INTERPRETASI 'KURANG LENGKAP' BERKAS PENYELIDIKAN DALAM PERKARA DUGAAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT: Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 75/PUU-XIII/2015 - Ubaya Repository

“IN CAUSA POSITUM”

AR

mencoba menjawab apakah hukum itu? Apa sesungguhnya hakikat hukum itu. Hukum P

ada edisi Agustus 2018 ini Jurnal Yudisial mengangkat tema “In Causa Positum”,

yang diartikan “hukum tercemin dari faktanya”, atau hukum ada dalam kenyataannya. Tema ini merefleksikan aspek fundamental dari hukum itu, yaitu

tidak semata-mata asas dan kaidah (norma) dalam peraturan perundang-undangan, bukan hanya sekedar wadah (struktur) yang statis, melainkan proses yang sangat dinamis, yaitu bagaimana mewujudkan asas dan kaidah (norma) dalam kenyataannya. In causa positum, pada hakikatnya ingin menjelaskan bagaimana hukum lahir melalui proses penafsiran, ketika asas dan kaidah bersentuhan dengan realitas.

PENGANT

Beberapa artikel yang hadir pada edisi Agustus ini, mencerminkan bagaimana dinamika proses sebagaimana dijelaskan di atas, misalnya kajian terhadap Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006 yang dipandang telah meniadakan prinsip dasar tentang materiele wederrechtelijk, yaitu meniadakan eksistensi hukum yang hidup di dalam masyarakat sebagai sumber hukum. Kajian berikutnya membahas Putusan Nomor 75/ PUU-XIII/2015, penulisnya mengangkat tema tentang frasa “berkas penyelidikan yang kurang lengkap”, dalam perkara dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat, yang bersifat multi-interpretasi dan dapat menimbulkan persoalan bagi pencari keadilan. Terlepas dari perdebatan itu, penulisnya memandang bahwa putusan teersebut dianggap merupakan tonggak pemahaman untuk memperoleh kebenaran materiil.

Putusan Nomor 2399 K/PID.SUS/2010, merupakan kajian terhadap kasus tindak pidana korupsi di mana hakim menerobos ketentuan pemidanaan minimum. Tulisan ini membahas mengenai infra petita putusan dalam tindak pidana korupsi, yaitu bagaimana nilai keadilan seharusnya menjadi pertimbangan pengambilan keputusan. Artikel selanjutnya mengkaji Putusan Nomor 01/PID.SUS/PRK/2015/PN.AMB, penulisnya mengangkat tema mengenai illegal fishing yang akibat kerugiannya tidak sebanding dengan pidana denda yang diberikan. Kajian terhadap Putusan Nomor 9/ PID.SUS-ANAK/2016/PT.BDG, merupakan artikel berikutnya yang membedah prinsip restorative justice. Putusan tersbut oleh penulisnya dipandang telah mencerminkan semangat restorative justice yang diterapkan pada kasus anak yang berkonflik dengan hukum dan putusan itu juga telah memastikan adanya pemenuhan hak-hak anak.

Artikel selanjutnya membahas penggunaan hermeneutika untuk membedah Putusan Nomor 72/PDT.G/2014/PN.TNG, penulisnya berkesimpulan, bahwa majelis hakim (dalam putusan tersebut) telah keliru manafsirkan konsep pertanggungjawaban kepada daerah. Penulisnya mennyajikan polemik tasir tentang lapangan hukum, yaitu wanprestasi pada satu sisi dan tanggung jawab administratif pada sisi lainnya. Artikel terakhir mengkaji tentang Putusan Nomor 329 K/AG/2014 tentang status anak di Artikel selanjutnya membahas penggunaan hermeneutika untuk membedah Putusan Nomor 72/PDT.G/2014/PN.TNG, penulisnya berkesimpulan, bahwa majelis hakim (dalam putusan tersebut) telah keliru manafsirkan konsep pertanggungjawaban kepada daerah. Penulisnya mennyajikan polemik tasir tentang lapangan hukum, yaitu wanprestasi pada satu sisi dan tanggung jawab administratif pada sisi lainnya. Artikel terakhir mengkaji tentang Putusan Nomor 329 K/AG/2014 tentang status anak di

sosiologis dan filosofis cenderung diabaikan. Menurut penulisnya seharusnya putusan tersebut mengimplementasikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

VIII/2010. In causa positum, hukum selalu ada dalam kenyatannya, selamat membaca dengan

kritis. Tertanda

Pemimpin Redaksi Jurnal Yudisial

VI

Vol. 11 No. 2 Agustus 2018 p-ISSN 1978-6506/e-ISSN 2579-4868

KONSTITUSIONALITAS MATERIELE WEDERRECHTELIJK DALAM KEBIJAKAN PEMBERANTASAN

AR ISI TINDAK PIDANA KORUPSI ................................................................... 131 - 150 T Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006

Ade Adhari

AF Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta

D INFRA PETITA PUTUSAN PENGADILAN

TINDAK PIDANA KORUPSI YANG MENEROBOS KETENTUAN PEMIDANAAN MINIMUM ........................................... 151 - 170

Kajian Putusan Nomor 2399 K/PID.SUS/2010 Anshar & Suwito Fakultas Hukum Universitas Khairun, Ternate Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Biak, Biak

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM ILLEGAL FISHING DI INDONESIA ...................................... 171 - 192

Kajian Putusan Nomor 01/PID.SUS/PRK/2015/PN.AMB Oksimana Darmawan Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM, Jakarta

KEADILAN RESTORATIF DALAM PUTUSAN PIDANA ANAK ........................................................ 193 - 208

Kajian Putusan Nomor 9/PID.SUS-ANAK/2016/PT.BDG Hesti Septianita Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung

PEMBEBANAN TANGGUNG JAWAB PERDATA KEPADA KEPALA DAERAH AKIBAT WANPRESTASI OLEH KEPALA DINAS ............................................................................ 209 - 225

Kajian Putusan Nomor 72/PDT.G/2014/PN.TNG Bachtiar & Tono Sumarna Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Tangerang Selatan Bagian Hukum Pemerintah Kota Tangerang Selatan, Tangerang Selatan

INTERPRETASI ‘KURANG LENGKAP’ BERKAS PENYELIDIKAN DALAM PERKARA DUGAAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT .............................................................. 227 - 241

VII

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 75/PUU-XIII/2015 Hwian Christianto Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Surabaya

IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG ANAK DI LUAR KAWIN ...................................................... 243 - 265

Kajian Putusan Nomor 329 K/AG/2014 Nurhadi Mahkamah Syar’iyah Sabang, Sabang

VIII

IX

UDC 347.192; 343.352 Adhari A (Fakutas Hukum, Universitas

Tarumanagara, Jakarta) Konstitusionalitas Materiele Wederrechtelijk dalam

Kebijakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/

PUU-IV/2006 Jurnal Yudisial 2018 11(2), 131 - 150 Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006 menyatakan

materiele wederrechtelijk dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, dan tidak berlaku mengikat. Penelitian ini berupaya memahami apakah tepat atau tidak pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut. Dalam menjawab permasalahan tersebut digunakan penelitian doktrinal, norma hukum serta asas yang melandasi lahirnya putusan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian diketahui terdapat ketidaktepatan dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi telah keliru dalam usahanya memvalidasi Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan menguji berdasarkan asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Padahal prinsipnya pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang- undang terhadap UUD NRI 1945. Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi berorientasi pada asas legalitas yang hanya mengutamakan rechtssicherheit dan mengesampingkan keberadaan gerechtigkeit dan zweckmässigkeit. Lebih dari itu, tidak diakuinya materiele wederrechtelijk telah meniadakan eksistensi hukum yang hidup di masyarakat sebagai sumber hukum untuk menyatakan suatu perbuatan bersifat melawan hukum. Hal ini bertentangan dengan mandat Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945, dan berbagai peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Dengan demikian materiele wederrechtelijk tidak bertentangan dengan kontitusi.

(Ade Adhari) Kata kunci: materiele wederrechtelijk, korupsi,

konstitusionalitas.

UDC 343.352 Anshar & Suwito (Fakultas Hukum Universitas

Khairun, Ternate, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Biak, Biak)

Infra Petita Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang Menerobos Ketentuan Pemidanaan Minimum

Kajian Putusan Nomor 2399 K/PID.SUS/2010 Jurnal Yudisial 2018 11(2), 151 - 170 Penanganan perkara tindak pidana korupsi

menganut sistem pemidanaan minimum bagi pelaku yang diputus bersalah oleh pengadilan. Istilah ketentuan pidana minimum khusus secara normatif diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada tataran praktiknya terdapat fenomena adanya putusan pengadilan yang menerobos sistem pemidanaan minimum yang dianut tersebut. Salah satu contoh putusan pengadilan yang ditelaah dalam tulisan ini adalah Putusan Nomor 2399 K/PID. SUS/2010. Permasalahan yang timbul adalah apa saja yang menjadi landasan infra petita hakim dalam menjatuhkan putusan yang menerobos ketentuan pemidanaan minimum dalam perkara tindak pidana korupsi tersebut. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang. Penulis berkesimpulan bahwa putusan pengadilan

JURNAL YUDISIAL

p-ISSN 1978-6506/e-ISSN 2579-4868 ........................................... Vol. 11 No. 2 Agustus 2018

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

tindak pidana korupsi yang menerobos ketentuan diketahui bahwa Indonesia masih menganut sistem pemidanaan minimum dalam Undang-Undang pertanggungjawaban yang kedua, yaitu korporasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung dasarnya diperbolehkan. Sepanjang putusan hakim jawab. Hal ini tampak tidak sebanding dengan efek yang infra petita tersebut memiliki esensi ratio dari kejahatan yang dilakukan. Oleh karena itu, perlu legis yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan, diadakan revisi terhadap undang-undang tersebut, atas dasar alasan pertimbangan nilai keadilan dan sehingga korporasi sebagai pelaku kejahatan yang pertimbangan judex factie sebagaimana pada sesungguhnya dapat dimintai pertanggungjawaban perkara a quo.

dan dijatuhi sanksi pidana.

(Oksimana Darmawan) Kata kunci: putusan, korupsi, pemidanaan minimum Kata kunci: hukum laut dan perikanan,

(Anshar & Suwito)

pertanggungjawaban pidana korporasi, illegal fishing.

UDC 639.2.081(910) Darmawan O (Badan Penelitian dan Pengembangan

UDC 343.224.1

Hukum dan HAM, Jakarta) Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Septianita H (Fakultas Hukum, Universitas

Pasundan, Bandung)

Illegal Fishing di Indonesia Kajian Putusan Nomor 01/PID.SUS/PRK/2015/ Keadilan Restoratif dalam Putusan Pidana Anak PN.AMB

Kajian Putusan Nomor 9/PID.SUS-ANAK/2016/ PT.BDG

Jurnal Yudisial 2018 11(2), 171 - 192 Illegal fishing adalah kegiatan penangkapan ikan Jurnal Yudisial 2018 11(2), 193 - 208

yang bertentangan dengan perundang-undangan Tulisan ini merupakan sebuah analisis terhadap suatu negara atau ketentuan internasional. Mengingat Putusan Nomor 9/PID.SUS-ANAK/2016/PT.BDG, kerugian yang ditimbulkannya sangat besar dan yang mengkaji sudah tepat atau tidak putusan sebagian besar pelakunya adalah korporasi, maka yang dijatuhkan oleh hakim pengadilan tingkat perlu dikaji bagaimana pertanggungjawaban pidana banding tersebut dengan konsep restorative justice. korporasi terhadap tindak pidana ini. Tulisan ini Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini mengkaji bagaimana Putusan Nomor 01/PID. adalah metode yuridis normatif dengan pendekatan SUS/PRK/2015/PN.AMB terhadap kapal asing deskriptif analitis yang menggambarkan sekaligus yang melakukan praktik illegal fishing di perairan menganalisis pertimbangan-pertimbangan yang Indonesia. Metode analisis yang diterapkan diambil oleh hakim dalam menjatuhkan putusan. untuk menjawab permasalahan adalah dengan Pertimbangan yang diambil oleh hakim pengadilan menggunakan metode yuridis kualitatif. Pelaku tingkat banding yang menguatkan putusan hakim tindak pidana illegal fishing di wilayah perairan pada pengadilan tingkat pertama merupakan Indonesia secara umum adalah setiap orang yang pertimbangan yang tepat di mana hakim memutus diartikan perseorangan atau korporasi. Dalam hal perkara dengan mempertimbangkan prinsip- pertanggunggjawaban pidana korporasi disebutkan prinsip restorative justice. Hakim tidak hanya dalam Pasal 101 Undang-Undang Nomor 31 Tahun mempertimbangkan upaya pemberian efek jera 2004 tentang Perikanan jo. Undang-Undang Nomor tetapi juga mempertimbangkan kepentingan terbaik

45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang- bagi anak yang berkonflik dengan hukum dengan Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, memastikan pemenuhan hak atas pendidikan dan 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang- bagi anak yang berkonflik dengan hukum dengan Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, memastikan pemenuhan hak atas pendidikan dan

kepala daerah tidak dapat dimintai tanggung jawab secara perdata akibat wanprestasi yang dilakukan

(Hesti Septianita)

kepala dinas. Demikian pula dari perspektif Pasal Kata kunci: pidana anak, pembinaan, restorative 1340 KUHPerdata, walikota bukanlah merupakan

justice. pihak dalam pelaksanaan perjanjian yang dibuat oleh kepala dinas, sehingga tidak dapat dibebani tanggung jawab secara keperdataan.

UDC 353.2 (Bachtiar & Tono Sumarna)

Bachtiar & Sumarna T (Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Bagian Hukum Pemerintah Kota Kata kunci: tanggung jawab perdata, kepala daerah, Tangerang Selatan)

wanprestasi.

Pembebanan Tanggung Jawab Perdata Kepada Kepala Daerah Akibat Wanprestasi Oleh Kepala UDC 342.7 Dinas

Christianto H (Fakultas Hukum, Universitas Kajian Putusan Nomor 72/PDT.G/2014/PN.TNG

Surabaya, Surabaya)

Jurnal Yudisial 2018 11(2), 209 - 225 Interpretasi ‘Berkas Kurang Lengkap’ dalam Wanprestasi dalam perjanjian konstruksi kerap Penyelidikan Perkara Dugaan Pelanggaran Hak ditemui dalam praktik, baik yang dilakukan oleh Asasi Manusia Berat pemberi pekerjaan, maupun pihak pelaksana Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 75/

pekerjaan. Konsekuensinya, pihak yang melakukan PUU-XIII/2015 wanprestasi dibebankan memulihkan kerugian yang

Jurnal Yudisial 2018 11(2), 227 - 241 timbul dari pelaksanaan perjanjian. Hal demikian

tercermin dalam Putusan Nomor 72/PDT.G/2014/ Putusan Nomor 75/PUU-XIII/2015 atas permohonan PN.TGR, di mana Kepala Dinas Kesehatan Kota pengujian Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Tangerang Selatan selaku pihak pemberi pekerjaan Pengadilan Hak Asasi Manusia, memiliki aspek proyek terbukti melakukan wanprestasi. Menarik menarik terkait kepastian hukum dan keadilan. untuk dicermati, majelis hakim dalam putusannya Pemohon menilai keberadaan istilah ‘berkas kurang justru membebankan Walikota Tangerang Selatan lengkap’ dalam ketentuan a quo memberikan untuk bertanggung jawab secara keperdataan. Isu ketidakadilan karena tidak memberikan kepastian hukum yang hendak dijawab dalam tulisan ini, terkait hukum. Sebaliknya, penyidik, dalam hal ini Jaksa apakah penafsiran hakim dalam Putusan Nomor Agung justu menganggap keberadaan rumusan 72/PDT.G/2014/PN.TNG tentang pembebanan tersebut memberikan kepastian hukum sekaligus tanggung jawab perdata kepada kepala daerah akibat keadilan yang dibutuhkan oleh pencari keadilan wanprestasi yang dilakukan oleh kepala dinas telah maupun masyarakat. Penelitian menggunakan

XI

XII

metode penelitian studi kasus yang mendasarkan dokumen Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai bahan hukum primer, dibandingkan dengan bahan hukum sekunder berupa teori hukum pidana dan hak asasi manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Putusan Nomor 75/PUU- XIII/2015 memberikan pertimbangan, bahwa pengaturan tersebut tetap konstitusional. Perbedaan pemahaman ini menunjukkan bahwa keberadaan berkas penyelidikan yang ‘kurang lengkap’ dapat dimungkinkan. Hal tersebut dianggap sebagai kondisi praktis penegakan hukum yang menekankan kehati-hatian dan persamaan di hadapan hukum.

(Hwian Christianto)

Kata kunci: berkas perkara, asas hukum acara pidana, constitutional rights, putusan hakim.

UDC 347.993; 362.72 Nurhadi (Mahkamah Syar’iyah Sabang, Sabang) Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Anak di Luar Kawin

Kajian Putusan Nomor 329 K/AG/2014 Jurnal Yudisial 2018 11(2), 243 - 265 Putusan Nomor 329 K/AG/2014 terkait kedudukan

anak di luar kawin yang berinisial MIR. MIR tidak diakui oleh ayahnya. Ibunya yang berinisial AM mengajukan gugatan isbat nikah (pengesahan perkawinannya) yang dikumulasikan dengan pengesahan kedudukan anaknya berdasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU- VIII/2010. Putusan tersebut menolak seluruh gugatan AM dengan pertimbangan pengadilan agama tidak berwenang mengesahkan perkawinan yang terjadi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan permohonan pengesahan kedudukan anak di luar kawin bukan kewenangan pengadilan agama. Dari beberapa permasalahan yang ditemui, penelitian ini mengulas tiga rumusan masalah. Pertama, apakah dalam Putusan Nomor 329 K/AG/2014 sudah tercermin aspek yuridis,

aspek sosiologis, dan aspek filosofis? Kedua, apakah pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 329 K/AG/2014 telah mengimplementasikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010? Ketiga, bagaimana kondisi petitum tentang anak di luar kawin apabila ditinjau menurut teori keadilan, teori perlindungan, teori kewenangan, teori hukum progresif, dan teori mashlahah? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam putusan tersebut lebih mengutamakan aspek yuridis, sedangkan aspek sosiologis dan

filosofis cenderung diabaikan. Putusan tersebut tidak mengimplementasikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Berdasarkan teori keadilan, teori perlindungan hukum, teori kewenangan, teori hukum progresif, dan teori mashlahah, petitum tentang anak di luar kawin dapat dikabulkan.

(Nurhadi) Kata kunci: anak di luar kawin, anak biologis,

Putusan Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Agung.

XIII

JURNAL YUDISIAL

p-ISSN 1978-6506/e-ISSN 2579-4868 ........................................... Vol. 11 No. 2 Agustus 2018

The Descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC 347.192; 343.352 Adhari A (Fakutas Hukum, Universitas

Tarumanagara, Jakarta) Wederrechtelijk Materiele Constitutionality in

Corruption Eradication Policies An Analysis of Constitutional Court Decision

Number 003/PUU-IV/2006 (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2018 11(2), 131 - 150 Constitutional Court Decision Number 003/PUU-

IV/2006 states unlawful criminal acts (materiele wederrechtelijk) in the Anti-Corruption Law is inconsistent with Article 28D paragraph (1) of the 1945 Constitution, and not binding. Doctrinal research, legal norms and principles underlying the birth of the court decision are used in answering whether the problem arising from the decision is justified. Based on the result of the research, there is an inaccuracy in the consideration of the Constitutional Court. The Constitutional Court has erred in its attempt to validate the Elucidation of Article 2 Paragraph (1) of Corruption Law by examining based on the legality principle contained in Article 1 paragraph (1) of the Criminal Code. Whereas in principle, what has been conducted by the Constitutional Court is a judicial review of the law against the 1945 Constitution. In addition, the Constitutional Court’s decision is oriented on the principle of legality which only prioritizes legal certainty (Rechtssicherheit) and overrides justice (Gerechtigkeit) and utility (Zweckmässigkeit). Moreover, the unrecognized materiele wederrechtelijk has negated the existence of a living law in society as a source of law to declare unlawful acts. This is contrary to the mandate of Article 18B paragraph (2) of the 1945 Constitution and various prevailing laws and regulations. Thus, the material wederrechtelijk is not contradictory to the constitution.

(Ade Adhari) Keywords: materiele wederrechtelijk, corruption,

constitutionality.

UDC 343.352 Anshar & Suwito (Fakultas Hukum Universitas

Khairun, Ternate, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Biak, Biak)

Infra Petita in Anti-Corruption Court Decision that Breach the General Criminal Provisions

An Analysis of Court Decision Number 2399 K/ PID.SUS/2010 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2018 11(2), 151 - 170 In the handling of a corruption case, mandatory

minimum penalty is adopted in the criminal justice system for the offender who was found guilty by the court. The term ‘mandatory minimum penalty’ is normatively regulated in Article 2 paragraph (1) of Law Number 31 of 1999, as amended to Law Number 20 of 2001 concerning Corruption Eradication. In practice there is a phenomenon of

a court decision breaching the adopted mandatory minimum penalty. One example of a court decision analyzed hereon is the Decision Number 2399 K/ PID.SUS/2010. The arising problem is what the consideration of the judge is for infra petita in imposing decision which breached the mandatory minimum penalty provision in that corruption case. This research uses normative legal research method with legislation approach. It can be concluded that it is basically permissible in the corruption court’s decision to breach the minimum penalty provisions as stipulated in the Corruption Eradication Law. Provided that the judge’s decision of infra petita, is based on strong legislation ratio and can be accounted for, on the basis of justice value and a court decision breaching the adopted mandatory minimum penalty. One example of a court decision analyzed hereon is the Decision Number 2399 K/ PID.SUS/2010. The arising problem is what the consideration of the judge is for infra petita in imposing decision which breached the mandatory minimum penalty provision in that corruption case. This research uses normative legal research method with legislation approach. It can be concluded that it is basically permissible in the corruption court’s decision to breach the minimum penalty provisions as stipulated in the Corruption Eradication Law. Provided that the judge’s decision of infra petita, is based on strong legislation ratio and can be accounted for, on the basis of justice value and

UDC 343.224.1

(Anshar & Suwito) Septianita H (Fakultas Hukum, Universitas

Pasundan, Bandung)

Keywords: court decision, corruption, minimum penalty.

Restorative Justice in Court Decision on Juvenile Crime

An Analysis of Court Decison Number 9/PID.SUS- UDC 639.2.081(910)

ANAK/2016/PT.BDG (Org. Ind)

Darmawan O (Badan Penelitian dan Pengembangan

Jurnal Yudisial 2018 11(2), 193 - 208

Hukum dan HAM, Jakarta) Corporate Criminal Liability of Illegal Fishing in This is an analysis of Court Decision Number

9/PID.SUS-ANAK/2016/PT.BDG, which Indonesia

examines whether the decision imposed by the An Analysis of Decision Number 01/PID.SUS/ appellate court judge using the restorative justice

PRK/2015/PN.AMB (Org. Ind) concept is appropriate. Research in the analysis Jurnal Yudisial 2018 11(2), 171 - 192

use normative juridical method with analytical Illegal fishing refers to activities which contravene a descriptive approach, which describes and analyzes considerations taken by judges in making decision.

state’s fisheries law and regulations, or international The consideration taken by the appellate court

conventions. Considering that the losses incurred judge reinforcing the decision of the first-level court are so massive and most of the perpetrators are

judges is the right consideration since the judge corporations, the corporate criminal liability for this

decides the case by taking heed to the principles of crime should be appraised. This paper examines

restorative justice. The judge does not only weigh how the Ambon District Court Decision Number 01/ on the effort to provide a deterrent effect, but also PID.SUS/PRK/2015/PN.AMB responds to foreign the best interests of children in conflict with the vessels conducting illegal fishing in Indonesian

law by ensuring the fulfillment of the children’s waters. The problem was analyzed using qualitative

educational rights and prevent them from the risk juridical methods. The perpetrators of illegal fishing of bad influences that may lead to the recurrence of in Indonesian territorial waters in general are anyone crime. Because in the issue of children in conflict as an individual or corporation. In corporate criminal with the law, education for all children regardless of

liability, as stated in Article 101 of Law Number origin, race, gender, disability or ability and health

31 of 2004 concerning Fisheries, Law Number 45 services and advocacy should be taken into account. of 2009 concerning Amendments to Law Number The children are not able to get an adequate education 31 of 2004 concerning Fisheries, Indonesia still because of the incapacity of prison conditions to adheres to the second system of liability, in which

provide education to their inmates.

the corporation as the responsible decision maker and board. This seems to be out of proportion to

(Hesti Septianita) the effects of the crimes committed. Therefore, it is Keywords: juvenile crime, educational treatment, necessary to revise the law, so that corporation as restorative justice. the perpetrator can actually be held accountable and

become a legal subject to criminal sanctions.

UDC 353.2 (Oksimana Darmawan)

Keywords:

marine and fisheries law, corporate Bachtiar & Sumarna T (Fakultas Hukum Universitas

Pamulang, Bagian Hukum Pemerintah Kota criminal liability, illegal fishing.

Tangerang Selatan)

XIV

XV

The Imposition of Civil Liability to the Regional Head Due to Default by the Head of Office

An Analysis of Court Decision Number 72/ PDT.G/2014/PN.TNG (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2018 11(2), 209 - 225 Breach of contract in construction agreements is often

found in practice, whether carried out by the employer, or the implementing party. As a consequence, the defaulting party is charged to recover losses arising from the implementation of the agreement. This was reflected in Court Decision Number 72/PDT.G/2014/ PN.TGR, which is the Head of South Tangerang City Health Office, as the project employer, has been proven in breach of contract. It is interesting to note that the panel of judges in its decision actually charged the Mayor of South Tangerang with a contractual liability. The legal issue in this paper is whether the interpretation of judges in Court Decision Number 72/PDT.G/2014/PN.TNG concerning the imposition of civil liability to the regional head due to default committed by the head of office is in accordance with the teachings of the law of state administration and civil law. To answer these issues, the author uses normative legal research methods based on secondary data obtained through literature studies. The results of the analysis show that the panel of judges has erred in interpreting the concept of regional head accountability. According to the teachings of the state administration law, the mayor as the head of the region cannot be privately liable for the default committed by the head of office. Likewise, from the perspective of Article 1340 of the Civil Code, the mayor is not a party to the implementation of the agreement made by the head of office, therefore civil liability cannot

be burdened to him.

(Bachtiar & Tono Sumarna)

Keywords: civil liability, regional head, default

UDC 342.7 Christianto H (Fakultas Hukum, Universitas

Surabaya, Surabaya)

Interpretation of ‘Files Incomplete’ in the Investigation Case of Allegation of Severe Infringements of Human Rights

An Analysis of Constitutional Court Decision Number 75/PUU-XIII/2015 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2018 11(2), 227 - 241 Constitutional Court Decision Number 75/PUU-

XIII/2015 on the request for a judicial review of Article 20 paragraph (3) of Law on Human Rights Court has an interesting aspect related to the rule of law and justice. The Petitioner considered that the term ‘incomplete file’ in the quo provision raises a sense of injustice because it cannot bring legal certainty. Instead, the investigator, in this case the Attorney General considers the formulation can actually provide legal certainty as well as sense of justice needed by the justice seekers and the community. This analysis uses case study research method based on the document of Constitutional Court Decision as the primary law material compared with secondary law material in the form of criminal law theory and human rights. The results of the analysis show that the Constitutional Court Decision Number 75/PUU-XIII/2015 considers that the arrangement is still constitutional. This distinction of understanding suggests that ‘case

file incomplete’ may be possible. It is regarded as the practical conditions of law enforcement that emphasize prudence and equality before the law.

(Hwian Christianto) Keywords: case file, principles of criminal procedure

law, constitutional rights, judge’s decision.

UDC 347.993; 362.72 Nurhadi (Mahkamah Syar’iyah Sabang, Sabang) The Implementation of Constitutional Court

Decision Number 46/PUU-VIII/2010 on Extramarital Child

An Analysis of Court Decision Number 329 K/ AG/2014 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2018 11(2), 243 - 265 The Supreme Court Decision Number 329 K/

AG/2014 concerns on the case of an out-of-wedlock status with the initials MIR who was disowned by her father. The mother of the child initials AM, filed a lawsuit related to itsbat marriage (marriage ratification) which was accumulated with the ratification of her child’s status based on the Constitutional Court Decision Number 46/PUU- VIII/2010. The decision completely rejected the lawsuit considering that the Religious Court was not authorized to ratify a marriage that occurred after the enactment of Law Number 1 of 1974, and the request to legalize the status of an extramarital child was not the authority of the religious court. Of the several problems encountered, in this analysis three formulations of the problem were discussed. First, has the Decision Number 329 K/AG/2014 reflected the juridical, sociological, and philosophical aspects? Second, have these legal considerations of Decision Number 329 K/AG/2014 implemented the Constitutional Court Decision Number 46/PUU- VIII/2010? Third, how is the condition of petitum related to extramarital children viewed from the theory of justice, protection theory, authority theory, progressive legal theory, and mashlahah theory? The method used in this research is descriptive- analysis. The results showed that the decision prioritize the juridical aspect. Meanwhile, the sociological and philosophical aspects tend to be neglected. The decision does not seem to implement the Constitutional Court Decision Number 46/ PUU-VIII/2010. Based on the theory of justice, legal protection, authority, progressive law and mashlahah, petitum regarding extramarital children can be granted.

(Nurhadi) Keywords: extramarital children, biological child,

Constitutional Court Decision, Supreme Court Decision.

XVI

Konstitusionalitas Materiele Wederrechtelijk (Ade Adhari)

| 131

ABSTRAK

Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006 menyatakan materiele wederrechtelijk dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, dan tidak berlaku mengikat. Penelitian ini berupaya memahami apakah tepat atau tidak pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut. Dalam menjawab permasalahan tersebut digunakan penelitian doktrinal, norma hukum serta asas yang melandasi lahirnya putusan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian diketahui terdapat ketidaktepatan dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi telah keliru dalam usahanya memvalidasi Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan menguji berdasarkan asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Padahal prinsipnya pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945. Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi berorientasi pada asas legalitas yang hanya mengutamakan rechtssicherheit dan mengesampingkan

keberadaan gerechtigkeit dan zweckmässigkeit. Lebih dari itu, tidak diakuinya materiele wederrechtelijk telah meniadakan eksistensi hukum yang hidup di masyarakat sebagai sumber hukum untuk menyatakan suatu perbuatan bersifat melawan hukum. Hal ini bertentangan dengan mandat Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945, dan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian materiele wederrechtelijk tidak bertentangan dengan kontitusi.

Kata kunci: materiele wederrechtelijk, korupsi, konstitusionalitas.

ABSTRACT

Constitutional Court Decision Number 003/PUU- IV/2006 states unlawful criminal acts (materiele wederrechtelijk) in the Anti-Corruption Law is inconsistent with Article 28D paragraph (1) of the 1945 Constitution, and not binding. Doctrinal research, legal norms and principles underlying the birth of the court decision are used in answering whether the problem

KONSTITUSIONALITAS MATERIELE WEDERRECHTELIJK DALAM KEBIJAKAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006

WEDERRECHTELIJK MATERIELE CONSTITUTIONALITY IN CORRUPTION ERADICATION POLICIES

Ade Adhari

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Jl. Letjen S. Parman No. 1 Jakarta 11440 E-mail: adea@fh.untar.ac.id atau ade_adhari@ymail.com

An Analysis of Constitutional Court Decision Number 003/PUU-IV/2006

Naskah diterima: 12 Oktober 2017; revisi: 30 Juli 2018; disetujui 6 Agustus 2018 http://dx.doi.org/10.29123/jy.v11i2.260

arising from the decision is justified. Based on the result of certainty (Rechtssicherheit) and overrides justice the research, there is an inaccuracy in the consideration (Gerechtigkeit) and utility (Zweckmässigkeit). Moreover, of the Constitutional Court. The Constitutional Court has the unrecognized materiele wederrechtelijk has negated erred in its attempt to validate the Elucidation of Article the existence of a living law in society as a source of law

2 Paragraph (1) of Corruption Law by examining based to declare unlawful acts. This is contrary to the mandate on the legality principle contained in Article 1 paragraph of Article 18B paragraph (2) of the 1945 Constitution (1) of the Criminal Code. Whereas in principle, what has and various prevailing laws and regulations. Thus, the been conducted by the Constitutional Court is a judicial material wederrechtelijk is not contradictory to the review of the law against the 1945 Constitution. In constitution. addition, the Constitutional Court’s decision is oriented

Keywords: materiele wederrechtelijk, corruption, on the principle of legality which only prioritizes legal

constitutionality.

I. PENDAHULUAN

universally accepted definition of corruption

A. Latar Belakang

(United Nations, 2004: 23). Dengan demikian kalaupun ada, pengertian tersebut dapat disebut

Saat negara Indonesia memproklamasikan tentative definition. sebagai negara yang merdeka, lepas dari belenggu penjajahan, maka pada saat itu pula ditetapkan

Terdapat banyak pemaknaan korupsi tujuan nasional yang hendak diwujudkan oleh yang diberikan oleh berbagai ahli, di antaranya bangsa ini. Muara akhir yang hendak dicapai Tanzy yang menyebut bahwa corruption is the tersebut tertuang dalam Alinea Keempat intentional non-compliance with the arm’s-length Pembukaan UUD NRI 1945. UUD NRI 1945 principle aimed at deriving some advantage sebagai konstitusi tertulis juga telah memberikan for oneself or for related individuals from this rambu bagaimana cara mencapai tujuan nasional behavior (Begovic, 2005: 2). sebagaimana dinyatakan di atas. Melalui Pasal

Secara normatif tidak terdapat pengertian

1 ayat (3) UUD NRI 1945 ditetapkan bahwa korupsi dalam hukum positif yang diatur dalam

hukum menjadi salah satu sarana bagi negara Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

untuk mencapai apa yang disebut sebagai tujuan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.

nasional. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Usaha negara untuk mencapai tujuan Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 nasional tidaklah mudah, karena negara Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak dihadapkan pada berbagai masalah yang terjadi di Pidana Korupsi. Dalam Undang-Undang Tindak berbagai bidang kehidupan, yakni budaya, sosial, Pidana Korupsi hanya terdapat batasan untuk politik, dan ekonomi. Salah satu masalah yang menyatakan perbuatan yang dikualifikasi sebagai menghambat negara dalam memenuhi tujuan tindak pidana korupsi. nasional kepada masyarakat adalah maraknya

Ditinjau dari segi criminal policy, maka tindak pidana korupsi di Indonesia. Tidak ada

kesepakatan mengenai definisi korupsi. Hal ditetapkannya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi merupakan bentuk dari kebijakan hukum

ini yang juga diungkapkan oleh Perserikatan pidana. Undang-undang tersebut merupakan

Bangsa-Bangsa, there is no comprehensive, and

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 131 - 150 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 131 - 150

1. Pasal 28D ayat (1) mengakui dan melindungi untuk menanggulangi kejahatan melalui beberapa

hak konstitusional warga negara untuk tahapan utama, dan penetapan Undang-Undang

memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam

Tindak Pidana Korupsi merupakan bagian dari bidang hukum pidana diterjemahkan tahapan yang oleh Bassiouni disebut tahap

sebagai asas legalitas yang dimuat dalam formulasi (proses legislatif).

Pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum di mana orang hanya dapat dituntut

Menurut Bassiouni, tahapan-tahapan dan diadili atas dasar suatu peraturan

untuk fungsionalisasi hukum pidana melalui perundang-undangan yang tertulis (lex tiga tahapan utama yaitu tahap formulasi (proses

scripta) yang telah lebih dahulu ada; legislatif), tahap aplikasi (proses peradilan/ 2. Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak

judicial), dan tahap eksekusi (tahap administrasi) pidana memiliki unsur melawan hukum, yang harus secara tertulis lebih dahulu

(Arief, 2012: 10). telah berlaku, yang merumuskan perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan manusia

Kebijakan formulasi dalam menanggulangi secara jelas dan ketat yang dilarang korupsi dalam Undang-Undang Tindak Pidana

sehingga karenanya dapat dituntut dan dipidana, sesuai dengan prinsip nullum

Korupsi berisi norma hukum pidana materiil

crimen sine lege stricta;

sekaligus norma hukum pidana formal. Salah satu norma hukum pidana materiil yang muncul adalah

3. Konsep melawan hukum yang secara formal tertulis (formele wederrechtelijk),

diakuinya keberadaan unsur sifat melawan hukum yang mewajibkan pembuat undang- formal dan materiil (formele wederrechtelijkheid

undang untuk merumuskan secermat dan serinci mungkin merupakan syarat untuk

dan materiele wederrechtelijkheid), sebagai menjamin kepastian hukum (lex certa)

dasar untuk menyatakan suatu perbuatan bersifat atau yang dikenal juga dengan istilah melawan hukum sehingga dikatakan ada tindak

bestimmheitsgebot.

pidana korupsi. Hal tersebut diatur secara tegas Pertimbangan yang dijadikan dasar

dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak untuk memutus sebagaimana disampaikan oleh

Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi mendasarkan pada Pasal 1

Perkembangan keberadaan Pasal 2 ayat (1) ayat (1) KUHP. Hal ini tentu menyalahi prinsip Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, diajukan bahwa pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah permohonan untuk diuji validitasnya dengan Pasal Konstitusi adalah pengujian undang-undang 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Permohonan tersebut terhadap UUD NRI 1945. Selain itu, Mahkamah diajukan DD. Permohonan tersebut kemudian Konstitusi memandang Pasal 1 ayat (1) KUHP diputus melalui Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006 merupakan bentuk penerjemahan ketentuan Pasal yang menyatakan sifat melawan hukum materiil 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Padahal jelas, dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang KUHP tidak dibangun atas dasar UUD NRI 1945, Tindak Pidana Korupsi dinyatakan bertentangan melainkan sekadar keberlakuannya didasarkan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai pada aturan peralihan yang terdapat dalam UUD kekuatan mengikatnya. Hal tersebut dinyatakan NRI 1945.

Konstitusionalitas Materiele Wederrechtelijk (Ade Adhari)

B. Rumusan Masalah

D. Tinjauan Pustaka

1. Kebijakan Hukum Pidana terhadap

Berdasarkan uraian latar belakang di

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

atas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini adalah sudah tepatkah pertimbangan hakim

Lapenna dalam sebuah karyanya dalam menilai konstitusionalitas unsur sifat menyebutkan: penal policy is a part of the general melawan hukum materiil dalam Undang-Undang policy of a society –….– aimed at combating crime, Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan and it embraces all methods and measures applied Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam for this purpose. All these remedies against crime Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006 ditinjau dari may be divided into two main groups: measures of konstitusi?

prevention and measures of repression (Lapenna, 2000: 10).

Definisi berikutnya disampaikan oleh Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan Mulder dalam Arief (2014: 27), “strafrecht en

C. Tujuan dan Kegunaan

memahami konstitusionalitas keberadaan unsur politiek” adalah: sifat melawan hukum materiil yang terdapat

a. Garis kebijakan untuk menentukan seberapa dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

jauh ketentuan-ketentuan pidana yang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

berlaku perlu diubah atau diperbaharui; pasca Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006.

b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah Kegunaan tulisan ini antara lain:

terjadinya tindak pidana;

a. Memberikan kontribusi pada

c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, perkembangan hukum pidana nasional

peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dengan mengidentifikasi eksistensi ajaran

dilaksanakan.

sifat melawan hukum baik formal maupun materiil dalam sistem hukum pidana

Kebijakan hukum pidana secara sederhana nasional dan konstitusionalitasnya; dan

dapat dimaknai sebagai usaha rasional yang ditempuh oleh negara dalam menanggulangi

b. Memberikan masukan kepada pembentuk kejahatan dengan menggunakan sarana hukum

undang-undang dalam memformulasikan pidana. Praktiknya kebijakan hukum pidana

unsur sifat melawan hukum materiil menurut Bassiouni melalui tiga tahapan,

dalam peraturan perundang-undangan yakni: tahap formulasi (proses legislatif), tahap

di Indonesia, dan bagi hakim adalah aplikasi (proses peradilan/judicial), dan tahap

memberikan pemahaman terkait dengan eksekusi (proses administrasi) (Arief, 2012: 10).

diakuinya sifat melawan hukum, baik Sehubungan dengan ketiga tahapan tersebut, patut

formal maupun materiil dalam kajian untuk dicermati apa yang disampaikan oleh Arief,

teoritis dan legislatif, sehingga penting yaitu: ”apabila perwujudan suatu sanksi pidana

untuk menjadi tuntunan dalam memutus hendak dilihat sebagai suatu kesatuan proses dari

oleh hakim. perwujudan kebijakan melalui tahap-tahap yang

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 131 - 150 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 131 - 150

dilihat dari suatu kesatuan proses, maka tahap norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling perbuatan tersebut dapat dipidana (Hiariej, 2016: strategis. Dari tahap inilah diharapkan adanya suatu 243). garis pedoman untuk tahap-tahap berikutnya.”

Sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang negatif juga dianut dalam praktik pengadilan

2. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil di Indonesia. Sebagai misal, kasus penyalahgunaan

dalam Hukum Pidana

DO Gula berdasarkan Putusan Mahkamah Agung, Arief mengemukakan sifat melawan 8 Januari 1966, Nomor 42K/Kr/1965 (Hiariej,

hukum materiil atau materiel wederrechtelijkheid 2016: 243). Sifat melawan hukum materiil dalam terdapat dua pandangan, yaitu: pertama, fungsinya yang positif juga dianut dalam praktik sifat melawan hukum materiil dilihat dari pengadilan di Indonesia. Sebagai misal, kasus sudut perbuatannya. Hal ini mengandung arti korupsi di Bank Bumi Daya dengan terdakwa perbuatan yang melanggar atau membahayakan Direktur Bank Bumi Daya (Hiariej, 2016: 244). kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh

Terkait dengan ajaran sifat melawan hukum pembuat undang-undang dalam rumusan delik

materiil, Hiariej berpandangan: tertentu. Biasanya sifat melawan hukum materiil

a. Sifat melawan hukum materiil dalam ini dengan sendirinya melekat pada delik-delik fungsi yang negatif adalah sebagai alasan

yang dirumuskan secara materiil. Kedua, sifat pembenar dan oleh karena itu penulis dapat melawan hukum materiil dilihat dari sudut

menerimanya. Hakikat dari perbuatan pidana adalah perbuatan anti sosial, sehingga jika

sumber hukumnya. Hal ini mengandung makna terdapat keragu-raguan dalam pengertian bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau

di satu sisi telah memenuhi unsur delik, hukum yang hidup dalam masyarakat, asas-asas

namun di sisi lain bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka terdakwa harus

kepatutan atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan

dibebaskan;

sosial dalam masyarakat (Hiariej, 2016: 237).

b. Sifat melawan hukum materiil dalam Secara garis besar, sifat melawan hukum

fungsi yang positif bertentangan dengan asas legalitas, dan oleh karenanya penulis

materiil ini masih dibagi menjadi dua, yakni dalam tidak dapat menerimanya karena akan fungsinya yang negatif dan dalam fungsinya

menimbulkan ketidakpastian hukum; yang positif. Hiariej menerangkan sifat melawan c. Berkaitan dengan sifat melawan hukum

hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, materiil dalam fungsi yang positif, kiranya hal ini bertetangan dengan prinsip fundamental

berarti meskipun perbuatan memenuhi unsur delik dalam hukum pembuktian pidana yang

tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan berbunyi actori incumbit onus probandi, masyarakat, maka perbuatan tersebut tidak

actore non probante, reus absolvitur. Artinya siapa yang menuntut dialah yang wajib

dipidana. Sedangkan sifat melawan hukum materiil membuktikan, jika tidak dapat dibuktikan,

dalam fungsinya yang positif, mengandung arti terdakwa harus dibebaskan. Tegasnya, jika penuntut umum dalam perkara pidana tidak

Konstitusionalitas Materiele Wederrechtelijk (Ade Adhari)

hukum positif;

non probante), maka terdakwa harus diputus bebas (reus absolvitur) (Hiariej, 2016: 249) 2. Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar falsafah (dogma/ doktrin) hukum positif; dan

3. Tiga Nilai Dasar Hukum dari Radbruch 3. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak diterapkan

Radbruch menyatakan bahwa setidaknya untuk menyelesaikan suatu perkara hukum hukum harus hadir dan mengakomodir berbagai

tertentu (Wignjosoebroto, 2002: 148). nilai, yaitu nilai keadilan, kemanfaatan, dan

Penelitian doktrinal dipilih karena berusaha kepastian. Bahkan ketika hukum dihadapkan

mengkaji eksistensi atau konstitusionalitas sifat pada pertentangan antara ketiganya, maka hakim

melawan hukum materiil yang terdapat dalam diminta untuk memilih keadilan. Pendapat

Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, terutama Radbruch tersebut adalah sebagai berikut.

yang terdapat dalam Putusan Nomor 003/PUU- Radbruch establishes the foundation for his IV/2006, dan mencari tahu alasan mendasar theory in his 1932 work, Rechtsphilosophie. He finds that law, as a cultural concept, keberadaan sifat melawan hukum dan mengapa “is the reality the meaning of which is to Mahkamah Konstitusi memutus. Pendekatan serve the legal value, the idea of law.”

dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Radbruch argues that the idea of law may

only be Justice.......Radbruch finds that undang-undang dan pendekatan kasus. although the idea of law is Justice, this alone does not fully exhaust the concept of law. Justice, he says, “leaves open the

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

two questions, whom to consider equal or different, and how to treat them.” To

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 complete the concept of law Radbruch uses tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi three general precepts: purposiveness, justice, and legal certainty..... Certainly, yang kemudian mengalami perubahan dengan the conflict between legal certainty and Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang justice or between legal certainty and Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 purposiveness is easy to imagine......In this situation alone, the emphasis on legal Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak certainty is greatest. Although a law may be Pidana Korupsi, merupakan bentuk kebijakan unjust in its content, it nonetheless serves

formulasi dalam menanggulangi tindak pidana at least one purpose, legal certainty........

Radbruch rejects his earlier assertion that korupsi di Indonesia. legal certainty was the primary role of the judge and now asserts that the judge must

Kebijakan formulasi merupakan bagian decide first in accordance with Justice” tahapan penting dalam usaha menggunakan

(Leawoods, 2000). sanksi pidana sebagai alat mengatasi korupsi.

Pada saat ingin menggunakan sanksi pidana

II. METODE

setidaknya akan melalui tiga tahapan, yaitu: Jenis penelitian hukum yang digunakan tahapan formulasi, tahapan aplikasi, dan tahapan

adalah doktrinal. Wignjosoebroto mengartikan eksekusi. Keberadaan Undang-Undang Tindak penelitian doktrinal terdiri dari:

Pidana Korupsi dalam ranah formulasi menjadi bagian penting dalam penanggulangan korupsi.

136 |

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 131 - 150

Konstitusionalitas Materiele Wederrechtelijk (Ade Adhari)

| 137

Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Muladi & Arief (1984: 92-93), sebagai berikut: