Nilai­nilai Hukum Progresif dalam Latar Belakang Kemunculan Undang­undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam

B. Nilai­nilai Hukum Progresif dalam Latar Belakang Kemunculan Undang­undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam

Sebagaimana dijelaskan dalam bab III tulisan ini, sebelum Indonesia memiliki hukum perkawinan tersendiri, rakyat Indonesia menggunakan hukum Sebagaimana dijelaskan dalam bab III tulisan ini, sebelum Indonesia memiliki hukum perkawinan tersendiri, rakyat Indonesia menggunakan hukum

Dengan adanya Undang­undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Indonesia yang memiliki relevansi dengan semangat hukum progresif.

Undang­undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam telah menggeser eksistensi dari hukum perkawinan warisan Belanda maupun hukum perkawinan yang ada dalam kitab­kitab fikih. Setelah adanya Undang­undang Nomor 1 tahun 1974, hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia yang diberlakukan di Indonesia tidak lagi mengandung unsur diskriminasi dengan membedakan ras ataupun agama sebagaimana dalam hukum peninggalan Belanda, karena hukum perkawinan ini berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Adapun maksud dari Pasal 2 ayat (1) Undang­undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebuah hal yang sangat logis dan bukanlah suatu aturan yang diskriminatif, karena perkawinan merupakan suatu hal yang sakral dalam setiap agama, dan masing­ masing agama memiliki tata cara tersendiri dalam pelaksanaan perkawinan.

Hukum perkawinan Indonesia dapat dikatakan sebagai hukum yang “berwatak Indonesia asli” hal ini selain dikarenakan hukum ini berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia asli, hukum perkawinan ini juga merupakan bentuk pemenuhan dari tuntutan rakyat Indonesia sendiri yang sudah mengemuka sejak Kongres Perempuan tahun 1928.

Hukum perkawinan di Indonesia, khususnya KHI adalah sebuah bentuk ijtihad yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia. Di dalamnya selain memuat peraturan yang diambil dari fikih berbagai mazhab juga diatur masalah­masalah yang tidak diibicarakan di dalam kitab­kitab fikih terdahulu serta menggeser pemahaman yang sudah mengakar kuat dalam hukum perkawinan yaitu bahwa masalah perkawinan adalah private affairs yang tidak ada campur tangan negara di dalamnya.

Kompilasi Hukum Islam, selain memiliki fungsi sebagaimana pendapat para tokoh yang dipaparkan sebelumnya, dalam konteks hukum progresif, KHI adalah perwujudan bahwa hukum itu sebenarnya adalah untuk manusia. Dengan adanya KHI, peraturan­peraturan mengenai fikih munakahat yang sebelumnya berbahasa Arab dan tersebar di kitab­kitab fikih, dapat mudah diakses oleh masyarakat, karena sudah terkodifikasi secara sistematis dan menggunakan bahasa yang bisa dipahami.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa lahirnya hukum perkawinan di Indonesia baik itu dalam bentuk Undang­undang Nomor 1 tahun 1974 maupun KHI, dilatarbelakangi oleh nilai­nilai filosofis dari hukum progresif. Undang­ undang Nomor 1 tahun 1974 maupun KHI adalah perwujudan bahwa hukum perkawinan itu adalah untuk manusia Indonesia karena sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan mereka serta dirumuskan dengan mempertimbangkan kemaslahatan. Kehadiran hukum perkawinan Indonesia juga sekaligus mengeser eksistensi hukum perkawinan warisan Belanda maupun hukum perkawinan yang tersebar dalam kitab­kitab fikih dengan memberikan pemahaman baru yang berarti Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa lahirnya hukum perkawinan di Indonesia baik itu dalam bentuk Undang­undang Nomor 1 tahun 1974 maupun KHI, dilatarbelakangi oleh nilai­nilai filosofis dari hukum progresif. Undang­ undang Nomor 1 tahun 1974 maupun KHI adalah perwujudan bahwa hukum perkawinan itu adalah untuk manusia Indonesia karena sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan mereka serta dirumuskan dengan mempertimbangkan kemaslahatan. Kehadiran hukum perkawinan Indonesia juga sekaligus mengeser eksistensi hukum perkawinan warisan Belanda maupun hukum perkawinan yang tersebar dalam kitab­kitab fikih dengan memberikan pemahaman baru yang berarti