PRINSIP DAN FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENDIDIKAN ORANG DEWASA MELALUI PENDEKATAN PSIKOLOGI

IV. PRINSIP DAN FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENDIDIKAN ORANG DEWASA MELALUI PENDEKATAN PSIKOLOGI

4.1. Suasana

4.1.1. Suasana Pendidikan Aktif

Suasana dimana seluruh sasaran pendidikan (dalam bentuk individu maupun kelompok) yaitu manusia aktif secara fisiologi (panca indera) dan psikologi (mental) . Aktif secara fisiologi yang dimaksud adalah sasaran pendidikan aktif secara jasmaniah atau berkaitan dengan faktor – faktor fisik antara lain pendengaran, penglihatan, struktur tubuhnya, (Eryanto dkk, 2013) sedangkan aktif secara psikologi adalah sasaran pendidikan aktif secara non – fisik di mana terdiri atas faktor intelektif dan faktor non – intelektif. Menurut Ahmadi dan Supriyono (2004) faktor intelektif meliputi (1) faktor potensial yaitu kecerdasan dan bakat; (2) faktor kecakapan nyata berupa prestasi yang telah di miliki sedangkan faktor non – intelektif berupa (1) unsur – unsur kepribadian tertentu seperti sikap, kebiasaan, minat, kebutuhan, motivasi, emosi dan penyesuaian diri; (2) faktor kematangan fisik maupun psikis; (3) faktor lingkungan spiritual dan keamanan. Feldman (2012) mengatakan bahwa emosi merupakan perasaaan yang secara umum memiliki elemen fisiologis dan kognitif serta memengaruhi perilaku terutama dalam proses pembelajaran, dalam hal ini adalah terjadinya reaksi intingtif terhadap kejadian tubuh yang terjadi sebagai respon terhadap beberapa situasi atau kejadian lingkungan.

King (2010), menambahkan bahwa umumnya orang dewasa muda mencapai perubahan kemampuan fisik pada usia 20 – an dan usia tersebut merupakan masa seseorang berada di puncak kesehatannya terutama pada kekuatan dan kecepatan dalam belajar dan berlatih, di sisi lain dewasa muda merupakan masa di mana kemampuan fisik mulai mengalami penurunan. Penurunan kekuatan dan kecepatan belajar mulai terlihat nyata pada akhir usia 30 - an sehingga faktor umur perlu di pertimbangkan dalam pendidikan orang dewasa.

4.1.2. Suasana Saling Menghormati

Merupakan suasana di mana ada rasa menghormati (penghargaan) antara orang sasaran pendidikan dengan pendidik. Suasana tersebut tercermin dengan adanya keseimbangan antara tuntutan hak dan kewajiban dari masing - masing sasaran pendidik dan pendidik (King, 2010). Menurut Arliani (2012), sikap saling menghormati merupakan bagian dari pendidikan di mana merupakan upaya untuk memperbaiki karakter bangsa dengan cara memberikan harga atau memberikan penilaian yang baik karena suasana saling menghormati atau menghargai tersebut muncul karena setiap orang (termasuk sasaran pendidikan dan pendidik) ingin di hargai.

Giblin (2004) menguatkan bahwa adanya keinginan untuk dihargai tersebut muncul karena KODRAT MANUSIA itu sendiri di mana kodrat tersebut merupakan kata kunci utama munculnya keinginan untuk di hormati terutama dalam berkomunikasi saat mendidik orang dewasa, yaitu ORANG TERUTAMA

TERTARIK PADA DIRI MEREKA SENDIRI, BUKAN PADA ORANG

LAIN , dengan kata lain, orang lain sepuluh ribu kali lebih tertarik pada dirinya sendiri daripada orang lain (lawan bicara) di dunia ini dan hal tersebut akan tetap berlaku sampai akhir zaman, karena manusia di tempatkan di Bumi dengan kodrat seperti itu. Hal tersebut terjadi karena tindakan manusia di atur oleh pikirannya sendiri atau kepentingan dirinya, sifat tersebut sangat kuat dalam diri manusia sehingga pikiran menonjol dalam kasih sayang adalah kepuasan yang di peroleh si pemberi dengan memberi, bukan dengan menerima. Berdasarkan hal tersebut pendidik hendaknya memahami kodrat manusia peserta didik dengan cara mengenali dan mengakui orang sebagaimana mereka adanya bukan apa yang pendidik kira / pikirkan tentang mereka, dan bukan pendidik menginginkan mereka menjadi apa, karena dengan memahami kodrat manusia maka pendidik dapat mengetahui mengapa orang – orang melakukan hal – hal yang mereka lakukan dan hal ini akan menjadi dasar yang kokoh bagi pendidik untuk menjalin hubungan baik dengan peserta didik atau secara sederhananya pendidik menjadi terampil dalam mendidik peserta didik

4.1.3. Suasana Saling Percaya

Merupakan suasana di mana peserta didik dan pendidik saling percaya sehingga tercipta suasana saling keterbukaan dan mempunyai keinginan untuk memperbaiki diri. Menurut Kementan (2012), suasana saling percaya di pedesaan, terutama peternak – peternak baik antar anggota maupun kelompok pendidikan dapat di wujudkan dengan menciptakan suasana keterbukaan di dalam kelompok pendidikan dengan langkah – langkah yang terdiri atas:

 Menetapkan tujuan secara bersama 

Pemilihan pengurus kelompok pendidikan secara demokratis 

Menciptakan suasana keterbukaan dalam kelompok 

Mendorong anggota kelompok berperan aktif 

Melakukan pergantian pengurus kelompok pendidikan 

Menguatkan organisasi kelompok Langkah – langkah tersebut di atas dapat berjalan dengan baik apabila

terdapat komunikasi yang baik dengan pihak peternak – peternak sebagai peserta didik terhadap pendidik. Arliani (2012) menambahkan memahami orang lain merupakan salah satu kunci dalam berkomunikasi. Berdasarkan teori tersebut, maka pemahaman orang lain dapat dilakukan melalui pendekatan teori Giblin (2004), dengan cara mengenali dan mengakui KODRAT MANUSIA karena ini merupakan pengetahuan dasar yang kokoh ketika berkomunikasi dengan orang, selanjutnya adalah berkomunikasi sesuai dengan topik yang paling menarik pada peserta didik yaitu DIRI PESERTA DIDIK tersebut atau permasalahan dari peserta didik yang bersangkutan, karena dengan cara ini pendidik mengusap mereka dengan cara yang benar. Teknik ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pertama sebisa mungkin singkirkan tiga kosa kata yaitu “Saya, Aku, Milikku” dan kedua memancing mereka untuk berbicara tentang diri atau permasalahan peserta didik. Singkatnya pendidik mengorbankan kepuasan yang diperoleh dari berbicara tentang dirinya dengan cara berbicara tentang diri mereka.

4.1.4. Suasana untuk Menemukan Jati Diri

Suasana pendidikan harus di arahkan agar peserta didik menemukan kata kunci diri mereka, dengan dua cara pertama adalah mendeteksi diri apakah peserta sudah mengalami perubahan signifikan menuju arah yang sesuai atau mengalami penurunan dan kedua adalah arahkan peserta untuk mengikuti perubahan luar dengan cara perlahan – lahan mengubah kebiasaan dari segala sesuatu yang diperlukan hingga pada akhirnya sepenuhnya berubah mengikuti alur irama baru selanjutnya adalah pendidik harus melihat passion atau sesuatu kegiatan atau aktivitas membuat peserta didik merasa senang, rela mengorbankan waktu, tenaga dan dana untuk melatihnya sehingga pendidik dapat mengarahkan peserta peserta didik sesuai minat dan bakatnya (Azzaini, 2013).

Pendidik berkewajiban mengarahkan peserta didik pada hakikat manusia yang pertama dan paling utama yaitu sebagai makhluk yang terikat oleh Tuhan, sehingga pendidik berkewajiban melihat kepercayaan pada peserta pendidik dan menerangkan hal – hal yang bersifat religius sesuai dengan jenis kepercayaan yang di anutnya (Arliani, 2012). Kedua adalah arahkan peserta didik untuk bersikap mandiri ketika berada di lingkungan, sikap mandiri tersebut di tujukan dengan keberanian peserta didik untuk mendeskripsikan diri (bercerita) namun sebagian besar peserta didik mengalami ketakutan untuk mendekripsikan diri sehingga peserta didik akan menarik diri dari pergaulan dan berusaha sekecil mungkin untuk berkomunikasi, dan hanya akan berbicara apabila terdesak saja, bila kemudian terpaksa berkomunikasi, pembicaraanya seringkali tidak relevan, sebab berbicara relevan akan mengundang reaksi orang lain, dan ia akan di tuntut berbicara lagi (Wahyuni, 2014). Ketiga adalah menemukan permasalahannya yaitu dengan di arahkan untuk menemukan hakikat jati dirinya secara rasional. Fiest dan Fiest (2010) menyarankan untuk menemukan hakikat jati dirinya secara rasional pendidik perlu memberikan penghargaan diri yang positif. Penghargaan positif itu didefinisikan sebagai pengalaman menghargai diri sendiri. Hal tersebut harus diyakini oleh pendidik bahwa menerima penghargaan positif dari orang lain diperlukan dalam memberikan penghargaan positif pada diri sendiri.

4.1.5. Suasana Tidak Mengancam

Suasana pendidikan yang aman merupakan suasana lingkungan yang tidak ada ancaman dimana menyebakan peserta didik mengalami stress. Misal: tempat yang tidak mengalami musibah seperti gempa, gunung meletus, banjir dan lain – lain. Menurut King (2010) dari sisi psikologi stress di definisikan sebagai respon individu terhadap stresor yaitu lingkungan atas peristiwa yang mengancam mereka dan membebani kemampuan coping peserta didik. Coping yang dimaksud di sini merupakan salah satu jenis pemecahan masalah yang prosesnya melibatkan mengelola situasi yang berlebihan, meningkatkan usaha untuk menyelesaikan permasalahan – permasalahan kehidupan dan mencari cara untuk mengalahkan stress atau menguranginya. Definisi tersebut muncul karena manusia dapat berpikir dan bernalar serta mengalami banyak situasi sosial dan lingkungan. Ia juga menjelaskan berdasarkan hasil penelitian Hans Selye yaitu seorang pelopor penelitian stress kelahiran Austria, bahwa stres merupakan sejumlah perubahan fisiologis pada tubuh saat mempersiapkan dirinya sendiri untuk menangani stres yang berakibat kerusakan pada tubuh di karenakan tuntutan yang diberikan kepadanya.

Feldman (2012) menguatkan bahwa perubahan fisiologis sebagian besar berkaitan erat dengan divisi sistem saraf otonom di mana berfungsi mengontrol tubuh secara tidak sadar sehingga tetap hidup, dengan cara memainkan suatu peran yang penting terutama pada kondisi darurat / kritis terutama saat stres dengan cara mengaktivasi divisi simpatis dan divisi parasimpatis. Divisi simpatis bertindak mempersiapkan tubuh mengambil tindakan dalam situasi yang penuh tekanan tersebut dengan cara menyatukan seluruh sumber yang ada untuk mengantisipasi ancaman yang ada sedangkan divisi parasimpatis bertindak menenangkan tubuh setelah situasi darurat terlewati dengan mengarahkan tubuh untuk menyimpan energi untuk digunakan dalam kondisi darurat selanjutnya. Berdasarkan teori tersebut penting bagi pendidik untuk mempertimbangkan tingkat ancaman pada lingkungan.

4.1.6. Suasana Keterbukaan

Mengakui kekhasan kepribadian sehingga perlu dilakukan remediasi dengan mendidik orang secara individu bukan secara umum biasanya di lakukan pada orang yang berkepribadian menyimpang. Teknik remediasi tersebut di lakukan bertujuan untuk mengubah keadaan individu dengan memperbaiki keterampilan kognitif (King, 2010). Konsep dalam teknik tersebut meliputi latihan berulang, modifikasi instruksional dan memberikan instruksi rinci dan mendapatkan umpan balik segera serta penguatan positif berupa benda lain sebagai penghargaan terhadap reaksi yang diharapkan muncul. Fiest dan Fiest (2010) menambahkan bahwa proses penguatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan penguatan internal dimana penguatan internal tersebut terkait dengan persepsi peserta didik dan persepsi tersebut pada akhirnya berpengaruh pada peningkatan penguatan eksternal dimana merujuk pada kejadian, kondisi atau tindakan yang diberikan nilai oleh masyarakat atau budaya seseorang.

Feldman (2012) menguatkan bahwa upaya untuk memperbaiki keterampilan kognitif dapat dilakukan dengan mentransfer material dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang melalui latihan elaboratif. Latihan elaboratif tersebut di lakukan dengan memperhatikan dan mengorganisasikan informasi dalam beberapa cara. Organisasi tersebut kemungkinan melibatkan perluasan informasi untuk membuatnya sesuai dengan kerangka berpikir logis tertentu, mengaitkan informasi tersebut dengan memori lain, mengubahnya menjadi sebuah gambar, atau mengubahnya dalam beberapa cara lain. Misalnya, sebuah daftar sayuran yang akan di beli di supermarket dapat disimpan dalam memori sebagai bahan – bahan pembuat salad, dapat di kaitkan dengan item – item yang telah di beli pada belanja sebelumnya, atau dapat diingat dalam bentuk gambaran sebuah peternakan dengan baris yang terdiri atas setiap item tersebut. Strategi organisasional seperti ini disebut dengan mnemonics yaitu merupakan teknik formal untuk mengorganisasi informasi dalam sebuah cara yang membuat informasi tersebut lebih dapat di ingat atau dengan kata lain, peserta didik dapat dengan luas meningkatkan penyimpanan informasi dalam dirinya melalui teknik tersebut.

Semiun Y (2006) berpendapat bahwa penyebab terhambatnya sikap keterbukaan adalah aspek kognitif dan aspek hati. Aspek kognitif meliputi gangguan kecemasan yang menunjukkan kekhawatiran dan keprihatinan mengenai bencana yang diantisipasi individu. Aspek suasana hati. Aspek-aspek suasana hati dalam gangguan kecemasan adalah kecemasan, tegang, panik dan kekhawatiran, individu yang mengalami kecemasan memiliki perasaan akan adanya hukuman atau bencana yang akan mengancam dari sumber tententu yang tidak diketahui. Aspek-aspek suasana hati yang lainnya adalah depresi dan sifat mudah marah. Taylor (2011) menambahkan bahwa untuk memunculkan suasana keterbukaan pendidik harus memunculkan rasa percaya diri pada peserta didik, yang dimaksud rasa percaya diri tersebut adalah keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimiliki untuk menampilkan perilaku tertentu atau untuk mencapai target tertentu. Dengan kata lain, kepercayaan diri adalah bagaimana kita merasakan tentang diri kita sendiri, dan perilaku kita akan merefleksikan tanpa kita sadari.

Giblin (2004) menambahkan, cara yang paling praktis dalam memunculkan suasana keterbukaan adalah membuat peserta didik merasa penting, karena sifat paling umum dan melekat begitu kuat pada manusia sehingga membuat orang melakukan apa yang mereka lakukan walaupun itu baik atau buruk. Sifat tersebut adalah hasrat untuk menjadi penting, hasrat untuk di akui karena bagi orang lain, Dia sama pentingnya bagi dirinya sendiri seperti Anda penting bagi diri Anda maka sebagai pendidik memanfaatkan sifat ini adalah salah satu cara untuk menciptakan suasana keterbukaan karena semakin anda membuat orang merasa penting maka semakin besar tanggapan mereka pada anda. Beberapa langkah yang di rekomendasikan oleh Giblin terdiri atas: (1) dengarkanlah mereka; (2) puji dan hargai jika mereka patut mendapatkannya (3) gunakan foto dan nama mereka sesering mungkin; (4) berhenti sejenak sebelum menjawab mereka; (5) gunakan kata “anda” dan “milik anda” (6) perhatikan setiap orang; (7) sambut orang yang menunggu untuk bertemu anda.

4.1.7. Suasana Membenarkan Perbedaan

Pendidik harus menciptakan suasana membenarkan perbedaan kebenaran karena perbedaan kepribadian maksudnya adalah pendidik memberikan toleransi terhadap berbagai jenis kepribadian peserta didik yang berbeda. Purba dan Ali (2004) dalam penelitiannya mengidentifikasi bahwa berbagai jenis kepribadian peserta didik dipengaruhi oleh trait extraversion yang ditampilkan dalam bentuk mudah bergaul dan aktif, trait openness to experience yang ditampilkan dalam bentuk imajinatif dan kreatif, trait conscientiousness yang ditampilkan dalam bentuk bertanggung jawab, tekun, dan berorientasi pada keberhasilan.

Ketiga jenis sifat tersebut berpengaruh terhadap persepsi dan kemampuan peserta didik dalam memberikan pertanyaan maupun pendapat (King, 2010), sehingga pendidik harus mempunyai cara terampil dalam menyetujui pendapat orang lain (peserta didik). Giblin (2004) menyarankan salah satu hal yang dapat di lakukan untuk menjadi terampil dalam menyetujui pendapat orang lain adalah pendidik harus menguasai Seni Bersedia Menyetujui karena hal tersebut merupakan salah satu mutiara kebijaksanaan di mana akan sangat membantu pendidik dalam mendidik peserta didik dan ini membutuhkan, kepandaian, hati yang kuat. Teknik ini dibentuk karena mempunyai beberapa alasan yaitu orang menyukai mereka yang setuju dengan mereka; orang tidak menyukai mereka yang tidak setuju dengan mereka dan orang tidak suka bila tidak di setujui. Seni Bersedia Menyetujui mempunyai enam bagian antara lain: 

Belajar untuk mau menyetujui, setuju dengan orang lain 

Katakan pada orang bila anda setuju dengan mereka 

Jangan katakan pada orang bila anda tidak setuju dengan mereka, kecuali mutlak perlu

 Akuilah bila anda salah 

Tahanlah diri anda untuk tidak berdebat 

Tanganilah orang yang berkelahi dengan tepat

4.1.8. Suasana Mengakui Hak untuk Berbuat Salah

Suasana yang di maksud disini adalah bahwa baik peserta didik dan pendidik dalam proses pembelajaran, mengakui secara lantang atau bersikap jujur jika melakukan suatu kesalahan saat proses pendidikan berlangsung apabila kesalahan yang di lakukan tersebut secara sengaja atau tidak di sengaja merugikan pendidik maupun peserta didik. Menurut Giblin (2004) dibutuhkan sikap berjiwa besar untuk melakukan hal tersebut dan orang akan kagum pada siapapun yang melakukan ini. Arliani (2012), menambahkan sikap seperti yang disebutkan oleh Giblin diatas termasuk sikap saling menghargai. Sikap saling menghargai tersbut merupakan bentuk pengendalian diri. Orang semacam ini adalah orang yang dapat menghargai orang lain tidak akan menyakiti siapapun, baik dalam bentuk perkataan (lisan maupun tulisan) maupun perbuatan, tahu berterimakasih, memahami orang lain peduli sekeliling, senang membantu orang lain, dan bersedia antri sehingga peserta didik akan tumbuh menjadi pribadi yang berakhlak mulia dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap perkembangan kognisi ketika saat memasuki masa tua. King (2010) menambahkan bahwa beberapa aspek kognisi yang membaik seiring dengan bertambahnya usia terutama pada orang dewasa yang lebih tua salah satunya adalah kebijaksanaan (wisdom), pengetahuan pakar mengenai aspek praktis dalam hidup. Kebijaksanaan mungkin meningkat seiring bertambahnya usia karena bertambahnya pengalaman hidup, akan tetapi tidak semua orang dewasa yang lebih tua memiliki kebijaksanaan hal tersebut karena perbedaan tersebut dipengaruhi oleh tiga tahap dewasa Erickson di mana terjadi sepanjang hidup manusia, tiga tahapan tersebut antara lain:

 Intimacy versus isolation (masa dewasa awal): Merupakan masa dimana seseorang menghadapi tugas perkembangan antara menjalin hubungan intim dengan orang lain atau terisolasi secara sosial.

 Generativity versus stagnation (masa dewasa tengah): Masa dimana seseorang cenderung membantu generasi yang lebih muda untuk mengembangkan kehidupan yang bermakna

 Integrity versus despair (masa dewasa akhir): masa evaluasi hidup.

4.1.9. Suasana Membolehkan Keraguan

Orang dewasa yang berkumpul untuk belajar bersama, sering kali menghasilkan beberapa alternatif atau teori. Pemaksaan untuk menerima salah satu sebagai yang paling tepat, paling benar, dapat menghambat proses belajar. Keraguan harus diperkenankan dalam waktu yang cukup, agar tercapai keputusan akhir yang memuaskan, dengan kata lain pendidik memberikan waktu bagi peserta didik untuk berfikir. Menurut King (2010), berpikir melibatkan proses memanipulasi informasi secara mental, seperti membentuk konsep – konsep abstrak menyelesaikan beragam masalah, mengambil keputusan, dan melakukan refleksi kritis atau menghasilkan gagasan kreatif sehingga pada bagian tersebut akan di lihat karakteristik dasar konsep – konsep yaitu komponen mendasar dalam proses – proses kognitif (berpikir) yang terjadi dalam pemecahan sebuah masalah, penalaran dan pengambilan keputusan. Fiest dan Fiest (2010) menguatkan bahwa proses – proses kognitif berkaitan dengan afektif dimana meliputi semua aspek psikologis, sosial, dan fisiologis dari manusia yang menyebabkan mereka berinteraksi dengan lingkungan mereka dengan variasi yang lebih stabil. Contoh dari interaksi tersebut antara lain berpikir, membuat rencana, merasa dan mengevaluasi; tidak hanya sekadar tindakan.

Feldman (2012) menguatkan melalui penelitian Kosslyn, De Beni, Pazzaglia dan Gardini bahwa proses kognitif (berpikir) terdiri atas bangunan-bangunan gambaran mental. Gambaran mental yang dimaksudkan di sini adalah representasi dalam pikiran tentang suatu benda atau kejadian baik secara visual, auditori dan kinestetik. Kenyataannya setiap modalitas sensori (seperti panca indera, otot, otak dan lain-lain) dapat menghasilkan gambaran mental yang saling berhubungan hal tersebut di buktikan melalui hasil penelitian bahwa gambaran mental memiliki banyak properti dari stimulus aktual yang mereka wakili. Misalnya, diperlukan waktu lebih lama bagi pikiran kita untuk memindai gambaran mental dari benda yang besar di bandingkan benda yang kecil, sehingga tidak heran jika setiap peserta didik mempunyai cara berpikir yang berbeda – beda.

4.1.10. Suasana Evaluasi Bersama & Evaluasi Diri

Terciptanya suasana evaluasi pada akhirnya membuat orang ingin tahu apa arti dirinya dalam kelompok belajar. Orang ingin mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya. Maka evaluasi bersama oleh seluruh anggota kelompok dirasakan berharga untuk bahan renungan, sehingga pada akhirnya ia lebih mengenal dirinya dari orang lain yang persepsinya bisa saja kurang tepat. Feldman (2012) menambahkan bahwa persepsi merupakan kegiatan menyortir, meinterpretasikan, menganalisis, dan mengintegrasikan rangsang (stimulus) yang dibawa oleh organ indra dan otak, King (2010) menguraikan bahwa ketika organ indra (reseptor) mencatat adanya rangsangan, energi tersebut di konversi menjadi impuls kimia listrik. Proses perubahan energi fisik menjadi energi kimia listrik disebut transduksi (transduction). Transduksi menghasilkan potensial aksi yang mengalirkan informasi mengenai sistem rangsangan melalui sistem saraf ke otak, ketika rangsangan ini sampai ke otak, informasi bergerak ke bagian yang berhubungan pada korteks serebrum. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat di ketahui bahwa ketidaktepatan persepsi disebabkan perbedaan persepsi di mana dipengaruhi oleh dua hal antara lain (1) sensasi yaitu aktivasi dari organ indra oleh sumber fisik dan (2) rangsangan (stimulus) yaitu setiap sumber fisik yang menghasilkan respon pada organ indra di mana tipe – tipe ataupun intensitas stimulus yang berbeda. Evaluasi merupakan kegiatan mengukur dan menilai. Sebagian besar evaluasi yang digunakan adalah evaluasi mikro karena lingkup pendidikannya berada di tingkat kelas. Implementasi dari model evaluasi mikro dalam bentuk tes yang di gunakan untuk mengukur dan menilai tingkat kemampuan peserta didik dalam menguasai materi pelajaran yang telah disampaikan (Arifin, 2012). Bani (2012) menambahkan, dalam sistem pendidikan nasional, rumusan tujuan pendidikan mengacu kepada klasifikasi hasil belajar rumusan Benyamin Bloom yang yaitu: kognitif, afektif, dan psikomotoris, secara rinci disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

4.2. Belajar

4.2.1. Jenis – Jenis Belajar

1. Berdasarkan Konsep King (2010) berpendapat berdasarkan teori psikologi behaviorisme bahwa

konsep pembelajaran dalam pendidikan orang dewasa di bagi menjadi dua jenis yaitu pembelajaran asosiasi dan pembelajaran melalui pengamatan. Konsep Pembelajaran asosiasi merupakan pembelajaran yang muncul ketika sebuah hubungan dibuat untuk menghubungkan dua peristiwa dan prosesnya disebut dengan pengondisian. Pengondisian ini terbagi menjadi dua jenis yaitu: pengondisian klasik dan pengondisian instrumental.

Pembelajaran melalui pengamatan merupakan proses belajar yang terjadi ketika seseorang mengamati dan meniru perilaku orang lain. Pembelajaran ini melibatkan empat proses antara lain : 

Perhatian Merupakan proses awal di mana peserta didik harus benar – benar

memperhatikan apa yang di katakan dan di lakukannya. 

Pengendapan, proses kedua yang diperlukan agar pembelajaran melalui pengamatan

sehingga untuk mereproduksi tindakan seorang model (yang di tiru), peserta didik harus menyimpan setiap informasi dalam setiap ingatannya sehingga dapat mengeluarkan ingatan tersebut saat diperlukan. Sebuah deskripsi verbal yang sederhana (bercerita) atau gambar detail dari tindakan model dalam sebuah buku catatan dari tindakan model dapat membantu proses pengendapan (Bani 2012). 

Reproduksi motorik merupakan proses peniruan terhadap tindakan model. Proses ini melibatkan

divisi somatis, yang berfungsi mengontrol pergerakan volunteer dan pengomunikasian informasi ked an dari organ – organ indera (Feldman, 2012). 

Pengamatan pemberian insentif atau memberikan perhatian pada reproduksi motorik.

2. Berdasarkan Prinsip, Jenis belajar tersebut di lakukan berdasarkan prinsip penguatan

(reinforcement). Feldman (2012) menyatakan bahwa penguatan adalah proses di mana stimulus meningkatkan kemungkinan terjadinya pengulangan perilaku yang telah dimunculkan, dengan kata lain stimulus ini bertindak sebagai penguat sehingga dalam hal ini pendidik harus mengetahui jenis stimulus yang cocok bagi peserta didik. Satu – satunya cara untuk mengetahui apakah stimulus merupakan penguat untuk organisme adalah dengan mengobservasi apakah frekuensi perilaku sebelumnya menjadi meningkat setelah pemunculan stimulus tersebut. Giblin (2004), menambahkan bahwa cara praktis agar pendidik mengetahui jenis stimulus yang cocok bagi peserta didik adalah pendidik memberikan stimulus sesuai dengan KODRAT MANUSIA itu sendiri.

3. Berdasarkan pemecahan masalahnya Jenis belajar tersebut di lakukan dengan melakukan usaha untuk

menemukan cara yang tepat dalam mencapai sebuah tujuan ketika tujuan tersebut tidak langsung dapat di raih. King (2010) menyarankan empat langkah dalam pemecahan masalah antara lain sebagai berikut:

 Menemukan dan membatasi masalah Pendidik harus menyadari permasalahan peserta didik setelah itu definsikan

dengan jelas. Pendefinisian secara jelas tersebut merupakan langkah pertama untuk memunculkan solusi 

Mengembangkan beberapa strategi pemecahan masalah yang baik pendidik membuat dan menetapkan tujuan-tujuan yang lebih kecil dan

sederhana (subgoaling). Hal tersebut bertujuan untuk mengembangkan strategi yang efektif dalam penyelesaian masalah. 

Mengevaluasi solusi – solusi Artinya adalah dengan menilai seberapa efektif solusi yang di gunakan

 Memikirkan dan mendefinisikan kembali masalah dan solusi yang dihasilkan seiring dengan waktu

4.2.2. Cara – Cara Belajar

1. Kesadaran: Fiest dan Fiest (2010) menerangkan bahwa tingkat kesadaran yang meliputi

pengalaman yang diterima dalam bentuk terdistorsi dimana pengalaman ini disimbolisasikan secara akurat dan dimasukan dengan bebas ke dalam struktur diri. Menurut King (2010) menyatakan kesadaran terutama dalam belajar melibatkan dua aspek yaitu keawasan dan ketergugahan. Kedua aspek ini berhubungan dengan bagian – bagian yang berbeda di otak. Aspek Keawasan merupakan keadaan subjektif dimana merasa sadar terhadap apa yang sedang terjadi, biasanya melibatkan korteks serebrum, terutama daerah – daerah asosiasinya dan lobus frontal dimana kemungkinan integrasi masukan dari berbagai indra, beserta informasi tentang emosi dan ingatan terdapat di daerah – daerah asosiasi tersebut. Aspek ketergugahan adalah keadaan fisiologis yang ditentukan oleh sistem aktivasi retikular atau merupakan suatu struktur jaringan yang mencakup batang otak, medula, dan talamus. Terdapat lima tingkatan kesadaran yaitu

 kesadaran tinggi (higher-level consciousness), 

kesadaran tingkat- rendah (lower-level consciousness), 

keadaan kesadaran terubah (altered state of consciousness) 

kawasan bawah kesadaran 

tidak ada kawasan kesadaran (no awareness)

2. Peniruan Feldman (2012) berpendapat melalui pendekatan sosial Bandura bahwa cara

belajar ini cenderung melibatkan cara belajar observasional yang mana merupakan pembelajaran dengan cara melihat dan meniru perilaku orang lain atau model (sesuatu yang di tiru / tiruan). Proses ini terlihat nyata pada tahap reproduksi motorik di mana orang memberi perhatian dan mengingat apa yang telah mereka lihat berdasarkan proses yang di lakukan sebelumnya yaitu perhatian dan pengendapan.

3. Kebiasaan / Kondisi Kebiasaan adalah serangkaian perbuatan seseorang secara berulang-ulang

untuk hal yang sama dan berlangsung tanpa proses berfikir lagi. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat dipahami bahwa kebiasaan belajar merupakan serangkaian tingkah laku yang dilakukan secara konsisten/berulang oleh peserta didik dalam kegiatan belajarnya. Dengan kata lain kebiasaan belajar merupakan prilaku peserta didik yang ditunjukkan secara berulang tanpa proses berfikir lagi dalam kegiatan belajar yang dilakukannya. Istilah belajar menunjukkan pada kegiatan dan peranan peserta didik yang menerima pelajaran atau belajar yang artinya suatu kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan atau keterampilan mengenai suatu pekerjaan yang dapat dicapai melalui proses berpikir atau dengan cara melakukan praktek (Siagian 2010).

4. Mengartikan Mengartikan merupakan cara belajar yang dilakukan untuk memahami

materi pelajaran yang diberikan oleh pendidik. Bani (2012) membagi pemahaman dalam tiga kategori antara lain

 Pertama adalah pemahaman terjemahan mulai dari terjemahan dalam arti yang sebenarnya

 Kedua, pemahaman penafsiran, menghubungkan bagian-bagian terdahulu dengan yang diketahui berikutnya atau menghubungkan beberapa bagian dari grafik dengan kejadian, membedakan yang pokok dengan yang bukan pokok.

 Ketiga, pemahaman ekstrapolasi yaitu mampu melihat sesuatu dibaliknya dan dapat memperluas persepsi terhadap sesuatu sehingga dapat mengembangkan makna yang terkandung dalam pernyataan King (2010) menambahkan bahwa untuk memperluas persepsi, dibutuhkan

pemahaman aspek – aspek fisik dan psikologis. Fiest dan Fiest (2010) menyarankan untuk melakukan pendekatan menggunakan sistem kepribadian kognitif-afektif yang menjelaskan variasi dalam berbagai situasi dan juga stabilitas dari perilaku dalam diri seseorang.

4.2.3. Prinsip – Prinsip Belajar

1. Prinsip Latihan Prinsip latihan harus dilakukan untuk meningkatkan pengalaman pada

peserta didik. Azzaini (2013) menambahkan bahwa peningkatan pengalaman dari peserta didik berawal dari pembentukan myelin (ingatan otot) yaitu merupakan sumber dari segala talenta yang dibentuk melalui pelatihan yang terprogram dan berulang – ulang.

2. Prinsip Menghubungkan Prinsip ini menjelaskan bahwa peserta didik harus mampu menghubungkan

apa yang telah di pelajarinya sebelumnya dengan materi pelajaran baru yang diberikan oleh pendidik ataupun di lingkungan disekitarnya.

3. Prinsip Akibat Prinsip ini menjelaskan bahwa peserta didik harus mengetahui konsekuensi

saat belajar. Konsekuensi belajar tersebut biasanya mengorbankan waktu, tenaga, uang, mental dan pikiran dimana pengorbanan tersebut ada kalanya menyebabkan seseorang dalam kondisi tertekan atau stress dimana membebani kemampuan mereka dalam memcahkan masalah (King, 2010).

4. Prinsip Kesiapan Prinsip ini menjelaskan, peserta didik harus siap secara fisik dan psikis

untuk menerima karena belajar bersifat terus – menerus dan berulang – ulang (rutinitas).

5. Mental dan Semangat Feldman (2012) berpendapat bahwa mental dan semangat merupakan bagian

dari motivasi dimana merupakan kekuatan yang menggerakkan orang untuk berperilaku, berpikir, dan merasa seperti yang mereka lakukan. Pada pendidikan motivasi akan kebutuhan berprestasi merupakan dorongan yang harus di miliki oleh peserta didik dimana karakteristik bersifat stabil dan dapat dipelajari ketika seseorang mendapatkan kepuasaan dengan berjuang saat proses pembelajaran untuk mencapai tingkat kesempurnaan.

4.2.4. Ciri – Ciri Belajar

1. Prosesnya bersifat aktif Belajar mengajar ini pada prosesnya melibatkan peserta didik untuk

berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran sehingga dalam hal ini pendidik harus mengorientasikan strategi pembelajaran yang berorientasi pada peserta didik selain itu juga harus didukung oleh hubungan interpersonal yang baik antara pendidik dengan peserta didik (Mulyatiningsih, 2010). Menurut King (2010) keaktifan belajar dapat terjadi apabila pendidik dan peserta didik memiliki kesadaran penuh dan keterbukaan pikiran. Kesadaran penuh yang dimaksud adalah terjaga dan secara mental hadir dalam kegiatan pembelajaran sedangkan keterbukaan pikiran yang dimaksud adalah mampu menerima sudut pandang yang lain dalam melihat suatu hal, dalam pendidikan orang dewasa, hendak penyuluh / pendidik perlu menerangkan pada peserta didik untuk memiliki keterbukaan yang sederhana pada suatu sudut pandang sehingga peserta didik tidak melompat terlalu cepat pada kesimpulan. Cara lain agar tercapai keaktifan belajar adalah penyuluh bersikap rendah hati dan mendengarkan dengan baik apa yang peserta didik ungkapkan berdasarkan lima aturan yaitu tatap ketika ia berbicara, condongkan badan ke si pembicara dan dengarkan dengan penuh perhatian, ikuti topic pembicaraannya dan jangan memotong atau menyela, gunakan kata “anda” dan “milik anda” (Giblin, 2004).

2. Proses Belajar Sifatnya individu Proses belajar merupakan suatu hal yang bersifat individu karena setiap

individu sejak permulaan kehidupan (saat bayi) terbiasa untuk belajar dengan tipe yang sederhana (habituasi) atau pembiasaan. Habituasi merupakan penurunan respon terhadap stimulus yang terjadi setelah penampilan stimulus yang sama secara berulang – ulang. Berdasarkan hal tersebut penyuluh hendaknya memahami bahwa dalam pengajaran kepada peserta didik perlu di lakukan habituasi atau pembiasaan belajar, tentunya habituasi tersebut harus di awali dengan tipe belajar dalam kerangka yang lebih sederhana sehingga dapat dipahami oleh peserta didik (Feldman, 2012).

3. Belajar dipengaruhi oleh Pengalaman Belajar merupakan proses yang dipengaruhi oleh pengalaman. Pengalaman

tersebut mempengaruhi proses berpikir (kognitif) dimana menekankan pada keawasan, keyakinan, pengharapan dan tujuan yang disadari (King, 2010) Menurut Feldman (2012) proses kognitif terkait dengan kemajuan metakognisi yaitu kesadaran dan pemahaman tentang kognisi tersebut. Metakognisi ini melibatkan perencanaan, pengawasan dan perbaikan strategi berpikir yang pada akhirnya berpengaruh terhadap proses belajar. Ia juga berpendapat bahwa perkembangan kognitif terjadi sebagai sebuah konsekuensi dari interaksi sosial ketika peserta didik bekerja dengan orang lain (baik pendidik/penyuluh atau dengan peserta didik lain) untuk bersama – sama memecahkan masalah sehingga melalui interaksi seperti ini kecakapan kognitif akan meningkat dan mereka meraih kemampuan untuk berfungsi secara intelektual sendiri. Lebih spesifik lagi ia menyebutkan bahwa kemampuan kognitif akan meningkat ketika peserta didik menghadapi informasi yang jatuh dalam zona perkembangan proksimal mereka (ZPD) yaitu zona tingkatan dimana peserta didik dapat hampir, tetapi tidak sepenuhnya memahami atau mengerjakan tugas sendiri. Ketika informasi jatuh dalam ZPD, peserta didik dapat meningkatkan pemahaman mereka atau menguasai suatu tugas baru dan sebaliknya jika informasi jatuh di luar ZPD mereka tidak akan dapat menyelesaikan atau menguasainya.

Feist dan Feist (2010) menyatakan bahwa proses tersebut disebabkan karena setiap individu mempunyai perilaku yang bersifat berkelanjutan. Perilaku tersebut memproses informasi mengenai situasi internal ataupun eksternal sehingga mengikuti hal tersebut, saat individu menghadapi situasi yang berbeda, perilakunya akan bervariasi dari satu situasi ke situasi lainnya. Pengaruh relative dari variabel situasi tersebut dapat ditentukan dengan mengobservasi keseragaman atau perbedaan dari reaksi manusia dalam suatu situasi tertentu. Hal tersebut karena manusia mengategorisasikan informasi yang diterima dari stimulus eksternal. Manusia menggunakan proses kognitif (nerpikir) untuk mengubah stimulus ini menjadi konstruk personal.

4. Melalui Indera Indera merupakan bagian yang terpenting saat belajar karena indera

merupakan salah satu di antara banyak reseptor yang berfungsi menangkap rangsangan (stimulus) dari lingkungan dan diterima oleh individu dalam bentuk sensasi. Menurut King (2010) seluruh sensasi dimulai dari reseptor sensoris. Reseptor sensoris adalah sel – sel yang terspesialisasi untuk mendeteksi informasi rangsangan dan memancarakannya ke saraf sensoris dan otak. Pada manusia tipe reseptor sensoris adalah panca indera yaitu pendengaran, penglihatan, peraba, penciuman dan pengecap. Feldman (2012) mengatakan bahwa pada indera, yaitu terutama saat beraksi terhadap sesuatu yang di pelajari, energi stimulus mencapai sel panca indera. Energi yang diterima ini mulai membentuk rangkaian kejadian yang mengubah bentuk stimulus luar ke impuls neural yang dapat dikomunikasikan ke otak. Bahkan sebelum pesan neural tersebut mencapai otak, beberapa pengodean dasar dari informasi panca indera telah terjadi. Pemrosesan utama dari bentuk stimulus di dalam otak ini terjadi di korteks otak, dan disinilah pemrosesan paling rumit terjadi, karena banyak neuron di korteks tersebut yang sangar terspesialisasi dan diaktivasi hanya oleh stimulus terntentu dari suatu bentuk atau pola tertentu yang dikenal dengan deteksi bagian.

Cervone dan Pervin (2012), menguatkan bahwa deteksi bagian dapat mengalami perubahan sebagai hasil dari pengalaman yang ada dan hal tersebut memberikan gambaran jelas mengenai plastisitas sistem saraf. Deteksi bagian tersebut terlihat dari penggambaran otak yang menyingkap saat dilakukan stimulus berupa pelatihan dimana penggambaran tersebut mengalami perluasa secara signifikan dari area abu – abu otak (korteks), khususnya pada bagian otak yang terlibat dalam persepsi gerakan. Berdasarkan hal tersebut dapat di analisis bahwa sistem saraf dimana merupakan bagian dari sistem biologis manusia memiliki hubungan dengan fenomena psikologis yang melibatkan suasana hati, impuls dasar, dan emosi seperti rasa takut dan fenomena fungsi – fungsi psikologis pada tingkat yang lebih tinggi seperti moral, jati diri dan sebagainya.

4.2.5. Faktor – Faktor Psikologis yang Memengaruhi Belajar

1. Tujuan : tujuan ini merupakan stimulus (rangsangan) yang terasa secara fisik dari dalam individu dan buka suatu peristiwa mental yang bertanggung jawab atas suatu perilaku (Feist dan Feist, 2010). Tujuan terdiri atas 3 macam yaitu sekedar ingin tahu; pemenuhan kebutuhan jangka pendek, dan pemenuhan kebutuhan jangka panjang

2. Tingkat Aspirasi (Cita – Cita): proses belajar yang dilakukan oleh setiap individu dipengaruhi oleh aspirasi yang diharapkan. Bagi warga belajar yang memang memiliki aspirasi untuk meraih prestasi sebaik – baiknya, akan mendorong untuk lebih aktif mengikuti kegiatan belajarnya dan sebaliknya.

3. Pengertian atau Pemahaman tentang hal yang dipelajari: pemahaman seseorang terhadap sesuatu yang dipelajarinya sehingga mendorong atau menghambat proses belajarnya.

4. Pengetahuan tentang keberhasilan dan kegagalan: orang yang memiliki pengetahuan keberhasilan hanya dapat dicapai melalui proses belajar, maka ia akan mencapai hasil belajar yang baik dan sebaliknya.

5. Umur: kemampuan belajar akan meningkat mulai usia 5 -7 tahun (Feldman, 2012) kemudian berada pada puncak perkembangannya pada usia 20-an dimana usia tersebut merupakan masa puncak kesehatannya dan akan mengalami penurunan secara nyata pada akhir usia 30-an (King, 2010).

6. Kapasitas belajar: kapasitas belajar setiap individu berbeda – beda tergantung pada umur, jenis, kelamin, keadaan psikis, genetik (mesin kecerdasan yang dominan pada otak), banyaknya stimulus yang diterima dan ketahanan serta tingkat konsentrasi.

7. Bakat : berkaitan dengan faktor hereditas pada bidang – bidang tertentu. Biasanya ditentukan oleh mesin kecerdasan yang dominan yaitu Sensing (memori), Thinking (analitis), Intuiting (imajinasi), Feeling (emosi) dan Insting (naluri) dimana masing – masing darinya terdapat pada belahan otak limbik kiri, neokortek kiri, neokortek kanan dan limbik kanan (Poniman, 2011).

Dokumen yang terkait

Analisis Konsep Peningkatan Standar Mutu Technovation Terhadap Kemampuan Bersaing UD. Kayfa Interior Funiture Jember.

2 215 9

Efek Pemberian Ekstrak Daun Pepaya Muda (Carica papaya) Terhadap Jumlah Sel Makrofag Pada Gingiva Tikus Wistar Yang Diinduksi Porphyromonas gingivalis

10 64 5

Pengaruh Atribut Produk dan Kepercayaan Konsumen Terhadap Niat Beli Konsumen Asuransi Syariah PT.Asuransi Takaful Umum Di Kota Cilegon

6 98 0

Pengaruh Proce To Book Value,Likuiditas Saham dan Inflasi Terhadap Return Saham syariah Pada Jakarta Islamic Index Periode 2010-2014

7 68 100

Analisis Pengaruh Lnflasi, Nilai Tukar Rupiah, Suku Bunga Sbi, Dan Harga Emas Terhadap Ting Kat Pengembalian (Return) Saham Sektor Industri Barang Konsumsi Pada Bei

14 85 113

Strategi Public Relations Pegadaian Syariah Cabang Ciputat Raya Dalam Membangun Kepuasan Layanan Terhadap Konsumen

7 149 96

Analisis Pengaruh Faktor Yang Melekat Pada Tax Payer (Wajib Pajak) Terhadap Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan

10 58 124

Pengaruh Dukungan Venezuela Kepada Fuerzas Armadas Revolucionaries De Colombia (FARC) Terhadap Hubungan Bilateral Venezuela-Kolombia

5 236 136

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Pengaruh Rasio Kecukupan Modal dan Dana Pihak Ketiga Terhadap Penyaluran Kredit (Studi Kasus pada BUSN Non Devisa Konvensional yang Terdaftar di OJK 2011-2014)

9 104 46