Gambaran Umum Perekonomian Indonesia.

B. Gambaran Umum Perekonomian Indonesia.

1. Tahun 2000 Secara keseluruhan, selama tahun 2000 perekonomian Indonesia menunjukkan pemulihan ekonomi yang semakin kuat dengan pola pertumbuhan ekonomi yang semakin seimbang. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tahun 2000 mencapai 4,8%, lebih tinggi dari prakiraan awal tahun Bank Indonesia sebesar 3,0%–4,0%. Sejumlah kemajuan juga dicapai dalam proses penyelesaian utang luar negeri pemerintah, telah selesainya program rekapitalisasi perbankan,

Pemerintah dan Bank Indonesia. Namun demikian, kecepatan proses pemulihan ekonomi tersebut dibatasi dengan masih berlanjutnya beberapa permasalahan mendasar dalam perekonomian, terutama berkaitan dengan lambatnya restrukturisasi utang perusahaan, belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan, dan relatif terbatasnya stimulus fiskal bagi pertumbuhan ekonomi.

Di sisi penawaran, semua sektor dalam perekonomian mencatat pertumbuhan positif. Dengan dorongan permintaan baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, sektor industri pengolahan, sektor perdagangan dan sektor pengangkutan menjadi motor pertumbuhan dengan sumbangan terhadap pertumbuhan PDB masing masing sebesar 1,6%, 0,9%, dan 0,7%. Sektor industri pengolahan pada tahun 2000 mencatat pertumbuhan sebesar 6,2%, sementara sektor perdagangan serta sektor pengangkutan masing-masing meningkat sebesar 5,7% dan 9,4%.

Di sektor eksternal, kinerja neraca pembayaran pada tahun 2000 tetap menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Perkembangan transaksi berjalan sepanjang tahun 2000 bahkan mencatat surplus yang cukup besar yakni mencapai $7,7 miliar (5,0% dari PDB), atau meningkat $1,9 miliar dari tahun sebelumnya. Surplus dalam transaksi berjalan ini tidak hanya didorong oleh membaiknya neraca perdagangan migas, namun juga didorong oleh membaiknya kinerja ekspor nonmigas, khususnya dari sektor barang industri dengan komoditi utama barang elektronik serta sektor pertambangan dengan komoditi utama tembaga dan nikel (Laporan tahunan BI).

Perekonomian Indonesia dalam tahun 2001 mengalami perlambatan meskipun masih relatif lebih baik dari pertumbuhan yang dialami oleh negara- negara di kawasan ASEAN. Perlambatan kegiatan perekonomian tersebut tidak terlepas dari perkembangan kondisi di dalam dan luar negeri yang kurang menguntungkan. Dari dalam negeri, perlambatan ini terutama disebabkan oleh lambatnya restrukturisasi utang dan sektor korporasi, masih berlangsungnya konsolidasi internal perbankan, serta beratnya beban keuangan pemerintah. Sementara itu, masih tingginya risiko dan ketidakpastian sehubungan dengan meningkatnya ketegangan sosial dan politik, serta lemahnya penegakan hukum menyebabkan menurunnya kepercayaan dunia usaha untuk melakukan kegiatan produksi dan investasi yang pada akhirnya menghambat ekspansi ekonomi lebih lanjut. Dari luar negeri, perkembangan perekonomian dunia yang cenderung melambat sejak triwulan I-2001 dan kemudian menjadi lebih buruk pasca tragedi World Trade Centre (WTC) pada 11 September 2001 telah menyebabkan perekonomian negara-negara maju terganggu, diantaranya adalah negara-negara yang menjadi investor dan mitra dagang penting bagi Indonesia.

Hal ini menyebabkan sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan yang semula diharapkan akan berasal dari kegiatan investasi dan ekspor, dalam perkembangannya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pertumbuhan ekonomi pada tahun laporan sangat bertumpu pada pengeluaran konsumsi, baik untuk sektor rumah tangga maupun pemerintah. Sementara itu, dari sisi penawaran, hampir seluruh sektor ekonomi mencatat pertumbuhan yang positif meskipun Hal ini menyebabkan sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan yang semula diharapkan akan berasal dari kegiatan investasi dan ekspor, dalam perkembangannya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pertumbuhan ekonomi pada tahun laporan sangat bertumpu pada pengeluaran konsumsi, baik untuk sektor rumah tangga maupun pemerintah. Sementara itu, dari sisi penawaran, hampir seluruh sektor ekonomi mencatat pertumbuhan yang positif meskipun

Kegiatan ekonomi yang melambat tersebut pada gilirannya memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi kondisi ketenagakerjaan. Pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi tidak dapat diimbangi oleh penyediaan lapangan kerja secara memadai. Memburuknya kondisi ketenagakerjaan tersebut antara lain tercermin dari meningkatnya angka pengangguran, maraknya aksi pemogokan dan perselisihan buruh serta pemutusan hubungan kerja (Laporan Tahunan BI).

3. Tahun 2002 Bersamaan dengan membaiknya indikator makro moneter seperti inflasi, nilai tukar, dan suku bunga, perekonomian Indonesia sepanjang 2002 secara umum masih mengindikasikan proses pemulihan ekonomi. Produk Domestik Bruto (PDB) 2002 dengan harga berlaku mencapai Rp1.610,0 triliun. Sementara itu, pertumbuhan PDB 2002 dengan harga konstan mencapai 3,7%, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 3,4%. Dengan pertumbuhan tersebut, PDB 2002 dengan harga konstan baru mencapai Rp426,7 triliun, masih lebih rendah dari PDB 1997 senilai Rp433,2 triliun. Perkembangan ini menandakan perekonomian Indonesia belum sepenuhnya pulih dari krisis yang berlangsung sejak lima tahun silam.

permintaan konsumsi baik di sektor rumah tangga maupun di sektor pemerintah, sedangkan kegiatan investasi belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Dari sisi permintaan luar negeri, kinerja ekspor yang mengalami kontraksi tidak terlepas dari kondisi perekonomian dunia yang belum pulih, persaingan yang semakin ketat di pasar global, adanya hambatan ekspor seperti pengalihan perdagangan seiring dengan terbentuknya blok-blok perdagangan (trade diversion) dan proteksionisme, serta daya saing produk Indonesia di pasar global yang menurun.

Pada sisi penawaran, seluruh sektor ekonomi mengalami pertumbuhan positif. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor angkutan dan komunikasi, sektor listrik, gas dan air bersih, dan sektor keuangan. Sementara itu, sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan yang memiliki pangsa dominan dalam pembentukan PDB mengalami perlambatan. Namun melambatnya pertumbuhan kedua sektor tersebut masih dapat diimbangi oleh membaiknya kinerja sebagian besar sektor dalam pembentukan PDB, sehingga secara keseluruhan pertumbuhan PDB tetap meningkat. Pertumbuhan sektor industri pengolahan yang melemah dapat diimbangi oleh pasokan impor barang konsumsi sehingga kondisi penawaran masih dapat memenuhi pertumbuhan permintaan (Laporan tahunan BI).

4. Tahun 2003 Perekonomian Indonesia menunjukkan kinerja yang membaik dan lebih stabil selama 2003 sebagaimana tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang 4. Tahun 2003 Perekonomian Indonesia menunjukkan kinerja yang membaik dan lebih stabil selama 2003 sebagaimana tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang

Aktivitas perdagangan dunia yang masih lesu mengakibatkan pertumbuhan volume ekspor Indonesia, khususnya komoditas nonmigas, relatif rendah. Dalam periode yang sama, tingkat suku bunga yang sangat rendah dan prospek usaha yang masih terbatas di negara-negara maju telah mendorong kenaikan aliran modal ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Jenis modal asing yang masuk ke Indonesia lebih banyak berupa investasi portofolio daripada Penanaman Modal Asing (PMA). Namun, peningkatan investasi portofolio tersebut lebih kecil daripada kenaikan pembayaran utang luar negeri pemerintah dan swasta sehingga defisit lalu lintas modal mengalami sedikit kenaikan selama 2003. Dengan perkembangan tersebut, secara keseluruhan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) 2003 masih mencatat surplus yang cukup besar. Surplus NPI tersebut telah mendorong meningkatnya cadangan devisa di Bank Indonesia dalam jumlah sangat signifikan menjadi $36,2 miliar.1 Jumlah tersebut setara kebutuhan pembayaran impor dan kewajiban utang luar negeri pemerintah selama 7,1 bulan.

Penguatan rupiah menjadi salah satu faktor yang secara fundamental mendorong penurunan laju inflasi selama 2003. Laju inflasi IHK 2003 tercatat Penguatan rupiah menjadi salah satu faktor yang secara fundamental mendorong penurunan laju inflasi selama 2003. Laju inflasi IHK 2003 tercatat

Inflasi ke depan yang cenderung menurun telah memberikan peluang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga SBI yang kemudian mendorong perbankan untuk menurunkan suku bunga simpanan dan kredit. Sepanjang 2003, suku bunga SBI 1 dan 3 bulan masing-masing mengalami penurunan sebesar 462 bps dan 478 bps menjadi 8,31% dan 8,34%. Sejalan dengan itu rata-rata tertimbang suku bunga deposito 1 bulan mengalami penurunan sebesar 619 bps hingga mencapai 6,62% dan suku bunga deposito 3 bulan turun sebesar 649 bps menjadi 7,14%. Sementara itu, suku bunga kredit juga menurun meski dengan laju yang lebih lambat, yaitu hanya sekitar 100-300 bps. Penurunan berbagai suku bunga ini selanjutnya telah menciptakan iklim yang kondusif bagi sektor riil, baik terhadap kegiatan investasi maupun konsumsi (Laporan Tahunan BI).

5. Tahun 2004 Perekonomian Indonesian pada tahun 2004 secara umum menunjukan perbaikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi meningkat, inflasi IHK terkendali pada sasaran yang ditetapkan pada awal tahun, nilai tukar rupiah relatif stabil, dan suku bunga masih dalam kecenderungan menurun. Perkembangan tersebut didukung dengan kondisi perekonomian global 5. Tahun 2004 Perekonomian Indonesian pada tahun 2004 secara umum menunjukan perbaikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi meningkat, inflasi IHK terkendali pada sasaran yang ditetapkan pada awal tahun, nilai tukar rupiah relatif stabil, dan suku bunga masih dalam kecenderungan menurun. Perkembangan tersebut didukung dengan kondisi perekonomian global

Sepanjang tahun 2004 perkembangan nilai tukar rupiah secara umum bergerak relatif stabil, meskipun sempat mengalami tekanan depresiasi terutama pada pertengahan tahun. Permintaan valas yang meningkat sejalan dengan peningkatan kegiatan impor dan pembayaran utang luar negeri swasta secara umum dapat dipenuhi oleh pasokan valas yang berasal dari aliran masuk modal asing serta devisa hasil ekspor. Meskipun demikian nilai tukar rupiah sempat mengalami tekanan depresiasi khususnya pada akhir triwulan kedua tahun laporan. Secara rata-rata nilai tukar rupiah per dollar AS mencapai Rp8.940 atau melemah 3,9% dari tahun sebelumnya. Depresiasi tersebut terjadi akibat pembalikan aliran modal asing jangka pendek yang dipicu oleh penerapan kebijakan moneter ketat di AS. Mengingat dampak gejolak nilai tukar rupiah yang cukup besar terhadap kestabilan makroekonomi dan untuk meredam dampak negatif yang ditimbulkan oleh aliran modal jangka pendek yang mudah berbalik arah, pada pertengahan tahun Bank Indonesia mengeluarkan peket kebijakan stabilisasi rupiah. Pemberlakuan kebijakan tersebut telah berhasil menurunkan tingkat volatilitas nilai tukar rupiah selama paruh kedua 2004.

Inflasi yang diukur berdasarkan indeks harga konsumen (IHK) pada 2004 relatif terkendali dan berada pada sasaran yang ditetapkan Bank Indonesia pada kisaran 5,5% + 1,0%. Secara fundamental peningkatan permintaan domestik dapat diimbangi oleh memadainya pasokan barang sehingga menyebakan minimalnya tekanan harga. Sementara itu sejalan dengan terjaganya kesetabilan nilai tukar dan Inflasi yang diukur berdasarkan indeks harga konsumen (IHK) pada 2004 relatif terkendali dan berada pada sasaran yang ditetapkan Bank Indonesia pada kisaran 5,5% + 1,0%. Secara fundamental peningkatan permintaan domestik dapat diimbangi oleh memadainya pasokan barang sehingga menyebakan minimalnya tekanan harga. Sementara itu sejalan dengan terjaganya kesetabilan nilai tukar dan

6. Tahun 2005 Perekonomian Indonesia di 2005 tumbuh sebesar 5,6%, terutama ditopang oleh pertumbuhan permintaan domestik yang relatif tinggi di paro pertama 2005. Meskipun lebih tinggi dari pertumbuhan sebesar 5,1% pada 2004, laju pertumbuhan yang dicapai 2005 lebih rendah dari perkiraan di awal tahun dan cenderung melambat. Setelah mencapai 6,1% pada triwulan I-2005, pertumbuhan ekonomi terus menurun hingga menjadi 5,1% pada triwulan IV-2005. Perlambatan pertumbuhan terjadi terutama pada konsumsi dan investasi, sehingga pola ekspansi ekonomi yang sejak triwulan II-2004 telah didukung oleh kuatnya investasi menjadi lebih lemah sejak triwulan II-2005. Di sisi lain, melambatnya permintaan domestik pada paro kedua 2005 juga telah mendorong menurunnya impor, terutama impor bahan baku dan barang modal, sehingga memperbaiki kontribusi sektor eksternal terhadap pertumbuhan ekonomi.

Inflasi IHK di 2005 mengalami peningkatan tinggi mencapai 17,1% terutama sejak kenaikan harga BBM bulan Oktober 2005. Kenaikan inflasi IHK yang sangat tajam terutama didorong oleh kenaikan harga BBM dan kenaikan harga yang diatur Pemerintah (administered prices) lainnya, khususnya tarif

dan kelangkaan BBM telah pula menyebabkan kenaikan harga yang tinggi pada kelompok bahan makanan yang bersifat fluktuatif (volatile foods) akibat kelangkaan pasokan dan gangguan distribusi di berbagai daerah. Kenaikan ekspektasi inflasi dan pelemahan nilai tukar rupiah telah menyebabkan pula kenaikan pada inflasi inti, sementara tekanan inflasi inti yang bersumber dari kesenjangan output relatif belum begitu besar. Dengan perkembangan tersebut, inflasi IHK jauh lebih tinggi dari target yang ditetapkan Pemerintah, yaitu 6% ± 1% untuk 2005. Tekanan berbagai faktor yang mempengaruhi inflasi di 2005 diprakirakan masih akan berlanjut di 2006 karena pengusaha belum sepenuhnya menyesuaikan harga barang di 2005 meskipun ongkos produksi cenderung meningkat.

Perkembangan inflasi inti yang cukup tinggi di 2005, yaitu mencapai 9,7%, terutama disebabkan oleh tingginya ekspektasi inflasi dan depresiasi nilai tukar. Kecenderungan peningkatan ekspektasi inflasi masyarakat telah terlihat sejak triwulan I-2005 berkaitan dengan rencana Pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM di dalam negeri dengan harga minyak dunia serta perkembangan nilai tukar yang cenderung melemah. Namun demikian, tekanan dari pass-through nilai tukar tersebut relatif minimal terkait dengan kecenderungan pengusaha untuk menahan kenaikan harga barang seiring dengan daya beli masyarakat yang masih lemah. Besarnya tekanan kenaikan harga BBM antara lain tercermin dari perkembangan inflasi core traded yang relatif stabil meskipun terjadi lonjakan inflasi yang signifikan pada kelompok traded pada akhir 2005. Sementara itu, Perkembangan inflasi inti yang cukup tinggi di 2005, yaitu mencapai 9,7%, terutama disebabkan oleh tingginya ekspektasi inflasi dan depresiasi nilai tukar. Kecenderungan peningkatan ekspektasi inflasi masyarakat telah terlihat sejak triwulan I-2005 berkaitan dengan rencana Pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM di dalam negeri dengan harga minyak dunia serta perkembangan nilai tukar yang cenderung melemah. Namun demikian, tekanan dari pass-through nilai tukar tersebut relatif minimal terkait dengan kecenderungan pengusaha untuk menahan kenaikan harga barang seiring dengan daya beli masyarakat yang masih lemah. Besarnya tekanan kenaikan harga BBM antara lain tercermin dari perkembangan inflasi core traded yang relatif stabil meskipun terjadi lonjakan inflasi yang signifikan pada kelompok traded pada akhir 2005. Sementara itu,

7. Tahun 2006 Pertumbuhan ekonomi pada 2006 masih dalam tren membaik, meskipun daya beli masyarakat menurun pascakenaikan harga BBM di Oktober 2005. Dalam periode pelaku ekonomi masih melakukan penyesuaian terhadap dampak kenaikan harga BBM tersebut, perekonomian pada 2006 masih tumbuh 5,5% atau hanya sedikit menurun dibandingkan pertumbuhan pada 2005 sebesar 5,7%. Kinerja perekonomian tersebut banyak dipengaruhi peran kuat stimulus fiskal dan dampak positif peningkatan harga komoditas primer dunia. Stimulus fiskal memberikan dampak pengganda dalam menahan pelambatan pertumbuhan konsumsi swasta. Stimulus fiskal ini lebih jauh juga cukup berperan menopang pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan mengingat peran investasi swasta menurun dibandingkan 2005. Sementara itu, masih tingginya harga komoditas primer di pasar dunia berdampak positif terhadap kinerja ekspor yang tetap kuat selama 2006, meskipun melambat dibandingkan pertumbuhan pada 2005. Peran kedua faktor tersebut dalam perkembangannya mampu mendorong percepatan pemulihan ekonomi yang mulai terjadi sejak paro kedua 2006.

Selama 2006 Pemerintah membuat berbagai kebijakan untuk meningkatkan kapasitas perekonomian, namun diperkirakan baru dapat

di bidang industri dan perdagangan, infrastruktur dan iklim investasi telah digulirkan, meskipun belum sepenuhnya dapat diimplementasikan sesuai rencana. Di bidang industri dan perdagangan, berbagai kebijakan yang telah dilaksanakan antara lain berupa harmonisasi tarif untuk mengurangi distorsi tata niaga, pencabutan tarif multiguna listrik, dan peraturan di bidang perizinan perdagangan. Di bidang iklim investasi dan infrastruktur, Pemerintah menerbitkan Inpres No. 3 tahun 2006 yang antara lain mencakup bidang umum, perpajakan, kepabeanan, ketenagakerjaan, dan UMKM. Beberapa implementasi kebijakan tersebut antara lain mencakup percepatan pengurusan dokumen impor, pengurusan ijin usaha, dan penanganan pengembalian pajak. Sementara itu, berbagai peraturan di bidang pengembangan infrastruktur telah dikeluarkan seperti kebijakan strategis lintas sektoral serta transaksi proyek pembangunan infrastruktur (Laporan tahunan BI).

8. Tahun 2007 Tahun 2007 diawali dengan tingginya optimisme masyarakat terhadap prospek ekonomi ke depan. Memasuki tahun itu, perekonomian Indonesia meraih kembali stabilitas makroekonomi pascagejolak harga minyak pada akhir tahun 2005 yang dampaknya terasa hingga pertengahan tahun 2006. Optimisme itu dilandasi oleh meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan kebijakan makroekonomi yang didukung oleh keselarasan arah kebijakan moneter yang konsisten terhadap pencapaian sasaran inflasi dan kebijakan fiskal yang berkomitmen kuat terhadap terjaganya kesinambungan fiskal. Seiring dengan

internasional terhadap perekonomian Indonesia menguat. Dalam perjalanannya, pada paruh kedua tahun 2007 perekonomian Indonesia kembali menghadapi tantangan yang datang dari perekonomian global, termasuk rambatan krisis subprime mortgage di AS, serta tingginya harga minyak dan komoditas internasional lainnya. Perkembangan harga minyak dunia yang membubung mendekati $100 per barel1 mendorong tingginya permintaan valas untuk kegiatan impor dan memperberat beban fiskal, terutama untuk menutup kebutuhan subsidi BBM yang membengkak. Rambatan krisis subprime mortgage menimbulkan kecemasan yang meluas terhadap perlambatan laju pertumbuhan ekonomi dunia dan mendorong investor global untuk menghindari aset yang dipandang berisiko tinggi (flight to quality), terutama aset-aset dari negara emerging markets termasuk Indonesia. Perkembangan tersebut juga memicu pembalikan arus investasi portofolio asing (capital reversal) di pasar keuangan domestik terutama di pasar SBI, SUN, dan pasar modal.

Perkembangan nilai tukar yang relatif stabil mendukung perkembangan inflasi IHK menjadi relatif stabil dan berada pada kisaran sasaran yang ditetapkan. Di samping itu, stabilitas perkembangan IHK juga ditopang oleh menurunnya inflasi komoditas makanan yang bergejolak (volatile foods) dan rendahnya inflasi komoditas yang harganya diatur pemerintah (administered prices). Keberhasilan pencapaian inflasi tersebut tidak terlepas dari dukungan Pemerintah dalam mengendalikan faktor-faktor yang memengaruhi inflasi, terutama yang bersumber dari kenaikan harga-harga komoditas dunia, termasuk harga komoditas nonmigas.

tidak mengubah administered prices komoditas strategis (Bahan Bakar Minyak atau BBM dan Tarif Dasar Listrik atau TDL). Kredibilitas kebijakan yang semakin membaik berpengaruh positif terhadap ekspektasi inflasi masyarakat yang pada gilirannya dapat memfasilitasi pencapaian sasaran inflasi yang ditetapkan (Laporan tahunan BI).

9. Tahun 2008 Pada tahun 2008, kondisi perekonomian Indonesia kembali diwarnai oleh perkembangan yang sangat dinamis dan penuh tantangan akibat gejolak perekonomian dunia yang relatif drastis perubahannya. Meskipun tumbuh tinggi sampai dengan triwulan III-2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara drastis melambat pada triwulan IV-2008 seiring dengan perlambatan ekonomi dunia yang semakin dalam. Perlambatan pertumbuhan terjadi pada seluruh komponen permintaan agregat, terutama ekspor yang anjlok secara tajam seiring dengan turunnya harga komoditas dan pertumbuhan negara mitra dagang.

Perlambatan ekonomi dunia yang tajam dan krisis keuangan global belum ada indikasi kuat akan mereda dalam waktu dekat. Meluasnya imbas permasalahan sektor perumahan di Amerika Serikat (AS) dan upaya penyelamatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan Bank Sentral terhadap beberapa lembaga pembiayaan masih direspon secara negatif oleh pasar sehingga menimbulkan intensitas gejolak yang semakin tinggi di pasar keuangan global. Ketidakstabilan di pasar keuangan ini selanjutnya memicu sentimen negatif yang menyurutkan risk appetite investor sehingga memunculkan tren perubahan komposisi portofolio Perlambatan ekonomi dunia yang tajam dan krisis keuangan global belum ada indikasi kuat akan mereda dalam waktu dekat. Meluasnya imbas permasalahan sektor perumahan di Amerika Serikat (AS) dan upaya penyelamatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan Bank Sentral terhadap beberapa lembaga pembiayaan masih direspon secara negatif oleh pasar sehingga menimbulkan intensitas gejolak yang semakin tinggi di pasar keuangan global. Ketidakstabilan di pasar keuangan ini selanjutnya memicu sentimen negatif yang menyurutkan risk appetite investor sehingga memunculkan tren perubahan komposisi portofolio

Dampak krisis global juga tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah yang ditandai oleh tekanan depresiasi yang tinggi dan volatilitas yang meningkat, terutama sejak Oktober 2008. Selama semester I-2008, surplus neraca transaksi berjalan dan respons kebijakan ekonomi makro yang prudent mampu meredam tekanan yang ditimbulkan oleh gejolak eksternal. Namun sejak triwulan III-2008, imbas krisis pasar keuangan global semakin kuat seiring dengan jatuhnya berbagai lembaga keuangan besar di AS serta proses deleveraging di pasar keuangan global. Meningkatnya risiko secara global memicu pelepasan investasi portofolio asing di pasar keuangan domestik. Di pihak lain, neraca transaksi berjalan mulai tertekan akibat jatuhnya harga komoditas dan merosotnya kegiatan ekonomi mitra dagang. Perkembangan tersebut menyebabkan rupiah tertekan hingga sempat mencapai Rp12.150 per dolar AS di November 2008 disertai melonjaknya volatilitas yang mencapai 4,67%. Secara rata-rata, nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 5,4% dari Rp9.140 tahun 2007 menjadi Rp9.666 tahun 2008 (Laporan tahunan BI).

10. Tahun 2009 Kondisi perekonomian global yang masih mengalami tekanan akibat krisis menghadapkan perekonomian Indonesia pada beberapa tantangan yang tidak ringan pada tahun 2009. Tantangan tersebut cukup mengemuka terutama pada awal tahun 2009, akibat masih kuatnya dampak krisis perekonomian global yang

terkait dengan sampai seberapa dalam kontraksi global dan sampai seberapa cepat pemulihan ekonomi global akan terjadi, bukan saja menyebabkan tingginya risiko di sektor keuangan, tetapi juga berdampak negatif pada kegiatan ekonomi di sektor riil domestik. Kondisi ini mengakibatkan stabilitas moneter dan sistem keuangan pada triwulan I 2009 masih mengalami tekanan berat, sementara pertumbuhan ekonomi masih dalam tren menurun akibat kontraksi ekspor barang dan jasa yang cukup dalam. Perkembangan yang kurang menguntungkan tersebut pada gilirannya telah menurunkan kepercayaan pelaku ekonomi di sektor keuangan dan sektor riil, serta berisiko menurunkan berbagai capaian positif beberapa tahun sebelumnya.

Sejumlah kebijakan telah ditempuh oleh Bank Indonesia dan Pemerintah untuk menghadapi tantangan tersebut sepanjang tahun 2009. Kebijakan yang diambil pada prinsipnya merupakan lanjutan dari berbagai kebijakan yang telah ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah sejak triwulan IV 2008. Di tengah kondisi masih kuatnya ketidakpastian di sektor keuangan dan sektor riil, berbagai kebijakan diarahkan untuk menjaga stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan, dan daya tahan perekonomian domestik. Di bidang moneter, Bank Indonesia menempuh kebijakan pelonggaran moneter yang dilengkapi dengan berbagai kebijakan lainnya, termasuk upaya meredam volatilitas yang berlebihan di pasar valuta asing. Kebijakan Bank Indonesia di bidang perbankan diarahkan untuk memperkuat daya tahan industri perbankan dengan tetap melanjutkan upaya-upaya untuk meningkatkan peran intermediasi perbankan. Di bidang fiskal, Sejumlah kebijakan telah ditempuh oleh Bank Indonesia dan Pemerintah untuk menghadapi tantangan tersebut sepanjang tahun 2009. Kebijakan yang diambil pada prinsipnya merupakan lanjutan dari berbagai kebijakan yang telah ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah sejak triwulan IV 2008. Di tengah kondisi masih kuatnya ketidakpastian di sektor keuangan dan sektor riil, berbagai kebijakan diarahkan untuk menjaga stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan, dan daya tahan perekonomian domestik. Di bidang moneter, Bank Indonesia menempuh kebijakan pelonggaran moneter yang dilengkapi dengan berbagai kebijakan lainnya, termasuk upaya meredam volatilitas yang berlebihan di pasar valuta asing. Kebijakan Bank Indonesia di bidang perbankan diarahkan untuk memperkuat daya tahan industri perbankan dengan tetap melanjutkan upaya-upaya untuk meningkatkan peran intermediasi perbankan. Di bidang fiskal,

11. Tahun 2010 Perekonomian Indonesia pada tahun 2010 terus membaik, didukung oleh permintaan domestik yang solid dan kondisi eksternal yang kondusif. Pemulihan ekonomi global yang berangsur mulai terjadi sejak paruh pertama 2009 masih terus berlanjut di tahun 2010, ditopang oleh tingginya pertumbuhan ekonomi di negara-negara emerging markets. Sejalan dengan proses perbaikan tersebut, harga komoditas global terus menunjukkan peningkatan sehingga meningkatkan tekanan inflasi, khususnya di negara-negara emerging markets. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju relatif masih terbatas dengan tekanan inflasi yang masih rendah. Kondisi tersebut mendorong negara-negara emerging markets mulai menempuh kebijakan moneter yang ketat baik melalui kebijakan makroprudensial maupun melalui peningkatan suku bunga acuan. Sebaliknya negara-negara maju cenderung menerapkan kebijakan moneter yang masih longgar dengan mempertahankan tingkat suku bunga pada level yang rendah, bahkan beberapa negara maju melakukan injeksi likuiditas yang cukup besar (quantitative easing). Perbedaan kinerja dan respons kebijakan antara 11. Tahun 2010 Perekonomian Indonesia pada tahun 2010 terus membaik, didukung oleh permintaan domestik yang solid dan kondisi eksternal yang kondusif. Pemulihan ekonomi global yang berangsur mulai terjadi sejak paruh pertama 2009 masih terus berlanjut di tahun 2010, ditopang oleh tingginya pertumbuhan ekonomi di negara-negara emerging markets. Sejalan dengan proses perbaikan tersebut, harga komoditas global terus menunjukkan peningkatan sehingga meningkatkan tekanan inflasi, khususnya di negara-negara emerging markets. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju relatif masih terbatas dengan tekanan inflasi yang masih rendah. Kondisi tersebut mendorong negara-negara emerging markets mulai menempuh kebijakan moneter yang ketat baik melalui kebijakan makroprudensial maupun melalui peningkatan suku bunga acuan. Sebaliknya negara-negara maju cenderung menerapkan kebijakan moneter yang masih longgar dengan mempertahankan tingkat suku bunga pada level yang rendah, bahkan beberapa negara maju melakukan injeksi likuiditas yang cukup besar (quantitative easing). Perbedaan kinerja dan respons kebijakan antara

Perkembangan yang kondusif di perekonomian global tersebut mendukung kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) 2010. Pada tahun laporan, NPI mencatat surplus yang cukup besar mencapai 30,3 miliar dolar AS, baik yang bersumber dari transaksi berjalan maupun transaksi modal dan finansial. Ekspor mencatat pertumbuhan yang tinggi sehingga mampu mempertahankan surplus transaksi berjalan di tengah impor dan pembayaran transfer pendapatan yang meningkat tajam. Sementara itu, seiring dengan kuatnya aliran masuk modal asing, neraca transaksi modal dan finansial mencatat surplus yang sangat besar dengan komposisi yang semakin membaik. Hal ini tercermin dari kuatnya aliran masuk modal asing dalam bentuk investasi langsung (FDI) yang meningkat tajam, di samping investasi dalam bentuk portofolio yang juga meningkat cukup signifikan. Dengan perkembangan tersebut, posisi cadangan devisa pada akhir tahun 2010 tercatat sebesar 96,2 miliar dolar AS, cukup memadai untuk mendukung kebutuhan impor dan kewajiban eksternal, serta memberikan keyakinan dalam menjaga stabilitas nilai tukar.

Inflasi Indeks Harga Komsumen (IHK) pada tahun 2010 tercatat 6,96%, lebih tinggi dari target yang ditetapkan sebesar 5%±1%. Sampai dengan pertengahan tahun laporan, stabilitas harga masih cukup terjaga sebagaimana tercermin dari inflasi yang relatif rendah (5,05%). Memasuki triwulan III 2010, intensitas gangguan dari sisi pasokan, khususnya bahan makanan, meningkat tajam akibat anomali cuaca baik di tingkat global maupun domestik. Kondisi

waktu yang bersamaan kenaikan yang tinggi pada hargaharga komoditas tersebut juga terjadi di pasar domestik. Komoditas bahan pokok seperti beras dan aneka bumbu memberi kontribusi kenaikan harga yang sangat besar sehingga inflasi kelompok volatile food mencapai 17,74%, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya sebesar 3,95%. Meski pada tahun laporan terdapat lonjakan inflasi volatile food, inflasi inti tetap terjaga pada level yang cukup rendah, yaitu 4,28%. Hal ini didukung oleh terkendalinya faktor fundamental sebagaimana diindikasikan oleh nilai tukar rupiah yang menguat, ekspektasi inflasi yang terjaga, serta kapasitas perekonomian yang sejauh ini masih dapat memenuhi peningkatan permintaan. Sementara itu, kelompok administered prices menunjukkan inflasi yang moderat, yaitu sebesar 5,40% (Laporan tahunan BI).