Pengambilalihan Sistem Peradilan Kasunanan pada Tahun 1903

B. Pengambilalihan Sistem Peradilan Kasunanan pada Tahun 1903

1. Proses Pengambilalihan Sistem Peradilan Kasunanan 1903

Menurut Pemerintah Kolonial Belanda, pengadilan dan kepolisian yang dijalankan Keraton Kasunanan Surakarta dengan menggunakan (menerapkan) peraturan Jawa sama sekali tidak menunjukkan hasil yang diharapkan. Hal ini mengakibatkan keadaan di Swapraja Surakarta semakin memburuk dan membahayakan ketentraman dan keamanan, serta merugikan adat-istiadat, kesejahteraan, dan kebahagiaan rakyat. Selain itu, hak milik rakyat sering tidak dihormati secara semestinya (Staatsblad 1847 nomor 30, hal. 1).

Kejahatan terjadi di berbagai daerah Swapraja Kasunanan Surakarta. Terkait dengan keadaan ini, maka untuk menghentikan keadaan yang merongrong kewibawaan dan kekuasaan Sunan, Pemerintah Kolonial Belanda berniat membuat kesepakatan dengan Sunan untuk mengisi kekosongan dan kekurangan di bidang peradilan dan kepolisian (Wahyu Purwiyastuti, 2007: 57). Pemerintah Kejahatan terjadi di berbagai daerah Swapraja Kasunanan Surakarta. Terkait dengan keadaan ini, maka untuk menghentikan keadaan yang merongrong kewibawaan dan kekuasaan Sunan, Pemerintah Kolonial Belanda berniat membuat kesepakatan dengan Sunan untuk mengisi kekosongan dan kekurangan di bidang peradilan dan kepolisian (Wahyu Purwiyastuti, 2007: 57). Pemerintah

Penguasaan bidang hukum dan peradilan merupakan langkah-langkah yang tepat untuk menguasai kehidupan politik dan memantau tata pemerintahan Keraton Kasunanan Surakarta. Alasan Pemerintah Kolonial Belanda melakukan tindakan politis tersebut adalah supaya mudah untuk mempengaruhi dan menetukan arah kebijakan keraton. Pemerintah Kolonial Belanda menggeser hukum Islam sebagai salah satu hukum asli kasunanan, dan menggantinya dengan hukum Barat (Belanda). Berkurangnya kekuasaan peradilan di Kasunanan Surakarta, menjadikan eksploitasi kolonial di berbagai bidang semakin meningkat (Suhartono, 1991: 75).

Pemerintah Kolonial Belanda berhasil dalam membatasi dan membentengi kekuasaan raja-raja, namun pemerintahan Keraton Kasunanan tetap memiliki kedaulatan. Rupanya tindakan ini telah dipertimbangkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pengurangan kekuasaan hanya dilakukan sedikit demi sedikit oleh Pemerintah Kolonial Belanda, karena dipandang lebih baik. Apabila dilakukan secara drastis, akan menyebabkan gejolak di kalangan rakyat karena sosok Sunan adalah lambang kekuasaan bagi kawula dalem (rakyat) kerajaan. Pemerintah Kolonial Belanda membiarkan kekuasaan pemerintahan tradisional berjalan selama tidak membahayakan. Oleh karena itu, Pemerintah Kolonial Belanda menunjukkan sikap kompromi guna mendapatkan kepentingan ekonomis dan politis (Suhartono, 2001: 5).

Pemerintah Kolonial Belanda tidak mempunyai dasar hukum yang kuat untuk ikut campur tangan dalam urusan pengadilan pribumi keraton kasunanan Surakarta. Namun, Pemerintah Kolonial Belanda menyadari dan mengetahui cara

Belanda bisa melakukan perubahan terhadap peraturan pengadilan pribumi yang pelaksanaan sistemnya dipandang negatif. Pemerintah Kolonial Belanda mengincar legalitas melalui kontrak politik yang akhirnya akan mengakhiri legitimasi kekuasaan raja-raja vorstenlanden. Dengan kontrak tersebut, raja yang pada awalnya berkedudukan lebih tinggi dari pemerintah kolonial akan berubah sebaliknya (Suhartono, 2001: 44-45).

Pada tahun 1847, terjadi kontrol kekuasaan yang sangat ketat terhadap kepolisian dan peradilan Keraton Kasunanan. Keputusan hukum atau aturan- aturan Jawa berada di bawah pengawasan dan campur tangan Pemerintah Belanda. Bahkan, raja dalam membuat keputusan di kerajaannya sendiri (Keraton Kasunanan) harus berkonsultasi dengan anggota-anggota keluarga dan penasehatnya, tidak diijinkan mengambil keputusan tanpa persetujuan mereka (Ricklefs, 2000: 29). Pengawasan ketat Belanda mengakibatkan terjadinya pemisahan terhadap sistem peradilan Keraton Kasunanan Surakarta menjadi dua bagian, yaitu pengadilan di bawah wewenang pemerintah keraton dan peradilan Gubernemen . Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan orang-orang di bawah kekuasaan Gubernemen langsung diadili oleh seorang ahli hukum yang menjadi kepala pengadilan negeri (Landraad). Semua perkara sipil penting yang terjadi terhadap orang bawahan pemerintah akan diselesaikan di pengadilan tinggi Semarang (Staatsblad 1847 nomor 30: 4-5).

Sunan tidak lagi berkuasa penuh, dia hanya seorang administrator (patuh) Pemerintah Belanda untuk daerah Surakarta. Hak untuk mengadili terus berkurang akibat adanya campur tangan Pemerintah Belanda di bidang peradilan (Suhartono, 1991: 76). Hal ini terbukti dengan dibentuknya pengadilan- pengadilan baru di Swapraja Surakarta, sedangkan pengadilan-pengadilan seperti Dewan Kresidenan dan Surambi yang berada dluar kota dihapuskan. Lembaga- lembaga pengadilan yang baru tersebut adalah Landraad, pengadilan kabupaten, rol polisi, raad agama dan pengadilan karesidenan (Koerniatmo, 1994: 95).

Ketika Keraton Kasunanan diperintah oleh Kanjeng Susuhunan Paku

Verklaring dan Acta van Verband. Pernyataan Sunan dalam Verklaring tersebut adalah berisi persetujuannya dengan rencana Gupernemen, yaitu: (a) Sunan harus melakukan perbaikan kepolisian dan sistem peradilan sesuai dengan penyelesaian hukum menurut hukum Pemerintah Kolonial Belanda, (b) Sunan harus memberi ganti rugi kepada Gupernemen berkenaan dengan perbaikan sistem kepolisian dan pengadilan tersebut.

Hal tersebut membawa dampak yang besar bagi perkembangan peradilan di Swapraja Kasunanan. Dampak tersebut berupa penyerahan wewenang peradilan di wilayah Surakarta kepada Pemerintah Belanda yang mana seluruh sistem peradilan di wilayah Keraton Kasunanan dalam hal kekuasaan mengadili dan pemutusan hukum harus mendapat ijin dari Residen (Riyanto, 1996: 11). Selain itu, kasunanan mengalami kerugian secara finansial yang besar karena harus mengganti biaya perbaikan kepolisian dan sistem peradilan di seluruh wilayah Surakarta. Sebenarnya perbaikan tersebut lebih menguntungkan pemerintah kolonial, namun yang memberikan dana justru pihak Keraton Kasunanan.

Pasca penandatanganan Verklaring dan Acta van Verband, muncul perbedaan penafsiran antara Sunan dengan Pemerintah Belanda tentang arti “memperbaiki” peradilan di Kasunanan Surakarta. Sunan menfasirkan “memperbaiki” peradilan sebagai sebuah upaya untuk memfungsikan pengadilan

tanpa meninggalkan dasar-dasar pengadilan yang ada di kasunanan. Sebaliknya, pemerintah kolonial menghendaki agar Paku Buwana X menyerahkan pengadilan kepada pemerintah Belanda yang selanjutnya akan dibuat seragam dengan pengadilan yang ada di luar keraton. Pada saat itu, pengadilan luar keraton adalah pengadilan di bawah wewenang Belanda yang dijalankan dengan sistem Barat (Darsiti Soeratman, 2000: 55).

Pada perkembangannya, pengadilan juga dibentuk di luar ibu kota Kasunanan Surakarta, seperti di daerah Kabupaten Klaten, Ampel, Boyolali, Kartasura, dan Sragen. Pengadilan-pengadilan daerah tersebut diberi otonomi oleh Pada perkembangannya, pengadilan juga dibentuk di luar ibu kota Kasunanan Surakarta, seperti di daerah Kabupaten Klaten, Ampel, Boyolali, Kartasura, dan Sragen. Pengadilan-pengadilan daerah tersebut diberi otonomi oleh

Pengadilan wilayah kabupaten mengalami perubahan, yaitu diadakan pembagian menjadi wilayah yang lebih kecil, yang sering disebut distrik. Kabupaten Sragen dibagi menjadi empat distrik, yaitu distrik Sragen, Grompol, Sambungmacan, dan Majenang; Kabupaten Boyolali dibagi menjadi lima distrik, yaitu distrik Boyolali, Tumang, Banyudono, Koripan, Dan Jatinom; Kabupaten Ampel dibagi menjadi lima distrik, yaitu distrik Ampel, Simo, Karanggede, Kaliyoso, dan Lawang; Kabupaten Klaten dibagi menjadi enam distrik, yaitu distrik Klaten, Prambanan, Gresikan, Gedengan, Kalisongo, dan Semuluh; Kabupaten Kartasura dibagi menjadi lima distrik, yaitu distrik Kota Kartasura, Ketitang, Bendo, Jenan, dan Tamaran; sedangkan Kabupaten Surakarta dibagi menjadi enam distrik, yaitu distrik Kota Surakarta, Serengan, Laweyan, Gading, Gandekan dan Jebres. Untu setiap distrik diketuai oleh seorang panewu dengan dibantu dua orang carik dan empat orang demang (Edi S. Wirabumi, 2007: 75).

Adanya pembagian wilayah kabupaten menjadi distri-distrik pada hakikatnya adalah untuk memudahkan pengelolaan wilayah di Swapraja Surakarta. Namun, sering terjadi penyimpangan tugas dari pejabat di wilayah tersebut. Hal ini dikarenakan otonomi yang diberikan kepada mereka sehingga mereka bisa menentukan kebijakan-kebijakan baru. Pecahnya pengadilan kabupaten menjadi pengadilan kedistrikan, membuat Belanda leluasa untuk menanamkan pengaruhnya. Akibatnya, banyak pengadilan di wilayah distrik jatuh ke tangan pemerintah kolonial. Dengan begitu, kewenangan pemerintah Kasunanan Surakarta semakin berkurang dalam urusan peradilan di luar wilayah keraton.

Pada masa Paku Buwana X ini, juga dilakukan perbaikan di bidang kepolisian untuk meningkatkan keamanan. Usaha pemerintah kerajaan dan Pada masa Paku Buwana X ini, juga dilakukan perbaikan di bidang kepolisian untuk meningkatkan keamanan. Usaha pemerintah kerajaan dan

Perbaikan dilakukan dengan cara membentuk suatu lembaga yang bertugas membantu tugas kepolisian dalam melaksanakan tugasnya. Untuk wilayah Swapraja Kasunanan, lembaga tersebut bernama Djogowesti yang memiliki formasi: 13 Langsir, 24 Reksopidono, 84 Djogowesti, 144 Djogolastris, dan 5 mantri polisi kabupaten patuh, sehingga totalnya adalah 282 pegawai. Dalam melaksanakan tugasnya, djogowesti memiliki tugas yang sama yang sama, yaitu membantu tugas polisi dalam menjaga keamanan dan ketentraman di wilayahnya masing-masing. Dalam melakukan pengejaran, apabila ada pelaku perbanditan yang melarikan diri keluar dari wilayah salah satu negara lalu masuk wilayah negara lain, maka kedua lembaga tersebut melakukan kerjasama guna memudahkan penangkapan pelaku perbanditan tersebut, tetapi ketika memasuki wilayah negara lain harus mematuhi peraturan negara tersebut dan apabila tertangkap, maka pelaku perbanditan harus diserahkan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang di negara tersebut (Rijksblad Soerakarta nomor 25, 1915: 217).

Dalam bertugas anggota Djogowesti membawa senjata yang telah disediakan oleh pemerintah masing-masing, senjata tersebut antara lain berupa: pedang, gembel kayu, peluit, borgol. Pegawai Djogowesti yang bukan bangsa Jawa atau pribumi disediakan senjata yang berupa pistol (revolver), gembel kayu serta pedang. Senjata-senjata tersebut akan sangat berguna untuk melawan, melumpuhkan para bandit/kecu dan juga digunakan untuk melindungi diri dari serangan pihak lawan (penjahat). Selain itu, senjata-senjata tersebut juga berguna untuk menakuti para penjahat karena mengetahui bahwa para penjaga keamananan (Djogowesti) telah bersenjata lengkap. Tugas Djogowesti antara lain berupa: menjaga pos yang terdapat di tempat-tempat ramai, pasar, stasiun, halte trem, perempatan jalan dan pos-pos yang telah disediakan (Rijksblad Soerakarta, 1915: 120).

berkurang intensitasnya, meskipun tidak semua perkara mampu diatasi. Semua rakyat (kawula dalem) yang melakukan perkara kejahatan akan dihadapkan ke pengadilan di wilayah kejahatan itu dilakukan (Staatsblad 1847 nomor 30: 5). Di Swapraja Kasunanan terdapat pengadilan negeri (Landraad) di Surakarta, Klaten, Boyolali, Sragen dan Wonogiri (Indisch Staatsblad 1903 nomor 10). Landraad merupakan pengganti Pradata Nagari yang anggotanya langsung diangkat oleh Gubernur Jendral Belanda (Indisch Staatsblad 1903 nomor 8). Akibat pembentukan Landraad, maka Pradata Kabupaten kehilangan kekuasaan hukum tradisionalnya. Berdirinya Landraad merupakan salah satu implikasi perubahan dalam bidang peradilan di Keraton Kasunanan Surakarta (Wahyu Purwiyastuti, 2007: 71). Pengadilan ini memberikan gambaran bahwa wewenang pengadilan kasunanan telah beralih kepada pemerintah kolonial, berarti kedudukan Sunan sebagai Raja Kasunanan juga kian tersisih.

Sunan dianggap lemah dan tidak mempunyai banyak pengaruh dalam pemerintahan. Oleh sebab itu, Sunan tidak mendapat informasi tentang penetrasi yang akan dilakukan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda di Keraton Kasunanan pada tahun 1900. Residen de Vogel mengajak Sunan untuk melakukan perundingan. Ia membujuk Sunan untuk melepas peradilan atas penduduk pribumi Kasunanan Surakarta. Kemudian upayanya berlanjut sampai tahun 1902, namun belum kunjung membuahkan hasil, karena Sunan belum mau melepaskan peradilan. Meskipun kenyataannya Sunan hanya sebagai simbol kerajaan, namun Pemerintah Belanda berharap mendapatkan legalitas atas pengambilalihan sistem peradilan di Keraton Kasuanan (Haspel, 1985: 154).

Akibat degradasi kekuasaan raja, sistem birokrasi Keraton Kasunanan dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Apabila sistem birokrasi keraton telah dikuasai, pemerintahan kolonial semakin mudah dalam menguasai bidang- bidang yang lain, karena melalui penguasaan birokrasi, pemerintah kolonial bisa membuat kebijakan sesuai kepentingan politiknya. Dengan begitu, seluruh bidang kekuasaan Keraton Kasunanan dikuasai pemerintah kolonial, termasuk bidang

Belanda telah mengambil alih sistem peradilan Keraton Kasunanan Surakarta. Anggapan bahwa sistem peradilan Keraton Kasunanan sudah tidak mampu memberikan jaminan stabilitas politik dan keamanan bagi rakyat juga menjadi salah satu alasan bagi pemerintah kolonial melakukan pengambilalihan terhadap sistem peradilan Kasunanan Surakarta.

Pada tahun 1903, terjadi perundingan antara Sunan dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Hasil perundingan yang dilakukan sebelum pengambilalihan sistem peradilan tersebut, mengakibatkan peran ganda bagi para pejabat pemerintahan kolonial tingkat lokal. Kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda dan Keraton Kasunanan pada hakikatnya merupakan dua kekuasaan yang berbeda, namun dalam perkembangannya hegemoni kekuasaan kolonial lebih kuat dibandingkan dengan kekuasaan keraton. Kekuasaan raja berangsur-angsur dikurangi oleh Pemerintahan Hindia Belanda (Suhartono, 1991: 71).

Tahun 1903 dicatat sebagai masa terberat bagi Pemerintah Kasunanan Surakarta karena harus melepas sebagian besar wewenang mengadili rakyat (kawula dalem) kerajaan. Akibat terbatasnya wewenang Paku Buwana X, maka Dewan Penasehat Hindia Belanda tidak lagi meminta ijin ketika mengganti sistem peradilan tradisional dengan sistem peradilan Barat karena Sunan telah terikat Acte van Verband dan Verklaring (perjanjian kontrak) dengan Pemerintah Belanda (Wahyu Purwiyastuti, 2007: 74).

Pengambilalihan sistem peradilan kasunanan merupakan rekayasa Pemerintahan Kolonial Belanda untuk kepentingan eksploitasi terhadap wilayah pemerintah Keraton Kasunanan Surakarta. Pengambiaalihan sistem ini telah mengakibatkan terjadinya pergeseran bentuk masyarakat (kasunanan) dari tradisional menjadi masyrakat progresif, yang menyebabkan terjadinya berbagai perubahan. Keberhasilan Pemerintah Kolonial Belanda memisahkan lembaga peradilan pribumi (keraton) dengan masyarakat asing (Belanda) berikut mengambilalih sistemnya, menjadi pertanda kemunduran kekuasaan pemerintah Keraton Kasunanan (Lembaran Sejarah, 1997/1998: 59).

semua kebijakan dan keputusan Sunan selalu dalam kontrol Residen selaku pejabat lokal Pemerintah Belanda. Hal ini karena salah satu tugas seorang Residen adalah mengawasi ketenangan dan keamanan, dibantu patih yang melaksanakan tugas atas nama raja. Pejabat-pejabat di kepolisian berada di bawah komando Residen . Pejabat kepolisian di ibu kota kerajaan adalah bupati polisi ibu kota, sedangkan di daerah dijabat oleh bupati. Jumlah serta tempat kedudukan ditentukan oleh raja dengan kesepakatan Residen (Staatsblad van Nederlandsch Indie 1947, pasal 13). Residen mendapat wewenang dan jaminan untuk melakukan kontrol atas jalannya kekuasaan hukum dan peran polisi. Pelaksanaan pengadilan dan polisi di Surakarta tetap dalam suasana pribumi dengan ditambah kontrol Pemerintah Kolonial Belanda. Sunan hanya mempunyai kewenangan menyelesaikan perkara hukum yang terbatas kepada rakyat bawahan keraton (kawula dalem).

Peraturan pengambilalihan sistem peradilan kasunanan ditetapkan dalam Staatsblad van Nederlandsch 1903 nomor 8. Di dalam peraturan tersebut menjelaskan secara resmi bahwa semua perkara keadilan di daerah Surakarta akan diselesaikan dengan sistem peradilan Belanda (Pangreh Praja Bond, 1938: 131). Terjadinya pengambilalihan sistem peradilan di kasunanan, bisa disebut sebagai pertanda awal kepunahan lembaga peradilan tradisional Jawa. Walaupun penyelesaian perkara hukum di kasunanan masih menggunakan peraturan adat hukum Jawa, namun buku-buku peraturan perundang-undangan Jawa semakin lama semakin kehilangan kekuatannya, sehingga kekuatan hukum Jawa juga kian memudar (Haspel, 1985: 160).

2. Lembaga-Lembaga Peradilan Baru Akibat Pengambilalihan Pradata

Dalem di Kasunanan

Perubahan-perubahan dalam tatanan hukum terutama dalam bidang peradilan di wilayah Swapraja Kasunanan semakin berkembang dengan munculnya lembaga-lembaga pengadilan baru sesudah terjadinya pengambilalihan Perubahan-perubahan dalam tatanan hukum terutama dalam bidang peradilan di wilayah Swapraja Kasunanan semakin berkembang dengan munculnya lembaga-lembaga pengadilan baru sesudah terjadinya pengambilalihan

a. Pengadilan Landraad

Landraad merupakan Majelis Kehakiman dan yang menjadi hakim dalam pengadilan ini adalah seorang ahli hukum. Landraad menangani pelanggaran yang dilakukan oleh kawula dalem di wilayah ibu kota dan di luar ibu kota Keraton Kasunanan. Hakim dalam Landraad dibantu dengan dua orang anggota serta seorang panitera. Khusus untuk perkara pidana, susunan dalam pengadilan Landraad akan ditambah dengan seorang Jaksa. Sedangkan untuk perkara perdata akan diadili oleh seorang hakim tunggal. Selain itu, apabila terdakwa beragama Islam, hakim harus didampingi oleh seorang penghulu. Sementara apabila terdakwa beragama selain Islam, harus didampingi oleh seorang yang relevan. Dalam menangani suatu perkara perdata pada tingkat pertama, Landraad akan mengadili gugatan yang mempunyai nilai sekurang-kurangnya f 50. Selanjutnya banding atas keputusan Landraad akan diupayakan ke Raad van Justitie (Koerniatmo, 1994: 103).

b. Rol Polisi

Rol polisi merupakan badan peradilan yang didirikan sejak tahun 1903 sebagai lembaga peradilan gubernemen. Rol polisi berwenang dalam menangani masalah pelanggaran kecil yang dilakukan oleh kawula dalem maupun pihak gubernemen . Penanganan urusan sipil bagi rol polisi sebagai pelaksanaan sistem hukum Gubernemen. Rol polisi diketuai oleh seorang Asisten Residen dengan Rol polisi merupakan badan peradilan yang didirikan sejak tahun 1903 sebagai lembaga peradilan gubernemen. Rol polisi berwenang dalam menangani masalah pelanggaran kecil yang dilakukan oleh kawula dalem maupun pihak gubernemen . Penanganan urusan sipil bagi rol polisi sebagai pelaksanaan sistem hukum Gubernemen. Rol polisi diketuai oleh seorang Asisten Residen dengan

c. Raad Agama

Pengadilan ini adalah pengadilan agama yang merupakan hasil pengambilalihan peradilan oleh Gubernemen yang berwenang menangani masalah agama. Sebelum adanya pengambilalihan peradilan, urusan agama ditangani oleh pengadilan Surambi di ibu kota dan di luar ibu kota kasunanan yang menangani masalah warisan, cerai, dan pernikahan, namun setelah pengambilalihan peradilan tahun 1903, Surambi di luar ibu kota dihapuskan. Sebagai gantinya, Pemerintah Belanda mendirikan Raad Agama yang menangani urusan perkawinan, perceraian, dan warisan di luar ibu kota. Adapun yang menjadi hakim tunggal adalah seorang penghulu dibantu dua orang anggota. Kekuasaan Raad Agama hanya terbatas di luar ibu kota kasunanan sedangkan urusan agama di ibu kota kasunanan masih ditangani oleh pengadilan Surambi (Koerniatmo, 1994: 11).

d. Landsgerecht

Pengadilan ini berdiri pada tahun 1903 sebagai lembaga peradilan Gubernemen . Kewenangan dalam peradilan ini diperuntukkan bagi semua golongan baik penduduk pribumi maupun non pribumi. Sementara wilayah kekuasaan hukumnya ditetapkan oleh putusan Gubernur Jendral Belanda. Badan peradilan ini sebagai bandingan dalam pemutusan perkara dari pengadilan Landraad , apabila kawula Sunan melakukan pelanggaran besar dan tidak puas dengan hasil Landraad ibu kota, maka kawula dalem berhak naik banding ke pengadilan Landsgerecht ini. Adapun hakim yang mengadili dalam pengadilan ini adalah seorang hakim tunggal. Hakim dibantu seorang Griffir sebagai panitera dalam persidangan Landsgerecht. Pada prinsipnya, yang menjadi hakim dalam pengadilan ini adalah seorang ahli hukum. Kekuasaan mengadili Landsgerecht hanya perkara pidana saja tanpa memandang golongan penduduk. Pada tingkat pertama dan tertinggi, Landsgerecht mengadili semua pelanggaran dan kejahatan Pengadilan ini berdiri pada tahun 1903 sebagai lembaga peradilan Gubernemen . Kewenangan dalam peradilan ini diperuntukkan bagi semua golongan baik penduduk pribumi maupun non pribumi. Sementara wilayah kekuasaan hukumnya ditetapkan oleh putusan Gubernur Jendral Belanda. Badan peradilan ini sebagai bandingan dalam pemutusan perkara dari pengadilan Landraad , apabila kawula Sunan melakukan pelanggaran besar dan tidak puas dengan hasil Landraad ibu kota, maka kawula dalem berhak naik banding ke pengadilan Landsgerecht ini. Adapun hakim yang mengadili dalam pengadilan ini adalah seorang hakim tunggal. Hakim dibantu seorang Griffir sebagai panitera dalam persidangan Landsgerecht. Pada prinsipnya, yang menjadi hakim dalam pengadilan ini adalah seorang ahli hukum. Kekuasaan mengadili Landsgerecht hanya perkara pidana saja tanpa memandang golongan penduduk. Pada tingkat pertama dan tertinggi, Landsgerecht mengadili semua pelanggaran dan kejahatan

e. Districtsgerecht

Pengadilan ini merupakan pengadilan kawedanan atau distrik yang mempunyai wilayah hukum di daerah-daerah Kawedanan Surakarta. Adapun yang menjadi hakim tunggal adalah seorang wedana dengan dibantu oleh beberapa pegawai bawahan yang ditetapkan oleh Residen. Kekuasaan mengadili dalam pengadilan ini hanya terbatas pada wilayah daerah-daerah Keraton Kasunanan. Anggota dan susunan personilnya ditetapkan oleh Residen setelah berkonsultasi dengan bupati setempat. Districtsgerecht hanya mempunyai kekuasaan mengadili perkara antara perkara pribumi untuk perkara pidana pelanggaran diancam hukuman denda tiga gulden sedangkan untuk perkara perdata hanya mengadili gugatan senilai dua puluh gulden. Upaya revisi putusan hukuman Districtsgerecht dapat naik banding ke pengadilan Kabupaten atau Regentschapsgerecht setempat (Koerniatmo, 1994: 97).

f. Regentschapsgerecht

Pengadilan ini merupakan pengadilan Kabupaten yang menangani masalah pelanggaran besar dan kecil yang dilakukan oleh kawula dalem bertempat tinggal di luar ibu kota Surakarta. Pengadilan ini didirikan bersamaan dengan pengadilan Gubernemen pada tahun 1903 setelah pengambilalihan peradilan yang dilakukan Residen. Sistem pengadilan ini didasarkan pada hukum kolonial dan yang menjadi hakimnya adalah seorang patih dengan beberapa bawahannya yang diangkat oleh Residen. Kekuasaan mengadili pengadilan Regentschapsgerecht hanya pada pelanggaran yang dilakukan kawula dalem (rakyat) yang berada di luar ibu kota kasunanan dengan ketentuan banding putusan dari Districgerecht yang ada di lingkungan kabupaten setempat. Perkara yang ditangani pengadilan Regentschapsgerecht hanya gugatan yang bernilai f 50 dan upaya naik banding dari hasil putusan pengadilan ini dapat diupayakan ke Landraad setempat (Koerniatmo, 1994: 97).

Pengadilan ini merupakan pengadilan tinggi Pemerintah Hindia Belanda. Pengadilan ini sebagai bandingan seluruh putusan dari pengadilan di Keraton Kasunanan. Adapun hakim yang mengadili dalam pengadilan ini berupa sebuah majelis yang terdiri atas seorang ketua yang dijabat oleh seorang ahli hukum dengan dua orang anggota kemudian ditambah dengan seorang panitera. Raad van Justitie pada hakikatnya merupakan pengadilan umum bagi orang Eropa, namun untuk semua perkara Raad van Justitie juga mengadili semua golongan penduduk. Perkara perdata meliputi temuan barang di pantai dan di laut sedangkan perkara pidana yang ditangani menyangkut masalah perdagangan budak, kejahatan, pembunuhan, dan pembajakan. Raad van Justitie merupakan pengadilan bandingan bagi semua putusan hukuman pengadilan di kasunanan apabila keluarga raja dan kawula Sunan tidak puas dengan putusan pengadilan di Keraton Kasunanan terutama bandingan dari Landraad ibu kota. Raad van Justitie juga sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir untuk menyelesaikan sengketa kekuasaan peradilan Swapraja dengan pengadilan Gubernemen. Putusan banding yang ditangani akan diselesaikan Raad van Justitie di Semarang (Koerniatmo, 1994: 108).