RESTORATIVE JUSTICE IN COURT DECISION ON JUVENILE CRIME

RESTORATIVE JUSTICE IN COURT DECISION ON JUVENILE CRIME

Hesti Septianita

Fakultas Hukum Universitas Pasundan Jl. Lengkong Besar No. 68 Bandung 40261 E-mail: hesti.septianita@unpas.ac.id

An Analysis of Court Decision Number 9/PID.SUS-ANAK/2016/PT.BDG

Naskah diterima: 31 Oktober 2017; revisi: 19 Maret 2018; disetujui 6 Agustus 2018 http://dx.doi.org/10.29123/jy.v11i2.290

risk of bad influences that may lead to the recurrence of not able to get an adequate education because of the crime. Because in the issue of children in conflict with incapacity of prison conditions to provide education to the law, education for all children regardless of origin, their inmates. race, gender, disability or ability and health services and

Keywords: juvenile crime, educational treatment, advocacy should be taken into account. The children are restorative justice.

I. PENDAHULUAN

Serikat tahun 1899 yang didasarkan pada “asas

A. Latar Belakang

parens patriae,” menandakan bahwa anak patut dilindungi. Parens patriae adalah doktrin yang

Anak sebagai penerus garis keturunan mengizinkan negara untuk ikut campur dan

keluarga dan bangsa merupakan bagian penting bertindak sebagai wali anak, orang dengan sakit

dunia dan harus mendapatkan perhatian yang jiwa, tidak cakap, orang tua jompo atau orang

utama dengan tetap memperhatikan kepentingan yang cacat yang tidak bisa merawat dirinya

terbaik sang anak. Hukum hak-hak anak

sendiri.

didefinisikan sebagai pertemuan antara hukum dan kehidupan anak. Termasuk anak yang

Pengadilan Tinggi Bandung yang berkonflik dengan hukum, proses peradilan bagi memeriksa dan mengadili perkara dalam tingkat anak yang berhadapan dengan sistem peradilan banding dalam Putusan Nomor 9/PID.SUS-

pidana, perwakilan yang tepat, dan layanan ANAK/2016/PT.BDG merupakan contoh dari rehabilitasi yang efektif; perlindungan bagi asas parens patriae di atas. Di mana pengadilan anak yang diserahkan pada negara, memastikan sebagai perwakilan negara bertindak sebagai pendidikan bagi semua anak tanpa memandang wali anak dengan memutus apa yang tepat untuk asal, ras, gender, kecacatan atau kemampuan dan dikenakan terhadap anak yang berkonflik dengan layanan kesehatan serta advokasi (Kant, 2011: 1). hukum.

Tidak sedikit anak harus berhadapan Pengadilan Tinggi Bandung memeriksa dengan hukum sejak usia yang sangat dini karena perkara banding anak atas nama DISG yang melakukan tindak pidana dengan berbagai melakukan tindak pidana pencurian dengan alasan, dan tidak sedikit juga anak yang harus kekerasan. Pada tingkat pertama, pengadilan berakhir memprihatinkan, menghabiskan masa yang memutus perkara ini adalah Pengadilan hidupnya di balik tembok penjara, terenggut Negeri Bale Bandung dengan Putusan Nomor dari keluarga dan lingkungannya. Beberapa 21/PID.SUS.ANAK/2015/PN.BLB tanggal 7 bahkan menjadi “lebih mahir” melakukan tindak Januari 2016. Akta permintaan banding yang pidana. Sejumlah anak tidak sempat mengenyam dibuat oleh penuntut umum tertanggal 8 Januari pendidikan yang lengkap karena situasi penjara 2016 dengan Nomor 01/AKTA.PID/2016/ yang tidak memungkinkan untuk memberikan PN.BLB dibuat oleh Panitera Pengadilan pendidikan bagi warga binaannya.

Negeri Bale Bandung yang menerangkan bahwa penuntut umum telah mengajukan permintaan

Munculnya pengadilan anak (juvenille banding terhadap Putusan Nomor 21/PID.SUS.

court) pertama di daerah Illinois Amerika ANAK/2015/PN.BLB dan telah diberitahukan

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 193 - 208 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 193 - 208

dan meminta uang sebesar Rp.10.000,-, namun YPP hanya memberikan uang sebesar Rp.6.000,-

DISG didakwa bersama-sama dengan . DISG kemudian merebut kunci sepeda motor

J dan F (yang belum tertangkap saat putusan milik YPP dengan alasan meminjam sepeda

dijatuhkan), pada hari Sabtu tanggal 22 Agustus motor tersebut, tetapi YPP menolaknya dan DISG

2015 sekitar pukul 16.00 WIB dan pada hari lalu memukul YPP dengan kepalan tangan namun

Jumat tanggal 9 Oktober 2015 sekitar pukul 17.00 tidak mengenai YPP. F kemudian menduduki

WIB, secara melawan hukum merampas dengan sepeda motor milik YPP dan mengambil paksa

kekerasan satu unit sepeda motor merek Yamaha motor tersebut. Pada saat DISG mengendarai

Mio Sour warna biru bernomor polisi W 5138 sepeda motor yang dirampas dari YPP itulah,

AG, dan satu unit sepeda motor merek Honda DISG ditangkap dan kemudian diproses lebih

Beat berwarna putih bernomor polisi D 251 KS di

lanjut.

Kuburan Cina atau di wilayah Kp. Babakan Pasir Kaliki RT 03 RW 01 Desa Cikadut, Kecamatan

Atas perbuatannya, DISG didakwa dengan Cimenyan, Kabupaten Bandung.

ancaman pidana sesuai Pasal 365 ayat (2) KUHP. Penuntut umum dalam surat tuntutan pidananya

Peristiwa ini berawal ketika SH sedang tertanggal 6 Januari 2016 Nomor Registrasi

menunggu SDF yang sedang berbelanja di warung Perk.PDM-515/CIMAH/12/2015 menuntut

di daerah Kuburan Cina, Kp. Babakan Pasir agar hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung

Kaliki RT 03 RW 01 Desa Cikadut, Kecamatan yang memeriksa dan mengadili perkara ini,

Cimenyan, Kabupaten Bandung. SH saat itu

memutuskan:

duduk di atas satu unit sepeda motor merek Honda Beat warna putih bernomor polisi D 251

1. Menyatakan DISG bersalah secara KS. Tak lama kemudian DISG dan J mendekati

bersama-sama melakukan tindak pidana SH dan menodongkan sebilah pisau kecil kepada

pencurian dengan kekerasan sebagaimana SH, lalu meminta uang sebesar Rp.50.000,-

dalam dakwaan tunggal Pasal 365 ayat (2) . Karena SH tidak mempunyai uang sebanyak

ke-2 KUHP dalam dakwaan tunggal; yang diminta, DISG dan J kemudian merampas

2. Menjatuhkan pidana terhadap DISG dengan sepeda motor yang sedang diduduki oleh SH.

pidana penjara selama satu tahun dan enam Sepeda motor tersebut kemudian dijual kepada D

bulan dikurangkan selama terdakwa berada melalui AB dengan harga Rp.1.500.000,-.

dalam tahanan dengan perintah DISG tetap Hari Jumat tanggal 9 Oktober 2015 sekitar

ditahan;

pukul 17.00 WIB di lapangan sepak bola Loder

3. Menetapkan barang bukti berupa: di Desa Cimenyan, Kabupaten Bandung, DISG

yang saat itu sedang bersama dengan F melihat

satu unit sepeda motor merk Honda YPP sedang mengendarai satu unit sepeda motor

Beat warna putih Nomor Polisi D

Keadilan Restoratif dalam Putusan Pidana Anak (Hesti Septianita)

2521 KS dikembalikan kepada yang tanggal 8 Januari 2016 di mana penuntut umum berhak dan satu buah pisau dapur mengemukakan hal-hal berikut: gagang warna biru dirampas untuk

Bahwa penuntut umum tidak sependapat dimusnahkan.

dengan putusan yang dijatuhkan hakim

4. Menetapkan agar terdakwa supaya

tingkat pertama;

dibebankan membayar biaya perkara

Bahwa dalam kasus ini hukuman yang lebih sebesar Rp.1.000,-.

tepat adalah perampasan kemerdekaan Tanggal 7 Januari 2016 majelis hakim

yakni pidana satu tahun enam bulan dengan Pengadilan Negeri Bale Bandung, kemudian

perintah tetap ditahan, oleh karenanya dalam Putusan Nomor 21/PID.SUS.ANAK/2015/

putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung PN.BLB memutuskan:

adalah keliru;

- Menyatakan DISG telah terbukti secara - Bahwa hakim tingkat pertama hanya sah dan meyakinkan bersalah melakukan

mempertimbangkan permohonan tindak pidana pencurian dengan kekerasan

anak berhadapan dengan hukum tanpa yang dilakukan secara bersama-sama;

mempertimbangkan sisi lainnya. - Menjatuhkan pembinaan kepada DISG

Permintaan banding ini disampaikan kepada di atas dalam Lembaga Pendidikan Islam DISG tanggal 12 Januari 2016 dan diterima oleh

Pondok Pesantren Safinatul Faizin (Fauzan Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bale Bandung

II) di Kampung Bendapari RT/RW 03/01 tanggal 19 Januari 2016. Dalam pertimbangannya Desa Najaten, Kecamatan Cibalong, hakim tingkat banding sependapat dengan hakim Kabupaten Garut selama satu tahun enam tingkat pertama mengenai penjatuhan pidana, bulan dengan biaya sendiri;

mengingat orang tua DISG bersedia anaknya dimasukkan pada sekolah yang banyak muatan

- Menetapkan agar DISG dikeluarkan dari pendidikan rohani di pondok pesantren. Di

tahanan; samping itu hakim pengadilan tingkat banding

- Menetapkan barang bukti berupa: satu unit juga sependapat dengan hakim tingkat pertama sepeda motor merk Honda Beat warna putih yang menyatakan bahwa DISG masih terlalu Nomor Polisi D 2521 KS dikembalikan muda sehingga rentan terpengaruh hal-hal yang kepada pemiliknya; satu buah pisau negatif jika ditempatkan di Lembaga Pembinaan dapur gagang warna biru, dirampas untuk Khusus Anak. dimusnahkan.

Hakim tingkat banding juga menimbang -

Membebankan kepada DISG membayar bahwa Putusan Nomor 21/PID.SUS. biaya perkara sejumlah Rp.1.000,-.

ANAK/2015/PN.BLB dapat dipertahankan dan dikuatkan; selain itu mempertimbangkan bahwa

Permintaan banding kemudian diajukan karena DISG terbukti bersalah, maka biaya dalam

oleh penuntut umum melalui memori banding tingkat banding dibebankan kepadanya. Hakim

dengan Nomor 01/AKTA.PID/2016/PN.BLB uunggal Pengadilan Tinggi Jawa Barat, dalam

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 193 - 208

Putusan Nomor 9/PEN/PD.SUS-ANAK/2016/ pidana anak yang berkaitan dengan pemidanaan. PT.BDG tanggal 25 Februari 2016 mengadili Kegunaan secara praktis, diharapkan hasil sebagai berikut:

penelitian ini dapat memberikan sumbangan kepada para hakim, khususnya hakim anak

1. Menerima permintaan banding dari dalam mengadili perkara anak dengan tetap

penuntut umum; memperhatikan kepentingan terbaik anak.

2. Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri

Bale Bandung tanggal 7 Januari 2016 D. TINJAUAN PUSTAKA Nomor 21/PID.SUS.ANAK/2015/PN.BLB 1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum

yang dimohonkan banding; Anak menurut Wadong (Susanto,

3. Membebankan biaya perkara dalam tingkat 2011: 78-79) dalam pemaknaan yang umum banding kepada DISG sebesar Rp.2.500,-. mendapatkan perhatian tidak saja dalam bidang

ilmu pengetahuan (the body of knowledge), tetapi

B. RUMUSAN MASALAH

dapat ditelaah dalam sisi pandang sentralistis kehidupan seperti agama, hukum, dan sosiologi

Berdasarkan pemaparan di atas, rumusan yang menjadikan pengertian anak semakin

masalah yang dikemukakan dalam tulisan ini rasional dan aktual dalam lingkungan sosial.

adalah: Anak diletakkan dalam lingkungan sosial,

1. Apakah pertimbangan-pertimbangan yang anak diletakkan dalam advokasi, dan hukum diambil oleh hakim pengadilan tingkat perlindungan anak menjadi objek dan subjek banding dalam menjatuhkan putusan sudah hukum positif yang mengatur tentang anak. tepat?

Pengelompokan status hak-hak anak dimulai dari sistematika yang mendasar dalam advokasi dari

2. Apakah putusan yang diambil oleh hakim hukum perlindungan anak secara transparan. sudah mencerminkan restorative justice bagi anak?

Berbicara tentang anak, hukum hak- hak anak didefinisikan Kant (2011: 1) sebagai pertemuan antara hukum dan kehidupan anak.

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN

Termasuk anak yang berkonflik dengan hukum, Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dan proses peradilan bagi anak yang berhadapan

menganalisis pertimbangan yang diambil oleh dengan sistem peradilan pidana, perwakilan hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat untuk yang tepat, dan layanan rehabilitasi yang efektif; menerapkan konsep restorative justice dalam perlindungan bagi anak yang diserahkan pada menjatuhkan putusan dalam perkara anak, dan negara, memastikan pendidikan bagi semua anak juga untuk mengkaji apakah putusan hakim telah tanpa memandang asal, ras, gender, kecacatan mencerminkan restorative justice bagi anak.

atau kemampuan dan layanan kesehatan serta advokasi.

Kegunaan secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan bagi

Masalah penanganan anak yang berkonflik perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum dengan hukum sudah muncul sejak lama dalam

Keadilan Restoratif dalam Putusan Pidana Anak (Hesti Septianita)

Universal tentang Hak Asasi Manusia tahun Secara global, jumlah anak yang dirampas

1948; Kovenan Internasional mengenai Hak- kemerdekaannya sebagai akibat dari berkonflik Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; dan Kovenan

dengan hukum diperkirakan tidak kurang dari Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik

satu juta anak. Anak-anak ini berhadapan dengan telah membahas mengenai hak-hak dan keberadaan

penegak hukum berdasarkan sejumlah alasan. serta keselamatan individu-individu muda.

Tindak pidana, termasuk tindak pidana politik dan Resolusi PBB Nomor 34/180 tanggal 18 tindak pidana tertentu yang berkaitan dengan anak Desember 1979, tentang Convention on the adalah salah satu alasan mereka berkonflik dengan Elimination of All Forms of Discrimination hukum. Sejumlah anak ditangkap dan ditahan Against Women (CEDAW) yang berlaku tahun akibat melakukan berbagai risiko kejahatan atau 1981 telah membahas hak-hak anak perempuan berada dalam situasi yang tidak lazim. Mereka jauh sebelum Konvensi Hak-Hak Anak dan bahkan ditahan karena para penegak hukum salah beberapa instrumen hukum internasional mengambil tindakan. Akar sosial yang membawa lainnya diberlakukan. Perlindungan ini juga anak-anak ini berkonflik dengan hukum di tidak terbatas pada anak-anak yang berkonflik antaranya adalah kemiskinan, kondisi rumah yang

dengan hukum, tetapi juga bagi mereka yang berantakan, kurangnya pendidikan dan peluang ditelantarkan, mengalami tindak kekerasan, kerja, migrasi, narkotika, tekanan teman sebaya, korban penyalahgunaan narkotika, dan yang kurangnya bimbingan orang tua, kekerasan, dan berada dalam situasi marjinal dan berisiko sosial eksploitasi (Yuster et al., 2006: 1). (Riyadh Guidelines) (Aviandari & Septianita,

Gönczöl berpendapat bahwa hukum pidana 2016 : 55).

dan aparat penegak hukum tidak boleh bekerja Konvensi Hak Anak (Convention on the hanya untuk pencapaian kualitas keadilan yang Rights of the Child ) mendefinisikan anak dalam lebih tinggi melainkan untuk tujuan aktual. Pasal 1 sebagai berikut: “Every human being Aparat penegak hukum harus menyasar jaminan below the age of eighteen years, unless under the keamanan dan kedamaian di masyarakat atau law applicable to the child, majority is attained memulihkannya jika harus, oleh karenanya earlier.” Di mana anak didefinisikan dengan fungsi dari hukum pidana tidak semata-mata “setiap manusia yang berusia di bawah delapan pemenuhan ‘rasa keadilan.’ Untuk memulihkan belas tahun, kecuali ditentukan lain oleh hukum kedamaian sosial, hukum pidana harus yang diberlakukan terhadap anak.”

menjunjung penegakan hak kebebasan yang dilanggar oleh suatu tindak pidana. Peradilan

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor pidana harus menegakkan keadilan bagi mereka-

11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana mereka yang terlibat dalam suatu konflik, baik Anak, menyebutkan anak dimaknai dengan “Anak

itu pelaku maupun korban sehingga norma dan yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya moral yang terkandung di dalamnya menjadi

disebut anak adalah anak yang telah berumur dua kuat. Pada saat yang bersamaan, peradilan pidana

belas tahun, tetapi belum berumur delapan bela dalam kerangka rule of law memenuhi tujuan

tahun yang diduga melakukan tindak pidana.” pencegahannya atau paling tidak berkontribusi

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 193 - 208 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 193 - 208

korban (Gönczöl et al., 2010: 3). menggambarkan sebuah akurasi yang luar biasa dari sebuah sistem penjara yang berorientasi

Anak yang berkonflik dengan hukum yang pemasyarakatan berabad-abad sesudahnya

telah berusia dua belas tahun dapat dikenakan dengan tingkat keamanan yang berbeda-beda

proses hukum. Hal ini disiratkan dalam konstruksi

(Kurian, 2006: 76).

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, oleh

Metode yang popular dalam penegakan karenanya hakim dapat menjatuhkan pidana hukum menurut Wamsley adalah pemenjaraan, penjara atau tindakan/pembinaan seperti yang dan karenanya semakin banyak orang yang dikirim diatur dalam Pasal 71 ayat (1) dan (2) Undang- ke penjara daripada sebelumnya, namun pendapat Undang Nomor 11 Tahun 2012, yaitu:

lain menyatakan bahwa pengalaman yang didapat (1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas:

dari pemenjaraan itu dikarakteristikan dengan ‘rasa sakit’ dan ‘pencabutan kemerdekaan.

a. pidana peringatan; Lebih lagi menurut Gendreau, Goggin dan

b. pidana dengan syarat: Cullen hanya sedikit bukti yang menunjukkan

1) pembinaan di luar lembaga; penurunan langsung jumlah kejahatan dengan digunakannya metode pemenjaraan yang

2) pelayanan masyarakat; atau kemudian menggarisbawahi efek jera yang

3) pengawasan. terbatas. Bahkan Losel memperkuat pernyataan

c. pelatihan kerja; di atas dengan menunjukkan bahwa hanya sedikit

d. pembinaan dalam lembaga; program yang berdampak positif bagi pelaku, dengan demikian membatasi dampak rehabilitatif

e. penjara. dari pemenjaraan.(Dhami et al., 2009: 433-448)

(2) Pidana tambahan terdiri atas:

a. perampasan keuntungan yang 3. Restorative Justice Bagi Anak yang

diperoleh dari tindak pidana; atau

Berkonflik dengan Hukum

b. pemenuhan kewajiban adat. Konvensi Hak Anak sangat mendorong

Plato (427-347 SM) menggambarkan dalam asas kepentingan terbaik bagi anak dalam setiap tulisannya Laws, bahwa anak yang melanggar tindakan yang diambil terhadap anak, terutama hukum akan menjalani hukuman yang singkat di dalam pelaksanaan peradilan pidana anak. Asas dalam sebuah gedung milik publik di dekat pasar; ini penting karena anak mempunyai kebutuhan sedangkan pelaku kejahatan yang serius tetapi fisik, psikologis, emosi, dan pendidikan yang masih bisa ditebus akan menjalani hukuman berbeda dari orang dewasa. Menurut Komite Hak yang lebih lama dan dikirim ke pusat perbaikan Anak, anak harus diperlakukan berbeda dalam diri terdekat; sedangkan mereka yang tidak bisa sistem peradilan pidana dan harus mengacu pada diperbaiki lagi pribadinya akan dikurung dalam reintegrasi sosial serta penerapan prinsip-prinsip sebuah penjara yang dijaga ketat yang jauh dari restorative justice.

Keadilan Restoratif dalam Putusan Pidana Anak (Hesti Septianita)

Restorative justice atau keadilan restoratif a. Memprioritaskan dukungan dan pemulihan atau keadilan pemulihan merupakan pendekatan

korban.

terhadap peradilan pidana yang menekankan Walaupun dukungan dan pemulihan

pemulihan korban dan komunitas ketimbang tampaknya jelas menjadi tujuan sistem

menghukum pelaku tindak pidana. The peradilan pidana, namun dengan Restorative Justice Consortium memberikan definisi keadilan restoratif sebagai berikut: menjadikannya prioritas akan membuat

“Restorative justice works to resolve conflict sistem menjadi lebih kuat. Hal ini dikarenakan bahwa hampir kebanyakan

and repair harm. It encourages those who have dari sistem peradilan pidana berfokus pada caused harm to acknowledge the impact of what

pelaku—mengidentifikasi, menangkap, they have done and gives them an opportunity to

memproses secara pidana, mengadili, make reparation. It offers those who have suffered menghukum, dan memenjarakan mereka. harm the opportunity to have their harm or loss Semua penegak hukum keberadaannya acknowledged and amends made” (Liebmann, hanya untuk pelaku. Walaupun kebutuhan 2007: 25). korban sudah mulai diakui, tetapi masih

Restorative justice atau yang dikenal juga sangat tidak seimbang dengan sumber daya dengan keadilan yang memulihkan diartikan

yang dialokasikan.

sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik

b. Pelaku bertanggung jawab atas apa yang dan memperbaiki kerusakan dengan mendorong

telah mereka lakukan.

pihak-pihak yang menyebabkan kerusakan untuk mengakui dampak dari apa yang sudah Pelaku biasanya ‘menerima hukuman’ dilakukan dan memberikan kesempatan untuk

tetapi maknanya berbeda dengan melakukan perbaikan. Di sisi lain, menawarkan

‘bertanggung jawab’ terhadap apa yang kepada korban untuk mengganti dan merubah

telah mereka lakukan. Menyadari bahwa kerusakan atau kerugian yang dialami. Walaupun

pelaku bertanggung jawab atas apa yang konsep restorative justice seringkali diajukan

telah dilakukan merupakan titik awal dari sebagai sebuah alternatif bagi sistem peradilan

keadilan restoratif.

pidana tradisional, tetapi konsep ini semakin

c. Dialog untuk mencapai pemahaman. dipandang ampuh seperti yang dikemukakan oleh

Immarigeon, Lee, Robert, dan Hough (Dhami Dialog antara pelaku dan korban menjadi et al., 2009: 433-448) .mengemukakan bahwa

penting karena merupakan salah satu proses program restorative justice ada di beberapa

utama dalam keadilan restoratif. Dialog tahap berbeda dalam proses peradilan pidana

ini tidak mungkin dilakukan dalam proses seperti pra-penyidikan, pasca penyidikan, pra-

formal di pengadilan.

penuntutan, pasca penuntutan, dan pra-putusan atau pasca putusan, dan lain-lain

d. Adanya upaya untuk memperbaiki kerugian yang terjadi.

Prinsip-prinsip yang dianut dalam pendekatan keadilan restoratif (Liebmann, 2007: Bertanggung jawab terhadap kerugian yang

28) adalah: ditimbulkan adalah mencoba memperbaiki

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 193 - 208 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 193 - 208

maaf sudahlah cukup, tetapi seringkali keseluruhan sistem peradilan pidana anak wajib memerlukan sesuatu lebih.

mengutamakan pendekatan keadilan restoratif dalam setiap tingkatan peradilan, mulai dari

e. Pelaku berusaha menghindari melakukan tahap penyidikan, penuntutan, persidangan,

tindakan pidana lagi di kemudian hari. hingga proses pembinaan, pembimbingan,

Ketika pelaku telah menyadari kesalahan pengawasan, dan pendampingan saat anak yang telah ia lakukan, mereka biasanya menjalani pelaksanaan pidana/tindakan. Tidak tidak ingin mengulang perilaku mereka. hanya itu, pendekatan keadilan restoratif juga Terkadang ini cukup untuk menghentikan menjadi acuan pembinaan anak setelah menjalani mereka melakukan tindak pidana. Poin masa pidana/tindakan. penting dari pendekatan restoratif adalah

Tujuan utama dari pendekatan keadilan mempertemukan korban dan pelaku

restoratif menurut Aviandari & Septianita (2016: untuk memberikan motivasi untuk tidak

4) adalah tercapainya pemulihan kembali, baik mengulang melakukan tindak pidana.

korban, pelaku maupun tatanan sosial yang

f. Masyarakat membantu proses reintegrasi sempat terganggu karena tindakan yang dilakukan korban dan pelaku.

oleh pelaku kejahatan, karena itu penyelesaian kasus difokuskan pada bagaimana memulihkan

Seringkali sangat jelas bahwa pelaku penderitaan, kerusakan atau kerugian yang

perlu bereintegrasi ke dalam masyarakat, timbul, bukan membalas atau menggantikan

utamanya setelah menjalani pidana penderitaan, kerusakan atau kerugian dari korban

penjara—mereka memerlukan akomodasi, dengan penderitaan (pemidanaan) pelaku.

pekerjaan, dan hubungan untuk menjadi anggota positif masyarakat. Korban juga

Restitusi sebagai suatu sarana untuk

perlu bereintegrasi ke dalam masyarakat memperbaiki kondisi (korban) menjadi relevan karena mereka seringkali merasa diterapkan, walau tidak menjadi tujuan utama. terkucilkan dan terasing akibat kejahatan Melalui pendekatan keadilan restoratif, pelaku yang dialaminya.

dipulihkan dengan diberi ruang untuk menyadari kesalahannya, mempertanggungjawabkan

Instrumen hukum nasional Indonesia sudah perbuatannya, serta memulihkan kerusakan

memasukkan restorative justice sebagai bagian atau kerugian yang ditimbulkan tanpa harus

tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana diwujudkan dalam bentuk pemidanaan. Untuk

anak. Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor lebih jelasnya, berikut adalah prinsip-prinsip

11 Tahun 2012 menyebutkan: yang membandingkan fokus perhatian pada

“Keadilan restoratif adalah penyelesaian sistem peradilan pidana yang tradisional dengan perkara tindak pidana dengan melibatkan

sistem restoratif.

pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian

Terkait anak yang berkonflik dengan

yang adil dengan menekankan pemulihan hukum, Konvensi Hak Anak dalam Pasal 37 huruf kembali pada keadaan semula, dan bukan

a memberikan jaminan bahwa anak tidak boleh pembalasan.”

Keadilan Restoratif dalam Putusan Pidana Anak (Hesti Septianita)

Tabel 1. Perbedaan Sistem Peradilan Pidana Retributif dan Restoratif

Paradigma Lama: Retributif Paradigma Baru: Restoratif

Fokus pada kesalahan dan rasa bersalah. Fokus pada pemecahan masalah, tanggung jawab, dan kewajiban, fokus pada masa depan.

Stigma kejahatan bersifat permanen.

Stigma kejahatan bisa dihilangkan.

Tidak ada dorongan untuk menyesal dan memaafkan. Memungkinkan adanya penyesalan dan memaafkan. Ketergantungan pada orang-orang profesional yang Keterlibatan langsung para pihak.

mewakili. Tindakan diarahkan oleh negara kepada pelaku: Korban Peran korban dan pelaku diakui baik dalam permasalahan

terabaikan—pelaku pasif. dan solusi: hak/kebutuhan korban diakui; pelaku didorong untuk bertanggung jawab.

Akuntabilitas pelaku didefinisikan dengan menerima Akuntabilitas pelaku diartikan dengan memahami dampak hukuman.

dari tindakan yang dilakukan dan membantu menentukan bagaimana memperbaikinya.

Tindak pidana didefinisikan murni sebagai istilah hukum Tindak pidana dipahami dalam konteks yang utuh –moral, –kurangnya dimensi moral, sosial, ekonomi, politik.

sosial, ekonomi, politik.

“Hutang” yang harus dibayarkan kepada negara dan Hutang/tanggung jawab terhadap korban diakui. masyarakat.

Respon difokuskan pada perilaku masa lalu pelaku. Respon difokuskan pada konsekuensi yang merugikan dari perilaku pelaku.

Membebankan untuk menghukum dan menjerakan/ Kejahatan dilihat sebagai konflik interpersonal. mencegah.

Masyarakat diwakili secara abstrak oleh negara.

Masyarakat sebagai fasilitator.

Sumber: The Canadian Resource Center for Victim of Crime (2011)

mendapatkan penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak menyenangkan yang dialaminya. Proses tidak manusia, dan merendahkan martabat. Pasal pemeriksaan berpotensi besar memperburuk

40 konvensi ini juga menegaskan bahwa usia tekanan psikologis yang dialami korban, terutama anak harus menjadi pertimbangan dan setiap korban-korban kejahatan seksual. Kedua, korban rencana atas tindakan apa yang akan dikenakan dan keluarga korban terhindar dari proses terhadap anak harus mendorong mereka untuk peradilan yang cenderung menyita energi, waktu, dapat berintegrasi ke dalam masyarakat.

dan perhatian. Ketiga, korban dan keluarga diberi ruang untuk mengemukakan pendapatnya tentang

Menurut Aviandari & Septianita, berbagai cara penyelesaian masalah terbaik termasuk

kajian menunjukkan bahwa pendekatan keadilan pertanggungjawaban pelaku. Dalam sistem

restoratif memberi manfaat bagi korban dan peradilan pidana konvensional, otoritas memutus

keluarga korban. Pertama, korban akan terhindar hukuman bagi pelaku hanya ada pada hakim.

dari tekanan psikologis selama proses pemeriksaan Keempat, korban dan keluarga diberi ruang untuk

polisi, jaksa hingga pengadilan. Proses peradilan meminta ganti kerugian secara langsung, baik

pidana, disukai atau tidak, mengharuskan korban materiil maupun immateriil. Keenam, korban

untuk menceritakan berulang kali kejadian dan keluarga terhindar dari pemberitaan yang

202 |

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 193 - 208

Keadilan Restoratif dalam Putusan Pidana Anak (Hesti Septianita)

dapat mengganggu psikologis anak (Aviandari & Septianita, 2016 : 4).

Dalam kerangka hukum dan kebijakan nasional, perlakuan terhadap anak yang

berkonflik dengan hukum dan sedang menjalani masa pidana tetaplah menggunakan prinsip

perlindungan hukum terhadap anak sesuai dengan Konvensi Hak Anak. Pertimbangannya adalah bahwa anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Anak memiliki peran strategis di mana negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Kepentingan terbaik bagi anak, oleh karenanya, harus sekaligus dianggap sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia (Aviandari & Septianita, 2016: 66).

II. METODE

Tulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan deskriptif analitis yang menggambarkan permasalahan yang diteliti secara detil dan mendalam dengan menggunakan bahan-bahan hukum berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer adalah semua aturan hukum yang dibentuk dan/atau dibuat secara resmi oleh suatu lembaga negara, dan/atau badan-badan pemerintahan, yang demi tegaknya akan diupayakan berdasarkan data paksa yang dilakukan secara resmi pula oleh aparat negara.

Bahan hukum sekunder adalah seluruh informasi tentang hukum yang berlaku atau yang pernah berlaku di suatu negeri yang berfungsi sebagai sumber hukum materil yang merupakan informasi yang relevan dengan

permasalahan hukum, serta bahan hukum tersier yang difungsikan sebagai sumber referensi (Wigjnosoebroto, 2013: 81-84).

Bahan hukum primer dalam tulisan ini meliputi peraturan perundang-undangan baik peraturan perundang-undangan nasional dan internasional terkait sistem peradilan pidana anak, seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (Riyadh Guidelines), The Tokyo Rules (UN Standard Minimum Rules for Non-Custodial Measures), dan Konvensi Hak Anak (UN Convention on the Right of the Child). Bahan-bahan hukum sekunder berupa pendapat para ahli mengenai anak, sistem peradilan pidana anak, dan restorative justice dalam bentuk literatur hukum. Bahan hukum tersier berupa tulisan-tulisan terkait bahasan

tentang anak yang berkonflik dengan hukum, sistem peradilan pidana anak serta restorative

justice yang diambil dari internet.

Data yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan menggunakan teknik pengumpulan data secara studi kepustakaan (library research), di mana data tersebut kemudian diolah dan dianalisis untuk menghasilkan kesimpulan yang diambil secara deduktif argumentatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pertimbangan yang Diambil oleh Hakim Pengadilan Tingkat Banding dalam Menjatuhkan Putusan terhadap Perkara Anak

Dalam Putusan Nomor 9/PID.SUS- ANAK/2016/PT.BDG, hakim menimbang dan sependapat dengan pertimbangan yang diambil Dalam Putusan Nomor 9/PID.SUS- ANAK/2016/PT.BDG, hakim menimbang dan sependapat dengan pertimbangan yang diambil

sehingga dianggap rentan terpengaruh hal-hal dituntut oleh penuntut umum dalam tuntutannya. negatif selama berada di Lembaga Pembinaan Ini dikarenakan pidana penjara harus dikenakan Khusus Anak.

kepada anak sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).

Pertimbangan ini menjadi tepat ketika melihat realitas yang ada di mana tidak sedikit

Bagi pelaku, yang masih dalam tahap anak harus berhadapan dengan hukum sejak perkembangan menjadi dewasa, pendekatan usia yang sangat dini karena melakukan tindak keadilan restoratif bermanfaat menghindarkan pidana dengan berbagai alasan, dan tidak sedikit pelaku dari dampak buruk pemenjaraan. Selain juga anak yang harus berakhir memprihatinkan, itu, pelaku juga akan terhindar dari tekanan menghabiskan masa hidupnya di balik psikologis proses pemeriksaan polisi, jaksa hingga tembok penjara, terenggut dari keluarga dan pengadilan. Terkait aspek pemulihan, Firdaus lingkungannya. Beberapa bahkan menjadi “lebih (Aviandari & Septianita, 2016: 4) mengemukakan mahir” melakukan tindak pidana. Ironisnya bahwa melalui pendekatan keadilan restoratif sejumlah anak tidak sempat mengenyam pelaku dan keluarga mendapatkan manfaat, yaitu: pendidikan yang lengkap karena situasi penjara

1. Memiliki kesempatan untuk memperbaiki yang tidak memungkinkan untuk memberikan

diri;

pendidikan bagi warga binaannya.

2. Tetap dalam pengasuhan dan bimbingan Hal di atas sejalan dengan apa yang

orang tua;

diungkapkan oleh Crawford dan Newburn (Masahiro & Hennessey, 2016).yang menyatakan 3. Memiliki kesempatan untuk bahwa merupakan sebuah tantangan sejak dulu

mempertanggungjawabkan perbuatan untuk mengembangkan cara-cara efektif dalam

secara langsung kepada korban atau menyikapi tindak pidana. Dalam hal ini, sistem

keluarga korban;

peradilan yang konvensional seringkali dikritisi

4. Memiliki kesempatan untuk atas ketidakefektifannya.

mempertanggungjawabkan perbuatan Pertimbangan hakim pengadilan tingkat

kepada lingkungan masyarakat; dan banding yang menguatkan putusan hakim tingkat

5. Terhindar dari pemberitaan yang dapat pertama, yang memutuskan untuk menjatuhkan

mengganggu psikologis anak/keluarga. pembinaan terhadap DISG dalam Lembaga

Pendidikan Islam Pondok Pesantren Safinatul Setiap langkah yang memungkinkan

Faizin (Fauzan II) di Kampung Bendapari RT/ pencegahan dampak detrimental dari pidana RW 03/01 Desa Najaten, Kecamatan Cibalong, perampasan kemerdekaan anak harus diambil, Kabupaten Garut selama satu tahun dan enam demikian juga oleh hakim jika anak terlanjur bulan dengan biaya sendiri, merupakan sebuah berada dalam sistem peradilan pidana. Inilah yang putusan dengan pertimbangan upaya pemulihan ditegaskan dalam The Tokyo Rules (UN Standard

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 193 - 208

Minimum Rules for Non-Custodial Measures) menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang mendorong keterlibatan masyarakat dalam sebelum memutuskan suatu perkara (Pasal 5 sistem peradilan pidana. Di mana tindakan- ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun tindakan non-pemenjaraan harus menjadi bagian 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) selain dari gerakan depenalisasi dan dekriminalisasi menjalankan tugasnya untuk menegakkan hukum serta upaya-upaya reintegrasi dalam masyarakat, dan keadilan. Tentu saja dalam memutus perkara, sehingga publik bisa turut berpartisipasi dalam hakim harus merujuk pada undang-undang upaya mencegah berulangnya tindak pidana.

yang berlaku. Dalam konteks Indonesia, hakim bukanlah corong undang-undang. Hakim adalah

Hal demikian juga diamanatkan oleh corong kepatutan, keadilan, kepentingan umum,

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang dan ketertiban umum. Dalam konteks inilah,

Sistem Peradilan Pidana Anak di mana penegak rumusan keharusan hakim memperhatikan nilai-

hukum, dalam hal ini penuntut umum dan hakim, nilai yang hidup dalam masyarakat harus dibaca.

harus selalu memegang prinsip bahwa pidana penjara terhadap anak hanya digunakan sebagai

Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang- upaya terakhir.

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan ketentuan

Menurut Zehr, sistem peradilan pidana anak untuk memperhatikan nilai-nilai yang hidup

dipandang naik turun antara model keadilan dan dalam masyarakat dimaksudkan agar putusan

kesejahteraan, antara retribusi dan rehabilitasi hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan

(Braithwaite, 2002: 10). Untuk sebagian mereka masyarakat (Hukum Online, 2013). Sistem

yang liberal, restorative justice mempunyai daya peradilan pidana anak, berdasarkan Pasal

tarik karena menawarkan konsep sistem peradilan

2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yang tidak selalu menghukum, sedangkan bagi

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, juga orang-orang konservatif, restorative justice

mengamanatkan dilaksanakan berdasarkan asas: dianggap memberikan tekanan kuat terhadap

pemberdayaan korban, keluarga, tanggung jawab

1. Perlindungan

keluarga, dan penghematan biaya.

2. Keadilan

B. Prinsip Restorative Justice dalam Putusan 3. Non diskriminasi

Nomor 9/PID.SUS-ANAK/2016/PT.BDG

4. Kepentingan terbaik bagi anak Penjatuhan pembinaan yang diputuskan

5. Penghargaan terhadap pendapat anak oleh hakim baik pada pengadilan tingkat

pertama maupun hakim pada pengadilan tingkat 6. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang banding yang menguatkan putusan pengadilan

anak

di bawahnya, yang dengan cukup berani

7. Pembinaan dan pembimbingan anak menjatuhkan putusan yang berbeda dengan apa Proporsional

yang dituntut oleh penuntut umum, merupakan suatu putusan yang bernuansa restoratif. Hakim 8. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan di sini jelas menjalankan keharusannya untuk

sebagai upaya terakhir, dan

Keadilan Restoratif dalam Putusan Pidana Anak (Hesti Septianita)

9. Penghindaraan pembalasan. Tugas hakim bukan hanya sebagai penerap hukum (undang-undang) atas perkara-perkara di

Dalam perkara DISG ini, hakim pengadilan atau agent of conflict, tetapi seharusnya memperhatikan kepentingan terbaik bagi

juga mencakup penemuan dan pembaruan masa depan anak dengan mencegah dampak

hukum. Hakim yang ideal, selain memiliki pemenjaraan yang mungkin membuatnya

kecerdasan yang tinggi, juga harus mempunyai melakukan kembali tindak pidana. Dalam sistem

kepekaan terhadap nilai-nilai keadilan, mampu peradilan pidana anak yang berlaku di Indonesia,

mengintegrasikan hukum positif ke dalam nilai- Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11

nilai agama, kesusilaan, sopan santun, dan adat Tahun 2012 mengatur jenis-jenis tindakan yang

istiadat yang hidup dalam masyarakat melalui dapat dikenakan kepada anak, yaitu:

setiap putusan yang dibuatnya karena pada

1. Pengembalian kepada orang tua/wali; hakikatnya mahkota seorang hakim itu bukan pada palunya, melainkan pada bobot atau kualitas dari

2. Penyerahan kepada seseorang; putusan yang dihasilkan (Bram, 2011: 82). Dalam

3. Perawatan di rumah sakit jiwa; perspektif Bentham, hukum yang bermanfaat ialah yang berdasarkan pada empat tolok ukur

4. Perawatan di LPKS; utama pemenuhan nilai kemanfaatan, yaitu: menyediakan mata pencaharian, menghasilkan

5. Kewajiban mengikuti pendidikan formal kemakmuran, mengutamakan kesamaan, dan

dan/atau pelatihan yang diadakan oleh menjaga keamanan (Shidarta, 2007: 39).

pemerintah atau badan swasta; Apa yang diputuskan oleh hakim dalam

6. Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau Putusan Nomor 9/PID.SUS-ANAK/2016/

7. Perbaikan akibat tindak pidana. PT.BDG telah memenuhi nilai keadilan dan kemanfaatan yang menjadi poin penting

Undang-undang mengamanatkan dalam penegakan hukum. Memang selama ini

pengaturan lebih lanjut terkait ketentuan mengenai pemenjaraan dipandang sebagai suatu kebijakan

jenis tindakan tersebut di atas. Diaturnya berbagai atau reaksi terhadap pelaku kejahatan yang

jenis putusan saat hakim harus memutus anak diharapkan dapat memunculkan pengaruh

bersalah menunjukkan bahwa Undang-Undang deterrence (efek jera) dan special deterrence

Nomor 11 Tahun 2012 mengandung semangat (mengurangi potensi melakukan tindak pidana

menjauhkan anak dari penjara.

(potential offenders).

Hakim diberi ruang untuk memberikan Perlu diperhatikan bahwa seringkali jumlah

sanksi yang terbaik bagi perkembangan anak. anak yang dikirim ke penjara-penjara atau yang

Jika seorang anak diputus dengan pidana sekarang dikenal sebagai Lembaga Pembinaan

penjara maka harus dimaknai bahwa hakim telah Khusus Anak berdasarkan Undang-Undang

mempertimbangkan berbagai jenis tindakan atau Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

pidana lainnya, sebelum pada akhirnya dengan Pidana Anak melebihi jumlah yang dapat

terpaksa memutus pidana penjara (Aviandari & ditampung dalam sebuah Lembaga Pembinaan

Septianita, 2016: 28). Khusus Anak, sehingga pertimbangan non-

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 193 - 208 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 193 - 208

analisis diri untuk memungkinkan setiap individu untuk mengembangkan potensi

Setyawan yang berpendapat bahwa penjara penuh individu tersebut secara psikososial,

hanya tepat untuk orang dewasa yang melakukan afektif maupun fisik, sebagai manusia yang kejahatan. Anak tidak tepat masuk penjara karena

lengkap.

akan mematikan harapan masa depannya. Anak adalah pribadi otonom yang sedang tumbuh, yang 4. Learning to live together (pembelajaran membutuhkan bantuan dan bimbingan. Peradilan

untuk hidup bersama secara harmonis) yang tepat untuk pelaku delinkuensi (kenakalan) Untuk membuat individu terpapar dengan

anak adalah model keadilan restoratif yang bersifat nilai-nilai yang implisit dalam hak asasi memperbaiki dan memulihkan hubungan pelaku

manusia, prinsip-prinsip demokrasi, dan korban sehingga harmoni kehidupan tetap

pemahaman interkultural dan saling terjaga. Hukuman maksimal yang boleh mereka

menghargai dan perdamaian pada semua terima adalah pendidikan paksa (Setyawan, 2014).

tingkatan masyarakat dan hubungan manusia agar memungkinkan individu dan

Putusan hakim yang mengirim DISG untuk masyarakat untuk hidup dalam perdamaian

mendapatkan pembinaan di Lembaga Pendidikan

dan harmoni.

Islam Pondok Pesantren Safinatul Faizin (Fauzan

II) di Kampung Bendapari RT/RW 03/01 Desa Najaten, Kecamatan Cibalong, Kabupaten

IV. KESIMPULAN

Garut selama satu tahun dan enam bulan dengan Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan biaya sendiri menunjukkan bahwa hakim putusan yang menyatakan bahwa DISG bersalah

memperhatikan pendidikan anak. Pertimbangan secara bersama-sama melakukan tindak pidana ini sesuai dengan empat pilar pendidikan yang “pencurian dengan kekerasan” sebagaimana ditetapkan oleh UNESCO, yaitu:

diatur dan diancam pidana dalam Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP dan menjatuhkan pembinaan

1. Learning to know (pembelajaran untuk tahu) kepada anak dalam Lembaga Pendidikan Islam

Menyediakan alat kognitif yang disyaratkan untuk pemahaman yang lebih baik Pondok Pesantren Safinatul Faizin selama satu

tahun dan enam bulan dengan biaya sendiri terhadap dunia dan kompleksitasnya dan

ketimbang memasukkannya ke dalam penjara menyediakan dasar yang tepat dan cukup

dengan alasan bahwa situasi penjara yang malah untuk pembelajaran di masa datang.

dikhawatirkan semakin merusak masa depan

2. Learning to do (pembelajaran untuk berbuat) DISG sudahlah tepat dengan memperhatikan Memberikan keterampilan yang peluang DISG untuk mendapatkan pendidikan

memungkinkan setiap individu untuk dan pendidikan karakter yang diharapkan dapat berpartisipasi secara efektif dalam ekonomi mencegah berulangnya tindak pidana. dan masyarakat global.

Putusan hakim tersebut tepat di mana

3. Learning to be (pembelajaran untuk hakim tidak semata-mata menjatuhkan hukuman

membangun jati diri) dan mengupayakan efek jera. Walaupun Undang-

Keadilan Restoratif dalam Putusan Pidana Anak (Hesti Septianita)

Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem detail/cl3026/masalah-independensi-hakim- Peradilan Pidana Anak tidak dijadikan salah

dan-rasa-keadilan-masyarakat. satu acuan pertimbangan ketika mengambil

Kant, R.R. (2011). School Management Committee dan menjatuhkan pembinaan, namun hakim

Manual 2011. New Delhi: National Coalition dalam memutus perkara ini memperhatikan

for Education.

prinsip-prinsip restorative justice seperti yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut. Kurian, G.T. (2006). World encyclopedia of police Hakim memperhatikan kepentingan terbaik anak

force & correctional systems. 2nd ed. Detroit: dan hak anak untuk mendapatkan pendidikan Thomson Gale.

sekaligus menghindarkan anak dari kemungkinan Liebmann, M. (2007). Restorative justice, how it dampak detrimental bagi anak jika ditempatkan

works. London: Jessica Kingsley Publisher. di penjara, serta kemungkinan berulangnya

Masahiro, S., & Hennessey, H. (2016, November). tindak pidana.

Current debates over restorative justice: Concept, definition, & practice. Prison Service

Journal, 228. Setyawan, D. (2014, Juni). Menuju restorative justice

DAFTAR ACUAN

dalam sistem peradilan pidana anak. Diakses Aviandari, D., & Septianita, H. (2016).

http://www.kpai.go.id/artikel/menuju- Mengembangkan model pendampingan

dari

restorative-justice-dalam-sistem-peradilan-anak/ . berlandaskan keadilan restoratif di Lembaga

Shidarta. (2007). Utilitarianisme. Jakarta: UPT Pembinaan Khusus Anak, kumpulan kajian.

Penerbitan Universitas Tarumanegara. Yogyakarta: Yayasan Samin.

Susanto, A.F. (2011, April). Potret buram anak Braithwaite, J. (2002). Restorative justice & responsive

perempuan Indonesia (Kajian Putusan No. regulation. New York: Oxford University Press.

1210/PID.B/2007/P.N.BB tentang Incest. Bram, D. (2011, April). Peran hermeneutika dalam

Jurnal Yudisial, 4(1), 75-88. rangka meningkatkan kualitas putusan (Kajian

The Canadian Resource Centre for Victim of Crime. Putusan Hakim Nomor 31/PID.B/2009/

(2011). Restorative justice in Canada, what PN.PL.R). Jurnal Yudisial, 4(1), 46-61.

victims should know? Ontario: The Canadian Dhami, M.K., et al. (2009). Restorative justice in

Resource Centre for Victim of Crime. prisons. Contemporary justice review, 12(4),

Wigjnosoebroto, S. (2013). Hukum konsep & metode. 433-448.

Malang: Setara Press.

Gönczöl, K, et al. (2010). European best practices of Yuster, et al. (2006). Manual for the measurement of

restorative justice in the criminal procedure. juvenile justice indicators. New York: United

Hungary: Conference Publication. Nations Office on Drugs and Crime. Hukum Online. (2013, Mei 16). Masalah independensi

hakim & rasa keadilan masyarakat. Diakses dari

http://www.hukumonline.com/klinik/

208 |

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 193 - 208

Pembebanan Tanggung Jawab Perdata (Bachtiar & Tono Sumarna)

| 209

ABSTRAK

Wanprestasi dalam perjanjian konstruksi kerap ditemui dalam praktik, baik yang dilakukan oleh pemberi pekerjaan, maupun pihak pelaksana pekerjaan. Konsekuensinya, pihak yang melakukan wanprestasi dibebankan memulihkan kerugian yang timbul dari pelaksanaan perjanjian. Hal demikian tercermin dalam Putusan Nomor 72/PDT.G/2014/PN.TGR, di mana Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan selaku pihak pemberi pekerjaan proyek terbukti melakukan wanprestasi. Menarik untuk dicermati, majelis hakim dalam putusannya justru membebankan Walikota Tangerang Selatan untuk bertanggung jawab secara keperdataan. Isu hukum yang hendak dijawab dalam tulisan ini, terkait apakah penafsiran hakim dalam Putusan Nomor 72/PDT.G/2014/PN.TNG tentang pembebanan tanggung jawab perdata kepada kepala daerah akibat wanprestasi yang dilakukan

oleh kepala dinas telah sesuai dengan ajaran hukum administrasi negara, dan ajaran hukum perdata. Untuk menjawab isu hukum tersebut, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan bersandar pada data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa majelis hakim telah keliru dalam menafsirkan konsep pertanggungjawaban kepala daerah. Menurut ajaran hukum administrasi negara, walikota selaku kepala daerah tidak dapat dimintai tanggung jawab secara perdata akibat wanprestasi yang dilakukan kepala dinas. Demikian pula dari perspektif Pasal 1340 KUHPerdata, walikota bukanlah merupakan pihak dalam pelaksanaan perjanjian yang dibuat oleh kepala dinas, sehingga tidak dapat dibebani tanggung jawab secara keperdataan.

Kata kunci: tanggung jawab perdata, kepala daerah, wanprestasi.