Pandangan Ulama seputar Perceraian dan Poligami yang Relevan dengan Hukum Perkawinan di Indonesia

C. Pandangan Ulama seputar Perceraian dan Poligami yang Relevan dengan Hukum Perkawinan di Indonesia

1. Kehadiran Saksi dalam Perceraian

Tentang kehadiran dua orang saksi dalam pengucapan talak itu memang menjadi pembicaraan di kalangan ulama. Bila melihat kepada kenyataan bahwa perceraian itu adalah mengakhiri masa pernikahan yang dulunya dipersaksikan oleh orang banyak dan untuk menjaga kepastian hukum, maka kesaksian itu mesti diadakan dan merupakan persyaratan yang mesti dipenuhi. 185

Meskipun ayat tersebut di atas secara jelas menyuruh mengemukakan kesaksian waktu terjadinya rujuk dan perceraian, namun ulama jumhur tidak mewajibkannya. Bagi jumhur ulama hukum mempersaksikan itu hanyalah sunnah. Ulama yang mensyaratkan adanya kesaksian adalah dari golongan Syi'ah. Bagi ulama Syi'ah, kehadiran dua orang saksi waktu pelaksanaan talak adalah salah satu rukun yang harus dipenuhi. Di kalangan ulama ini, perceraian yang tidak dipersaksikan dua orang saksi adalah tidak sah.

Sayyid Murtadha 186 berkata dalam kitab al­Intishar: alasan kaum Syiah Imamiyah tentang mempesaksikan dengan dua orang yang adil sebagai syarat

sahnya talak, yang jika disertai dua saksi laki­laki yang adil, maka talaknya tidaklah sah adalah firman Allah:

185 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op. Cit., 216­217. 186 Sayyid Sabiq, Fiqh al­Sunnah Jilid II, Op. Cit., 221.

ô“ursŒ (#r߉Íkô-r&ur 7$rã•÷èyJÎ/ £`èdqè%Í‘$sù ÷rr& >$rã•÷èyJÎ/ £`èdqä3Å¡øBr'sù £`ßgn=y_r& z`øón=t/ #sŒÎ*sù

¬! noy‰»yg¤±9$# (#qßJŠÏ%r&ur óOä3ZÏiB 5Aô‰tã "Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka

dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah." (QS. Al­Thalaq [65] : 2).

Di sini Allah memerintahkan menghadirkan saksi. Pada zhahirnya menurut hukum agama perintah itu menunjukkan kepada wajib. Sedangkan memberikan arti perintah yang pada zhahirnya wajib dengan arti Sunnah menyalahi ketentuan hukum agama, kecuali kalau ada dalil­dalil kuat yang menerangkan. Dalam kitab Durrul Mantsur, Sayuti meriwayatkan dari Abdur Razaq dan Abd bin Humaid dari Atha’, katanya:

ﺩﻮﻬﺸﻟﺎﺑ ﺔﻌﺟﺍﺮﻤﻟﺍﻭ ﺩﻮﻬﺸﻟﺎﺑ ﻕﻼﻄﻟﺍﻭ ﺩﻮﻬﺸﻟﺎﺑ ﺡﺎﻜﻨﻟﺍ “Nikah itu dengan saksi, Talak dengan saksi, dan rujuk dengan saksi.”

Ibnu Katsir 187 meriwayatkan dalam kitab tafsirnya dari Ibnu Juraij Atha’ pernah berkata tentang firman Allah: “Dan persaksikanlah kepada dua orang

laki­laki yang adil di antara kamu”

187 Ibid, 222.

Beliau berkata: nikah, talak dan rujuk tidak boleh dilakukan tanpa kehadiran dua orang saksi laki­laki yang adil., sebagaimana firman Allah di atas, kecuali bagi orang yang berhalangan.

Dan perkataan “tidak boleh” jelas menunjukkan pada wajibnya menghadirkan saksi saat terjadi talak, karena talak dianggap sama halnya dengan nikah (yang membutuhkan saksi). Jadi adalah suatu kewajaran apabila dalam menjatuhkan talak disyaratkan adanya bukti (berupa kesaksian).

Namun, menurut Sayyid Sabiq 188 , tidak hanya ulama Syi'ah yang mensyaratkan adanya saksi dalam talak. Dikutip dari Suyuthi dan Ibnu Katsir

bahwa kewajiban untuk menghadirkan saksi dalam perceraian tidak hanya diutarakan oleh ulama dari keluarga Rasulullah saja, seperti yang dikutip oleh Sayyid Murtadha, melainkan juga merupakan pendapa 'Atha' dan Ibnu Sirin serta Ibnu Juraij.

Menurut Amir Syarifuddin 189 , para ulama fikih tidak membahas tentang persetujuan isteri yang ditalak. Hal ini disebabkan karena pendapat ulama secara

umum bahwa talak itu adalah hak mutlak seorang suami. Hak itu dapat digunakannya meskipun tidak mendapat persetujuan dari isteri yang ditalaknya itu.

2. Alasan Perceraian

Sama dengan masalah persetujuan isteri, kitab­kitab fikih juga tidak membicarakan keharusan adanya sebab untuk terjadinya talak. Bahkan terkesan bahwa kitab fikih meremehkan talak tersebut. Suami dapat mentalak isterinya

188 Ibid. 189 Amir Syarifuddin,, Op.Cit., 214­215.

kapan saja, di mana saja, dalam keadaan apa saja, dan oleh siapa saja. Menganggap enteng terjadinya talak itu tidak sejalan dengan kebijaksanaan al­ Qur'an. Alasan klasik yang digunakan oleh ulama adalah bahwa talak itu adalah hak suami dan untuk menjalankan haknya itu, dia dapat berbuat apa saja dan tidak perlu menunggu alasan apa pun. Satu­satunya batasan untuk suami dalam menjalankan haknya itu adalah dinyatakannya dalam beberapa kitab fikih makruhnya hukum menjatuhkan talak tanpa alasan. Padahal di dalam al­Qur'an ditemukan beberapa ayat yang mengisyaratkan adanya alasan untuk terjadinya talak, di antaranya adanya nusyuz dari pihak isteri atau suami. Adanya syiqaq antara suami dengan isteri. Kejadian tersebut merupakan prolog terjadinya talak, yang tanpa adanya prolog tersebut, talak tidak mesti terjadi. Dari beberapa hadis Nabi terkesan adanya sebab­sebab untuk dapat terjadinya talak. 190

3. Kewajiban Adil dalam Poligami

Apabila seorang laki­laki memiliki beberapa orang isteri, maka menurut Jumhur Ulama selain golongan syafi’iyah agar berlaku adil kepada mereka (para isteri dalam hak­hak mereka yang meliputi kebutuhan papan, sandang dan papan,

yaitu dengan cara memberikan kadar yang sama kepada masing­masing. 191 Menurut Wahbah Zuhaily, Allah swt. telah menganjurkan agar menikahi

satu orang wanita saja jika khawatir tidak mampu berbuat adil saat memiliki isteri lebih dari satu. Dan dalil atas kewajiban berlaku adil kepada isteri dalam hal qasm (pembagian waktu gilir siang dan malam kepada isterinya kecuali jika terdapat

190 Ibid, 215­216. 191 Wahbah Zuhaily, al­Fiqh al­Islami wa Adillatuhu 9 (Damasyq: Dar al­Fikr, 1997), 6593.

hajat, jika isterinya dua orang atau lebih.), dan nafkah wajib, berdasarkan firman Allah dalam surah al Nisaa (4) ayat: 3:

¸oy‰Ïnºuqsù (#qä9ω÷ès? žwr& óOçFøÿÅz ÷bÎ*sù ÷( Maksudnya adalah “jika kalian khawatir tidak dapat berbuat adil dalam hal

qasm dan nafkah dalam pernikahan dua, tiga atau empat orang isteri, maka lebih baik satu isteri saja. Dan Allah berfirman dalam ayat yang sama:

ÇÌÈ (#qä9qãès? žwr& #’oT÷Šr& y7Ï9ºsŒ 4 öNä3ãY»yJ÷ƒr& ôMs3n=tB $tB ÷rr& ¸oy‰Ïnºuqsù (#qä9ω÷ès? žwr& óOçFøÿÅz ÷÷bÎ*sù Yaitu “janganlah kalian berbuat menyimpang atau aniaya (la tajuruu),

karena penyimpangan (al­Jaur) itu haram. Dan berbuat adil kepada isteri itu adalah kewajiban yang bersifat dharuriyah (tidak dapat ditawar­tawar). 192

Sebuah hadits dari Aisyah yang berbunyi: ﻼﻓ , ﻚﻠﻣﺃ ﺎﻤﻴﻓ ﻲﻤﺴﻗ ﺍﺬﻫ ﻢﻬﻠﻟﺍ : ﻝﻮﻘﻳ ﻭ ﻝﺪﻌﻴﻓ ﻢﺴﻘﻳ ﻢﻠﺳ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻥﺎﻛ

( ﺪﻤﺣﺃ ﻻﺍ ﺔﺴﻤﺨﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ ). ﻚﻠﻣ ﺃ ﻻﻭ ﻚﻠﻤﺗ ﺎﻤﻴﻓ ﻲﻨﻤﻠﺗ Aisyah ra. berkata: “bahwa pada saat Rasulullah saw membagi giliran

dengan adil (terhadap isteri­isterinya) beliau berkata: “Ya Allah inilah pembagian giliran yang dapat aku lakukan, maka janganlah Engkau mencelaku pada hal yang dapat Engkau lakukan namun tidak dapat kulakukan.

192 Ibid.

Al­Tirmidzi berkata: maksud dari “yang tidak dapat kulakukan” adalah cinta dan kasih sayang. Al­Bayhaqy menyampaikan riwayat dari Ibnu Abbas bahwa penggalan surah al­Nisaa (4) ayat: 129 yang berbunyi:

( öNçFô¹t•ym öqs9ur Ïä!$|¡ÏiY9$# tû÷üt/ (#qä9ω÷ès? br& (#þqãè‹ÏÜtFó¡n@ `s9ur

Artinya: :”Dan kamu sekali­kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri­ isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, “ (QS al­Nisaa [4] ayat: 129). Maksudnya adalah dalam hal cinta dan jimak.

Dan sebuah hadits dari Abi Hurairah: ﺎﻤﻫﺍﺪﺣﻻ ﻞﻴﻤﻳ , ﻥﺎﺗﺃﺮﻣﺍ ﻪﻟ ﺖﻧﺎﻛ ﻦﻣ : ﻝﺎﻗ ﻢﻠﺳ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻦﻋ ﺓﺮﻳﺮﻫ ﻰﺑﺃ ﻦﻋ

( ﺔﺴﻤﺨﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ ). ﻼﺋﺎﻣ ﻭﺃ ﺎﻄﻗﺎﺳ ﻪﻴﻘﺷ ﺪﺣﺃ ﺮﺠﻳ . ﺔﻣﺎﻴﻘﻟﺍ ﻡﻮﻳ ءﺎﺟ , ﻯﺮﺧﻻﺍ ﻰﻠﻋ Dari Abi Hurairah ra. dari Nabi saw, beliau bersabda:” Barangsiapa yang

memiliki dua orang isteri, sedang ia condong kepada salahsatunya, maka pada hari kiamat ia akan diseret dalam keadaan bahunya cacat atau miring”