Budaya Organisasi

2.1.3. Budaya Organisasi

2.1.3.1. Pengantar

Pada hakekatnya terdapat beberapa karakteristik umum sebagai acuan dalam memahami konsep dan pengertian “budaya” itu sendiri, yaitu: simbol, nilai- nilai dan norma-norma. Semua budaya termasuk simbol yang memberikan makna terhadap suatu hal dan peristiwa tertentu. Simbol-simbol ini diekspresikan melalui apa yang disebut sebagai bahasa. Bahasa menyampaikan tentang keyakinan dan nilai-nilai budaya. Nilai adalah ide. Ide-ide ini dijabarkan dalam norma-norma yang akan memberikan secara konkret tentang bagaimana kita seharusnya bersikap. Contoh, nilai budaya “jangan membunuh”. Nilai-nilai ini yang akan membentuk perilaku kita seperti memiliki norma-norma untuk mengutuk Pada hakekatnya terdapat beberapa karakteristik umum sebagai acuan dalam memahami konsep dan pengertian “budaya” itu sendiri, yaitu: simbol, nilai- nilai dan norma-norma. Semua budaya termasuk simbol yang memberikan makna terhadap suatu hal dan peristiwa tertentu. Simbol-simbol ini diekspresikan melalui apa yang disebut sebagai bahasa. Bahasa menyampaikan tentang keyakinan dan nilai-nilai budaya. Nilai adalah ide. Ide-ide ini dijabarkan dalam norma-norma yang akan memberikan secara konkret tentang bagaimana kita seharusnya bersikap. Contoh, nilai budaya “jangan membunuh”. Nilai-nilai ini yang akan membentuk perilaku kita seperti memiliki norma-norma untuk mengutuk

Definisi dari konseptualisasi budaya organisasi sendiri telah diberikan dalam berbagai konteks seperti antropologi, psikologi organisasi dan teori manajemen. Akan tetapi dalam perkembangannya banyak penelitian sudah mulai menekankan makna bersama sebagai benang merah. Menurut Davidson (2003), sebagian besar penulis mungkin akan setuju pada karakteristik berikut dari konstruk budaya organisasi:

1) Budaya organisasi adalah holistik, inter-subyektif dan emosional daripada rasional dan analitis ketat.

2) Budaya organisasi secara historis ditentukan.

3) Budaya organisasi terkait dengan konsep antropologi.

4) Budaya organisasi dibangun secara sosial.

5) Fenomena budaya organisasi sifatnya kolektif dan dibagi oleh anggota kelompok.

6) Fenomena budaya organisasi terutama ideasional dalam karakter, yang berkaitan dengan makna, pemahaman, keyakinan, pengetahuan dan

berwujud lainnya.

7) Budaya organisasi sulit untuk berubah.

2.1.3.2. Pengertian

Menurut Wood et al. (2001), budaya organisasi merupakan sistem yang dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi dimana hal itu menuntun Menurut Wood et al. (2001), budaya organisasi merupakan sistem yang dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi dimana hal itu menuntun

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa: “budaya organisasi adalah reaksi yang sama yang ditunjukkan oleh setiap anggota organisasi melalui cara berpikir, berperilaku, berinteraksi maupun bertindak terhadap nilai-nilai pokok (yaitu: prinsip, norma dan keyakinan) organisasi untuk mencapai sasaran dan tujuan ”. Prinsip terkait dengan kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir, bertindak dan sebagainya terhadap suatu nilai (visi dan misi). Norma merupakan aturan/ketentuan yang akan mengikat setiap anggota organisasi, dipakai sabagai panduan dan sebagai pengendali tingkah laku setiap anggota organisasi. Sedangkan keyakinan yang akan memberikan kepastian atas suatu sikap atau tindakan bersama. Akhirnya, asumsi “dasar” dari keyakinan bersama tersebut dalam suatu budaya organisasi harus meliputi pula shared things, shared saying, shared doing dan shared feelings (Sathe, 1985)

Seperangkat nilai-nilai pokok tersebut dibentuk untuk membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lain dan mengikat setiap anggotanya tanpa merasa terpaksa. Dengan demikian, segala tingkah-laku dari setiap anggotanya mencerminkan “budaya organisasi” tersebut. Selain itu, gaya kerja yang unik yang Seperangkat nilai-nilai pokok tersebut dibentuk untuk membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lain dan mengikat setiap anggotanya tanpa merasa terpaksa. Dengan demikian, segala tingkah-laku dari setiap anggotanya mencerminkan “budaya organisasi” tersebut. Selain itu, gaya kerja yang unik yang

2.1.3.3. Konseptual Framework

Budaya organisasi dapat dilihat dari tiga tingkat kognitif, yaitu: artefacts (menyangkut: struktur organisasi dan proses-proses yang kelihatan), values (menyangkut: strategi, tujuan, filosofi/filsafat) dan basic underlying assumptions (menyangkut: kesadaran, keyakinan yang diambil untuk diberikan, persepsi, pikiran dan perasaan). Ketiga tingkatan kognitif ini menyediakan suatu framework bagi para peneliti lainnya untuk mengidentifikasi budaya organisasi berdasarkan karakteristik tertentu. Menurut Schein (2004), fundamental dari “asumsi” terdiri dari inti dan aspek yang paling penting dalam budaya organisasi. Artinya, asumsi menjadi kunci tentang bagaimana memahami dan menentukan fenomena budaya organisasi didua tingkat kognitif lainnya.

Asumsi sendiri dapat dilihat sebagai suatu pandangan yang secara luas dipegang, melekat, unik dan berakar; dimana masing-masing individu dapat mengambilnya untuk kemudian diakui dan diyakini kebenarannya. Seperti bagaimana seorang anggota dalam organisasi dapat memahami hubungan antara mereka dengan anggota lainnya dan sifat organisasi itu sendiri. Bagaimana memikirkan tentang diri mereka sendiri dan lingkungan dalam organisasi.

Bagaimana merasakan tentang masalah-masalah yang ada dalam organisasi. Dan bagaimana bereaksi secara emosional terhadap berbagai masalah yang mungkin ada. Oleh karena itu, asumsi merupakan esensi budaya (apa itu budaya) atau tingkat terdalam dari budaya organisasi itu sendiri.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model budaya organisasi Denison & Fey (2003) yang didasarkan pada empat komponen.

2.1.3.3.1 Involvement

Hakekatnya setiap organisasi harus mampu memberdayakan anggotanya, membangun organisasinya melalui tim, serta mengembangkan kemampuan dan kreativitas setiap anggotanya disemua tingkatan. Selain itu, organisasi senantiasa mendorong setiap anggotanya untuk turut serta memberikan masukan-masukan dalam setiap keputusan terutama yang akan berpengaruh pada pekerjaan mereka dan melihat koneksi langsung ke tujuan organisasi (Spreitzer, 1995). Membangun organisasi dengan lingkungan yang lebih terbuka seperti itu akan menciptakan loyalitas bagi anggotanya dan rasa memiliki yang kuat terhadap organisasinya. Hal senada disampaikan Denison & Mishra (1989), terbentuknya sifat budaya dalam satu kesatuan bangunan sense of ownership, responsibility dan loyalty dapat menciptakan tingkat keterlibatan yang tinggi dari setiap anggota organisasi.

Jadi, involvement terkait dengan apakah setiap anggota organisasi yang ada memiliki keselarasan, ketertarikan dan kemampuan.

2.1.3.3.2 Consistency

Organisasi yang efektif cenderung memiliki budaya yang kuat sehingga menjadi sangat konsisten, terkoordinasi dengan baik dan terintegrasi dengan baik

(Saffold, 1988). Sementara organisasi dengan budaya intern yang kuat dan kohesif cenderung lebih efisien (Denison & Mishra, 1989). Kedua pernyataan tersebut menunjukkan bahwa kesepakatan-kesepakatan diantara anggota organisasi akan lebih mudah tercapai apabila organisasi tersebut memiliki tingkat konsistensi, kesesuaian dan konsensus yang tinggi. Terutama ketika setiap anggota memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap berbagi pertanyaan sulit dalam suatu proses pengambilan keputusan. Dengan kata lain, konsistensi yang dihasilkan dari pola pikir umum dan tingkat kesesuaian yang tinggi yang mengacu pada nilai-nilai bersama dapat menjadi sumber stabilitas dan integrasi internal.

Jadi, consistency terkait dengan apakah organisasi memiliki nilai-nilai, sistem dan proses untuk dieksekusi.

2.1.3.3.3 Adaptability

Ironisnya organisasi yang paling sulit berubah umumnya berasal dari organisasi-organisasi yang sudah terintegrasi dengan baik. Sementara organisasi dengan kemampuan beradaptasi yang kuat dapat menerjemahkan sinyal (seperti: tuntutan pelanggan dan pasar) ke perubahan perilaku intern mereka, dimana mereka dapat meningkatkan peluang untuk keberlangsungan hidup dan menjadi lebih berkembang (Denison & Mishra, 1989). Dalam hal ini, organisasi harus berani mengambil risiko dan mau belajar dari kesalahan mereka, serta memiliki kemampuan dan pengalaman untuk menciptakan suatu perubahan (Nadler, 1998). Termasuk didalamnya secara berkelanjutan melakukan perubahan sistem sehingga dapat meningkatkan kemampuan kolektif mereka. Pada gilirannya mereka dapat memberikan nilai tambah bagi setiap pelanggannya.

Jadi, adaptability terkait dengan apakah organisasi mau mendengarkan tuntutan lingkungan eksternal.

2.1.3.3.4 Mission

Visi merupakan suatu ekspresi tentang bagaimana suatu organisasi akan terlihat dimasa depan. Sementara pernyataan tentang visi, arah strategis, sasaran dan tujuan haruslah mudah dipahami dan dibagi kesemua anggota organisasi (Denison & Mishra, 1989). Selain itu, harus ada kejelasan arah-tujuan yang mendefinisikan baik itu terkait dengan tujuan maupun strategik organisasi (Mintzberg, 1994). Dengan begitu setiap pernyataan-pernyataan dalam misi organisasi dapat dijadikan acuan bagi setiap anggotanya. Termasuk ketika misi organisasi yang mendasarinya berubah. Dalam hal ini, aspek-aspek lain dari organisasi seperti budaya pun turut mengalami perubahan.

Jadi, mission terkait dengan sejauh mana organisasi dan anggotanya tahu ke mana mereka akan pergi, dan bagaimana mereka berniat untuk sampai di sana.