THE IMPOSITION OF CIVIL LIABILITY TO THE REGIONAL HEAD DUE TO DEFAULT BY THE HEAD OF OFFICE

THE IMPOSITION OF CIVIL LIABILITY TO THE REGIONAL HEAD DUE TO DEFAULT BY THE HEAD OF OFFICE

Bachtiar

Fakultas Hukum Universitas Pamulang Jl. Surya Kencana 1 Pamulang Tangerang Selatan 15417 E-mail: bachtiarbaital@gmail.com

Tono Sumarna

Bagian Hukum Pemerintah Kota Tangerang Selatan Jl. Maruga 1 Ciputat Tangerang Selatan 15417 E-mail: tonosumri@gmail.com

An Analysis of Court Decision Number 72/PDT.G/2014/PN.TNG

Naskah diterima: 12 Oktober 2017; revisi: 23 Juli 2018; disetujui 6 Agustus 2018 http://dx.doi.org/10.29123/jy.v11i2.253

ABSTRACT

of office is in accordance with the teachings of the law of Breach of contract in construction agreements is often state administration and civil law. To answer these issues, the author uses normative legal research methods based

found in practice, whether carried out by the employer, on secondary data obtained through literature studies.

or the implementing party. As a consequence, the defaulting party is charged to recover losses arising The results of the analysis show that the panel of judges

has erred in interpreting the concept of regional head from the implementation of the agreement. This was

reflected in Court Decision Number 72/PDT.G/2014/ accountability. According to the teachings of the state administration law, the mayor as the head of the region

PN.TGR, which is the Head of South Tangerang City Health Office, as the project employer, has been proven cannot be privately liable for the default committed by

in breach of contract. It is interesting to note that the the head of office. Likewise, from the perspective of Article 1340 of the Civil Code, the mayor is not a party

panel of judges in its decision actually charged the to the implementation of the agreement made by the head

Mayor of South Tangerang with a contractual liability. The legal issue in this paper is whether the interpretation of office, therefore civil liability cannot be burdened to

him.

of judges in Court Decision Number 72/PDT.G/2014/ PN.TNG concerning the imposition of civil liability to Keywords: civil liability, regional head, default. the regional head due to default committed by the head

I. PENDAHULUAN

Perjanjian kerja konstruksi ini merupakan

A. Latar Belakang

dokumen yang penting dalam proyek, di mana segala hal terkait hak dan kewajiban serta alokasi

Dalam era otonomi daerah dewasa ini risiko diatur dalam kontrak. Meskipun demikian,

pembangunan infrastruktur tetap merupakan dalam hal pelaksanaan perjanjian kerja konstruksi,

program kerja pemerintah daerah yang sangat tentu besar kemungkinan timbul wanprestasi

dikedepankan. Hal demikian disebabkan yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam

karena infrastruktur merupakan roda penggerak perjanjian, baik itu dilakukan oleh pemerintah

pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur dipandang selaku pemberi pekerjaan maupun pihak swasta

sebagai lokomotif pembangunan nasional dan sebagai pelaksana konstruksi. Dalam keadaan

daerah. Infrastruktur merupakan aset pemerintah ini berlakulah ketentuan-ketentuan yang wajib

yang dibangun dalam rangka pelayanan terhadap dipenuhi yang timbul akibat wanprestasi, yaitu

masyarakat (Solihah, 2016: 309). kemungkinan pemutusan perjanjian, penggantian

Pembangunan infrastruktur itu sendiri dapat kerugian atau pemenuhan. dilakukan dengan beberapa cara, bisa dengan

Wanprestasi dalam perjanjian kerja government to government atau government

konstruksi kerap ditemui dalam praktik, baik yang dengan pihak swasta. Dalam pelaksanaan

dilakukan pemerintah selaku pemberi pekerjaan pembangunan infrastruktur antara pemerintah

dan pihak swasta selaku pelaksana pekerjaan dan swasta, dipersyaratkan adanya perikatan

konstruksi. Hal ini terlihat dalam Putusan Nomor tertulis antara pengguna jasa dan penyedia jasa

72/PDT.G/2014/PN.TNG. Dalam gugatannya yang berbentuk kontrak, yang dikenal dengan

penggugat mendalilkan bahwa beralasan dan istilah kontrak kerja konstruksi (Slamet, 2016:

berdasar hukum jika tergugat II selaku atasan 191).

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 209 - 225 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 209 - 225

I membayar kepada penggugat sejumlah kerugian yang disamakan pada institusi pengguna APBN/ yang dialami penggugat berdasarkan perjanjian APBD.” Sementara Pasal 1 angka 7 menyebutkan ke dalam Tahun Anggaran 2014 Pemerintah Kota bahwa: “Pejabat Pembuat Komitmen yang Tangerang Selatan.

selanjutnya disebut PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan

Hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut barang/jasa.” Selanjutnya Pasal 12 ayat (1) bahwa ternyata majelis hakim dalam amarnya menentukan bahwa: “PPK merupakan pejabat mengabulkan permintaan penggugat dengan yang ditetapkan oleh PA/KPA untuk melaksanakan menyatakan Walikota Tangerang Selatan selaku

pengadaan barang/jasa.”

tergugat II harus ikut bertanggung jawab atas perbuatan wanprestasi dalam perjanjian kerja

Merujuk ketentuan di atas dapat diperoleh konstruksi yang dilakukan oleh tergugat I selaku konklusi bahwa walikota selaku kepala daerah Kepala Dinas Kesehatan yang merupakan Satuan adalah pengguna anggaran yaitu pejabat Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kota Tangerang pemegang kewenangan penggunaan anggaran Selatan. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis yang kewenangannya diperoleh secara atribusi hakim berpendapat bahwa walikota (tergugat melalui Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun

II) memiliki kedudukan selaku pengendali 2012. Untuk melaksanakan pengadaan barang dan pemerintahan Kota Tangerang Selatan dan jasa tersebut, pengguna anggaran melimpahkan merupakan atasan tergugat I secara langsung.

kewenangannya kepada pejabat pembuat komitmen yakni Kepala Dinas Kesehatan Kota

Tergugat II tidak melakukan tugasnya dengan Tangerang Selatan sebagai unsur SKPD Kota

baik dengan cara memberikan pengarahan kepada Tangerang Selatan. Sehingga tanggung jawab

tergugat I sehubungan dengan permasalahannya atas pelaksanaan pengadaan barang dan jasa

dengan penggugat, sehingga harus pula tersebut telah beralih kepada Kepala Dinas

dinyatakan telah melakukan wanprestasi terhadap Kesehatan Kota Tangerang Selatan selaku

penggugat. Akibat perbuatan wanprestasi yang pejabat pembuat komitmen. Kewenangan pejabat

dilakukan tergugat I telah menyebabkan tergugat pembuat komitmen muncul karena adanya

II selaku kepala daerah harus ikut bertanggung delegasi kewenangan dari pengguna anggaran

jawab secara keperdataan. sebagaiman disebutkan dalam ketentuan Pasal

12 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun demikian tampak tidak sebangun dengan konsep 2012. kewenangan pemerintahan menurut ajaran hukum

Konstruksi hukum dari majelis hakim yang

Dalam kajian hukum administrasi negara, administrasi negara. Dilihat dari organisasi kerja

mengetahui sumber dan cara memperoleh dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah

kewenangan organ pemerintahan ini penting. sebagaimana ditentukan Pasal 1 angka 5 Peraturan

Dikatakan demikian karena berkenaan dengan

Pembebanan Tanggung Jawab Perdata (Bachtiar & Tono Sumarna)

bersinggungan antara dua disiplin ilmu hukum. Berdasarkan uraian di atas dan dihubungkan

dengan amar putusan, tampak terjadi inkonsistensi D. Tinjauan Pustaka teoritik dari konstruksi hukum hakim terkait 1. Konsep Tanggung Jawab Hukum

pembebanan tanggung jawab hukum secara Pelaksanaan suatu hak dan kewajiban keperdataan kepada tergugat II akibat wanprestasi hukum selalu menuntut adanya tanggung jawab

yang dilakukan oleh tergugat I. Hal inilah yang hukum. Pelaksanaan setiap wewenang yang memotivasi penulis untuk melakukan penelitian dibebankan dalam suatu jabatan selalu menuntut ini lebih lanjut.

adanya tanggung jawab. Setiap pemangku jabatan memiliki kebebasan bertindak, namun

B. Rumusan Masalah

kebebasannya dibatasi oleh kehendak pemberi wewenang yang telah disepakati dan diwajibkan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, kepadanya untuk dilaksanakan. Dengan perkataan

maka rumusan masalah yang hendak dijawab lain, kewajiban para pihak yang telah ditentukan

dalam penelitian ini adalah apakah tafsir hakim dalam suatu perjanjian merupakan suatu kausa

terkait pembebanan tanggung jawab kepada yang melahirkan tanggung jawab, sebagai suatu

walikota akibat wanprestasi yang dilakukan kepala kewajiban bagi para pihak yang terikat dalam

dinas pada pelaksanaan perjanjian konstruksi suatu perjanjian. Hal demikian didasarkan pada

dalam Putusan Nomor 72/PDT.G/2014/PN.TNG prinsip pacta sun servanda, di mana perjanjian

telah sesuai dengan konsep kewenangan menurut yang dibuat berlaku sebagai undang-undang.

ajaran hukum administrasi negara dan ajaran hukum perdata?

Menurut Kelsen (Bachtiar, 2017: 57), sebuah konsep yang berhubungan dengan

C. Tujuan dan Kegunaan

konsep kewajiban hukum adalah konsep pertanggungjawaban hukum. Menurutnya,

Tujuan penelitian ini adalah untuk seseorang bertanggung jawab secara hukum menganalisis dan menemukan kesesuaian tafsir atas perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul hakim terkait pembebanan tanggung jawab tanggung jawab hukum berarti bahwa dia perdata kepada kepala daerah akibat wanprestasi bertanggung jawab atas suatu sanksi bila yang dilakukan oleh kepala dinas dalam perjanjian

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 209 - 225 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 209 - 225

melakukan tindakan atau perbuatan hukum tertentu, yakni tindakan atau perbuatan yang

“...yang menjadi titik tolak dari pertanggungjawaban adalah dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum tindakan-tindakan personal, apakah dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya pertanggungjawaban karena tindakan yang merugikan orang lain atau kewajiban akibat hukum. Hal demikian ditegaskan pula oleh melaksanakan janji. Oleh sebab itu, bagi Marbun (Hidjaz, 2010: 35) bahwa wewenang Pound pertanggungjawaban merupakan adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh efek yang diberikan oleh ex delicto tetapi juga dilaksanakan karena ex contractu, undang-undang yang berlaku untuk melakukan yang berarti bahwa seseorang boleh hubungan dan perbuatan hukum. Dengan menagih dan seorang lainnya tunduk

demikian, wewenang pemerintahan tidak lain kepada penagihan.”

merupakan kekuasaan yang ada pada pemerintah Bagi Nasution (2011: 133), tanggung untuk menjalankan fungsi dan tugasnya jawab hukum itu sendiri dapat bermakna sebagai berdasarkan peraturan perundang-undangan. pertanggungjawaban yang didasarkan atas the

Secara teoritis, kewenangan yang rule of the game atau the rule of law. Dengan

bersumber dari peraturan perundang-undangan demikian, tanggung jawab hukum merupakan

ini diperoleh melalui tiga cara, yaitu: atribusi, tanggung jawab yang didasarkan atas kehendak

delegasi, dan mandat. Menurut Hadjon (Suhendar, norma-norma hukum yang tentunya bersumber

2015: 96) ketiganya adalah sumber kewenangan pada berbagai peraturan perundang-undangan,

yang berkaitan dengan suatu jabatan (ambt) termasuk yang bersumber dari adanya suatu

sebagai dasar bagi pemerintah untuk melakukan perikatan yang telah dituangkan ke dalam suatu

perbuatan hukum publik. Selanjutnya Ridwan HR perjanjian/kontrak.

(2014: 103-104) mengungkapkan bahwa di antara ketiga cara tersebut, delegasi merupakan konsep

2. Konsep Kewenangan Pemerintahan

aliran kewenangan yang paling banyak terjadi Kewenangan merupakan konsep penting dalam pemerintahan. Delegasi merupakan bentuk

dalam hukum tata pemerintahan, karena pelimpahan wewenang oleh organ pemerintahan pemerintah baru dapat menjalankan fungsinya yang telah diberi wewenang kepada organ lain atas dasar wewenang yang diperolehnya. yang akan melaksanakan wewenang yang telah Keabsahan tindakan pemerintah diukur dilimpahkan itu sebagai wewenangnya sendiri. berdasarkan wewenang yang diatur dalam Dengan wewenang itu, penerima wewenang peraturan perundang-undangan. Oleh karena dapat menggunakan dan mengambil keputusan itu, dalam telaah hukum tata pemerintahan, dengan tanggung jawabnya sendiri. Artinya kewenangan memiliki kedudukan penting dan dalam penyerahan wewenang melalui delegasi merupakan “konsep inti dalam hukum tata ini, pemberi wewenang telah lepas dari tanggung negara dan hukum administrasi negara” seperti jawab hukum atau tuntutan pihak ketiga, jika ditegaskan Stronik & Steenbeek (Ridwan HR, dalam penggunaan wewenang itu menimbulkan 2014: 99).

kerugian pada pihak lain.

Pembebanan Tanggung Jawab Perdata (Bachtiar & Tono Sumarna)

Mengetahui sumber dan cara memperoleh mengatur hubungan hukum antara pengguna kewenangan organ pemerintahan ini penting, jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan karena berkenaan dengan pertanggungjawaban pekerjaan konstruksi. hukum dalam penggunaan wewenang

Menurut ajaran hukum perdata, apabila tersebut. Dalam setiap pemberian kewenangan

salah satu pihak dalam perjanjian kerja kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat

konstruksi tidak melaksanakan prestasinya maka pertanggungjawaban dari pejabat yang

dikatakan wanprestasi. Wanprestasi itu sendiri bersangkutan. Ketika suatu kewenangan itu

dalam berbagai literatur dimaknai sebagai tidak telah dilimpahkan atau didelegasikan, maka

memenuhi kewajiban sebagaimana diterapkan pemberi wewenang telah lepas dari tanggung

perikatan atau perjanjian, tidak dipenuhinya jawab hukum atau tuntutan pihak ketiga jika

kewajiban dalam suatu perjanjian, dapat dalam penggunaan wewenang itu menimbulkan

disebabkan dua hal, yaitu kesalahan debitur baik kerugian pada pihak lain.

disengaja maupun karena kelalaian dan karena Berdasarkan konsep wewenang dari keadaan memaksa atau overmacht/force majure pemerintah sebagaimana diuraikan di atas, (Meliala, 2012: 175). Sementara Pasal 1243 dapat ditegaskan bahwa kaidah-kaidah hukum KUHPerdata merumuskan wanprestasi sebagai yang mengatur tentang pelaksanaan wewenang berikut: pemerintah menjadi prinsip hukum yang “Penggantian biaya, rugi dan bunga tidak mengatur tata pemerintahan dan tata kehidupan

dipenuhinya suatu perkataan, barulah masyarakat dan menjadi dasar validitasnya di

mulai diwajibkan, apabila yang berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi

bidang pemerintahan. Artinya, kaidah hukum perikatannya, tetap melalaikannya, atau tata pemerintahan itu merupakan sarana untuk

jika yang harus diberikan atau dibuatnya, melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat.

hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukan.”

3. Konsep Wanprestasi dalam Perjanjian

Apabila pemerintah selaku pemberi

Konstruksi

pekerjaan melakukan wanprestasi, maka pihak pemborong pekerjaan dapat mengajukan gugatan

Tanggung jawab hukum atas dasar perbuatan wanprestasi ke pengadilan. Kedudukan wanprestasi didasari adanya hubungan pemerintah dalam perjanjian pemborongan adalah kontraktual. Hubungan kontraktual timbul baik sebagai wakil dari badan hukum keperdataan, karena perjanjian atau karena undang-undang. sehingga dapat dimintai tanggung jawab secara Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian keperdataan. Hal demikian ditegaskan Ridwan adalah suatu perbuatan dengan mana satu HR (2014: 88) sebagai berikut: orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

“Ketika pemerintah bertindak di lapangan satu orang lain atau lebih (Raharjo, 2009: 41).

keperdataan dan tunduk pada peraturan Sementara Pasal 1 angka 6 Undang-Undang

hukum perdata, pemerintah bertindak Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

sebagai wakil dari badan hukum, bukan wakil dari jabatan. Oleh karena itu,

merumuskan perjanjian atau kontrak kerja kedudukan pemerintah dalam pergaulan konstruksi sebagai keseluruhan dokumen yang

hukum keperdataan tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum privat, tidak

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 209 - 225 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 209 - 225

(Musyahadah, 2013: 300).

II. METODE

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini didesain dengan pendekatan A. Kesesuaian Tafsir Hakim dengan Konsep

penelitian hukum normatif, karena ditujukan

Kewenangan Menurut Ajaran Hukum

untuk menemukan dan merumuskan argumentasi

Administrasi Negara

hukum melalui analisis terhadap pokok Perkara ini bermula dari adanya gugatan

permasalahan (Wiradipradja, 2015: 26). Desain wanprestasi yang diajukan oleh PT. TJP selaku

penelitian yang demikian memungkinkan penggugat yang diwakili secara sah oleh LS

peneliti untuk melakukan kritik terhadap tafsir/ yang bertindak dalam kedudukannya selaku

interpretasi hukum hakim dalam putusannya direktur utama, ditujukan kepada Kepala Dinas

terkait pembebanan tanggung jawab kepada Kesehatan Kota Tangerang Selatan selaku

kepala daerah akibat wanprestasi yang dilakukan tergugat I dan Walikota Tangerang Selatan selaku

kepala dinas dalam perjanjian kerja konstruksi. tergugat II. Gugatan penggugat terhadap tergugat

I dan tergugat II diajukan dengan alasan para dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus, tergugat telah melakukan wanprestasi terkait

Adapun pendekatan yang digunakan

pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan pelaksanaan Perjanjian Pekerjaan Pembangunan konseptual. Bahan-bahan hukum dalam penelitian Pusat Pelayanan Kesehatan Terpadu Nomor DPA ini dikumpulkan melalui studi kepustakaan yang 1.02.01.35.001.5.2, Lokasi Setu Kota Tangerang lebih menekankan pada teknik penelusuran Selatan, dengan jangka waktu pelaksanaan dokumen, yakni bahan-bahan tertulis yang berisi 190 hari kelender, berakhir pada 31 Desember informasi tentang fenomena objek yang diteliti. 2013, dengan nilai kontrak Rp.14.303.780.000,- Bahan-bahan hukum yang terkumpul selanjutnya sebagaimana tertuang dalam Surat Perjanjian dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif Nomor 027/06-10/KKPK/Dinkes/VI/2013 (Afrizal, 2016: 178-180).

tertanggal 25 Juni 2013 yang ditandatangani penggugat dan tergugat I.

Data yang telah diorganisir, dinterpretasi dengan menggunakan interpretasi hermeneutika

Hakim menyatakan Pemerintah Kota hukum. Pendekatan hermeneutika hukum Tangerang Selatan terbukti melakukan

digunakan sebagai upaya membangun penafsiran wanprestasi dan membebani walikota selaku hukum yang komprehensif, sehingga interpretasi kepala daerah untuk bertanggung jawab hukum yang dikonstruksikan hakim tidak secara keperdataan akibat wanprestasi yang terjebak pada penafsiran teks semata, melainkan dilakukan kepala dinas. Adapun putusan hakim mempertimbangkan keterkaitan antara teks, tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa konteks, dan kontekstualiasasinya. Dalam tergugat II merupakan pemegang kekuasaan

Pembebanan Tanggung Jawab Perdata (Bachtiar & Tono Sumarna)

| 215

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 209 - 225

keuangan daerah dan mempunyai kewenangan penyelenggaraan keuangan daerah sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (14) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006. Sedangkan tergugat I dalam kedudukannya selaku kepala dinas merupakan pengguna anggaran/pengguna barang sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (10) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006.

Tergugat I dalam pelaksanaan tugasnya selaku pengguna anggaran/pengguna barang, bertanggung jawab secara formal dan material kepada tergugat II sesuai dengan ketentuan Pasal

54 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 jo. Pasal 10 huruf m Peraturan Pemerintah Nomor

58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Merujuk pada tafsir yang demikian, hakim pada akhirnya berpendapat bahwa apabila tergugat I dalam melaksanakan tugasnya telah melakukan perbuatan melawan hukum atau melakukan wanprestasi kepada pihak lain, maka yang bertanggung jawab tidak saja tergugat

I, tetapi juga tergugat II sebagai pemegang kekuasaan dan penyelenggaraan keuangan daerah. Sebelum menganalisis tafsir hakim tersebut, perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa dalam konteks welfare state, pemerintah secara yuridis diberikan keleluasaan untuk melakukan berbagai tindakan hukum, baik dalam lapangan hukum publik maupun dalam lapangan hukum privat. Keleluasaan bertindak ini merupakan wujud dari eksistensi dan peran pemerintah untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama (Rasjid, 2007: 11).

Pemerintah berperan memberikan pelayanan demi kesejahteraan rakyat dengan sistem peradilan yang baik dan sistem pemerintahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik (Tahir, 2015:11). Singkatnya, peran pemerintah yang utama adalah menyelenggarakan pelayanan umum sebagai wujud dari tugas umum pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Bagi Newton & Van Deth (2015: 397), pemerintah ada untuk menyelesaikan masalah dan untuk itulah pemerintah harus mengambil keputusan. Meskipun diberikan keleluasaan untuk bertindak dalam rangka perwujudan kesejahteraan umum (bestuurzorg), berbagai tindakan itu hanya dapat dilakukan berdasarkan adanya kewenangan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan sebagai bentuk keabsahan tindakan dari pemerintah. Tanpa adanya wewenang pemerintahan, maka tentunya pemerintah tidak akan dapat melakukan suatu tindakan atau perbuatan pemerintahan. Hal demikian diungkap Ilmar (2014: 108) sebagai berikut:

“...pemerintah tidak akan mungkin melakukan suatu tindakan atau perbuatan berupa pengambilan suatu keputusan atau kebijakan tanpa dilandasi atau disertai dengan wewenang pemerintah. Jika hal tersebut dilakukan, maka tindakan atau perbuatan pemerintahan yang dimaksud dapat dikategorikan sebagai sebuah tindakan atau perbuatan yang tanpa dasar alias perbuatan yang sewenang- wenang (cacat hukum). Oleh karena itu, sifat dari wewenang pemerintahan perlu ditetapkan dan ditegaskan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang pemerintahan dan/atau tindakan atau perbuatan yang sewenang-wenang.”

Akhirnya berbagai tindakan hukum pemerintah mengandung pembawaan untuk dipertanggungjawabkan dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum itu sendiri dan rasa Akhirnya berbagai tindakan hukum pemerintah mengandung pembawaan untuk dipertanggungjawabkan dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum itu sendiri dan rasa

ditentukan dalam Pasal KUHPerdata. Ditegaskan Djojodirdjo (1979: 13) bahwa

Hal lain yang perlu ditegaskan pula bahwa tanggung jawab hukum dalam ranah hukum tanggung jawab hukum pemerintah sebagai publik misalkan tanggung jawab administrasi konsekuensi dari berbagai tindakan yang negara dan tanggung jawab hukum pidana. dilakukan dalam kerangka menjalankan fungsi- Sementara itu terkait dengan tanggung jawab fungsi pemerintahan yang menjadi lingkup dalam ranah hukum privat adalah tanggung kewenangannya memiliki karakteristik tersendiri jawab hukum dalam hukum perdata dapat berupa yaitu dalam batas-batas kewenangan yang tanggung jawab berdasarkan wanprestasi dan dimilikinya. tanggung jawab berdasarkan perbuatan melawan

Dalam konteks ini, pemahaman atas hukum. Dengan pemahaman yang demikian,

sumber dan cara memperoleh kewenangan organ maka dapat ditegaskan bahwa tanggung jawab

pemerintahan menjadi kata kunci untuk dapat hukum pemerintah atas berbagai tindakan

menentukan siapa yang bertanggung jawab atas yang dilakukan dalam kerangka bestuurzorg

tindakan hukum pemerintah tersebut, termasuk harus dibedakan dalam lapangan hukum mana

dalam lapangan hukum keperdataan. Hal pemerintah bertindak. Jika pemerintah bertindak

demikian ditegaskan secara kritis oleh Ridwan dalam lapangan hukum publik, maka tanggung

HR (2014: 105):

jawab hukum pemerintah terkait tanggung jawab hukum administrasi negara dan tanggung jawab Dalam kajian hukum administrasi negara,

mengetahui sumber dan cara memperoleh pidana, sedangkan jika pemerintah bertindak wewenang organ pemerintahan ini

dalam lapangan hukum privat, maka tanggung penting, karena berkenaan dengan jawab hukum pemerintah terkait tanggung jawab

pertanggungjawaban hukum (rechtelijke verantwording) dalam penggunaan

keperdataan. wewenang tersebut, seiring dengan salah satu prinsip dalam negara hukum “geen

Dalam konteks keperdataan, tangggung bevogheid zonder verantwoordelijkheid” jawab tersebut lahir karena adanya perjanjian

atau “there is no authority without responsibility” (tidak ada kewenangan tanpa

atau hubungan kontraktual dan karena undang-

Pembebanan Tanggung Jawab Perdata (Bachtiar & Tono Sumarna)

dari perangkat daerah di mana walikota adalah kepala pemerintahannya, sehingga perbuatan

Dalam berbagai literatur hukum wanprestasi yang dilakukan kepala dinas harus administrasi negara menentukan bahwa pula dapat dimintai pertanggungjawabannya kewenangan mempunyai dua macam sifat, yaitu kepada walikota. Dengan kata lain kepala dinas kewenangan yang bersifat atributif dan bersifat adalah anak buah dari walikota, sehingga apabila distributif. Kewenangan yang bersifat atributif kepala dinas berbuat wanprestasi maka sang bos adalah kewenangan bersifat melekat maksudnya juga harus bertanggung jawab. Tafsir hakim yang kewenangan yang langsung diberikan oleh demikian sangat tidak beralasan dan mengada- undang-undang, sedangkan kewenangan yang ada serta sekaligus menunjukkan majelis hakim bersifat distributif adalah kewenangan yang tidak memahami konsep kewenangan dalam misalnya diberikan oleh atasan kepada bawahan hukum administrasi negara. dan hanya bersifat sementara.

Menurut penulis, interpretasi hukum hakim Adapun perbedaan antara kewenangan terkait pembebanan tanggung jawab perdata

atributif dan kewenangan distributif adalah terletak kepada walikota tidak sejalan dengan prinsip- pada pertanggungjawabannya, kewenangan prinsip tanggung jawab yang dianut dalam hukum atributif memiliki tanggung jawab yang melekat administrasi negara. Mengikuti pola interpretasi kepada aparat atau pejabat yang langsung ditunjuk hermeneutika hukum, majelis hakim semestinya oleh undang-undang. Sedangkan kewenangan mencermati dengan benar teks yuridis yang distributif terbagi dua yaitu mandat dan delegasi, mendasari fakta hukumnya sebelum memberikan untuk mandat pertanggungjawabannya melekat putusan. pada pemberi wewenang dan untuk delegasi pertanggungjawabannya berpindah kepada si

Bahwa pertama kali yang harus dilakukan penerima wewenang.

hakim adalah menemukan sumber dan aliran kewenangan bagi walikota dalam teks yuridisnya

Merujuk pada konsep yang demikian dan dan selanjutnya dihubungkan dengan konteks dikaitkan dengan tafsir hakim dalam putusannya, yuridisnya untuk menentukan apakah padanya penulis berpendapat bahwa majelis hakim telah dapat dimintai tanggung jawab hukum. keliru dalam pertimbangan hukumnya yang Argumentasi yang demikian berangkat dari menyatakan bahwa tergugat II dalam hal ini pemikiran bahwa aktivitas interpretasi dengan walikota untuk ikut bertanggung jawab atas pendekatan hermeneutika hukum tidak semata perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh kepala bersandar pada teks yuridis semata, melainkan dinas. Majelis hakim keliru dalam memahami juga ditilik dari konteks dan kontekstualisasinya. konsep tanggung jawab hukum pemerintah dalam konteks hukum administrasi negara.

Rujukan majelis hakim tentunya bersumber pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam

Majelis hakim dalam pertimbangan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 hukumnya mengkonstruksikan fakta hukum yang tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 209 - 225

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun Ditilik dari aktivitas interpretasi 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan hermenutika hukum, titik fokus yang seperti itu Daerah sebagai peraturan turunannya. Menurut membuat simpulan majelis hakim menjadi tidak Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor lengkap dan terkesan terlalu disimplifikasikan

58 Tahun 2005 jo. Pasal 5 ayat (1) Peraturan dan terjebak pada teks yuridis yang parsial. Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Majelis hakim lupa bahwa kekuasaan pengelolaan disebutkan bahwa: “Kepala daerah selaku kepala keuangan daerah yang menjadi kekuasaan pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan walikota itu berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat pengelolaan keuangan daerah dan mewakili (3) huruf c Peraturan Menteri Dalam Negeri pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan Nomor 13 Tahun 2006, yaitu: “...dilimpahkan daerah yang dipisahkan.”

sebagian atau keseluruhannya kepada Kepala SKPD selaku pejabat pengguna anggaran/

Ditegaskan pula dalam Pasal 1 angka pengguna barang.” Bahkan menurut ayat (4),

14 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor pelimpahan tersebut ditetapkan dengan keputusan

13 Tahun 2006 bahwa “Pemegang kekuasaan kepala daerah berdasarkan prinsip pemisahan

pengelolaan keuangan daerah adalah kepala kewenangan yang memerintahkan, menguji, dan

daerah yang karena jabatannya mempunyai yang menerima atau mengeluarkan uang.

kewenangan menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan daerah.” Kepala daerah

Merujuk pada berbagai ketentuan di di sini adalah gubernur bagi daerah provinsi atau atas, menjadi terang bahwa memang benar bupati bagi daerah kabupaten atau walikota bagi secara yuridis yang memiliki kekuasaan atas daerah kota sebagaimana ditulis dalam Pasal 1 pengelolaan keuangan daerah adalah walikota, angka 13. Sementara Satuan Kerja Perangkat namun dalam pelaksanaannya telah dilimpahkan Daerah (SKPD) adalah perangkat daerah pada atau didelegasikan kepada kepala dinas. Dengan pemerintah daerah selaku pengguna anggaran/ adanya pendelegasian kewenangan ini dari pengguna barang sebagaimana diatur dalam walikota kepada kepala dinas, maka yang Pasal 1 angka 10.

bertanggung jawab secara hukum atas semua pengelolaan keuangan daerah dibebankan

Merujuk pada teks yuridis demikian, kepada kepala dinas selaku pengguna anggaran/

diperoleh konklusi bahwa walikota adalah

pengguna barang.

pemegang kekuasaan keuangan daerah. Namun dalam perspektif makna yang terkandung pada

Hal demikian didasarkan pada karakteristik teks yuridisnya, kekuasaan tersebut harus dari pendelegasian wewenang menurut ajaran dikontekstualisasikan dalam makna “karena hukum administrasi negara sebagaimana jabatannya” yang diberikan kewenangan untuk dikemukakan Ridwan HR (2014: 108) bahwa menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan pada delegasi tidak ada pencipta wewenang, keuangan daerah. Pada titik inilah majelis hakim namun hanya ada pelimpahan wewenang dari terlihat hanya memfokuskan teks yuridisnya pejabat yang satu kepada pejabat yang lainnya. ke dalam pertimbangan hukumnya dan hal itu Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada menjadi benar adanya tanpa mempertimbangkan pemberi delegasi (delegans), tetapi beralih pada kontekstualisasi dari teks yuridisnya.

penerima delegasi (delegataris). Dengan kata lain,

Pembebanan Tanggung Jawab Perdata (Bachtiar & Tono Sumarna)

pasal-pasal yang dikonstruksikan majelis hakim menentukan bahwa yang bertanggung jawab

Bersandar pada interpretasi hermeneutika dalam penggunaan anggaran adalah kepala dinas,

hukum, maka dapat dikatakan bahwa tafsir hakim namun juga mengikutsertakan tergugat II ikut

yang demikian tidak beralasan menurut hukum

bertanggung jawab.

jika perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh kepala dinas juga dibebankan kepada walikota

Hal demikian membuktikan bahwa majelis untuk bertanggung jawab, sebagaimana pendapat hakim tidak cermat dalam menafsirkan bunyi majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya. pasal sehingga konstruksi hukumnya menjadi Walikota selaku tergugat II semestinya dibebaskan tidak beralasan menurut hukum. dari pembebanan tanggung jawab hukum perdata

karena menurut hukum kewenangan yang B. Kesesuaian Tafsir Hakim dengan Ajaran

dimiliki walikota dalam pengelolaan keuangan

Hukum Perdata

daerah telah dilimpahkan kepada kepala dinas selaku pengguna anggaran/pengguna barang.

Dalam perspektif ajaran hukum perdata, perbuatan wanprestasi yang dilakukan kepala

Majelis hakim pun telah keliru dalam dinas (tergugat I) juga tidak dapat dibebankan menafsirkan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang kepada walikota (tergugat II). Hal ini sesuai Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan dengan ketentuan Pasal 1340 KUHPerdata yang Negara yang menyatakan pengguna anggaran menentukan bahwa: “Suatu perjanjian hanya bertanggung jawab secara formal dan material berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. kepada presiden/gubernur/bupati/walikota atas Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi pelaksanaan kebijakan anggaran yang berada kepada pihak-pihak ketiga; tidak dapat pihak- dalam penguasaannya, jo. Pasal 10 huruf m pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317.” yang menyatakan pejabat pengguna anggaran/ pengguna barang bertanggung jawab atas

Mengacu pada pasal tersebut, tergugat II pelaksanaan tugasnya kepada kepala daerah dalam kapasitas jabatannya selaku walikota tidak melalui sekretaris daerah.

dapat dibebani tanggung jawab hukum untuk membayar ganti kerugian yang timbul akibat

Semestinya jika merujuk pada kedua wanprestasi dari Surat Perjanjian Nomor 027/06- ketentuan itu, maka menjadi benar bahwa 10/KKPK/Dinkes/VI/2013 yang dibuat dan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan ditandatangani oleh Pejabat Pembuat Komitmen

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 209 - 225 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 209 - 225

surat perjanjian tersebut tetap dalam kerangka tanggung jawabnya yang tidak dapat dialihkan

Majelis hakim telah keliru dalam kepada pemberi kewenangan tersebut, dalam hal

memahami fakta bahwa penandatanganan ini kepada walikota selaku kepala daerah.

kontrak pemborongan yang dilakukan oleh kepala dinas selaku pejabat pembuat komitmen

Walikota tidak memiliki kapasitas untuk untuk dan atas nama Pemerintah Kota Tangerang bertindak dan mencampuri pelaksanaan tugas Selatan. Majelis hakim memandang secara kepala dinas untuk mengadakan ikatan/perjanjian hukum yang mempunyai proyek pekerjaan dengan pihak lain sebagai bentuk pelaksanaan konstruksi pembangunan Pusat Pelayanan anggaran yang dimiliki SKPD-nya berdasarkan Kesehatan Terpadu di Kota Tangerang Selatan mekanisme penganggaran. Justru menurut kaidah adalah pemerintah Kota Tangerang Selatan yang dalam hukum pemerintahan, pelaksanaan tugas dalam hal ini sebagai kepala pemerintahannya dan wewenang dari kepala dinas mengandung adalah Walikota Tangerang Selatan yang dalam pembawaan harus senantiasa dilaporkan kepada pekerjaan proyek tersebut dilaksanakan oleh walikota sebagai bentuk pertanggungjawaban pejabat pembuat komitmen (kepala dinas).

atas kewenangan yang telah dilimpahkan atau didelegasikan oleh walikota selaku top executive

Kapasitas kepala dinas untuk

di tingkat pemerintah kota.

menandatangani perjanjian pemborongan dimaksud meskipun bertindak untuk dan atas

Pemahaman yang demikian, dalil yang nama Pemerintah Kota Tangerang Selatan, dikemukakan oleh walikota selaku tergugat namun tindakan tersebut didasarkan pada tugas

II terkait ketentuan Pasal 1340 KUHPerdata yang dibebankan kepadanya yang bersumber dari merupakan dalil yang beralasan sehingga patut kewenangan yang didelegasikan oleh walikota bagi majelis hakim untuk mempertimbangkannya selaku kepala daerah. Hal demikian telah dalam pertimbangan hukumnya. Pasal 1340 ditentukan dalam Pasal 10 huruf g Peraturan KUHPerdata menjadi pembatas daya ikat dan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 keberlakukan perjanjian bagi para pihak, yakni yang menyatakan bahwa Kepala SKPD (Kepala sebatas bagi para pihak yang membuatnya. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan) selaku Ketentuan inilah yang dikenal dengan asas pengguna anggaran/pengguna barang mempunyai perjanjian bersifat tertutup. Dalam hal ini, tugas mengadakan ikatan/perjanjian kerja sama meskipun walikota selaku kepala daerah yang dengan pihak lain dalam batas anggaran yang bertanggung jawab secara keseluruhan atas telah ditetapkan.

pengelolaan keuangan daerah, namun walikota bukanlah merupakan pihak dalam pelaksanaan

Kapasitas kepala dinas untuk ikatan/perjanjian yang dibuat oleh pejabat

menandatangani perjanjian pekerjaan proyek pembuat komitmen selaku kepala dinas.

ini harus dimaknai sebagai bagian kewenangan yang melekat padanya berdasarkan pelimpahan

Tindakan atau perbuatan kepala dinas wewenang yang diberikan oleh walikota menandatangani perjanjian merupakan

Pembebanan Tanggung Jawab Perdata (Bachtiar & Tono Sumarna)

atau perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan dalam pelaksanaan

Merujuk pada konstruksi hukum yang perjanjian pemborongan. Hal demikian

dibangun hakim dalam putusannya, tidak dimaksudkan agar institusi peradilan melalui

diragukan lagi bahwa kepala dinas terbukti para hakimnya tidak ikut andil menciptakan

melakukan wanprestasi atas Surat Perjanjian kekacauan dalam lapangan hukum, terutama

Nomor 027/06-10/KKPK/Dinkes/VI/2013 yang dalam rangka pelaksanaan ajaran-ajaran hukum

dibuat dan ditandatangani oleh pejabat pembuat

secara in concreto.

komitmen untuk dan atas nama Dinas Kesehatan selaku pengguna anggaran/pengguna barang

Merujuk pada perspektif ajaran hukum dengan PT. TJP. Oleh karena itu, perbuatan administrasi negara dan hukum perdata wanprestasi tersebut harus menjadi tanggung sebagaimana telah diuraikan di atas, terlihat jawab jabatan kepala dinas dalam batas- bahwa tafsir hakim hanya bersandar pada teks batas kewenangan yang dimilikinya menurut normatif belaka dan belum mempu menangkap konsep kewenangan dalam hukum administrasi makna konteks dan kontekstualisasinya. negara. Konsekuensi hukumnya, kepala dinas Dalam memutus perkara di atas, hakim belum harus memenuhi prestasi yang telah diberikan memaknai teks perundang-undangan yang terkait penggugat sebagai bentuk pemulihan kerugian pembebanan tanggung jawab kepala daerah yang timbul dari perbuatan ingkar janji terhadap secara kritis, sehingga belum mampu menjawab perjanjian yang dibuat.

rasa keadilan masyarakat.

Bagi walikota selaku tergugat II, tidak ada Menurut Sarmadi (2012: 341), pemaknaan dasar hukumnya apabila dibebankan tanggung kritis terhadap teks perundang-undangan agar jawab hukum atas perbuatan wanprestasi yang mencapai keadilan penting dilakukan oleh hakim dilakukan oleh kepala dinas. Pembebanan dengan beberapa alasan. Pertama, teks hukum tanggung jawab yang dilakukan pejabat tidak berdiri sendiri akan tetapi harus dipahami pemerintah sekalipun tindakan atau perbuatan maksud atau tujuan besar dari pembuat teks tersebut dilakukan dalam ranah keperdataan harus hukum tersebut. Kedua, setiap teks hukum selalu disesuaikan dengan konsep pertanggungjawaban memiliki tujuan dan objek yang ingin dicapainya, jabatan pemerintahan sebagaimana diajarkan perlu melihat hubungan antara pasal dengan dalam hukum administrasi negara. Dengan tujuan besar diberlakukannya peraturan tersebut. perkataan lain, majelis hakim semestinya Ketiga, adanya kemungkinan kesalahan- memisahkan bentuk tanggung jawab hukum kesalahan teks atas suatu hukum karena pejabat pemerintah dalam ranah keperdataan.

berlawanan dengan rasa keadilan masyarakat. Keempat, berani mengkritik teks hukum untuk

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 209 - 225 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 209 - 225

tanggung jawab secara keperdataan akibat perbuatan wanprestasi yang dilakukan kepala

Interpretasi yang benar terhadap teks hukum dinas selaku pejabat pembuat komitmen.

harus selalu berhubungan dengan isi (kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun yang

Secara yuridis, walikota adalah pemegang tersirat, atau antara bunyi hukum dan semangat kekuasaan atas pengelolaan keuangan hukum (Oktoberina & Savitri, 2008: 90). Guna daerah, namun dalam pelaksanaannya telah mengungkap makna sesungguhnya sebuah dilimpahkan atau didelegasikan kepada kepala teks hukum, konstruksi hukum secara cermat dinas sebagaimana ditentukan dalam Peraturan dan tepat diperlukan. Dalam proses tersebut Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 dan Peraturan makna teks atau wacana secara keseluruhan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 harus ikut dipertimbangkan. Dengan demikian sebagai peraturan turunannya. Dengan adanya pertimbangan makna sebuah teks bukanlah pendelegasian kewenangan dari walikota kepada parsial dan fragmentaris melainkan holistik dan kepala dinas, maka yang bertanggung jawab integratif.

secara hukum atas semua pengelolaan keuangan daerah dibebankan kepada kepala dinas selaku

Perlu juga diselidiki apakah makna pengguna anggaran/pengguna barang. Demikian

teks tersebut mutlak atau relatif, universal pula ditinjau dari perspektif ajaran hukum perdata

atau parsial. Efek-efek yang dihasilkan dari bahwa perbuatan wanprestasi yang dilakukan

konstruksi dan interpretasi teks tersebut itu pun kepala dinas juga tidak dapat dibebankan kepada

harus ikut dipertimbangkan (efek minimum walikota sebagaimana ditentukan dalam Pasal

atau maksimum). Di sini, lagi-lagi kepentingan

1340 KUHPerdata.

masyarakat yang lebih besar tidak boleh dikalahkan demi kepentingan yang lebih spesifik

Pasal ini menjadi pembatas daya ikat dan dan terbatas (Weruin et al., 2016: 111). Hanya keberlakukan perjanjian bagi para pihak, yakni dengan pemaknaan demikian yang mampu sebatas bagi para pihak yang membuatnya. melahirkan karakter putusan hakim yang Walikota bukanlah merupakan pihak dalam bermakna secara hukum, sekaligus mampu pelaksanaan ikatan/perjanjian yang dibuat oleh menangkap dan merawat nilai-nilai keadilan pejabat pembuat komitmen. Tindakan atau hukum.

perbuatan kepala dinas menandatangani perjanjian merupakan kewenangan mandiri dari kepala

IV. KESIMPULAN

dinas yang akibat hukumnya ditanggungnya sendiri dalam batas-batas kewenangan yang

Bersandar pada interpretasi hermeneutika dimilikinya berdasarkan peraturan perundang- hukum, majelis hakim tampaknya telah keliru undangan yang mengaturnya. menafsirkan makna tanggung jawab walikota secara keperdataan akibat wanprestasi yang

Interpretasi yang demikian, hendaknya dilakukan kepala dinas dalam Putusan Nomor hakim, ketika memeriksa, mengadili, dan

72/PDT.G/2014/PN.TGR. Dalam telaah hukum memutus perkara yang berkenaan dengan

Pembebanan Tanggung Jawab Perdata (Bachtiar & Tono Sumarna)

Kencana.

memahami dengan benar konsep-konsep, teori- Meliala, D.S. (2012). Hukum perikatan dalam

teori, dan ajaran-ajaran dalam lingkup hukum prespektif BW. Bandung: Nuansa Aulia. administrasi negara, sehingga rasa keadilan para

pencari keadilan dapat senantiasa terjaga dan Musyahadah, R.A. (2013, Mei). Hermeneutika hukum terpelihara secara baik. Setiap hakim dituntut

sebagai alternatif metode penemuan hukum untuk memahami dengan benar semua ajaran-

bagi hakim untuk menunjang keadilan gender. ajaran hukum, tidak hanya dibatasi kamar yang Jurnal Dinamika Hukum, 13(2), 293-306.

menjadi kewenangannya yaitu perkara yang Nasution, M. (2011). Pertanggungjawaban gubernur berkarakter perdata saja, tetapi juga menguasai

dalam Negara Kesatuan Indonesia. Jakarta: ajaran-ajaran ilmu hukum dalam lingkup bidang

Sofmedia.

hukum pidana maupun hukum administrasi Newton, K., & Van Deth, J.W. (2015). Perbandingan

negara. sistem politik: Teori & fakta. Muttaqin, I. (Ed.).

Bandung: Nusa Media.

Oktoberina, S.R., & Savitri, N. (Eds). (2008). Butir- butir pemikiran dalam hukum; Memperingati

70 tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH. Afrizal. (2016). Metode penelitian kualitatif: Sebuah

DAFTAR ACUAN

Bandung: Refika Aditama. upaya mendukung penggunaan penelitian Raharjo, H. (2009). Hukum perjanjian di Indonesia.

kualitatif dalam berbagai disiplin ilmu. Jakarta: Yogyakarta: Pustaka Yustitia. Rajawali Press.

Rasjid, R. (2007). Makna pemerintahan tinjauan dari Bachtiar. (2017). Kekuasaan & pertanggungjawaban

segi etika & kepemimpinan. Jakarta: Yasrif presiden dalam konstruksi politik hukum

Watampone.

konstitusi Negara Republik Indonesia. Disertasi. Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Ridwan HR. (2014). Hukum administrasi negara.

Jakarta: Rajawali Pers.

Djojodirdjo, M. (1979). Perbuatan melawan hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.

Sarmadi, A.S. (2012, Mei). Membebaskan positivism hukum ke ranah hukum progresif (Studi

Firdaus. (2007). Pertanggungjawaban presiden dalam pembacaan teks hukum bagi penegak hukum). negara hukum demokrasi. Bandung: Yrama

Jurnal Dinamika Hukum, 12(2), 332-342. Widya.

Slamet, S.R. (2016, Desember). Kesempurnaan Hadjon, P.M. et. al. (1993). Pengantar hukum

kontrak kerja konstruksi menghindari sengketa. administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah

Lex Jurnalica, 13(3), 191-208. Mada University Press.

Solihah, I. (2016, Desember). Kebijakan hukum Hidjaz, K. (2010). Efektivitas penyelenggaraan

pembangunan kawasan perbatasan melalui kewenangan dalam sistem pemerintahan daerah

infrastruktur berbasis teknologi. Jurnal di Indonesia . Makassar: Pustaka Refleksi.

Rechtsvinding, 5(3), 303-321.

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 209 - 225

Suhendar. (2015). Konsep kerugian keuangan negara, pendekatan hukum pidana, hukum administrasi negara,& pidana khusus korupsi. Malang:

Setara Press. Tahir, M.M. (2015, Januari). Good urban governance:

Peran pemerintah dalam pembangunan wilayah kecamatan di Kota Makassar. Government: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 8(1), 9-15.

Van Apeldoorn, L.J. (2000). Pengantar ilmu hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.

Weruin, U.U. et al. (2016, Maret). Hermeneutika hukum: Prinsip & kaidah interpretasi hukum. Jurnal Konstitusi, 13(1), 95-123.

Wiradipradja, E.S. (2015). Penuntun praktis metode penelitian & penulisan karya ilmiah hukum. Bandung: Keni Media.

Pembebanan Tanggung Jawab Perdata (Bachtiar & Tono Sumarna)

| 225