Aturan Perceraian

1. Aturan Perceraian

Sebagaimana dijelaskan pada bab II, bahwa di antara asas­asas hukum perkawinan yang terdapat dalam hukum perkawinan di Indonesia adalah bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta mempersulit terjadinya perceraian. Asas ini ditegaskan masing­masing dalam Undang­undang Nomr 1 Tahun 1974 pasal 1 dan KHI pasal 2.

Jika melihat pada aturan baik di Undang­undang Nomor 1 tahun 1974 maupun KHI yang mengharuskan perceraian hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan setelah upaya perdamaian yang dilakukan oleh Pengadilan tidak berhasil serta harus didasarkan kepada alasan­alasan tertentu. maka aturan ini bisa dikatakan didasari oleh asas­asas tersebut di atas sebagai ratio legis dari aturan tersebut.

Adanya aturan yang mengharuskan bahwa perceraian harus dilakukan di Pengadilan disertai alasan­alasan tertentu adalah upaya untuk mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini adalah sesuai dengan petunjuk dari hadits Nabi yang Adanya aturan yang mengharuskan bahwa perceraian harus dilakukan di Pengadilan disertai alasan­alasan tertentu adalah upaya untuk mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini adalah sesuai dengan petunjuk dari hadits Nabi yang

Pengadilan sebagai tempat untuk melaksanakan cerai menurut penulis memiliki fungsi seperti saksi sebagaimana yang terdapat pada fikih Syiah Imamiyah, meskipun di Indonesia mazhab yang dianut adalah mazhab­mazhab dari aliran Sunni. Menurut Wasit Aulawi, keharusan untuk mempersaksikan talak memiliki beberapa manfaat, yaitu: (a) lebih mantapnya jaminan akan kepastian hukum; (b) dapat mengurangi akibat sampingan yang negatif; (c) dapat mengurangi sikap emosional suami, isteri ataupun keduanya; (d) sesuai dengan prinsip mempersulit jatuhnya talak karena talak adalah sesuatu yang dibenci

Allah. 194 Fungsi lain yang dilakukan oleh pengadilan adalah fungsi sebagai

pendamai antara suami isteri. Di dalam Islam perceraian tidak dapat dilakukan tanpa dilakukan usaha perdamaian sebelumnya. Hal ini dapat dilihat pada ayat­ ayat al­Qur’an yang berbicara tentang nusyuz isteri maupun suami dan ayat tentang syiqaq, yang semuanya menyerukan kepada perdamaian daripada perpisahan (cerai).

A. Wasit Aulawi, “Sejarah Perkembangan Hukum Islam”, dalam Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Ed Amrullah Ahmad, dkk (Cet 1; Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 58.

Tujuan yang paling mendasar dari aturan perceraian ini sebenarnya adalah kepentingan suami isteri dan keluarga. Di pihak isteri, aturan ini melindungi para isteri dari kemungkinan kesewenang­wenangan suami dalam memutuskan perceraian. Di pihak suami, aturan ini menjadikan para suami tidak sembarangan dalam menggunakan haknya sehingga terlalu mudah memutuskan perceraian yang tidak menutup kemungkinan menimbulkan penyesalan besar di kemudian hari. Adapun di pihak keluarga, aturan ini melindungi anak­anak dari kenyataan pahit, yaitu menyaksikan perpisahan orang tua mereka, serta menghindarkan terputusnya tali sillaturrahim yang telah terjalin di antara dua keluarga besar setelah adanya perkawinan tersebut.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aturan perceraian dalam hukum perkawinan di Indonesia telah menerapkan nilai­nilai hukum progresif. Aturan perceraian ini dirumuskan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, yaitu melindungi kepentingan suami, isteri dan seluruh keluarga sekaligus. Selain itu, aturan ini juga telah mengatur hal­hal yang tidak diatur oleh kitab­kitab fikih, memilih pendapat yang dikeluarkan oleh golongan minoritas karena mengandung unsur kemanfaatan, serta menghilangkan paham private affairs dalam perceraian. Hal ini membuktikan bahwa aturan perceraian di dalam hukum perkawinan di Indonesia menolak status quo dalam hukum perkawinan.