19 Demand Pull Inflation Sumber : Boediono, 1994 : 163

Gambar 2.19 Demand Pull Inflation Sumber : Boediono, 1994 : 163

Gambar 2.19 menunjukkan bahwa pada awalnya demand pull inflation bermula dari harga P 1 dan output Q 1, kemudian terjadi kenaikan permintaan total dari AD 1 menjadi AD 2 . Kenaikan permintaan tersebut tidak dapat dipenuhi seluruhnya, sehingga terjadilah kenaikan harga dari P 1 menjadi P 2 dan output juga mengalami kenaikan dari Q 1 menjadi Q FE . Kenaikan tersebut berlangsung terus dari AD 2 ke AD 3 sehingga harga juga turut naik dari P 2 ke P 3 . Sedangkan total output tetap pada posisi Q FE . Kenaikan Gambar 2.19 menunjukkan bahwa pada awalnya demand pull inflation bermula dari harga P 1 dan output Q 1, kemudian terjadi kenaikan permintaan total dari AD 1 menjadi AD 2 . Kenaikan permintaan tersebut tidak dapat dipenuhi seluruhnya, sehingga terjadilah kenaikan harga dari P 1 menjadi P 2 dan output juga mengalami kenaikan dari Q 1 menjadi Q FE . Kenaikan tersebut berlangsung terus dari AD 2 ke AD 3 sehingga harga juga turut naik dari P 2 ke P 3 . Sedangkan total output tetap pada posisi Q FE . Kenaikan

b) Cost Push Inflation Tingkat penawaran lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat permintaan pada kondisi cost push inflation,. Hal ini terjadi karena adanya kenaikan harga faktor produksi sehingga produsen terpaksa mengurangi kapasitas produksinya sampai pada jumlah tertentu. Penawaran total (aggregate supply) terus menurun karena semakin mahalnya biaya produksi. Apabila keadaan ini berlangsung terus menerus, maka akan mengakibatkan inflasi yang disertai dengan resesi.

Kenaikan biaya produksi yang menimbulkan cost push inflation didorong oleh beberapa faktor, antara lain:

1) Adanya tuntutan kenaikan upah dari para pekerja yang biasanya dikoordinir oleh organisasi serikat buruh atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

2) Adanya industri yang monopolis, yang memberikan kekuatan pada pengusaha (produsen) untuk menguasai pasar dan selanjutnya menaikkan harga lebih tinggi. Hal tersebut mengakibatkan harga- harga faktor produksi yang digunakan untuk industri mengalami kenaikan.

3) Kenaikan bahan baku industri, seperti yang terjadi pada tahun 1972 – 1973. Pada saat itu negara-negara Arab produsen minyak 3) Kenaikan bahan baku industri, seperti yang terjadi pada tahun 1972 – 1973. Pada saat itu negara-negara Arab produsen minyak

4) Adanya kebijakan pemerintah, baik yang bersifat ekonomi maupun non-ekonomi yang dapat memicu kenaikan harga-harga, seperti kenaikan tarif angkutan umum, kenaikan tarif listrik, kenaikan gaji pegawai negeri, dan kenaikan anggaran belanja negara yang dibiayai dengan pencetakan uang baru (money creation).

5) Pemerintah terlalu berambisi untuk menguasai sumber-sumber ekonomi dalam jumlah besar yang seharusnya dapat diserahkan kepada pihak swasta. Pemerintah sebaiknya lebih banyak melibatkan kalangan swasta agar tidak terlalu membebani anggaran belanja negara yang selanjutnya mempertajam deficit neraca pembayaran.

6) Adanya efek psikologis di kalangan masyarakat, seperti isu devaluasi yang menyebabkan permintaan masyarakat terhadap produk barang melonjak drastis.

7) Pengaruh inflasi dari luar negeri, terutama bagi negara-negara yang menganut sistem ekonomi terbuka atau pasar bebas. Meningkatnya harga barang-barang impor dan komponen-komponen atau bahan baku industri yang belum dapat diproduksi di dalam negeri.

8) Pengaruh alam yang dapat menurunkan produksi dan menaikkan harga, seperti musim kemarau panjang yang mengakibatkan gagalnya panen, bencana alam, dan lain-lain.

dan harga produksi serta penurunan jumlah produksi total secara terus menerus, akibatnya terjadilah cost push inflation. Kenaikan biaya

produksi akan menggeser kurva penawaran total AS 1 menjadi AS 2 . Dampaknya harga produksi juga mengalami kenaikan dari P 1 menjadi P 2 dan produksi total turun dari Q FE menjadi Q 1 . Kenaikan harga yang terus berlanjut tersebut akan menggeser kurva AS 2 menjadi AS 3 , sedang harga mengalami kenaikan dari P 2 menjadi P 3 . Kondisi demikian disebut cost push inflation.

Gambar 2.20 Cost Push Inflation Sumber : Boediono, 1994:163

c) Struktur Ekonomi

Melalui pendekatan struktur ekonomi, terjadinya inflasi disebabkan oleh tidak seimbangnya struktur ekonomi. Untuk itu melalui pendekatan ini, inflasi akan dapat ditanggulangi dengan melakukan pembenahan (penataan) pada semua sektor ekonomi. Langkah-langkah yang dapat dilakukan pemerintah misalnya Melalui pendekatan struktur ekonomi, terjadinya inflasi disebabkan oleh tidak seimbangnya struktur ekonomi. Untuk itu melalui pendekatan ini, inflasi akan dapat ditanggulangi dengan melakukan pembenahan (penataan) pada semua sektor ekonomi. Langkah-langkah yang dapat dilakukan pemerintah misalnya

d) Pendekatan Moneter Uang sangat berperan penting dalam kehidupan manusia, karena uang berfungsi sebagai alat tukar menukar, sebagai satuan pengukur nilai, dan sebagai alat akumulasi kekayaan.

Sebagai alat tukar menukar, uang memiliki 2 (dua) perbedaan dalam hal keputusan, yaitu keputusan membeli dan keputusan menjual, sehingga tidak diperlukan adanya kesamaan keinginan sebelum melakukan tukar menukar (transaksi) sebagaimana yang terjadi dalam sistem barter. Berdasarkan pada ketiga fungsi uang tersebut di atas, terdapat 3 (tiga) macam pengertian mengenai uang ditinjau dari sudut likuiditasnya, yaitu: 1)

M 1 adalah uang yang terdiri dari uang kertas, uang logam, dan simpanan dalam bentuk rekening koran (demand deposit ).

kategori M 1 , tabungan dan deposito berjangka (time deposit) yang

terdapat pada bank umum.

3) M 3 adalah uang yang terdiri dari uang yang termasuk dalam kategori M 2 , tabungan dan deposito yang terdapat pada

lembaga-lembaga keuangan bukan bank. (2) Jenis-jenis Inflasi Sehubungan dengan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap inflasi, maka dapat dilakukan pengelompokan jenis-jenis inflasi berdasarkan sudut pandang sebagai berikut : (a)

Inflasi bedasarkan asal terjadinya Ditinjau dari asal terjadinya, maka inflasi dapat dibagi menjadi

2 (dua) jenis, yaitu :

1) Domestic Inflation Domestic inflation (inflasi domestik) adalah inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestik). Kenaikan harga disebabkan karena adanya kejutan (shock) dari dalam negeri, baik karena perilaku masyarakat maupun perilaku pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan – kebijakan yang secara psikologis berdampak inflator. Kenaikan harga terjadi secara absolute, akibatnya terjadi peningkatan angka laju inflasi.

2) Imported Inflation 2) Imported Inflation

(b)Inflasi berdasarkan intensitasnya Apabila ditinjau dari intensitasnya, dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :

1) Creeping Inflation Creeping inflation atau inflasi merayap adalah inflasi yang terjadi dengan laju pertumbuhan berlangsung lambat (merayap). Inflasi merayap terjadi karena kenaikan harga berlangsung secara perlahan-lahan. Inflasi jenis ini biasanya dialami oleh negara- negara yang sedang membangun atau negara-negara yang sedang berkembang, karena terjadinya melekat dengan pembangunan itu sendiri dan dinilai dapat mendorong pembangunan.

2) Galloping Inflation Galloping inflation adalah inflasi yang timbul sebagai akibat adanya kenaikan harga-harga umum yang berlangsung sangat cepat.

Inflasi jika ditinjau dari sudut bobotnya, dapat dibedakan menjadi 4 (empat) macam, yaitu :

1) Inflasi Ringan Inflasi ringan adalah inflasi dengan laju pertumbuhan yang berlangsung secara perlahan dan berada pada posisi satu digit atau dibawah 10% per tahun.

2) Inflasi Sedang Inflasi sedang (moderat) adalah inflasi dengan tingkat pertumbuhan berada diantara 10 – 30% per tahun atau melebihi dua digit dan sangat mengancam kestabilan ekonomi suatu negera.

3) Inflasi Berat Inflasi berat merupakan inflasi dengan laju pertumbuhan berada diantara 30 – 100% per tahun. Pada kondisi demikian, sektor-sektor produksi hampir lumpuh total kecuali yang dikuasai oleh negara.

4) Inflasi Sangat Berat Inflasi sangat berat atau hyper inflation adalah inflasi dengan laju pertumbuhan melampaui 100% per tahun., sebagaimana yang terjadi dimasa perang dunia II (1939-1945).

Peneliti, Judul

Variabel

Alat analisis

Hasil

tahun

m. Natsir Peranan Jalur

Peranan jalur suku bunga dalam MTKM di Indonesia efektif Suku Bunga

Suku

bunga Uji

SBI, suku bunga Stasioneritas, mewujudkan sasaran akhir kebijakan moneter di Indonesia periode dalam Mekanisme PUAB,

1990:2-2007:1. Melalui jalur ini dibutuhkan time lag sekitar 10 Transmisi

suku Uji

triwulan atau dua tahun enam bulan hingga terwujudnya sasaran Kebijakan

bunga Deposito, Kausalitas

suku

bunga Granger, Uji akhir kebijakan moneter.

Moneter di

ouput Kointegrasi: Respons variabel-variabel pada jalur ini terhadap shock rSBI Indonesia

kredit,

gap, inflasi

Johansen,

relatif kuat dan variabel utama jalur ini yaitu rPUAB mampu

Penentuan

menjelaskan variasi sasaran akhir kebijakan moneter secara Lag Optimal, signifikan yakni sebesar 63,11%. Hasil ini sekaligus menunjukkan VAR

bahwa rPUAB berfungsi secara efektif sebagai sasaran operasional

kebijakan moneter di Indonesia.

Sri

Analisis PMA,

tingkat VAR, Uji

Hasil pengujian dengan analisis dekomposisi varian dengan basis

Muwarni

kebijakan bunga, Inflasi, Stasioneritas, VAR menunjukkan

moneter Nilai tukar,

Uji Lag

bahwa inflasi paling berperan dalam menjelaskan fluktuasi PMA

kaitannya dengan Optimal,

di Indonesia

penanaman modal dibandingkan tingkat bunga dan nilai tukar. Berdasarkan analisis penanaman modal dibandingkan tingkat bunga dan nilai tukar. Berdasarkan analisis

Doni Satria Perilaku Resiko

Variabel persepsi risiko pelaku ekonomi dan tingkat risiko di 2011

Kredit investasi, ECM

dalam Mekanisme modal kerja dan sektor perbankan saat berinteraksi dengan stance kebijakan Transmisi

moneter menyebabkan pembalikan arah dampak kebijakan Kebijakan

konsumsi. GDP.

moneter yang longgar. Stance kebijakan moneter yang longgar Moneter di

Indeks persepsi

dapat merupakan sinyal bagi pelaku ekonomi di sektor perbankan Indonesia

resiko pelaku di

sektor

sebagai kondisi perekonomian sedang menuju perkembangan yang

perbankan.

kurang baik.

Tingkat resiko sektor perbankan.

Ukuran stance

kebijakan

moneter (Ketat

dan Longgar).

of Monetary

dalam perekonomian Indoensia, termasuk mekanisme transmisi Policy in

beredar, Suku

VECM

kebijakan moneter. Sebelum krisis perekonomian Indonesia berada Indonesia

bunga SBI, Nilai

tukar, Inflasi,

dalam periode “boom” dengan investasi asing yang masuk. Dari

suku bunga

hal ini mekanisme suku bunga bekerja dengan sangat baik dalam

PUAB

mekanisme kebijakan transmisi terhadap deposito dan suku bunga pinjaman. Setelah krisis perekonomian beralih ke sistem nilai tukar mengambang terkendali. Nilai tukar menjadi jelas dalam dampak terhadap ekonomi riil dan tingkat harga.

Muhammad Analisis Fluktuasi Industrial

Berdasarkan hasil analisis impuls respon dapat disimpulkan bahwa Ilham

VAR

depresiasi dari guncangan nilai tukar rupiah akan direspon dengan Riyadh

Nilai Tukar

Production

meningkatnya jumlah uang beredar, kenaikan tingkat harga, 2007

Rupiah dan

Index, Uang

Inflasi Indonesia

beredar, tingkat

penurunan industrial production index.

periode 1999- suku bunga SBI,

Hasil forecast error variance decomposition menunjukkan bahwa

2006 nilai tukar,

nilai tukar rupiah (DLER) secara dominan ditentukan oleh shock

inflasi.

terhadap dirinya sendiri, yaitu mencapai sebesar 95.49 persen.

Inflasi juga secara dominan ditentukan oleh shock terhadap dirinya

sendiri, yaitu sebesar 75.15 persen, diikuti dengan Sukubunga SBI

memberikan kontribusi sebesar 9.88 persen. Hal ini memberikan kontribusi sebesar 9.88 persen. Hal ini

M. Natsir Analisis Empiris

Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar Efektivitas

Inflasi, Kurs,

VAR

membutuhkan time lag atau kecepatan sekitar 16 triwulan hingga Mekanisme

Capital inflow,

terwujudnya sasaran akhir kebijakan moneter (inflasi). Respons Transmisi

Output gap,

variabel-variabel pada jalur nilai tukar terhadap perubahan Kebijakan

Partisan suku

instrumen moneter (Suku Bunga SBI) relatif lemah dan variabel Moneter di

bunga, suku

utama jalur ini yaitu nilai tukar/kurs hanya mampu menjelaskan Indonesia melalui

bunga SBI

variasi inflasi sebesar 19,70% lebih kecil dibandingkan dengan Jalur Nilai Tukar.

porsi yang dapat dijelaskan oleh Paritas Suku Bunga (PSB) yakni sebesar 43,27%. Hasil ini menunjukkan Granger causality dan

predictive power yang lemah antara Kurs dan Inflasi.

Wijoyo

Pengendalian Ekses reserve,

VAR

Pengujian empiris dengan menggunakan vector autoregression dan

Santoso

Moneter dalam PUAB, SBI,

Granger causality test versi Hsiao menunjukkan bahwa kebijakan

Sistem Nilai Nilai tukar,

moneter dengan inflation targeting dapat digunakan di Indonesia

Tukar yang

khususnya setelah era sistem nilai tukar fleksibel. Pengendalian Fleksibel

Deposito, CPI,

PDB, REER

moneter dalam kerangka inflation targeting dapat dilakukan moneter dalam kerangka inflation targeting dapat dilakukan

Lukman The Effect of

Monetary Condition Index (MCI) digunkan untuk menghitung Hakim

Ekspor, GDP,

VECM

saluran utama dalam mekanisme transmisi moneter. Secara umum, 2008

Optimal

Populasi,Jarak

Monetary

Indonesia dan Thailand mempunyai pola yang sama dalam Transmission and Land Border,

Antar Negara,

mekanisme transmisi dengan tingkat suku bunga lebih kuat dari Financial Market MCI, FCI,

pada saluran nilai tukar. Sementara Malaysia, Filipina dan Performance on

Singapura mengindikasikan effek dari saluran nilai tukar lebih ASEAN-5

Bahasa,

kuat dari pada saluran suku bunga.

Economic Financial Condition Index (FCI) adalah indikator dari performa Integration

sektor keuangan atau performa pasar keuangan. FCI digunakan

untuk menghitung tingkat suku bunga, nilai tukar, kredit, dan

stock price. Berdasarkan perhitungan FCI, dapat dilihat pola

transmisi moneter dari negara-negara ASEAN-5. Secara umum

Thailand, Indonesia, dan Malaysian mempunyai pola yang sama

dalam mekanisme transmisi moneter dengan saluran nilai tukar

lebih dominan dari saluran mekanisme transmisi yang lain.

saluran yang lain, dan Singapura lebih didominasi saluran kredit dan stock. Model gravitasi digunakan untuk mengeksplorasi hubungan antara perdagangan internasional dan kemungkinan integrasi ekonomi. Dalam penelitian ini digunakan untuk variabel ekspor dari asal negara ke negara tujuan, produk domestik bruto (PDB), domestik bruto produk per kapita (PDB / kapita), jarak, variabel dummy terdiri dari bahasa umum (C), perbatasan darat (L), indeks kondisi moneter (MCI), indeks kondisi keuangan (FCI). Dalam umum menunjukkan bahwa transmisi moneter yang optimal dan kinerja pasar keuangan telah mendukung kemungkinan ASEAN-5 integrasi ekonomi, tetapi tanda yang optimal transmisi moneter

adalah negatif dan positif bagi kinerja pasar keuangan.

Lukman

Kebijakan Kebijakan

VAR

kebijakan moneter memang berpengaruh terhadap volatilitas

Hakim

Moneter Moneter (LM2),

harga-harga aset. Karena studi ini membandingkan tiga periode

Ekspansif dan Volatilitas pasar

maka pada setiap periode terdapat perbedaan pengaruh terbesar

Volatilitas Harga- uang

kebijakan moneter terhadap harga-harga aset. Dengan

Harga Aset (LSDSPUAB),

menggunakan metode variance decomposition, pada periode menggunakan metode variance decomposition, pada periode

kuat berpengaruh terhadap volatilitas pasar valuta asing (LSDEXR), kemudian volatilitas pasar uang (LSDSPUAB) dan terakhir volatilitas pasar modal (LSDIHSG). Pada periode 1993.4- 1997.2 kebijakan moneter (LM2) paling kuat berpengaruh terhadap volatilitas pasar uang (LSDSPUAB), pasar modal (LSDIHSG), dan terakhir pasar valuta asing (LSDEXR). Pada periode 1997.3-2001.4, kebijakan moneter (LM2) paling kuat berpengaruh terhadap volatilitas pasar modal (LSDIHSG), volatilitas nilai tukar (LSDEXR), dan terakhir volatilitas pasar uang (LSDSPUAB). Dengan menggunakan metode impulse response terlihat bahwa selama periode 1990.1-1993.3 ini, pengaruh kebijakan moneter terhadap volatilitas pasar modal paling kuat dibandingkan dengan pasar uang dan pasar modal. Sementara itu, pada periode 1993.4- 1997.2, pengaruh kebijakan moneter terhadap volatilitas pasar valas dan pasar uang jauh lebih besar dari pada terhadap pasar modal. Sementara pada periode krisis 1997.3-2001.4, pengaruh kebijakan moneter terhadap volatilitas harga uang dan modal jauh

Lukman Perbandingan

Dalam jangka panjang (1990.1-1999.3) dan jangka pendek Hakim

Volume kredit

VAR

(1997.1-1999.3) dengan menggunakan metode VAR ditemukan 2001

Peranan Jalur

riil, Suku Bunga Uji

bahwa jalur kredit lebih berperan dibandingkan dengan jalur Tingkat Suku

Kredit dan Jalur

Call (PUAB),

Kausalitas

tingkat suku bunga. Khusus pada perspektif jangka pendek atau Bunga Pada

GDP Riil,

pada masa krisis, peranan jalur kredit terbukti lebih sesuai dengan Mekanisme

Indeks Harga,

kenyataan, karena adanya fenomena “kegentingan kredit”. Oleh Transmisi

karena itu, studi ini merekomendasikan agar Bank Indonesia Kebijakan

mempertimbangkan jalur kredit digunakan sebagai jalur utama Moneter 1990-

pada mekanisme transmisi kebijakan moneter. 1999. Lukman

1) Bahwa dengan menggunakan metode simultan TSLS Hakim

Penerapan

Suku bunga

PUAB, Suku

Unit,

Uji

ditemukan hubungan antara variabel yang diestimasi.

Inflasi dalam bunga SBI,

Derajat

Sebelum menggunakan TSLS, terlebih dahulu dilakukan

Mekanisme Suku bunga

Integerasi,

pengujian data stasioneritas yang ternyata semua lolos pada

Transmisi Deposito, GDP

Uji

data derivatif pertama.

Kebijakan Riil, Nilai tukar, Identifikasi,

2) Bahwa hasil pengolahan data menunjukkan bahwa

Moneter 1990.1-

instrumen Bank Indonesia baik suku bunga SBI dan uang 2004.4

Jumlah uang

Uji Statistik,

beredar(M0,M2)

kartal (M0) berpengaruh secara signifikan terhadap suku

Government

3) Bahwa suku bunga PUAB merupakan layak ditempatkan

Expendicture,

sebagai sasaran operasional dari mekanisme transmisi

Cadangan

kebijakan moneter di Indonesia. Suku bunga PUAB akan

devisa

berpengaruh kuat terhadap sasaran antara seperti suku bunga deposito, nilai tukar rupiah dan uang luas (M2).

4) Bahwa uang luas akan juga berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah, sedangkan nilai tukar rupiah akan berpengaruh terhadap suku bunga deposito. Terakhir suku bunga deposito akan berpengaruh terhadap sasaran akhir yakni inflasi.

5) Bahwa kebijakan fiskal tidak berpengaruh dalam model mekanisme transmisi kebijakan moneter ini.

6) Bahwa model pentargetan inflasi yang sedang

dilaksanakan oleh Bank Indonesia dewasa ini perlu

diteruskan.

Heiko

Monetary Policy, Real Money

VAR

Secara khusus jika kebijakan moneter Thailand secara potensial

Hesse

Uji Integrasi, tidak dapat bergerak dalam periose sebelum krisis dengan rezim 2007

Structural Break (M1),

and The Manufacturing

tingkat nilai tukar dan liberalisasi keuangan atas perekonomian

Transmission Mechanism in Thailand

Index (MPI), CPI (Thailand), Nilai Tukar, CPI(USA), Bank Lending, PPP Relation(CPI Thailand-CPI USA – Nilai Tukar

mekanisme transmisi kebijakan moneter di Thailand tidak memperhitungkan fakta ini dan membuat asumsi atas kebijakan moneter dari stace Bank sentral Thailand pada periode ini. Sebagai contoh, Patrawimolpon et al. (2001) mengasumsikan bahwa bank sentral baiak target money supply atau tingkat suku bunga dalam model sebelum krisis. Seperti asumsi yang tidak sah karena mereka bertentangan dengan pendapat Mundell-Fleming tentang ketidakkonsisten dari trinity kebijakan moneter independent, rezim nilai tukar tetap dan open capital account. Analogi argumen diatas, tidak termasuk sebuah fungsi kebijakan tingkat suku bunga. Kedua vektor kointegrasi dalam model pra-krisis sesuai dengan penyesuaian persamaan inflasi dan IS-jenis persamaan. Demikian pula untuk Bhanthumnavin (2002), kita tidak dapat memasukan kurva hubungan Phillips. Inflasi tampaknya terutama merupakan fenomena moneter dan positif berhubungan dengan perputaran kebalikan dari uang.

Blinder Funds Rate and

bahkan untuk periode setelah 1979. Fund rate kemungkinan kecil the Channels of

beredar, kredit,

terkontaminasi oleh respon endogenous yang sejaman dengan Monetary

pendapatan

kondisi ekonomi dari pada tingkat pertumbuhan uang. Transmission

Fakta tentang gaya yang terkenal yaitu tingkat suku bunga adalah peramal yang baik dari variabel-variabel riil yang dicatat untuk perlu untuk diperbaiki, federal fund rate adalah sebuah variabel informasi khusus. Dalam fakta, ditemukan jika federal fund rate mendominasi baik uang dan bill dan tingkat bond dalam peramalan variabel riil terlihat lebih kuat dari pada temuan yang sering dikutip oleh Sims (1980) dan Litterman dan Weiss (1985) dimana tingkat tagihan mendominasi uang.

Michael The Taylor Rule

Tingkat suku

VAR

Penggunaan output gap disarankan dalam the rule’s empirical fit

Woodford

and Optimal bunga, GDP riil

analisis Taylor yang mungkin cukup berbeda dari ukuran teoritis

Monetary Policy – Potensial

yang sebenarnya, sama dengan tingkat efisien output pasti

Output ( Output

dipengaruhi oleh berbagai ukuran yang nyata. Taylor rule

Gap), Jumlah

mengasumsikan intercept konstan, tetapi aturan yang diinginkan

tenaga kerja

seperti membutuhkan jika intercept disesuaikan dalam merespon

fluktuasi dalam Wicksellian tingkat suku bunga alami, dan ini

Formula klasik mengasumsikan tingkat suku bunga harus diatur pada ukuran variabel sasaran saja, tetapi optimal rule secara umum akan melibatkan komitmen untuk catatan tergantung pada perilaku: secara terpisah, penyesuaian bertahap dari level tingkat suku bunga dari yang disarankan oleh nilai tertentu dari sasaran variabel atau exsogenous yang ditentukan mempunyai keuntungan yang penting.

Clarida, The Science of

1) Menekankan pada trade off dalam output/inflasi yang sangat Gali,

Jumlah uang

VAR

Monetary Policy: beredar, nilai sensitif untuk derajat dan tekanan alami yang terjadi di dalam Gertler

A New Keynesian tukar tetap, inflasi. Sebagai konsekuensinya, demikian pula kecepatan di 1999

Perspective

Tingkat suku

mana kebijakan moneter harus mencoba untuk mencapai inflasi

bunga, output

yang optimal tingkat.

gap, Inflasi,

2) Berdasarkan analisis ini, terbatas untuk model ekonomi

GDP, Tenaga

tertutup. Keberadaan kerangka ekonomi terbuka adalah untuk

kerja,

mendukung pandangan baru tentang keinginan untuk aturan

kebijakan moneter alternatif, dan meningkatkan jumlah isu-isu

atas tingkat suku bunga yang luar biasa, termasuk: pilihan atas

rejim nilai tukar, keuntungan potensial dari koordinasi

(goncangan) yang berasal dari luar negeri, dan consumer price index versus domestic inflation targeting .

3) Berdasarkan keseluruhan analisis, diasumsikan jika batas bawah dari nol pada tingkat bunga nominal tidak kendala pada kinerja moneter kebijakan.

4) Sebuah isu yang lebih spesifik, tapi tetap salah satu yang penting, adalah memahami mengapa bunga bank sentral tingkat suku bunga (smooth) disesuaikan. Kebijakan yang optimal tersirat pada kerangka kerja makroekonomi yang ada sebagian besar menghasilkan jalan untuk kepentingan tingkat suku bunga yang jauh lebih tidak stabil daripada apa yang diamati dalam realitas. Kemungkinan sehingga muncul bahwa model

yang ada mungkin gagal untuk secara memadai

mengkarakterisasi kendala yang dihadapi pembuat kebijakan

dalam praktek.

Berdasarkan latar belakang dan landasan teori yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dibuat suatu kerangka pemikiran dengan skema sebagai berikut.

Dalam kerangka permikiran diatas menggunakan analisis model VAR dimana untuk bertujuan mencari interaksi yang terjadi dalam jalur suku bunga pada mekanisme transmisi kebijakan moneter. Dengan menggunakan variabel-variabel suku bunga SBI, suku bunga PUAB, jumlah uang beredar (M2), Output Gap, dan Inflasi akan digunakan untuk mencari pengaruh dalam jalur suku bunga terhadap output gap dan inflasi.

Suku Bunga SBI