Prinsip Kebebasan Hakim dalam
3. Prinsip Kebebasan Hakim dalam
sentencing system) adalah ”aturan perundang- undangan yang berhubungan dengan sanksi
Memutus Perkara
pidana dan pemidanaan” (the statutory rules Merujuk pada sistem kekuasaan kehakiman relating to penal sanctions and punishment). di Indonesia, kata “kebebasan” digunakan
Apabila pengertian pemidanaan diartikan terhadap lembaga peradilan (kekuasaan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau kehakiman yang merdeka), maupun terhadap penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah hakim (kebebasan hakim) sebagai aparatur inti dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup kekuasaan kehakiman. Istilah kebebasan hakim keseluruhan ketentuan perundang-undangan sebagai suatu prinsip yang telah diamanahkan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu konstitusi, ternyata dalam tataran implementasi ditegakkan atau dioperasionalisasikan secara personal maupun sosial telah banyak konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi menimbulkan berbagai macam penafsiran. (hukuman) pidana. Ini berarti semua aturan Ketika kata “kebebasan” digabungkan dengan perundang-undangan mengenai hukum pidana kata “hakim”, yang membentuk kata majemuk substantif, hukum pidana formal, dan hukum “kebebasan hakim”, maka penafsirannya pelaksanaan pidana dapat dilihat sebagai kesatuan bermacam-macam. Ada yang menafsirkan sistem pemidanaan.
bahwa kebebasan hakim merupakan kebebasan yang tidak bersifat mutlak, karena tugas hakim
Menurut P.A.F Lamintang dan Theo adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Lamintang (Melani, 2014: 110), terdapat tiga Maka dari itu, kebebasan hakim tidak bersifat
pokok pemikiran tentang tujuan yang hendak
Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 151 - 170 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 151 - 170
Kemandirian hakim dalam wujud prinsip Secara normatif, kebebasan hakim dapat kebebasan hakim dalam memutus setiap perkara ditelusuri mulai dari UUD NRI 1945, Undang- yang diajukan kepadanya terbentur dengan Undang tentang Kekuasaan Kehakiman dan pola pikir positivistik yang masih mendominasi Mahkamah Agung yang telah beberapa kali pemahaman hukum para aparat penegak hukum mengalami perubahan. Misalnya sebagaimana di Indonesia. Hukum lebih diartikan dalam tataran yang disebutkan pada Pasal 32 ayat (5) formal di mana sesuatu akan disebut hukum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang apabila telah dituangkan dalam bentuk undang- Mahkamah Agung (sebagaimana telah diubah undang. Akibatnya hukum cenderung dimaknai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004), sebatas teks dalam dokumen resmi negara yang kata kebebasan hakim tidak diberikan penjelasan disebut perundang-undangan. Hukum dalam teks lebih rinci dan lebih teknis oleh undang-undang akan diterapkan dalam peristiwa konkret oleh tersebut. Oleh sebab itu dalam memaknai dan para penegak hukum (Anggraeni, 2011: 271). memahami prinsip asas kebebasan hakim harus
Hakim dalam membuat putusan tidaklah berada dalam kerangka kontekstual prinsip
sekadar menjalankan teknis yuridis dan kemandirian kekuasaan kehakiman.
prosedural penerapan ketentuan peraturan Secara organisatoris, hakim adalah bagian perundang-undangan semata-mata. Setiap dari subsistem lembaga peradilan, yaitu sebagai putusan hakim secara yuridis formal tetap tidak pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, dapat mengabaikan aspek prosedural, namun sehingga kebebasan hakim harus selalu berada yang terpenting dari itu semua adalah lahirnya dalam koridor kemerdekaan lembaga kekuasaan suatu putusan yang dapat mengantarkan para kehakiman sebagaimana ditentukan dalam Pasal hakim untuk sampai pada tujuan hukum yang
3 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang sesungguhnya yaitu berkeadilan, bermanfaat, dan Komisi Yudisial yang menyatakan bahwa dalam berkepastian hukum (Suwito, 2015: 102). menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.
4. Teori Keadilan
Implementasi prinsip kebebasan hakim Terdapat berbagai macam teori mengenai dalam memutuskan suatu perkara yang keadilan atau pemikiran bagaimana menciptakan
ditanganinya, dapat dimaknai bahwa hakim tatanan masyarakat yang adil. Teori-teori tersebut bebas dari campur tangan kekuasaan ekstra menyangkut hak dan kebebasan, peluang yudisial, baik kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan, dan kemakmuran. Terkait dengan legislatif dan kekuatan ekstra yudisial lainnya topik penulisan ini, penulis lebih mengarah kepada dalam masyarakat. Hakim dalam memeriksa dan teori keadilan dari filsuf Yunani, Aristoteles. Teori mengadili, bebas untuk menentukan sendiri cara- keadilan menurut pandangan Aristoteles dapat
Infra Petita Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Anshar & Suwito)
dalam buku nicomachean ethics, di mana pengadilan) dan bahan hukum sekunder (buku, sepenuhnya tujuan hukum ditujukan semata- jurnal, dan laporan-laporan hasil penelitian) mata hanya bagi keadilan.
melalui studi kepustakaan. Bahan hukum yang terkumpul kemudian dianalisis secara kualitatif
Berdasarkan filsafat hukum Aristoteles lalu kemudian dipaparkan secara deskriptif agar
bahwa yang mesti dianggap sebagai inti dari dapat menjawab permasalahan dalam tulisan ini. bahasan filsafat hukum tidak lain karena hukum
hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan (Friedrich, 2004: 24). Pada pokoknya
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian Secara implementatif dalam tataran praktik ‘hak persamaan’ tapi bukan ‘persamarataan.’ di pengadilan tindak pidana korupsi terdapat
Aristoteles membedakan hak persamaannya beberapa putusan hakim yang menjatuhkan sesuai dengan hak proporsional. Kesamaan pemidanaan kepada pelaku di bawah batas (limit) hak pada pandangan manusia merupakan suatu ancaman yang diatur dalam ketentuan pemidanaan unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat minimum Undang-Undang Pemberantasan dipahami bahwa semua orang atau setiap warga Tindak Pidana Korupsi. Hakim yang dalam negara dihadapkan pada hukum yang sama.
putusannya menerobos ketentuan pemidanaan minimum ini tentunya memiliki legal reasoning
Kesamaan proporsional memberikan yang dapat dipertanggungjawabkan.
tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah
Putusan yang sedemikian rupa itu dapat dilakukannya. Lebih lanjut, keadilan menurut disebut sebagai putusan hakim infra petita
pandangan Aristoteles dibagi ke dalam dua dikarenakan akan menimbulkan pertentangan macam keadilan, yaitu keadilan distributief dan antara dimensi kepastian hukum (prosedural) keadilan commutatief. Keadilan distributif ialah dengan dimensi keadilan hukum (substantif) keadilan yang memberikan kepada tiap orang sekalipun tidak sepenuhnya juga dapat demikian. porsi menurut prestasinya, sedangkan keadilan Sebagai contoh dapat digambarkan adanya komutatif memberikan sama banyaknya kepada satu perkara tindak pidana korupsi, di mana setiap orang tanpa membeda-bedakan perbuatan hakim telah menerobos ketentuan pemidanaan atau prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan minimum yang diatur dalam Undang-Undang peranan dari masing-masing insan manusia (Van Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Putusan Apeldoorn, 2011: 11-12).
Nomor 2399 K/PID.SUS/2010 dengan posisi perkara sebagai berikut:
II. METODE
“Perkara ini merupakan perkara korupsi pengadaan barang dan jasa berupa
Penelitian ini merupakan penelitian pengadaan Pakaian Sipil dan Dinas DPRD hukum normatif (Soekanto & Mamudji,
Singkawang pada akhir tahun 2007. Total pagu untuk pengadaan pakaian
2011: 14) dengan menggunakan pendekatan tersebut sebesar Rp.65.000.000,-. Dalam
perundang-undangan dan konseptual (Marzuki, pelaksanaan kegiatan tersebut Ketua PPK
158 |
Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 151 - 170
Infra Petita Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Anshar & Suwito)
yang merupakan terdakwa pada berkas perkara yang lain telah menunjuk seorang penjahit untuk melaksanakan kegiatan, namun yang menjadi persoalan rupanya penjahit tersebut tidak memenuhi syarat sebagai penyedia barang/jasa sebagaimana diatur dalam Keppres Nomor 80 Tahun 2003 karena tidak memiliki perusahaan. PPK kemudian menghubungi terdakwa dalam perkara ini untuk meminjamkan perusahaannya yang memang bergerak di bidang konveksi agar syarat-syarat formal penunjukan pelaksana kegiatan terpenuhi. Untuk itu Ketua PPK menjanjikan akan memberikan imbalan sebesar Rp.2.900.000,- dan atas tawaran tersebut terdakwa menyetujuinya. Setelah perusahaan terdakwa ditunjuk untuk melaksanakan tender, uang kemudian dicairkan ke rekening perusahaan terdakwa sebesar Rp.58.000.000,-. Uang tersebut kemudian diserahkan kepada Ketua PPK dengan dikurangi fee sebesar Rp.2.900.000,- sesuai kesepakatan sebelumnya. Namun ternyata uang yang diterima oleh Ketua PPK tersebut tidak pernah diserahkan ke pelaksana kegiatan yang sesungguhnya sehingga akibatnya pekerjaan menjadi gagal dan tidak ada satu potong pakaian dinas pun yang berhasil diadakan” (Rumadan, 2013: 400-401).
Tergambar dalam posisi perkara di atas bahwa terdakwa dituntut turut serta melakukan tindak pidana korupsi yang didakwa dengan dakwaan tunggal Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersama-sama dengan Ketua PPK, namun dalam berkas perkara yang terpisah. Pada putusan pengadilan tingkat pertama, terdakwa dinyatakan terbukti dan dijatuhi pidana penjara selama empat tahun dan denda sebesar Rp.200 juta subsider satu bulan kurungan dan uang pidana pengganti sebesar Rp.2.900.000,-. Berlanjut pada putusan pengadilan tingkat banding, hukuman tersebut dikurangi menjadi pidana penjara selama satu tahun dan denda sebesar Rp.200 juta subsider satu bulan kurungan.
Jaksa penuntut umum kemudian mengajukan kasasi dengan alasan pertimbangan bahwa penerapan hukum putusan pengadilan tingkat banding tidak berdasarkan pada ketentuan pemidanaan minimum yang dianut dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian pada putusan di tingkat kasasi, Mahkamah Agung pada dasarnya memiliki pertimbangan hukum yang sama dengan putusan hakim di tingkat banding.
Mahkamah Agung dalam pertimbangannya berpendapat bahwa model dakwaan tunggal dari jaksa penuntut umum membuat hakim berada pada posisi yang dilematis dikarenakan hakim tidak memiliki ruang untuk memilih penerapan hukum yang tepat dan adil bagi terdakwa. Sehingga Mahkamah Agung dalam perkara ini mengesampingkan ketentuan pemidanaan minimum tersebut dengan tetap memperbaiki putusan pemidanaan sebelumnya menjadi pidana penjara selama satu tahun tanpa pidana denda dan pidana tambahan uang pengganti. Pertimbangan lain majelis hakim tingkat kasasi dalam putusannya menilai bahwa perkara ini dapat mencederai rasa keadilan karena ketidakseimbangan perbuatan terdakwa yang hanya merugikan keuangan negara yang hanya senilai Rp.2.900.000,- dengan tuntutan pidana penjara empat tahun dan pidana denda Rp.200 juta yang dihadapinya berdasarkan ketentuan pidana minimum khusus yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut pandangan penulis, hakim memiliki kewenangan secara mandiri untuk menginterpretasikan dan menilai kebenaran formal dan materiil dari suatu kasus tindak pidana korupsi untuk menjatuhkan putusan atau vonis yang bersesuaian dengan nilai-nilai keadilan. Putusan pemidanaan seperti ini dinilai bagi Menurut pandangan penulis, hakim memiliki kewenangan secara mandiri untuk menginterpretasikan dan menilai kebenaran formal dan materiil dari suatu kasus tindak pidana korupsi untuk menjatuhkan putusan atau vonis yang bersesuaian dengan nilai-nilai keadilan. Putusan pemidanaan seperti ini dinilai bagi
Hakim haruslah menggunakan sarana-sarana atau alat untuk memastikan tentang peristiwa
Berdasarkan hal tersebut maka hakim yang bersangkutan. Jadi mengkonstatir peristiwa,
sejatinya memiliki dasar pertimbangan kecuali melihat atau membenarkan telah terjadinya
hukum (legal reasoning) yang dapat dijadikan peristiwa atau telah menganggap telah terbuktinya
pembenaran terhadap adanya putusan yang peristiwa pidana tersebut, maka diakui sebagai
menerobos ketentuan pemidanaan minimum yang peristiwa yang benar-benar terjadi. Hal yang harus
telah rigid dan jelas diatur dalam Undang-Undang dikonstatir adalah peristiwa, tetapi untuk sampai
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun pada konstatering harus melakukan pembuktian
yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim lebih dahulu. Kegiatan yang dilakukan hakim
tersebut antara lain: dalam fase pertama ini semata-mata bersifat logis.
Jika hakim telah berhasil mengkonstatir peristiwa,
1) Pertimbangan Nilai Keadilan yaitu dengan membenarkan suatu peristiwa, maka Pada intinya dalam menggali pertimbangan peristiwa yang benar tersebut dikualifikasikan ke
dalam aturan hukum.
nilai keadilan dalam setiap putusan, hakim haruslah melalui metode atau proses konstatering,
Mertokusumo (2010: 88) menjelaskan kualifisiening, dan konstituering yang merupakan bahwa mengualifikasikan peristiwa berarti satu kesatuan utuh dalam putusan hakim. Dengan menilai peristiwa yang telah dianggap terbukti itu
terpenuhinya syarat-syarat dari setiap tahapan termasuk hubungan hukum apa atau yang mana, ini akan melahirkan putusan yang adil. Proses dengan perkataan lain menemukan hukumnya tersebut pula menggambarkan lahirnya suatu bagi peristiwa yang telah dikonstatir. Setelah putusan hakim yang ideal jika memenuhi dua hakim menemukan hukumnya, maka selanjutnya syarat, yaitu syarat teoritis dan syarat praktis. hakim melakukan penerapan hukum (rechts Memenuhi syarat teoritis jika telah sesuai dengan toepassing) terhadap suatu peristiwa tersebut. teori yang telah diuji kebenarannya, sedangkan Untuk selanjutnya peraturan hukum yang ada memenuhi syarat praktis jika telah sesuai dengan dapat diterapkan pada peristiwa pidana yang fakta-fakta yang terjadi saat peristiwa pidana bersangkutan. (Arto, 2001: 98-99).
Prinsipnya hakim tidak diberi wewenang Peristiwa pidana yang diajukan ke untuk mengubah suatu undang-undang, tetapi
pengadilan terlebih dahulu harus dikonstatir oleh hakim dapat saja menyimpang dari undang-
Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 151 - 170 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 151 - 170
Putusan Nomor 2399 K/PID.SUS/2010 putusan tersebut tidak dibatalkan oleh pengadilan
yang merupakan salah satu bentuk putusan hakim yang lebih tinggi. Apa pun yang diputuskan oleh
yang telah menerobos ketentuan pemidanaan hakim dipandang sebagai hukum yang berlaku
minimum yang diatur dalam Undang-Undang dan dapat dipaksakan keberlakuannya paling
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hakim tidak terhadap pihak-pihak yang berperkara di
sejatinya telah melakukan penerobosan hukum pengadilan.
terhadap ketentuan penjatuhan pidana penjara Sesudah hakim mengkonstatir dan dan pidana denda yang sejatinya tidak sesuai
mengkualifikasi peristiwa pidana, maka tahapan dengan perintah undang-undang. Putusan hakim berikutnya ialah hakim memberi konstitusinya. pada pengadilan tindak pidana korupsi yang
Hal ini berarti bahwa hakim memberikan menerobos ketentuan pemidanaan minimum keadilan dengan menentukan hukum yang semata-mata tidak hanya sekadar menegakkan menyelesaikan perkara pidana tersebut. Dalam keadilan prosedural semata, namun hakim juga hal ini Mertokusumo (2010: 89) mengemukakan semestinya tetap mempertimbangkan aspek bahwa hakim mengambil kesimpulan dan adanya keadilan substansial dari setiap putusan yang premis mayor, yaitu (peraturan) hukum dan dibuat oleh hakim berdasarkan jenis perbuatan premis minor, yaitu peristiwanya. Semisal siapa yang dilakukan terdakwa. yang korupsi dihukum: si A terbukti korupsi; si
Perlu dicermati pada poin menimbang
A harus dihukum. Meskipun hal itu merupakan dalam putusan pengadilan tingkat kasasi perkara
silogisme, akan tetapi tidak semata-mata hanya
a quo disebutkan, bahwa walaupun perbuatan logika saja yang menjadi dasar kesimpulannya.
terdakwa terbukti memenuhi segenap unsur Keadilan bukanlah produk dari intelek hakim
pasal yang didakwakan kepada terdakwa, namun tetapi merupakan spirit hakim untuk menemukan
majelis hakim menilai penerapan pemidanaan sebuah kebenaran dari suatu peristiwa hukum.
minimum sebagaimana yang diatur dalam pasal Dalam proses pengambilan keputusan untuk dakwaan yang dimaksud dapat mencederai rasa mengakhiri suatu perkara, ada kemungkinan hakim keadilan, karena ketidakseimbangan antara dihadapkan pada keadaan yang meragukan antara perbuatan yang dilakukan terdakwa dihubungkan
terbukti atau tidak, demikian pula konflik antara dengan jumlah kerugian negara yang timbul kepastian hukum atau keadilan, antara kepastian akibat perbuatan terdakwa dan dihubungkan pula
hukum atau kemanfaatan (doelmatigheid), mana dengan besaran nilai yang diperoleh terdakwa yang harus dipentingkan? Dalam hal seperti ini oleh sebab perbuatannya tersebut yakni sebesar diperlukan keberanian dan sikap tegas untuk Rp.2.900.000,-.
Infra Petita Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Anshar & Suwito)
| 161
Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 151 - 170
Menurut pertimbangan majelis hakim kasasi bahwa tindak pidana korupsi tidak boleh disikapi secara permisif berapapun nilai kerugian keuangan negara yang timbul karenanya, akan tetapi sebaliknya penjatuhan pidana yang mencederai rasa keadilan juga harus dihindarkan. Majelis hakim kasasi pun mempertimbangkan bahwa hal-hal yang sangat khusus, Mahkamah Agung dalam fungsi mengadili dapat melakukan penerapan hukum terhadap kasus konkret yang dihadapi yang aktualisasinya tidak seutuhnya searah dengan semangat dan kehendak pembuat undang-undang, akan tetapi diselaraskan dengan tuntutan keadilan masyarakat. Dengan demikian penjatuhan pemidanaan kepada terdakwa tersebut dirasa cukup tepat, adil, dan patut serta bersesuaian pula dengan semangat menjawab tuntutan rasa keadilan masyarakat (Suwito, 2017: 52-53).
Putusan pengadilan tindak pidana korupsi yang menerobos ketentuan pemidanaan minimum bukanlah merupakan bentuk ketidaktaatan hakim pada perintah undang-undang. Hal tersebut merupakan bentuk penerobosan hukum oleh hakim atas kemandirian yang dimiliki hakim yang patut diapresiasi, asalkan putusan tersebut sungguh-sungguh memuat intisari dari nilai keadilan seperti pada Putusan Nomor 2399 K/PID. SUS/2010. Pada kondisi seperti ini, sebenarnya hakim menunjukkan jati dirinya bahwa ia tidak hanya menjadi penegak hukum atas dasar perintah undang-undang an sich, melainkan hakim juga bertolok pada hati nuraninya. Hakim dapat saja menjatuhkan pidana di bawah dari ancaman ketentuan pemidanaan minimum berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi asalkan putusan tersebut tidak memiliki unsur kepentingan sehingga dapat mengintervensi putusan hakim, akan tetapi
putusan tersebut sungguh-sungguh bernilai objektif dengan menjunjung tinggi rasa keadilan.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, penulis berpandangan bahwa putusan pemidanaan yang menerobos ketentuan pemidanaan minimum, telah menunjukkan bahwa sebenarnya hakim telah melaksanakan perintah undang-undang atas dasar hukum normatif, atau hukum positif yang berlaku dengan menjunjung prinsip keadilan substansial. Pemberlakuan ketentuan pemidanaan minimum dalam Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak hanya dipandang sebagai ketentuan yang kaku tanpa mempertimbangkan rasa keadilan. Sehingga menurut hemat penulis, putusan hakim yang menerobos ketentuan pemidanaan minimum tersebut dapat saja diterima dan dinilai sah sebagai produk hukum dalam bentuk putusan pengadilan sepanjang berdasarkan rasa keadilan dan hati nurani, dikarenakan hakim bukan hanya sebagai penegak hukum dan undang-undang semata, melainkan hakim pun bertindak sebagai penegak keadilan.
2) Pertimbangan Judex Factie
Berikut ini akan diuraikan ratio legis pertimbangan dari sisi judex factie dari Putusan Nomor 2399 K/PID.SUS/2010 sebagai kasus kasuistik yang dinilai telah menerobos ketentuan pemidanaan minimum yang dianut dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dari pertimbangan judex factie ini melahirkan terobosan hukum oleh hakim atas dasar social-moral justice, dan pertimbangan hukum yang sistematis, jelas, dan logis.
Hal ini menunjukkan bahwa putusan hakim itu tidak hanya mempertimbangkan dimensi yuridis dogmatik semata, tapi juga Hal ini menunjukkan bahwa putusan hakim itu tidak hanya mempertimbangkan dimensi yuridis dogmatik semata, tapi juga
pada kalimat rumusan tindak pidana paripurna dan menyeluruh, sebelum menjatuhkan
yang menggambarkan atau menyebutkan suatu putusan pemidanaan pada perkara tindak
subjek hukum tindak pidana korupsi pidana korupsi.
dengan sebutan “setiap orang.” Kedua, menyebutkan kualitas pribadi dari subjek
a) Subjek Hukum hukum orang tersebut, semisal kapasitas si pembuat tindak pidana baik berupa sebagai
Subjek hukum (natuurlijke pegawai negeri atau penyelenggara negara persoon) tindak pidana tidak terlepas
(Pasal 8, 9, 10, 11, 12), pemborong ahli pada sistem pembebanan tanggung
bangunan (Pasal 7 ayat (1) huruf a), hakim jawab pidana yang dianut dalam hukum
(Pasal 12 huruf c), advokat (Pasal 12 huruf pidana umum sebagaimana telah diatur
d), saksi (Pasal 24), dan bahkan tersangka dalam KUHP. Dalam artian di sini bahwa
(Pasal 22 jo. Pasal 28).
pertanggungjawaban tersebut bersifat pribadi atau orang yang dibebani tanggung
Subjek hukum orang di sini tidak jawab pidana dan dipidana hanyalah orang
terlepas dari peran dan kedudukan subjek atau pribadi si pembuat tindak pidana
hukum (“setiap orang”) yang didakwa (Chazawi, 2014: 342).
telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi. Peran dan kedudukan seorang
terdakwa dalam suatu perkara tindak pidana pribadi tidak dapat dibebankan pada
Pertanggungjawaban
korupsi menjadi salah satu tolok ukur atau orang yang tidak berbuat tindak pidana
kriteria bagi hakim dalam menjatuhkan atau subjek hukum lain. Dalam hal ini
pidana di bawah batas minimum khusus. berlaku prinsip dalam hukum pidana
Maksud peran atau kedudukan terdakwa yang dikenal dengan istilah strict liability
di sini yaitu pada saat ia melakukan tindak atau pertanggungjawaban pidana secara
pidana, apakah terdakwa hanya seorang langsung, dan tidak dikenal istilah vicarious
diri ataukah ada orang lain yang juga turut liability atau pertanggungjawaban yang
melakukannya. Peran atau kedudukan dapat diwakili oleh subjek hukum yang lain
terdakwa di dalam terjadinya tindak pidana (Sjahdeini, 2007: 45).
korupsi ini dapat menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya,
Subjek hukum orang tindak pidana terutama dalam hal penentuan berat
korupsi telah ditentukan jelas dan tegas ringannya pidana yang dijatuhkan.
dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bersumber
Merujuk pada Putusan Nomor 2399 pada undang-undang tersebut, subjek
K/PID.SUS/2010, penjatuhan putusan hukum orang tindak pidana korupsi dapat
hakim di tingkat pengadilan tinggi yang ditentukan melalui dua cara, yaitu: pertama,
mengesampingkan ketentuan pidana disebutkan sebagai subjek hukum orang
minimum khusus sekaligus menganulir pada umumnya, artinya tidak ditentukan
putusan hakim di tingkat pertama (yang
Infra Petita Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Anshar & Suwito)
tingkat pertama tersebut diambil alih pengadilan tingkat tinggi sependapat
dan dijadikan pertimbangan pengadilan dengan pertimbangan putusan hakim tingkat
tingkat di atasnya dalam memutus perkara pertama, di mana terdakwa terbukti secara
ini. Namun dari sisi sanksi hukum yang sah dan meyakinkan bersalah melakukan
dijatuhkan, pengadilan tingkat tinggi dan tindak pidana korupsi sebagaimana yang
pengadilan tingkat kasasi berpendapat hal didakwakan kepadanya.
itu terlalu berat. Hal itu didasari bahwa terdapat saksi lain yang merupakan
Pertimbangan putusan hakim di terdakwa dalam berkas perkara lain yang
tingkat pertama tersebut telah diambil dinilai oleh majelis hakim sebagai aktor
alih dan dijadikan pertimbangan bagi intelektual kasus tersebut.
hakim pengadilan di tingkat tinggi dalam memutus perkara ini terkecuali mengenai
Berdasarkan pertimbangan judex pemidanaan yang dijatuhkan terhadap
factie dalam menilai peran subjek hukum terdakwa. Di mana putusan pemidanaan
di atas dapatlah disimpulkan bahwa salah di tingkat tinggi tersebut berubah dari
satu kriteria untuk mengukur sejauh mana pidana penjara empat tahun dengan denda
pejatuhan pemidanaan di bawah batas Rp.200 juta dan pidana uang pengganti
minimum dapat dilakukan oleh majelis Rp2.900.000,- menjadi pidana penjara
hakim dengan pertimbangan pada faktor satu tahun dengan denda Rp.200 juta dan
peran terdakwa dalam kasus tindak pidana uang pengganti Rp2.900.000,-.
pidana korupsi yang didakwakan. Bahkan Adapun yang menjadi pertimbangan hakim
terdakwa dalam hal ini tidak berperan di tingkat pengadilan tinggi pada perkara
signifikan, terdakwa hanya mendapat fee ini menilai bahwa terdakwa bukanlah
dari penggunaan nama perusahaan yang merupakan “aktor intelektual” pada kasus
dipinjam untuk memenuhi syarat formalitas tersebut.
pengajuan tender proyek pengadaan pakaian dinas tersebut.
Penjatuhan pemidanaan pada putusan majelis hakim pengadilan tinggi dan putusan
Subjek hukum orang tindak pidana majelis hakim tingkat kasasi yang di bawah
korupsi menjadi salah satu tolok ukur batas minimum yang menganulir putusan
yang patut untuk dikaji terkait dalam hal majelis hakim pengadilan tingkat pertama
memformulasikan kembali ketentuan dengan pemidanaan empat tahun penjara
pemidanaan minimum dalam Undang- dengan pertimbangan bahwa pengadilan
Undang Pemberantasan Tindak Pidana tingkat tinggi dan pengadilan tingkat
Korupsi. Subjek hukum orang di sini tidak kasasi sependapat dengan pertimbangan
terlepas dari peran dan kedudukan subjek hakim tingkat pertama dalam putusannya.
hukum (“setiap orang”) yang didakwa Bahwa terdakwa terbukti dengan sah dan
telah melakukan perbuatan tindak pidana menyakinkan bersalah melakukan tindak
korupsi.
pidana sebagaimana yang didakwakan
164 |
Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 151 - 170
Infra Petita Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Anshar & Suwito)
Peran dan kedudukan seorang terdakwa dalam suatu perkara tindak pidana korupsi menjadi salah satu tolok ukur atau kriteria bagi hakim dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum yang telah ditentukan dalam undang-undang. Peran atau kedudukan terdakwa yang dimaksudkan di sini adalah pada saat melakukan tindak pidana, apakah terdakwa hanya seorang diri ataukah ada orang lain yang juga turut melakukannya. Peran atau kedudukan terdakwa di dalam terjadinya tindak pidana korupsi inilah yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya pada perkara a quo, terutama dalam hal penentuan berat ringannya pidana yang dijatuhkan.
b) Kualitas Perbuatan Penulis membagi perbuatan tindak
pidana korupsi menjadi dua kualifikasi sebagai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan di bawah ketentuan pidana minimum khusus berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu tindak pidana korupsi yang aktif
dan pasif.
Pembatasan
kualifikasi
perbuatan tindak pidana korupsi yang aktif berdasarkan pemikiran penulis adalah perbuatan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh subjek hukum yang bersifat aktif dengan memanfaatkan peran kecil dari subjek hukum lainnya yang bersifat pasif.
Pembatasan kualifikasi perbuatan tindak pidana korupsi yang pasif tersebut
adalah perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum yang bersifat pasif dalam
melakukan perbuatan tindak pidana korupsi, sehingga yang aktif adalah subjek hukum lain yang membutuhkan pemenuhan suatu kepentingan diri sendiri atau orang lain. Untuk memberikan batasan pembedaan antara pelaku tindak pidana korupsi yang aktif dan pasif, penulis memberikan batasan yang jelas bahwa untuk dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi yang pasif, maka ia tidak harus memenuhi kriteria pelaku tindak pidana korupsi yang aktif dengan tipologi telah terjadi korupsi transaktif (Pryhantoro, 2016: 44), yang menunjukkan adanya kesepakatan timbal balik antara pihak yang memberi dan menerima demi keuntungan bersama, dan kedua pihak sama-sama aktif menjalankan perbuatan tersebut.
Pada Putusan Nomor 2399 K/PID. SUS/2010 dapatlah diamati bahwa kualitas perbuatan tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa cenderung bersifat pasif. Bahwa dalam pertimbangan putusan majalis hakim tingkat kasasi pada perkara a quo, terdakwa hanya mendapat fee sebesar 5% dari nilai proyek pakaian, sedangkan pihak lain yang mendapat proyek pekerjaan menjahit pakaian tersebut tidak diproses hukum. Demikian juga saksi-saksi lain yang merupakan terdakwa dalam perkara terpisah seharusnya juga dijadikan sebagai tersangka, karena merekalah yang secara aktif turut merekayasa proyek pengadaan pakaian dinas di lingkungan Sekretariat DPRD Kabupaten Singkawang sejumlah 130 potong pakaian dengan pagu anggaran Rp.64.948.000,-.
Pada proses pembuktian persidangan menunjukkan adanya fakta hukum bahwa Pada proses pembuktian persidangan menunjukkan adanya fakta hukum bahwa
memenuhi unsur tindak pidana korupsi yang merupakan terdakwa pada berkas
kesemuanya dapat dijatuhi ketentuan perkara yang lain pula (splitsing) yang
pemidanaan minimum. Majelis hakim pun memegang peranan selaku PPK dalam
dalam hal ini menilai setiap jenis perbuatan pengadaan proyek pengadaan pakaian dinas
yang dilakukan oleh terdakwa, apakah itu tersebut. Terdakwa pada perkara a aquo
termasuk kategori biasa, sedang ataupun hanyalah pihak yang diperalat oleh PPK.
berat. Sekalipun kesemua kategori tersebut memenuhi unsur pasal tindak pidana
Pertimbangan hukum majelis hakim korupsi yang didakwakan. Dengan tetap
tingkat kasasi dengan Putusan Nomor mempertimbangkan aspek nilai keadilan,
2399 K/PID.SUS/2010 telah terurai jelas seharusnya putusan pemidanaan pun harus
bahwa perbuatan terdakwa sekalipun sesuai dengan jenis perbuatan pidana yang
itu telah terbukti melakukan perbuatan
dilakukan oleh terdakwa.
memperkaya diri sendiri dan orang lain yang dapat merugikan keuangan negara
Majelis hakim telah atau perekonomian negara, namun kualitas
mempertimbangkan bahwa bila kualitas perbuatan terdakwa oleh majelis hakim
perbuatan itu memang termasuk kategori dipandang tidaklah pantas untuk dijatuhi
berat maka hukuman pemidanaan minimum pemidanaan minimum yang telah diatur
maupun pemidanaan maksimum sekalipun dalam Undang-Undang Pemberantasan
layak diberikan kepada terdakwa. Namun Tindak Pidana Korupsi.
sebaliknya, yang tidak ingin diharapkan apabila jenis perbuatan pidana yang
Penulis menilai bahwa pertimbangan dilakukan oleh terdakwa termasuk kategori
majelis hakim dalam menjatuhkan putusan ringan, lalu pidana yang dijatuhkannya
pemidanaan yang menerobos ketentuan pun amatlah berat sesuai dengan ketentuan
pemidanaan minimum atas dasar kualitas pemidanaan minimum akan memberikan
perbuatan terdakwa didasarkan pada kesan bahwa putusan tersebut dapat
dua hal, yaitu: pertama, hakim telah mencederai nilai-nilai keadilan, khususnya
mempertimbangkan jenis perbuatan apa bagi seorang terdakwa pelaku tindak pidana
yang seharusnya dapat dijatuhi ketentuan korupsi. Berlanjut pada dasar kedua di
pemidanaan minimum; dan kedua, hakim atas, di mana hal tersebut erat kaitannya
telah menilai sejauh mana peran terdakwa dengan ketentuan Pasal 55 KUHP yang
dalam melakukan rangkaian perbuatan lazim digunakan sebagai pasal penunjang
tindak pidana korupsi yang didakwakan. dalam mendakwa para pelaku tindak
Mengenai dasar pertama di atas, pidana korupsi selain menggunakan penulis berpandangan majelis hakim
pasal-pasal utama dalam Undang-Undang telah mempertimbangkan bahwa dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. menjatuhkan
putusan pemidanaan Pasal 55 KUHP mengatur mengenai tidak dapat serta merta menilai bahwa
‘membantu melakukan’ tindak pidana
Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 151 - 170 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 151 - 170
Kriteria kerugian keuangan negara melakukan kejahatan. Pada pertimbangan
yang merupakan salah satu akibat dari hukum putusan pengadilan pada perkara a
perbuatan tindak pidana korupsi, menjadi quo, majelis hakim menilai bahwa terdakwa tidak memiliki peran yang sangat signifikan salah satu tolok ukur atau kriteria bagi
hakim dalam menjatuhkan putusan di bawah atas perbuatan tindak pidana korupsi yang
ketentuan pemidanaan minimum. Pada telah terbukti dilakukan. Hal ini dikarenakan
terdapat peran yang lebih signifikan atau Putusan Nomor 2399 K/PID.SUS/2010 terhadap terdakwa kemudian majelis hakim
lebih aktif yang dilakukan oleh subjek kasasi memvonis satu tahun penjara. Vonis
hukum lain atas peristiwa tindak pidana ini lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut
korupsi pada perkara yang dimaksud. umum yang mengacu pada ancaman
Berdasarkan uraian penulis di atas, pemidanaan minimum dalam Pasal 2 ayat kiranya dapat ditemukan adanya perbedaan
(1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak mendasar mengenai peran dari setiap pelaku
Pidana Korupsi, yaitu pidana penjara tindak pidana, terutama dari setiap peran
minimum selama empat tahun dan denda dalam melakukan tindak pidana terdapat
paling sedikit Rp.200 juta. perbedaan mendasar dari ‘turut melakukan’
Salah satu pertimbangan majelis tindak pidana dengan ‘membantu
hakim kasasi adalah kriteria unsur melakukan’ tindak pidana. Sebagaimana
kerugian keuangan negara akibat yang Pasal 55 KUHP yang mengatur delik
timbul dari perbuatan terdakwa, terkait penyertaan yang mengatur bahwa unsur
dengan kerugian keuangan negara atau ‘turut melakukan’ tindak pidana terdapat
perekonomian negara tidak terlampau kerja sama yang disadari antara para pelaku
besar, hanya Rp.2.900.000,-. Nilai ini tentu dan mereka bersama-sama melaksanakan
sangat kecil apabila dibandingkan dengan kehendak tersebut, di mana para pelaku
nilai korupsi yang dilakukan oleh terdakwa memiliki tujuan tertentu atas dasar niat
mantan Bupati Lampung Timur sebesar dalam melakukan tindak pidana tersebut.
10 milyar lebih. Atau nilai korupsi yang Ajaran hukum pidana ‘turut
dilakukan oleh terdakwa mantan Bendahara melakukan’ dapat dibedakan lagi menjadi
Umum Partai Demokrat yang divonis empat bagian, yaitu: pelaku pelaksana
empat tahun. Hal semacam ini tentu sangat (plegen); pelaku sebagai penyuruh
tidak adil jika vonis yang sama dijatuhkan (doenplegen); pelaku peserta (medeplegen);
terhadap terdakwa pada Putusan Nomor dan pembujuk/penganjur (uitlokken).
2399 K/PID.SUS/2010 di mana nilai yang Sedangkan dalam ‘membantu melakukan,’
diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi kehendak dari orang yang membantu
relatif sangat kecil.
melakukan hanyalah untuk membantu pelaku utama mencapai tujuannya, tanpa
Sejatinya keberadaan unsur kerugian memiliki tujuan sendiri.
negara merupakan pintu masuk dan
Infra Petita Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Anshar & Suwito)
secara legalistik dianut dalam Undang- aset perolehan hasil korupsi di Indonesia.
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Adanya kerugian negara atau perekonomian
Korupsi. Untuk lebih memudahkan negara menjadi unsur dari tindak pidana
gambaran uraian dari pertimbangan judex korupsi, sebagaimana diatur hanya ada
factie hakim pada perkara a aquo di atas, dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang
penulis mencoba menampilkan alur legal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
reasoning sehingga hakim dengan yakin kcuali dengan suap dan gratifikasi, tindakan
dapat menerobos ketentuan pemidanaan korupsi telah menimbulkan kerugian
minimum seperti yang dapat diamati pada negara yang sangat signifikan. Oleh
gambar di bawah ini:
Nilai Kerugian Subjek Hukum
Kualifikasi Perbuatan
Keuangan Negara
Kedudukan: Nilai yang diperoleh “bukan pelaku
dari hasil tindak pidana intelektual”
Pasif
korupsi “relatif kecil”
Gambar 1. Alur Pertimbangan Judex Factie Hakim pada Perkara a quo
Sumber: Data Primer, diolah penulis (2017)
karenanya, tentunya sangatlah tidak adil, Tiga hal yang menjadi pertimbangan bilamana seseorang terdakwa yang terbukti
judex factie dari hakim terhadap Putusan merugikan keuangan negara dengan nilai
Nomor 2399 K/PID.SUS/2010 tersebut relatif sangat kecil dipidana penjara selama
di atas yang meliputi: subjek hukum; empat tahun dan pidana denda sebesar
kualifikasi perbuatan; dan nilai kerugian Rp.200 juta sesuai ketentuan dalam Pasal
keuangan negara, menurut analisis penulis
2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan adalah sudah tepat dan benar untuk dapat Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana pasal
menjadi pertimbangan hukum (legal yang diterapkan kepada terdakwa dalam
reasoning) bagi hakim dalam memeriksa, perkara a aquo.
menilai, dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang mengesampingkan penerapan
Berdasarkan pertimbangan hukum ketentuan pemidanaan minimum.
majelis hakim tersebut pada Putusan Nomor 2399 K/PID.SUS/2010, maka
Hal ini diharapkan ke depan agar penjatuhan pemidanaan kepada terdakwa
dapat diakomodasi dalam revisi Undang- dinilai tidak adil bila tetap menerapkan
Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 151 - 170
Korupsi sebagai ruang dari aspek legalitas melakukan tindak pidana korupsi atas dasar bagi hakim agar tidak terjadi lagi distorsi prinsip dan nilai-nilai keadilan. Sedangkan pada yang menimbulkan pemasalahan, friksi, pertimbangan judex factie, hakim memiliki tiga ataupun perdebatan terhadap putusan unsur pertimbangan, yaitu: a) subjek hukum: pemidanaan yang menerobos ketentuan terdakwa bukan merupakan pelaku intelektual dari pemidanaan minimum pada setiap perkara munculnya kasus korupsi tersebut; b) kualifikasi tindak pidana korupsi.
perbuatan korupsi terdakwa tergolong pasif; dan
c) nilai kerugian keuangan negara yang diperoleh Bagi penulis dengan adanya putusan
dari hasil korupsi relatif kecil, sehingga hakim Mahkamah Agung pada perkara a quo yang
kepada terdakwa menjatuhkan putusan di bawah mengesampingkan ketentuan pemidanaan
dari batas ketentuan pemidanaan minimum. minimum tersebut merupakan pilihan tepat
dan benar yang telah diambil oleh hakim
sekalipun terdapat adanya unsur infra petita V. SARAN
pada putusan tersebut, di mana putusan Atas dasar ditemukannya beberapa perkara hakim tersebut lebih mendahulukan di pengadilan tindak pidana korupsi, di mana
aspek keadilan yang bersifat substantif hakim tidak memiliki keseragaman berpikir dalam dibandingkan dengan aspek kepastian mengadili dan memutus perkara tindak pidana hukum yang cenderung bersifat prosedural. korupsi yang didakwa/dituntut menggunakan
ketentuan pemidanaan minimum, maka saran dari
IV. KESIMPULAN
penulis adalah diperlukan adanya reformulasi konsep ideal mengenai batasan diberlakukannya
Dari uraian hasil dan pembahasan dalam ketentuan pemidanaan minimum dalam Undang-
kajian di atas, maka penulis dapat merumuskan Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
kesimpulan bahwa putusan pengadilan tindak pidana korupsi yang menerobos ketentuan
Adapun tawaran konsep ideal tersebut oleh pemidanaan minimum dalam Undang-Undang penulis dibatasi pada tiga kriteria penilaian oleh Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada hakim yaitu: subjek hukum pelaku tindak pidana dasarnya diperbolehkan, sepanjang putusan hakim korupsi, kualifikasi perbuatan pelaku tindak yang infra petita tersebut memiliki esensi ratio pidana korupsi, dan nilai kerugian keuangan legis yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan negara. Adanya tiga kriteria ini semata-mata atas dasar alasan pertimbangan nilai keadilan dan untuk memberikan batasan positivistik dan pertimbangan judex factie, sebagaimana pada legalisasi dari penjatuhan pidana di bawah perkara a quo.
minimum yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga
Pada pertimbangan nilai keadilan, penjatuhan pidana minimum pada perkara tindak
hakim telah menunjukkan bahwa penegakan pidana korupsi tidak lagi menjadi polemik atau
hukum tidak hanya menegakkan hukum secara permasalahan dalam proses penegakan hukum
substansial normatif semata sebagaimana dan pemberantasan tindak pidana korupsi di
yang telah diperintahkan undang-undang, tapi
Indonesia.
tetap melihat kadar kesalahan seseorang yang
Infra Petita Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Anshar & Suwito)
DAFTAR ACUAN
penafsiran Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kajian Terhadap 13
Ali, A., & Heryani, W. (2012). Sosiologi hukum kajian Putusan Pengadilan Tipikor Bandung Tahun
empiris terhadap pengadilan. Jakarta: Kencana 2011-2012). Jurnal Yudisial, 7(2), 103-116.
Prenada Media Group. Mertokusumo, S. (2010). Penemuan hukum.
Anggraeni, R. (2011, Desember). Pengusungan pola Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Press.
pikir positivisme hukum dalam perkara korupsi (Kajian Putusan Nomor 207/PID.B/2008/ Mulyadi, L. (2007). Tindak pidana korupsi di PN.MPW). Jurnal Yudisial, 4(3), 262-278.
Indonesia, normatif, teori, praktik & masalahnya. Bandung: Alumni.
Arief, B.N. (2002). Bunga rampai kebijakan hukum pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Pryhantoro, E.H. (2016). Korupsi dalam perspektif teori sosial kontemporer. Surabaya: Agra Vidya.
Arto. (2001). Mencari keadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rumadan, I. (2013, Desember). Penafsiran hakim terhadap ketentuan pidana minimum khusus
Askin, M. (2012, November). Penerapan sanksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
pidana dalam kasus tipikor. Varia Peradilan, Jurnal Hukum dan Peradilan, 2(3), 379-404.
XXVII(324), 38-50. Sjahdeini, S.R. (2007). Pertanggungjawaban pidana
Bertens, K. (2013). Sejarah filsafat Yunani. Yogyakarta: korporasi . Jakarta: Grafiti Pers.
Kanisius. Soekanto, S., & Mamudji, S. (2011). Penelitian hukum
Budiman, M. (2016, Desember). Problematika normatif. Jakarta: Rajawali Pers.