahun 1771. Di dalam Undang-Undang Jawa tersebut, begitu terlihat pengaruh kekuasaan pemerintah kolonial dalam melakukan penekanan (penetrasi) terhadap kodifikasi-kodifikasi hukum tradisional Jawa. Pemerintah Kolonial Belanda berhasil mengintervensi angger -angger tersebut, khususnya bagian kedua, yaitu pada bidang kepolisian (Rouffaer, 1932: 169).
Dalam Serat Angger-Anggeran Jawi, terdapat lima bagian yang penting bagi kelanjutan pemerintahan Keraton Kasunanan Surakarta. Dari kesemuanya, ada dua bagian yang mirip dengan hukum produk-produk Eropa, yaitu: Angger Arubiru dan Angger Ageng. Isi dari kedua undang-undang tersebut dinilai penting bagi pengelolaan kepolisian dan peradilan di Swapraja Surakarta (Roorda, 1844: 3). Pada dasarnya, semua bagian Serat Angger-Anggeran Jawi telah mendapat intervensi dari Pemerintah Belanda. Sebenarnya, angger tersebut merupakan kodifikasi-kodifikasi hukum pribumi, namun kemunculannya justru berada di bawah tekanan (penetrasi) Pemerintah Belanda. Hal ini terbukti dari isi angger tersebut yang telah terpengaruh aturan-aturan Barat. Bahkan isi dari angger ini merujuk pada kepentingan Belanda di tanah Jawa (Surakarta dan Yogyakarta).
meningkat terutama dalam urusan yudisial dan kepolisian. Sunan , sebagai penguasa di tanah Jawa, harus mempertimbangkan keputusan yang terdapat dalam angger tersebut dengan Pemerintah Belanda. Mengenai keterlibatan Belanda dalam pengambilan keputusan jelas tercantum dalam Serat Angger Gunung di bawah ini:
Raden Adipati kang bakal gawe sarta amocot poro Gunung, utawa para panggedhening tanah, samono iku yen wus terang lan andadekake pareng Tuwan Residen (Roorda, 1884: 109).
Kutipan Serat Angger Gunung di atas, apabila dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: Raden Adipati yang akan mengangkat dan memecat para Gunung
atau para pembesar tanah, hal itu apabila sudah diketahui dan diperbolehkan Tuan Residen (Roorda, 1884: 109).
Angger Arubiru , terdiri empat bab, ditulis di Semarang pada tahun 1699 Jawa (1773 M), merupakan undang-undang dari Kangjeng Raden Adipati Danureja atas persetujuan seluruh nayaka (pembesar) Yogyakarta, Kangjeng Raden Danuningrat beserta semua nayaka (pembesar) Surakarta. Karena masih mempunyai banyak kekurangan, maka angger tersebut perlu diperbaharui. Kemudian Angger Arubiru kembali ditulis di Yogyakarta tahun 1708 Jawa (1781 M). Peraturan dalam Angger Arubiru ini untuk menyelesaikan perkara-perkara rakyat di kedua wilayah, misal orang yang suka menghalangi jalannya pemerintahan, membuat rintangan di jalan, memecah belah kerukunan, orang yang merebut hak tanah orang lain, tata cara menghadap raja, dan lain-lain (Roorda, 1844: 124-126).
Angger Ageng , terdiri 41 bab yang merupakan peraturan-peraturan umum (bersama) yang dikeluarkan oleh Kangjeng Adipati Sasradiningrat (Surakarta) dan Kangjeng Adipati Danureja (Yogyakarta) dengan persetujuan para nayaka (pembesar) Surakarta dan Yogyakarta, Residen Raik van Prehn (Surakarta) dan Residen Heibert Nahuys (Yogyakarta), KPH Prabu Prangwedana dan KPH
Angger Ageng ini baru ditulis bulan Oktober 1818 di Surakarta. Angger Ageng memuat undang-undang yang mengatur peradilan di Surakarta dan Yogyakarta misal, permasalahan antara abdi dalem Surakarta dan Yogyakarta, cara orang berdagang, jaminan bagi orang yang sedang menginap, hukuman bagi pelarian, peraturan jual beli senjata, dan lain-lain. Meskipun pembesar (orang yang berkedudukan dan mempunyai wewenang) apabila menghambat jalannya pemerintahan tetap akan mendapat hukuman (Roorda, 1844: 41-87).
Selain Angger Arubiru dan Angger Ageng, masih ada tiga bagian dari Serat ini , yaitu: Nawala Pradata Dalem, Angger Sadasa dan Angger Gunung. Nawala Pradata Dalem , terdiri dari 42 bab yang merupakan petunjuk dari Sunan (Paku Buwana VII) kepada Ngabehi Amongpraja untuk melaksanakan hukum pidana/perdata bagi rakyat setempat. Undang-undang tersebut berdasarkan persetujuan Sunan (Surakarta) dan Sultan (Yogyakarta) yang dilaksanakan di Jatisari, juga hasil persetujuan Sunan dan Mangkunegara di Salatiga. Peraturan ini dibuat di Surakarta pada 17 Mei 1832. Isinya antara lain masalah hutang-piutang, pinjam-meminjam, gadai-menggadai, sewa-menyewa, serta cara mengadili kejahatan (pencurian, perjudian, dan lain-lain), masalah perkawinan (Roorda, 1844: 3-21).
Angger Sadasa, terdiri dari 50 bab. Angger ini dibuat oleh Adipati Sasradiningrat beserta para nayaka (pembesar) dan Residen Rahik van Prehn. Angger Sadasa berisi peraturan tentang surat-surat tugas yang ditujukan kepada seluruh petugas (sepuluh Mantri, antara lain: kaliwon, panewu, panatus, paneket, panglawe, paniganjung, panajung, panakikil, bekel dan jajar ) dari Adipati Sasradiningrat yang sudah disetujui segenap Nayaka (pembesar) dan sentana dalem Surakarta, Residen dan Susuhanan. Tempat putusan perkara khusus sentana dalem dan Nayaka (pembesar) di Balemangu kepatihan Surakarta. Angger Sadasa juga berisi peraturan-peraturan tanah-tanah pedesaan yang
yang lari dalam ikatan perkara, dan lain-lain (Roorda, 1844: 22-40). Angger Gunung , terdiri 102 bab dan berisi perintah Paku Buwana VII kepada Adipati Sasradiningrat, diteruskan kepada tumenggung, kliwon dan panewu gunung . Perintah itu sebagai pedoman untuk menyelesaikan semua perkara yang berlaku di wilayahnya (kapatihan, kadipaten, katanggungan, pajawi dan Sokawati ). Perkara-perkara yang diatur dalam angger ini, antara lain: pembuatan pos-pos keamanan di wilayah Gupernemen (Salatiga, Boyolali, Sokawati, Klaten, Mungkung), pengawasan terhadap saudagar (pedagang) yang melintas wilayah Gupernemen (menangkap pedagang apabila tidak mempunyai ijin dari Gupernemen), menarik pajak para bekel dan lurah desa. Angger ini ditulis tahun 1768 Jawa (1840 M). Angger Gunung memuat peraturan khusus bagi abdi dalem yang termasuk ke dalam wilayah Surakarta, antara lain peraturan cara memperbaiki jalan tempat pemberhentian kereta pos, jembatan, barang usungan milik Gupermen, pesanggrahan, dan sebagainya. Juga berisi aturan tentang bandar judi, candu, sarang burung, obat-obatan, senjata, penebangan hutan (secara liar), pencurian hewan ternak yang membuat celaka, berjual beli garam tamper, aturan- aturan bepergian ke luar daerah, dan sebagainya. Bagi pejabat yang melalaikan kewajiban atau mempersulit jalannya pemerintah akan mendapat sanksi (Roorda, 1844: 88-123).
Hal-hal yang tersebut di atas memerlukan aturan yang jelas karena memberikan dampak negatif bagi masyarakat kasunanan. Berjudi akan merugikan diri sendiri. Selain itu, berjudi juga merugikan keluarga, karena segenap harta kekayaan akan dipertaruhkan. Karena nafsu berjudi, orang berani menipu, mencuri, korupsi, merampok, dan merampok orang lain untuk mendapatkan uang guna bermain judi. Berjudi dikatakan sebagai perilaku yang menyimpang ( http://social-sciences/judi-dalam-perspektif-hukum-dan-agama.hmtl diakses pada
16 Desember 2011). Selain berjudi, masih ada banyak hal yang meresahkan
menjadi hal yang biasa. Candi semakin menjamur di kalangan masyarakat, padahal dampak dari candu tersebut begitu mengerikan. Candu mengakibatkan seseorang kehilangan kemampuan berfikir, detak jantung meningkat, bahkan overdosis hingga kematian ( http://jurnalisagustin.blogspot.co.i/2011/akibat-candu- narkoba-obat-terlarang.hmtl diakses pada 16 Desember 2011). Candu lebih memberikan dampak yang serius bagi pribadi penggunanya, berbeda dengan penebangan hutan secara liar yang dampaknya dirasakan masyarakat umum. Dampak tersebut antara lain: hilangnya sejumlah tertentu pohon sehingga tidak terjaminnyakeberadaan hutan yang berakibat pada rusaknya lingkungan, berubahnya iklim mikro (wilayah), menurunnya produktivitas lahan, erosi, banjir, hilangnya keanekaragaman hayati, rusaknya ekologi hutan, punahnya satwa-satwa langka ( http://studilingkunganhidup.blogspot.co.id/2011/9/1/dampak-penebangan- hutan-secara-liar.hmtl diakses pada 16 Desember 2011).
Pemerintah Kolonial Belanda berhasil membatasi dan mengurangi kekuasaan raja-raja, namun Keraton Kasunanan Surakarta masih mempunyai kedaulatan. Pengurangan kekuasaan dilakukan sedikit demi sedikit. Hal ini mempunyai tujuan agar tidak terjadi gejolak di kalangan rakyat. Apabila pengurangan kekuasaan dilakukan secara drastis, maka akan menimbulkan gejolak di kalangan rakyat, karena raja adalah lambang kekuasaan yang diakui oleh seluruh kawula dalem kerajaan (Lembaran Sejarah, 1997/1998: 59). Pemeritah Belanda mengurangi kekuasaan Raja Kasunanan melalui penetrasi terhadap sistem pemerintahan. Belanda membuat peraturan-peraturan baru dalam sistem pemerintahan kasunanan. Dengan begitu, Belanda mengatur sistem pemerintahan kasunanan termasuk raja dan para elite birokrat kasunanan, tetapi tetap menempatkan mereka pada posisinya masing-masing. Belanda hanya mengurangi peran mereka tanpa harus menyingkirkan mereka dari pemerintahan Keraton Kasunanan. Dengan demikian, para elite lokal di Praja Kasunanan telah
membuktikan bahwa Keraton Kasunanan Surakarta membutuhkan sebuah aturan yang mengikat kepada seluruh rakyat agar tercipta keamanan dan ketentraman; baik rakyat maupun birokrat kerajaan menghendaki adanya jaminan akan stabilis politik dan keamanan. Dalam sudut pandang Belanda, pemerintahan Jawa (khususnya Keraton Kasunanan Surakarta) terdesentralisasi dan tampak kabur, begitu juga hukum dan keamanannya (Houben, 1994: 284). Pemerintahan Jawa masih bersifat patrimonial, yang berarti sistem birokrasi pemerintahan Jawa hanya berdasarkan hubungan familier, hubungan pribadi, dan hubungan bapak- anak buah (patron client) (Prisma, No. 10 tahun IX Oktober 1980, hal.21). dalam pemerintahan Jawa, apa yang dikatakan raja dianggap sebagai sebuah aturan. Hal ini masih belum cukup, karena pemerintahan yang baik harus mempunyai birokrasi rasional yang terdiri dari susunan pejabat yang bersifat tetap dan terikat aturan. Mengenai pengisian jabatan, harus ada jaminan yang menjamin pengisian jabatan dengan pedoman yang jelas dan tegas ( http://pussisud.com/2010/birokrasi- modern-tradisional diakses pada 17 Desember 2011).
Berkaitan dengan hukum dan keamanan Kasunanan Surakarta, patih secara berkala memberikan laporan mengenai kurangnya keamanan di wilayah Keraton Kasunanan. Kepala-kepala polisi lebih sibuk mengurusi pendapatan mereka ketimbang menjaga keamanan umum (di wilayah mereka ditempatkan). Hal tersebut mengundang desakan dari Pemerintah Kolonial Belanda untuk ikut campur dalam persoalan tersebut. Pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan agar kepolisian ditempatkan di bawah kontrol langsung dari orang-orang Eropa, yang akan berarti bahwa para bupati dan kepala-kepala lainnya akan harus menjadi pejabat-pejabat yang mengabdi kepada Pemerintah Kolonial Belanda (Houben, 1994: 284-295). Apabila kepolisian berada di bawah kontrol langsung dari orang Eropa, maka Belanda akan lebih mudah dalam mengatur gerak kepolisian sesuai dengan kepentingannya di bidang politik dan ekonomi. Belanda akan membuat kebijakan-kebijakan yang akan menguntungkan posisinya,
untuk membentengi legitimasi kekuasaannya. Peradilan di Keraton Kasunanan banyak mengalami perubahan, terutama sejak menguatnya penetrasi Pemerintah Kolonial Belanda yang semakin intensif. Pemerintahan kasunanan masih bersifat tradisional, sehingga lembaga-lembaganya juga masih tradisional, termasuk lembaga peradilan. Dengan adanya tekanan dari Pemerintah Belanda, lembaga- lembaga yang ada (dianggap sebagai lembaga yang tidak rasional) diganti atau dirubah dengan gaya Barat yang (dinilai Belanda) lebih rasional untuk membentuk sebuah birokrasi rasional sehingga tercipta suatu pemerintahan yang baik (Good Governance). Konsep birokrasi rasional membutuhkan aturan pasti (resmi) yang mengikat, yakni sebuah hukum nyata yang disusun dengan baik dan tertib (hukum positif) ( http://www.mardianaly.co.cc/2010/04/makalah-moral-dan- hukum-positif.hmtl diakses pada 17 Desember 2011). Berkaitan dengan hal di atas, sistem peradilan tradisional digeser oleh sistem peradilan Barat yang diterapkan Pemerintah Kolonial Belanda. Pelaksanaan peradilan Jawa yang sebelumnya menggunakan hukum Adat dan hukum Islam, namun hal tersebut tidak berlaku lagi setelah masuknya kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda (Lembaran Sejarah, 1997/1998: 55).
Dengan dibentuknya peradilan di bawah arahan Pemerintah Kolonial Belanda, yang memasukkan dasar-dasar peradilan Barat dan mengesampingkan hukum yang berdasarkan Al-Quran, membuktikan bahwa pengelolaan peradilan telah diambilalih dari tangan Raja-Raja Keraton Kasunanan Surakarta. Secara umum, pengambilalihan sistem peradilan ini disebabkan karena sistem tersebut dianggap sudah tidak mampu lagi untuk memberikan jaminan stabilitas politik dan keamanan (Houben, 1994: 284-295).
Pemerintah Kolonial Belanda membentuk sistem peradilan sendiri di Surakarta dan mengesampingkan hukum Adat dan Islam yang sudah dari dulu menjadi patokan bagi Keraton Kasunanan Surakarta dalam menyelesaikan suatu sengketa. Hal ini membuktikan bahwa Pemerintah Belanda menempatkan sistem hukum Barat pada posisi yang lebih tinggi di atas hukum Jawa. Pemerintah Pemerintah Kolonial Belanda membentuk sistem peradilan sendiri di Surakarta dan mengesampingkan hukum Adat dan Islam yang sudah dari dulu menjadi patokan bagi Keraton Kasunanan Surakarta dalam menyelesaikan suatu sengketa. Hal ini membuktikan bahwa Pemerintah Belanda menempatkan sistem hukum Barat pada posisi yang lebih tinggi di atas hukum Jawa. Pemerintah
Pada tanggal 5 Juli 1847, terjadi sebuah perjanjian antara Komisaris J.F.W van Nes dan Paku Buwana VII. Akibat perjanjian tersebut, yaitu terjadinya perubahan drastis pada pengelolaan peradilan dan kepolisian di Swapraja Surakara (Serat Perjanjian Dalem Nata, tth: 41). Peradilan rakyat adalah sebuah kewenangan bagi Sunan, namun paska perjanjian di atas, lembaga-lembaga hukum dan peradilan menjadi kewenangan bersama antara Pemerintah Kolonial Belanda dan Sunan. Lembaga yang menjadi kewenangan bersama tersebut, antara lain: a Pradata Kadipaten (sebuah peradilan untuk keluarga kerajaan), b Surambi (sebuah peradilan yang menggunakan hukum Islam), c Pradata Nagari (Pengadilan Perdata), d Pengadilan Balemangu (sebuah peradilan yang mengurus tentang sengketa tanah) dihapuskan dan fungsinya dialihkan ke Pradata Nagari (Houben, 1994: 147).
Perubahan di atas memberikan kesimpulan bahwa pengadilan Keraton Kasunanan Surakarta sudah tidak mandiri lagi, hukuman hanya bisa dilakukan apabila Residen telah melihat dokumen dan menyetujuinya. Dengan kata lain, keputusan pengadilan Jawa harus disampaikan dan diperiksa oleh Residen terlebih dahulu. Selain itu, pengangkatan dan pemecatan bupati polisi harus mendapatkan ijin dari seorang Residen (Houben, 1994: 55).
Perubahan-perubahan yang terjadi di bidang peradilan Keraton Kasunanan Surakarta tidak terlepas dari kontrol yang sangat ketat dari Pemerintah Kolonial Belanda untuk mendapatkan ketenangan dan keamanan sehingga dapat melancarkan kepentingan ekonominya dengan leluasa. Dalam melancarkan kepentingan ekonominya, tidak terlepas dari peran para pengusaha swasta. Peran para pengusaha swasta tidak hanya berdampak pada faktor sosial dan ekonomi di Praja Kasunanan, melainkan juga pada faktor politik. Para pengusaha perkebunan merupakan pendukung utama dari kebijakan politik ekspansif Pemerintah
dihubungkan oleh adanya ikatan-ikatan keluarga dan bisnis. Ikatan nepotis ini memungkinkan mereka memanfaatkan birokrasi kolonial untuk menentukan kebijakan penguasa lokal. Dengan adanya dukungan para pemodal asing, kedudukan Pemerintah Belanda semakin kuat (secara politis) karena para elite lokal banyak yang terjebak hutang kepada para pemodal swasta, sehingga tingkat ketergantungan mereka kepada para penyewa tanah semakin besar (penyewa tanah merupakan sekutu Pemerintah Kolonial Belanda) (Houben, 1994: vii-xvii). Perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda tidak langsung berhasil, namun dilakukan secara bertahap. Kebijakan Belanda untuk mencampuri urusan di bidang peradilan bukan semata-mata untuk menegakkan keadilan, melainkan karena mempunyai kepentingan ideologis dan politik (Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, 1981: 175).
Pengadilan raja dibedakan menjadi dua, yaitu pengadilan di bawah wewenang Keraton Kasunanan Surakarta (Pengadilan Pradata dan Surambi) dan Pengadilan Gupernemen (Landraad) (Staatsblad van Nederlansch Indie no 7 dan 8). Pengadilan Keraton Kasunanan Surakarta tidak lagi berwenang memeriksa dan memutuskan perkara kawula dalem (rakyat), melainkan hanya mengurusi pelanggaran yang dilakukan oleh keluarga raja (sentana dalem) (Supomo, 1982: 85). Dengan adanya Pengadilan Gupernemen, raja kehilangan kewenangan dalam menangani perkara rakyat kasunanan; raja hanya mengurus perkara yang ada di dalam keraton. Dengan begitu, kewenangan raja dalam peradilan semakin berkurang karena semakin dibatasi oleh pemerintah kolonial.
Pemerintah Kolonial Belanda telah menghapuskan badan-badan pengadilan yang ada di daerah Swapraja Surakarta Sebelum dibentuk Landraad tersebut,. Daerah tersebut adalah daerah yang ditunjuk oleh Gubernur Jendral Belanda, antara lain: Surakarta, Klaten, Sragen, Boyolali dan Wonogiri. Untuk daerah Sragen dan Wonogiri, didirikan Landgerecht; merupakan lembaga peradilan Gupernemen yang diperuntukkan bagi semua golongan baik penduduk pribumi maupun non pribumi; kekuasaan wilayah hukumnya ditetapkan oleh
Pemerintah Belanda melakukan intervensi terhadap kepolisian. Hal ini dibuktikan melalui campur tangan dan pengawasan pemerintah kolonial dalam proses penentuan hukum. Cara-cara yang dilakukan untuk menekan kepolisian adalah dengan membuat kesepakatan bersama Susuhunan agar tetap mempertahankan tatanan baik serta menjaga ketenangan di seluruh wilayah. Pada tahun 1870 dikeluarkan peraturan tentang pelaksanaan tugas kepolisian dan peradilan di Keraton Kasunanan Surakarta. Peraturan ini dibuat karena menumpuknya berbagai jenis perkara peradilan yang lambat diselesaikan. Keterlambatan penyelesaian perkara itu disebabkan karena kurangnya pembagian tugas dari masing-masing pejabat yang berwenang. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa semua perkara kejahatan dan perselisihan dikerjakan oleh jaksa dengan dibantu dua orang carik. Sedangkan semua perkara kepolisian dikerjakan dan dilaksanakan oleh carik kabupaten (Arsip Pranatan Kasunanan 1870 angka 14).
Mengenai berbagai jenis hukuman bagi pelaku kejahatan juga diberikan aturan dalam bentuk undang-undang yang berisi empat bab. Isi dari undang- undang tersebut berupa larangan untuk melakukan hukuman pasung, pengurungan dan hukuman fisik lain kepada para abdi dalem yang melakukan kejahatan atau melanggar hukum. Apabila hal tersebut dilanggar, maka harus mengganti dengan ongkos kepada raja. Untuk menjaga ketertiban dan keamanan, diwajibkan adanya jaga malam di wilayah pedesaan di Surakarta. Kewajiban jaga malam diserahkan kepada pemuda yang sudah berumur 16 tahun ke atas dibawah komando lurah kampung dan lurah desa. Jaga malam tersebut dilakukan di gardu jaga di setiap wilayah desa. Kewajiban orang yang jaga malam, antara lain: 1) Menghentikan orang Jawa, Cina atau orang asing lainnya yang berjalan setelah jam 8 tidak membawa obor dan lampu minyak, 2) Mengawasi agar jangan sampai ada penjahat yang masuk kampong atau membuat kerusuhan di jalan, 3) Berusaha menjaga ketentraman orang banyak, 4) Berusaha menangkap penjahat dan melaporkan ke polisi, 5) Membantu warga apabila ada kebakaran, 6) Harus saling menolong apabila diperlukan (Surat Perintah Kanjeng Susuhunan kepada Adipati
Kaliwon Jaksa Pradata, Ngabehi, Panewu Mantri Jaksa Pradata serta Panewu Mantri Jaksa Nagara . Raja melarang pejabat peradilan untuk merubah, menambah,atau mengurangi hukum yang telah berlaku. Raja juga mengingatkan kepada Jaksa Pradata agar dalam melaksanakan proses pengadilan negara supaya tidak terlalu lama, sehingga dapat menentramkan yang saling berselisih dan menjadikan kesejahteraan bagi rakyat kecil. Apabila ada ketidakberesan di pengadilan maka harus segera diketahui penyebab ketidakberesan tersebut. Jaksa Pradata juga dilarang melakukan hal-hal seperti: berjudi, mabuk-mabukan, berkhianat, berhubungan dengan penjahat, membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar; apabila hal tersebut dilakukan, maka akan dipecat dari jabatannya (Penget Nawala Pradata Kanjeng Susuhunan Paku Buwana VII).
Di bidang peradilan dan kepolisian, terjadi kontrol ketat dari Pemerintah Kolonial Belanda. Keputusan hukum maupun aturan-aturan hukum Jawa berada di bawah pengawasan dan campur tangan kolonial. Menurut pemerintah kolonial, peradilan dan kepolisian yang berdasarkan hukum Jawa tidak menunjukkan hasil yang maksimal. Jalannya peradilan dan kepolisian di Praja Kasunanan masih banyak ditemui kekurangan-kekurangan. Hal ini mengakibatkan keadaan di Surakarta memburuk dan membahayakan ketentraman dan keamanan, serta merugikan adat-istiadat, kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat. Dari realita yang ada, terjadi persetujuan antara Menteri Negara, J.F.W. van Nes dan Susuhunan untuk menetapkan dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan tentang jalannya peradilan dan kepolisian di Praja Surakarta (Staatsblad van Nederlandsch Indie 1847 nomor