BUDAYA ORGANISASI KOMITMEN ORGANISASI DA
PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, KOMITMEN ORGANISASI DAN MODAL INTELEKTUAL TERHADAP KINERJA SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH
(Studi Kasus di Pemerintahan Daerah Kabupaten Manggarai Timur – Provinsi Nusa
Tenggara Timur)
Oleh: Ignatius Adisurya Kantus
NPM. 120620120001
TESIS
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna Memperoleh Gelar Magister Akuntansi Program Pendidikan Magister Program Studi Akuntansi
Konsentrasi Akuntansi Manajemen
PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2016
ABSTRAK TESIS
1. Judul Tesis : PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, KOMITMEN
ORGANISASI
INTELEKTUAL TERHADAP KINERJA SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH (Studi Kasus di Pemerintahan Daerah Kabupaten Manggarai Timur – Provinsi Nusa Tenggara Timur)
: 1. Budaya Organisasi
2. Komitmen Organisasi
3. Modal Intelektual
4. Kinerja SKPD
5. Value for Money
3. N a m a
: Ignatius Adisurya Kantus
4. Nomor Pokok Mahasiswa : 120620120001
5. Program Studi
: Magister Akuntansi
6. Bidang Kajian Utama
: Akuntansi Manajemen
7. Tim Pembimbing : 1. Dr. Hj. Tettet Fitrijanti, SE, M.Si., Ak., CA
2. Gia Kardina P. Amrania, SE, M.Acc., Ak.
8. Tahun Kelulusan
9. Abstrak
Outcome (hasil) menyangkut bagaimana tingkat pencapaian kinerja yang diharapkan terwujud, berdasarkan output dari suatu program/kegiatan yang sudah dilaksanakan. Jika
ii ii
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh budaya organisasi, komitmen organisasi dan modal intelektual secara parsial terhadap kinerja SKPD yang diproksikan oleh Value for Money. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi pengembangan ilmu akuntansi manajemen (pemerintahan). Termasuk dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi pihak-pihak yang terkait dengan tata- kelola organisasi pemerintahan. Metode penelitian ini adalah eksplanasi-survei dengan menggunakan sampel dari 44 responden pada 44 SKPD yang diteliti. Jenis data yang dipakai adalah data primer yang diperoleh langsung dari responden pada jangka waktu tertentu. Model analisis data yang digunakan adalah PLS Path Modeling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja SKPD secara “moderat” dapat dijelaskan oleh budaya organisasi, komitmen organisasi dan modal intelekual dalam path models sebesar
53,9%. Sementara 46,1% dijelaskan oleh variabel lain diluar yang diteliti. Kesimpulan dari penelitian ini adalah secara parsial budaya organisasi, komitmen organisasi dan modal intelektual memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap kinerja SKPD yang diproksikan oleh Value for Money. Artinya, jika masing-masing variabel seperti budaya organisasi, komitmen organisasi ataupun modal intelektual baik, maka kinerja dari SKPD pun akan baik.
10. Abstract
Outcome (results) regarding how the performance level that is expected to be realized, based on the output of a program/activities that have been implemented. When referring to the achievements of the 2011-2014 HDI outcomes East Manggarai district has not experienced significant progress. Despite their financial capabilities (eg, in the year 2014) is better than the district of Malacca. In other words, East Manggarai district government has not been
iii iii
This study aimed to analyze the influence of organizational culture, organizational commitment and intellectual capital partially on the performance of SKPD proxied by the Value for Money. The results of this study are expected to contribute to the development of science knowledge management accounting (government). Includes can be input and consideration for the parties associated with the governance of government organizations. This research method is explanatory-survey using a sample of 44 respondents in 44 SKPD studied. The type of data used are primary data obtained directly from respondents in a given time period. Data analysis model used is PLS Path Modeling.
The results showed that the performance of SKPD "moderate" can be explained by the organizational culture, organizational commitment and the intellectual capital in the path models of 53.9%. While 46.1% is explained by other variables outside studied. The conclusion of this study is partially organizational culture, organizational commitment and intellectual capital has a significant and positive impact on the performance of SKPD proxied by the Value for Money. That is, if each of the variables such as organizational culture, organizational commitment or intellectual capital is good, then the performance of SKPD would be good.
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Perangkingan kabupaten/kota berdasarkan IPM di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2011-2014 ....................................
2 Tabel 1.2. Anggaran Belanja dan Rencana Paket Pengadaan Barang/Jasa Pada Belanja Langsung Non-Pegawai beberapa kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2014 .
4 Tabel 1.3. Rincian IPM berdasarkan Indikator beberapa kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2014 ..........................
5 Tabel 2.1. Hasil penelitian terdahulu ..........................................................
50 Tabel 3.1. Operasionalisasi variabel untuk penelitian ……………………
73 Tabel 4.1. Struktur Anggaran Belanja Pemerintahan Kabupaten Manggarai Timur 2014-2016 ………........................................
89 Tabel 4.2. Perolehan nilai convergent validity dan internal consistency reliability hasil final pemodelan PLS ………............................
94 Tabel 4.3. Perolehan nilai discriminant validity hasil final pemodelan PLS ………................................................................................
94 Tabel 4.4. 2 Perolehan nilai R hasil final pemodelan PLS ……….............
95 Tabel 4.5. 2 Perolehan nilai Q hasil final pemodelan PLS ……….............
96 Tabel 4.6. Perolehan path coefficient hasil final pemodelan PLS ………...
96 Tabel 4.7. 2 Perolehan nilai f hasil final pemodelan PLS ……….............
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Pertimbangan ekonomi dan efisiensi sebagai bagian dari VfM . 21 Gambar 2.2. Konseptualisasi framework Value for Money ………………… 23 Gambar 2.3. Konsep Kerangka Pemikiran Pengaruh Budaya Organisasi,
63 Gambar 4.1. Gambaran responden berdasarkan rentang usia ………............
Komitmen Organisasi, Modal Intelektual terhdap Kinerja …...
90 Gambar 4.2. Gambaran responden berdasarkan tingkat pendidikan ………..
91 Gambar 4.3. Gambaran responden berdasarkan jabatan ………....................
91 Gambar 4.4. Konstruksi diagram jalur untuk hasil pemodelan PLS ……….
92 Gambar 4.5. Konstruksi diagram jalur untuk hasil final pemodelan PLS setelah dimodifikasi ……….......................................................
93
xi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan berkat yang dilimpahkan-Nya khusunya dalam menyelesaikan tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah “PENGARUH BUDAYA ORGANISASI,
KOMITMEN ORGANISASI DAN MODAL INTELEKTUAL TERHADAP KINERJA SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH (Studi Kasus di Pemerintahan Daerah Kabupaten Manggarai Timur – Provinsi Nusa
Tenggara Timur) ”. Tesis ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan- persyaratan guna memperoleh derajat sarjana S-2 Magister Akuntansi pada Program Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran.
Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka penyusunan tesis ini. Namun, hanya berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak pada akhirnya tesis ini bisa diselesaikan. Dalam kesempatan ini pula penulis dengan tulus ingin menyampaikan terimakasih khususnya kepada Ibu Dr. Hj. Tettet Fitrijanti, SE, M.Si., Ak., CA, (selaku ketua tim pembimbing) dan Ibu Gia Kardina P. Amrania, SE, M.Acc., Ak., (selaku anggota tim pembimbing) yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan bimbingan, perhatian, dukungan dan saran yang sangat berguna selama penyusunan tesis dari awal hingga akhir. Ibu Dr. Roebiandini Somantri, SE., M.Si., Ak.; Ibu Sri Mulyani, SE., M.Si., Ak.; dan Ibu Evita Puspitasari, SE., M.Si., Ak.; selaku tim penguji
xiii xiii
Tak lupa penulis sampaikan terimakasih secara tulus kepada Bapak Prof. Dr. med. Tri Hanggono Achmad, dr., selaku Rektor Universitas Padjadjaran. Bapak Dr. Nury Effendi, SE, MA., selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran. Ibu Dr. Hj. Tettet Fitrijanti, SE, M.Si., Ak., CA, selaku Ketua Program Magister Akuntansi Universitas Padjadjaran. Para staff pengajar Program Magister Akuntansi Universitas Padjadjaran yang telah berbagi pengetahuan khususnya terkait dengan bidang Akuntansi Manajemen. Para staff administrasi Program Magister Akuntansi Universitas Padjadjaran yang telah banyak membantu dan mempermudah penulis dalam menyelesaikan studi.
Akhirnya, kepada istriku Maria Yohana Widhihastuti dan anakku Vincentius Stanisluiz Ferrel Kantus, yang telah memberikan segala cinta dan perhatiannya yang begitu besar sehingga penulis merasa terdorong untuk menyelesaikan cita-cita dan memenuhi harapan keluarga.
Akhir kata, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak- pihak yang berkepentingan. Terima kasih.
Bandung, 28 Juli 2016
Penulis
xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan dampak yang signifikan pada sistem pemerintahan di daerah. Termasuk pada kehidupan masyarakat diberbagai bidang. Secara konseptual, pelaksanaannya dilandasi pada tiga tujuan utama, yaitu: politik, administratif dan ekonomi. Yang ingin dicapai dalam hal tujuan politik adalah terwujudnya demokratisasi politik melalui partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam hal tujuan administratif adalah adanya pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah, termasuk pengelolaan sumberdaya keuangan dan pembaharuan manajemen birokrasi pemerintahan. Sementara dalam hal tujuan ekonomi adalah tercapainya peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM).
Dalam konteks pembangunan daerah, IPM merupakan salah satu ukuran utama yang dicantumkan dalam Pola Dasar Pembangunan Daerah. Sebagaimana hal itu telah diatur dalam PP No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan Tata Cara, Penyusunan, Pengendalian Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Dengan demikian, IPM menduduki satu posisi penting dalam manajemen pembangunan daerah. Disamping menjadi kunci bagi terlaksananya perencanaan dan pembangunan yang lebih terarah. Jadi, IPM dapat digunakan sebagai salah satu indikator pengukuran kinerja daerah dilihat dan sisi outcome.
Sebab indikator-indikator yang ada dalam IPM menjelaskan bagaimana penduduk di suatu wilayah mempunyai kesempatan untuk mengakses hasil dari Sebab indikator-indikator yang ada dalam IPM menjelaskan bagaimana penduduk di suatu wilayah mempunyai kesempatan untuk mengakses hasil dari
Tabel 1.1.
Perangkingan kabupaten/kota berdasarkan IPM di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2011-2014
Sumber: diolah oleh peneliti ( http://ntt.bps.go.id/ , diakses 28/3/2016) Berdasarkan IPM tahun 2014 (lihat Tabel 1.1.), jika ditinjau dari aspek status pembangunan manusia menunjukkan bahwa hampir seluruh kabupaten/kota Sumber: diolah oleh peneliti ( http://ntt.bps.go.id/ , diakses 28/3/2016) Berdasarkan IPM tahun 2014 (lihat Tabel 1.1.), jika ditinjau dari aspek status pembangunan manusia menunjukkan bahwa hampir seluruh kabupaten/kota
50 IPM 66 ( http://www.undp.org/ , diakses 28/3/2016). Fakta menarik tersaji ketika melihat fenomena yang ada pada kabupaten/kota yang berada pada
tiga urutan terbawah. Capaian IPM kabupaten Malaka pada tahun 2013 mampu berada di atas kabupaten Manggarai Timur dan Sabu Raijua. Padahal pada tahun sebelumnya kabupaten Malaka belum terbentuk sebagai bagian dari pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam hal ini, jika dikaji pada aspek tingkat pertumbuhan maka berdasarkan posisi relatif suatu wilayah terhadap wilayah lainnya. Menunjukkan bahwa sejak tahun 2011 posisi dari kabupaten Manggarai Timur dan Sabu Raijua tidak begitu baik. Bahkan jika dibandingkan dengan kabupaten Malaka sekalipun.
Sejalan dengan semangat otonomi daerah, kinerja pemerintah daerah juga dapat diukur melalui kemampuan pemerintah daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Termasuk dalam bidang keuangan. Oleh karena aspek pengelolaan keuangan merupakan faktor yang esensial dalam mengukur sejauh mana tingkat kemampuan suatu daerah untuk melaksanakan otonominya. Maka pemerintah daerah harus mampu membelanjakan uang publik secara ekonomis, efisien dan efektif (Mardiasmo, 2009). Sementara menurut Hernita Nur Fadjrina (2014) bahwa pemerintah daerah yang mampu mengalokasikan uang publik untuk kepentingan belanja fungsi ekonomi, belanja fungsi pendidikan dan belanja fungsi kesehatan dapat berpengaruh positif terhadap IPM. Kesimpulan ini didasarkan Sejalan dengan semangat otonomi daerah, kinerja pemerintah daerah juga dapat diukur melalui kemampuan pemerintah daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Termasuk dalam bidang keuangan. Oleh karena aspek pengelolaan keuangan merupakan faktor yang esensial dalam mengukur sejauh mana tingkat kemampuan suatu daerah untuk melaksanakan otonominya. Maka pemerintah daerah harus mampu membelanjakan uang publik secara ekonomis, efisien dan efektif (Mardiasmo, 2009). Sementara menurut Hernita Nur Fadjrina (2014) bahwa pemerintah daerah yang mampu mengalokasikan uang publik untuk kepentingan belanja fungsi ekonomi, belanja fungsi pendidikan dan belanja fungsi kesehatan dapat berpengaruh positif terhadap IPM. Kesimpulan ini didasarkan
Tabel 1.2.
Anggaran Belanja dan Rencana Paket Pengadaan Barang/Jasa Pada Belanja Langsung Non-Pegawai beberapa kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2014
Sumber: diolah oleh peneliti ( http://monev.lkpp.go.id/ , diakses 28/3/2016) Artinya, capaian IPM yang rendah tidak serta merta menunjukkan bahwa
kabupaten/kota tersebut tidak memiliki kemampuan dalam hal keuangan. Atau sebaliknya IPM tinggi karena kabupaten/kota memiliki kemampuan lebih dalam hal keuangan. Ini semata lebih pada permasalahan upaya yang akan dilakukan untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat (outcome), dan penyesuaian alokasi biaya (input) berdasarkan pada skala prioritas dan preferensi daerah untuk mencapai tujuan dimaksud. Sebagai contoh kabupaten Manggarai Timur dan Sabu Raijua yang berada pada posisi dua terbawah dalam hal capaian IPM. Kabupaten Sabu Raijua dengan proporsi sebesar 33,06% menempati urutan kedua setelah kabupaten Manggarai Barat yaitu 34,47%. Sementara Kabupaten Manggarai Timur mampu mengalokasikan paket pengadaan barang/jasa dan modal sebesar 26,44%, dimana proporsinya lebih tinggi dibandingkan kabupaten Kupang, Malaka, Ende dan Flores Timur (lihat Tabel 1.2.). Namun, capaian IPM-nya pun kabupaten/kota tersebut tidak memiliki kemampuan dalam hal keuangan. Atau sebaliknya IPM tinggi karena kabupaten/kota memiliki kemampuan lebih dalam hal keuangan. Ini semata lebih pada permasalahan upaya yang akan dilakukan untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat (outcome), dan penyesuaian alokasi biaya (input) berdasarkan pada skala prioritas dan preferensi daerah untuk mencapai tujuan dimaksud. Sebagai contoh kabupaten Manggarai Timur dan Sabu Raijua yang berada pada posisi dua terbawah dalam hal capaian IPM. Kabupaten Sabu Raijua dengan proporsi sebesar 33,06% menempati urutan kedua setelah kabupaten Manggarai Barat yaitu 34,47%. Sementara Kabupaten Manggarai Timur mampu mengalokasikan paket pengadaan barang/jasa dan modal sebesar 26,44%, dimana proporsinya lebih tinggi dibandingkan kabupaten Kupang, Malaka, Ende dan Flores Timur (lihat Tabel 1.2.). Namun, capaian IPM-nya pun
Tabel 1.3.
Rincian IPM berdasarkan Indikator beberapa kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2014
Sumber: diolah oleh peneliti ( http://ntt.bps.go.id/ , diakses 28/3/2016) Dengan proporsi yang lebih besar tentu diharapkan dapat memberikan
keleluasaan bagi masing-masing daerah untuk melaksanakan program/kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apabila dilakukan dengan tepat sasaran hal ini akan memberikan kontribusi lebih dan mempermudah akses bagi masyarakat dalam perekonomian, sehingga akan terjadi efisiensi dan pada waktunya akan berpengaruh pada daya beli masyarakat yang semakin tinggi (Delavallade, 2006). Misalnya, dalam hal alokasi belanja dibidang infrastruktur (konstruksi) jalan. Dengan bertambahnya sejumlah jaringan jalanan baru dapat memudahkan mobilitas masyarakat atau mengurangi biaya transportasi. Atau anggaran untuk infrastruktur memang dialokasikan besar akan tetapi lebih banyak diperuntukan bagi pembangunan fasilitas kesehatan seperti yang dilakukan oleh kabupaten Manggarai Timur (lihat Tabel 1.3.). Atau kabupaten Sabu Raijua yang keleluasaan bagi masing-masing daerah untuk melaksanakan program/kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apabila dilakukan dengan tepat sasaran hal ini akan memberikan kontribusi lebih dan mempermudah akses bagi masyarakat dalam perekonomian, sehingga akan terjadi efisiensi dan pada waktunya akan berpengaruh pada daya beli masyarakat yang semakin tinggi (Delavallade, 2006). Misalnya, dalam hal alokasi belanja dibidang infrastruktur (konstruksi) jalan. Dengan bertambahnya sejumlah jaringan jalanan baru dapat memudahkan mobilitas masyarakat atau mengurangi biaya transportasi. Atau anggaran untuk infrastruktur memang dialokasikan besar akan tetapi lebih banyak diperuntukan bagi pembangunan fasilitas kesehatan seperti yang dilakukan oleh kabupaten Manggarai Timur (lihat Tabel 1.3.). Atau kabupaten Sabu Raijua yang
Menurut Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung adalah belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Program merupakan penjabaran kebijakan SKPD dalam bentuk upaya yang berisi satu atau lebih kegiatan dengan menggunakan sumberdaya yang disediakan untuk mencapai hasil yang terukur sesuai dengan misi SKPD. Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau lebih unit kerja pada SKPD sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumberdaya baik yang berupa personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumberdaya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa.
Sementara sasaran (target) adalah hasil yang diharapkan dari suatu program atau keluaran yang diharapkan dari suatu kegiatan. Dalam hal ini, sistematika penganggarannya haruslah berbasis kinerja yang diartikan sebagai suatu bentuk anggaran yang sumber-sumbernya dihubungkan dengan hasil/outcome. Dengan kata lain, anggaran ini tidak hanya didasarkan pada apa yang dibelanjakan saja tetapi juga didasarkan pada sasaran dan tujuan tertentu yang pelaksanaannya perlu disusun atau didukung oleh suatu anggaran biaya yang cukup. Oleh karena itu, anggaran berbasis kinerja mencerminkan beberapa hal.
Pertama, maksud dan tujuan permintaan dana. Kedua, biaya dari program- program yang diusulkan dalam mencapai sasaran dan tujuan dimaksud. Dan yang ketiga, data kuantitatif yang dapat mengukur pencapaian serta pekerjaan yang dilaksanakan untuk tiap-tiap program.
Menurut Mardiasmo (2009), kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi dan efektivitas pada pelayanan publik yang berarti berorientasi pada kepentingan publik. Sementara untuk mengetahui apakah penggunaan biaya-biaya tersebut sudah efisien dan efektif tentunya diperlukan suatu pengukuran. Sistem pengukuran ini harus dapat mengintegrasikan proses peningkatan kinerja melalui beberapa tahap mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi capaiannya.
Proses kegiatan operasional dapat dikatakan efisien apabila suatu produk atau hasil kerja tertentu dicapai melalui penggunaan sumberdaya (biaya) yang serendah-rendahnya (spending well). Misalnya, dengan alokasi biaya (input) untuk anggaran belanja barang/jasa dan modal yang terbatas tetapi kabupaten Malaka mampu menyediakan sejumlah: (1) akses kesehatan berupa pertolongan persalinan bagi ibu dan bayinya; (2) akses untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan yang layak sampai pada jenjang SD/SMP/SMA; dan (3) akses untuk menggerakkan roda perekonomian. Hal mana berbeda dengan hasil yang sudah dicapai oleh kabupaten Manggarai Timur dan Sabu Raijua. Padahal dari aspek kemampuan keuangan terlihat pula bahwa posisi kabupaten Malaka berada di bawah kedua kabupaten tersebut (lihat Tabel 1.2.).
Sementara dikatakan efektif, apabila proses dari suatu program/kegiatan mencapai sasaran dan tujuan akhir kebijakan yang diinginkan (spending wesely).
Dengan mengambil kabupaten Manggarai Timur sebagai bahan studi kasusnya. Terlihat bahwa upaya yang dilakukan oleh kabupaten Manggarai Timur untuk mencapai kesejahteraan bagi masyarakatnya kurang berhasil guna. Hal ini jika dibandingkan dengan capaian —berdasarkan perolehan output sebelumnya—yang sudah dihasilkan oleh kabupaten Malaka (lihat Tabel 1.1.). Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa kabupaten Manggarai Timur belum mampu menggunakan uang pubik dengan bijak. Hal ini terlihat dari belum tercapaianya tingkat: (1) angka harapan hidup pada saat lahir; (2) kombinasi antara rata-rata angka melek huruf pada penduduk dewasa dan rata-rata lama sekolah; dan (3) standar hidup layak yang diukur dengan tingkat pengeluaran per-kapita yang telah disesuaikan atau paritas daya-beli.
Dalam setiap budaya organisasi mengandung nilai-nilai inti organisasi yang dipegang kuat dan menyebar secara luas (Martins & Martins, 2003). Selain itu, anggota organisasi yang berada dalam suatu budaya organisasi harus memiliki keyakinan bersama (O ’Reilly et al., 1991). Dengan demikian, keberadaan suatu budaya organisasi ditandai dengan adanya berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi. Kuatnya budaya organisasi yang sudah terinternalisasi dan dipegang teguh oleh setiap anggotanya dapat berpengaruh pada kinerja organisasi itu sendiri. Hal senada disimpulkan oleh Ahmed & Shafiq (2012) dan Ting (2011) yang menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan yang terjadi antara budaya organisasi dan kinerja ataupun efektivitas organsasi. Namun, Lo (2012) dan Olughor (2014) menemukan hal sebaliknya dimana budaya organisasi tidak berdampak pada kinerja organisasi.
Komitmen organisasi merupakan suatu sikap (pendirian) atau perilaku (reaksi terhadap suatu stimulus/lingkungan) yang merefleksikan perasaan atau perhatian seorang anggota terhadap organisasinya. Menurut Porter et al. (1974) sikap mengacu pada ikatan psikologis (psychological attachment) yang dibentuk oleh individu terkait identifikasi dan keterlibatan mereka dengan organisasinya. Sedangkan perilaku berkaitan dengan proses dimana individu menjadi terkunci dalam organisasi tertentu dan bagaimana mereka menangani masalah yang ada (Mowday et al., 1982). Kuatnya komitmen dari setiap anggotanya dapat berpengaruh pada kinerja organisasi itu sendiri. Hal senada disimpulkan oleh Berberoglu & Secim (2015), Muthuveloo & Rose (2005), dan Andry Arifian Rachman (2014) yang menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan yang terjadi antara komitmen organisasi dan kinerja ataupun outcome organisasi. Namun, Lee & Huang (2012) menemukan hal sebaliknya dimana komitmen organisasi tidak berdampak pada kinerja organisasi.
Modal intelektual merupakan suatu proses perpindahan dari sekedar memiliki pengetahuan dan keterampilan ke bagaimana menggunakan pengetahuan dan keterampilan tersebut dalam rangka menciptakan nilai bagi organisasi (Swart, 2006). Dalam konteks organisasi publik dan non-profit, keuntungan strategis melalui pengetahuan yang tercipta dapat dimanfaatkan untuk tujuan meningkatkan efisiensi operasi (Helm-Stevens et al., 2011). Oleh karena itu, Stewart (1999) menyebutnya modal intelektual sebagai emas yang tersembunyi. Organisasi yang dapat mengelola dan menggunakan modal intelektual secara efektif maka akan berpengaruh pada kinerja organisasi itu sendiri. Hal senada disimpulkan oleh Ozer Modal intelektual merupakan suatu proses perpindahan dari sekedar memiliki pengetahuan dan keterampilan ke bagaimana menggunakan pengetahuan dan keterampilan tersebut dalam rangka menciptakan nilai bagi organisasi (Swart, 2006). Dalam konteks organisasi publik dan non-profit, keuntungan strategis melalui pengetahuan yang tercipta dapat dimanfaatkan untuk tujuan meningkatkan efisiensi operasi (Helm-Stevens et al., 2011). Oleh karena itu, Stewart (1999) menyebutnya modal intelektual sebagai emas yang tersembunyi. Organisasi yang dapat mengelola dan menggunakan modal intelektual secara efektif maka akan berpengaruh pada kinerja organisasi itu sendiri. Hal senada disimpulkan oleh Ozer
Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengkaji lebih mendalam melalui penelitian dengan judul: “PENGARUH BUDAYA ORGANISASI,
KOMITMEN ORGANISASI DAN MODAL INTELEKTUAL TERHADAP KINERJA SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH (Studi Kasus di Pemerintahan Daerah Kabupaten Manggarai Timur – Provinsi Nusa
Tenggara Timur) ”. Sementara dari uraian di atas terlihat pula masih adanya perbedaan-perbedaan hasil penelitian dari para peneliti sebelumnya (research gap) . Dengan demikian, penggunaan variabel predictor budaya organisasi, komitmen organisasi dan modal intelektual dalam penelitian ini dianggap masih relevan.
1.2. Identifikasi Masalah
Perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah dalam membuat ataupun mengambil kebijakan perlu melihat pencapaian kinerja SKPD dari perspektif atau pendekatan: (1) birokrasi itu sendiri; dan (2) kelompok sasaran atau pengguna jasa suatu SKPD. Kedua perspektif tersebut pada dasarnya bukan merupakan cermin dari pendekatan yang sifatnya mutually exclusive — saling tidak mempengaruhi satu dengan yang lain —tetapi sering merupakan suatu Perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah dalam membuat ataupun mengambil kebijakan perlu melihat pencapaian kinerja SKPD dari perspektif atau pendekatan: (1) birokrasi itu sendiri; dan (2) kelompok sasaran atau pengguna jasa suatu SKPD. Kedua perspektif tersebut pada dasarnya bukan merupakan cermin dari pendekatan yang sifatnya mutually exclusive — saling tidak mempengaruhi satu dengan yang lain —tetapi sering merupakan suatu
Outcome (hasil) menyangkut bagaimana tingkat pencapaian kinerja yang diharapkan terwujud, berdasarkan output dari suatu program/kegiatan yang sudah dilaksanakan. Atau dalam pengertian lainnya, outcome merupakan segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya output suatu program/kegiatan. Sementara output (keluaran) menunjukkan bagaimana barang/jasa dihasilkan secara langsung dari suatu program/kegiatan menggunakan sejumlah input (masukan) yang diberikan. Jika mengacu pada capaian IPM 2011-2014 maka outcome kabupaten Manggarai Timur belum mengalami kemajuan yang signifikan. Meskipun kemampuan keuangan mereka (misalnya ditahun 2014) lebih baik dibandingkan dengan kabupaten Malaka. Dengan kata lain, pemerintah kabupaten Manggarai Timur belum efisien dan efektif dalam mengelola organisasinya (SKPD) termasuk bagaimana mengalokasikan anggaran belanjanya untuk mencapai masyarakat yang sejahtera.
Sebagai langkah awal dalam upaya merumuskan wujud pola tata- hubungan dalam kinerja SKPD yang telah disinggung terdahulu, dilakukan kajian yang bertujuan untuk mengenali dan memahami:
1) Bagaimana pengaruh budaya organisasi, komitmen organisasi dan modal intelektual secara parsial terhadap kinerja SKPD yang diproksikan oleh
VfM.
2) Apakah ada hubungan (korelasi) antara budaya organisasi dan komitmen organisasi, modal intelektual dan budaya organisasi, serta modal
intelektual dan komitmen organisasi.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1) Untuk menganalisis pengaruh budaya organisasi, komitmen organisasi dan modal intelektual secara parsial terhadap kinerja SKPD yang
diproksikan oleh VfM.
2) Untuk mengetahui ada tidaknya saling ketergantungan antara budaya organisasi dan komitmen organisasi, modal intelektual dan budaya
organisasi, serta modal intelektual dan komitmen organisasi.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:
1) Manfaat Akademis Dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi pengembangan ilmu
akuntansi manajemen khususnya menyangkut pengaruh budaya organisasi, komitmen organisasi dan modal intelektual terhadap kinerja SKPD.
2) Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan
pertimbangan bagi pihak-pihak yang terkait dengan tata-kelola organisasi pemerintahan. Lebih khusus bagi SKPD dalam lingkup Pemerintahan Daerah Kabupaten Manggarai Timur – Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Dengan informasi yang ada kemudian dapat dicarikan langkah-langkah strategisnya dalam rangka pencapaian kinerja SKPD yang lebih baik.
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka
Untuk memberikan landasan ilmiah yang kuat, maka pada bagian ini dipaparkan beberapa landasan teori baik yang berasal dari literatur perpustakaan, jurnal maupun hasil penelitian yang sejenis.
2.1.1. Kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
2.1.1.1. Konseptualisasi
Secara etimologis/kebahasaan kinerja merupakan terjemahan dari performance (Inggris). Selain bermakna kinerja, performance juga diterjemahkan secara beragam. Menurut Sedarmayanti (2001), performance dapat juga berarti prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja atau hasil kerja/unjuk kerja/penampilan kerja. Hal senada dikemukakan oleh Yeremias T. Keban (2004), istilah kinerja merupakan terjemahan dari performance yang sering diartikan oleh para cendekiawan sebagai “penampilan”, “unjuk kerja”, atau “prestasi”. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa istilah kinerja digunakan apabila seseorang menjalankan suatu proses dengan terampil sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang ada.
Secara konseptual Gibson et al. (1996) mendefenisikan kinerja sebagai tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas dan kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Selain itu, Bernardin & Russel (1998) memberikan definisi tentang kinerja sebagai catatan dari hasil-hasil yang diperoleh melalui fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan selama tempo waktu tertentu. Dari
pekerjaan sebagai kontribusi pada organisasi. Menurut Indra Bastian (2006), pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. Hal senada dikemukakan oleh Abdul Halim (2007), pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah, sedangkan pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dari kedua definisi tersebut dapat dipahami bahwa pemerintah daerah memiliki kedudukan sebagai administrator penuh pada masing-masing daerah. Mereka memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengelola daerahnya masing-masing. Namun, setiap kebijakan atau tindakannya harus efisien dan efektif agar pengelolaan daerahnya lebih terfokus dan mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditentukan.
Sementara perangkat daerah kabupaten/kota merupakan unsur pembantu dari seorang kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan didaerahnya. Terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan. Kedudukan perangkat daerah (satuan kerja perangkat daerah atau SKPD) —termasuk didalamnya Unit Kerja Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) —selain melaksanakan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pemerintahan di daerah seperti: merumuskan kebijakan, mengadakan bimtek, dan memonitor dan mengevaluasi penerapan kebijakan tersebut. Mereka pun berfungsi pula sebagai unit pelayanan publik seperti memberikan pelayanan dalam bidang Sementara perangkat daerah kabupaten/kota merupakan unsur pembantu dari seorang kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan didaerahnya. Terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan. Kedudukan perangkat daerah (satuan kerja perangkat daerah atau SKPD) —termasuk didalamnya Unit Kerja Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) —selain melaksanakan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pemerintahan di daerah seperti: merumuskan kebijakan, mengadakan bimtek, dan memonitor dan mengevaluasi penerapan kebijakan tersebut. Mereka pun berfungsi pula sebagai unit pelayanan publik seperti memberikan pelayanan dalam bidang
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa : “kinerja satuan kerja perangkat daerah (SKPD) adalah ukuran tingkat keberhasilan program/kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijakan publik untuk mencapai sasaran dan tujuan dengan menciptakan suatu organisasi yang lebih efisien dan efektif ”. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Recardo & Wade (2001), kinerja organisasi sebagai kemampuan organisasi untuk mencapai sasaran dan tujuan. Selain itu, kinerja organisasi merupakan kemampuan organisasi untuk mencapai tujuannya dengan menggunakan sumberdaya secara efisien dan efektif (Daft, 2013).
2.1.1.2. Pengukuran
Tercapainya baik itu visi dan misi maupun sasaran dan tujuan program/kegiatan yang terkandung dalam suatu kebijakan harus didasarkan pada tingkat ukuran kepuasan masyarakat. Sementara ketika membicarakan kinerja SKPD dalam kerangka good management paling tidak meliputi tiga komponen, yaitu: tujuan, ukuran dan penilaian. Penentuan tujuan dari masing-masing satuan/unit organisasi pemerintah merupakan strategi untuk meningkatkan kinerja. Tujuan ini akan memberi arah dan mempengaruhi bagaimana seharusnya perilaku kerja yang diharapkan organisasi pemerintah terhadap setiap personel. Walaupun demikian penentuan tujuan saja tidaklah cukup. Oleh kerena itu, dibutuhkan Tercapainya baik itu visi dan misi maupun sasaran dan tujuan program/kegiatan yang terkandung dalam suatu kebijakan harus didasarkan pada tingkat ukuran kepuasan masyarakat. Sementara ketika membicarakan kinerja SKPD dalam kerangka good management paling tidak meliputi tiga komponen, yaitu: tujuan, ukuran dan penilaian. Penentuan tujuan dari masing-masing satuan/unit organisasi pemerintah merupakan strategi untuk meningkatkan kinerja. Tujuan ini akan memberi arah dan mempengaruhi bagaimana seharusnya perilaku kerja yang diharapkan organisasi pemerintah terhadap setiap personel. Walaupun demikian penentuan tujuan saja tidaklah cukup. Oleh kerena itu, dibutuhkan
Menurut Indra Bastian (2006), pengukuran kinerja merupakan “proses” mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa ataupun proses. Pendapat berbeda dikemukakan oleh LAN & BPKP (2000) dimana pengukuran kinerja merupakan suatu “alat” untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Begitu pula dengan Malayu S.P. Hasibuan (2001) yang mengatakan bahwa pengukuran kinerja merupakan “wahana” untuk mengevaluasi terhadap perilaku, prestasi kerja dan potensi pengembangan yang telah dilakukan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa : “pengukuran kinerja adalah suatu proses yang sistematis dan berkesinambungan untuk menilai tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan suatu program/kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam mewujudkan visi, misi dan strategi ”.
Fungsi dari pengukuran kinerja adalah sebagai alat bagi manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Selain itu, merupakan jembatan antara perencanaan strategik dengan akuntabilitas. Sedangkan tujuannya adalah: (Mahmudi, 2009)
1) Mengetahui tingkat ketercapaian tujuan organisasi
2) Menyediakan sarana pembelajaran pegawai
3) Memperbaiki kinerja periode berikutnya
4) Memberikan pertimbangan yang sistematik dalam pembuatan keputusan pemberian reward dan punishment
5) Memotivasi pegawai
6) Menciptakan akuntabilitas publik Beberapa penelitian internasional menunjukkan ada beberapa struktur
dan teknik yang digunakan untuk tujuan pengukuran kinerja sektor publik. Pada umumnya dari beberapa framework yang ada memiliki fitur-fitur seperti menggambarkan bagaimana hubungan antara tujuan, sumberdaya, strategi dan hasil; menjelaskan maksud publik harus dilayani; dan menunjukkan bagaimana melakukan pengukuran dan pelaporan yang hanya berfokus pada aspek-aspek penting dari kinerja (Mackie, 2008). Selain itu, Boyne (2002) mencatat bahwa indikator dari sebagian kerangka pengukuran dapat berdasarkan pada model pengukuran kinerja economy-efficiency-effectiveness model (disebut model 3E's).
Penggunaan VfM sebagai alat ukur kinerja pun sudah lazim dilakukan oleh beberapa peneliti di Indonesia. Diantaranya Tri Siwi Nugrahani (2007) yang menganalisis penerapan konsep VfM pada pemerintah DI Yogyakarta. Demi Aulia Arfan (2014) yang mengukur kinerja dinas pertanian DI Yogyakarta periode 2011-2012 menggunakan VfM. Avib Subastian (2013) yang menilai laporan akuntabilitas kinerja dinas pendidikan kota Surabaya melalui pendekatan VfM. Sementara praktek terhadap keharusan menggunakan prinsip-prinsip dalam VfM sendiri sudah diterapkan oleh pemerintah sejak lama. Mulai dari pusat sampai pada tingkat pemerintahan desa. Misalnya, bagi pemerintah desa sudah diatur Penggunaan VfM sebagai alat ukur kinerja pun sudah lazim dilakukan oleh beberapa peneliti di Indonesia. Diantaranya Tri Siwi Nugrahani (2007) yang menganalisis penerapan konsep VfM pada pemerintah DI Yogyakarta. Demi Aulia Arfan (2014) yang mengukur kinerja dinas pertanian DI Yogyakarta periode 2011-2012 menggunakan VfM. Avib Subastian (2013) yang menilai laporan akuntabilitas kinerja dinas pendidikan kota Surabaya melalui pendekatan VfM. Sementara praktek terhadap keharusan menggunakan prinsip-prinsip dalam VfM sendiri sudah diterapkan oleh pemerintah sejak lama. Mulai dari pusat sampai pada tingkat pemerintahan desa. Misalnya, bagi pemerintah desa sudah diatur
2.1.2. Value for Money
2.1.2.1. Pengantar
Saat ini, ada harapan yang ditunjukkan pada lembaga pemerintahan bahwa VfM terbaik tercapai ketika uang publik dihabiskan. Di sisi lain, semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya VfM membawa implikasi yang kompleks baik secara konsep maupun penerapannya. Misalnya, menekankan defenisi “nilai” sebagai kontribusi untuk mencapai outcome dan impact tidaklah mudah. Defenisi ini memiliki implikasi ketika perubahan sosial yang diharapkan sulit tecapai, sehingga menjadi sulit pula ketika membuat identifikasi faktor-fakor penentu —selain faktor intervensi—dan hubungan kausalitasnya.
Pengenalan filosofi managerialis mengharuskan peningkatan tekanan pada efisiensi, efektivitas dan operasi nilai uang. Meskipun defenisi VfM untuk masing-masing stakeholder berbeda, akan tetapi kombinasi dari 3E's tampaknya sebagai intinya dan melengkapi praktek bisnis yang baik. Menurut Kleine (2009), oleh karena indikator-indikator yang ada diasumsikan dapat diterapkan secara universal maka pada tingkat yang lebih luas dapat digunakan pula sebagai indikator dalam kerangka pembangunan internasional. Hal senada dikemukakan oleh Poate & Barnett (2003), VfM bukan indikator baru sebab setidaknya dalam Pengenalan filosofi managerialis mengharuskan peningkatan tekanan pada efisiensi, efektivitas dan operasi nilai uang. Meskipun defenisi VfM untuk masing-masing stakeholder berbeda, akan tetapi kombinasi dari 3E's tampaknya sebagai intinya dan melengkapi praktek bisnis yang baik. Menurut Kleine (2009), oleh karena indikator-indikator yang ada diasumsikan dapat diterapkan secara universal maka pada tingkat yang lebih luas dapat digunakan pula sebagai indikator dalam kerangka pembangunan internasional. Hal senada dikemukakan oleh Poate & Barnett (2003), VfM bukan indikator baru sebab setidaknya dalam
2.1.2.2. Pengertian
National Audit Office atau NAO (2015) mendefenisikan bahwa VfM terbaik adalah penggunaan sumberdaya yang optimal untuk mencapai outcome yang dimaksudkan. Hal senada dikemukakan oleh Organisation for Economic Co- operation and Development atau OECD (2012), VfM merupakan kombinasi optimal dari biaya keseluruhan hidup dan kualitas (atau kesesuaian tujuan) untuk memenuhi kebutuhan penggunanya. Optimal dalam perspektif VfM “kontras” dengan rasio produktivitas maksimum, dimana baru dikatakan optimal apabila minimal rasio produktivitas yang harus dicapai adalah 100%. Dengan kata lain, output (barang/jasa) yang dihasilkan melalui suatu proses haruslah sama dengan input (sumberdaya: manusia, modal, material, waktu, dsb.) yang dipakai (Werther & Davis, 1993). Atau dapat juga dikatakan bahwa antara output dan input harus mencapai break even point.
Sementara dalam VFM dikatakan optimal jika output dari suatu hasil produksi dicapai menggunakan input (biaya) yang minimum atau serendah- rendahnya (SCRGSP, 2006). Pada hakekatnya VfM haruslah mengacu pada keseimbangan optimal antara seluruh tiga elemen yang ada; dimana ketika biaya relatif rendah (ekonomi), produktivitas tinggi (efisiensi), dan outcome pun sukses tercapai (efektivitas). Dalam situasi ini VfM tidak dapat serta-merta diidentikkan dengan harga termurah (OGC, 2002). Namun, disisi lain mengurangi biaya input dan membuat penghematan untuk mencapai efisiensi dapat mendukung atau Sementara dalam VFM dikatakan optimal jika output dari suatu hasil produksi dicapai menggunakan input (biaya) yang minimum atau serendah- rendahnya (SCRGSP, 2006). Pada hakekatnya VfM haruslah mengacu pada keseimbangan optimal antara seluruh tiga elemen yang ada; dimana ketika biaya relatif rendah (ekonomi), produktivitas tinggi (efisiensi), dan outcome pun sukses tercapai (efektivitas). Dalam situasi ini VfM tidak dapat serta-merta diidentikkan dengan harga termurah (OGC, 2002). Namun, disisi lain mengurangi biaya input dan membuat penghematan untuk mencapai efisiensi dapat mendukung atau
Gambar 2.1.
Pertimbangan ekonomi dan efisiensi sebagai bagian dari VfM
Sumber: Organisation for Economic Co-operation and Development (2012)
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa: “VfM adalah penggunaan sumberdaya secara optimum dengan memperhatikan total biaya dan manfaat dari pengaturannya, dan kontribusinya terhadap outcome suatu entitas yang ingin dicapai ”. Dalam hal ini, VfM dapat terkait dengan hal-hal seperti: human resources, finance, information and communication technology dan procurement (NAO, 2015). Namun, prinsip VfM pada saat (misalnya) pengadaan barang/jasa tidak selalu berarti memilih harga terendah. Melainkan berdasarkan pada kemungkinan outcome terbaik dari total biaya yang dimiliki (atau seluruh biaya hidup). Dalam hal ini, pemilihan metode pengadaan barang/jasa selain harus yang paling tepat juga mempertimbangkan aspek risiko dan nilai pengadaannya, serta tidak selalu menggunakan tender yang kompetitif.
Secara umum VfM digunakan untuk menggambarkan suatu komitmen eksplisit untuk memastikan hasil terbaik yang mungkin diperoleh dari uang yang dihabiskan. Hal ini tentang bagaimana mendapatkan manfaat maksimal dari waktu ke waktu terhadap sumberdaya yang tersedia. Selain itu, tentang bagaimana mencapai keseimbangan yang tepat antara menghabiskan lebih sedikit, menghabiskan dengan baik dan menghabiskan secara bijak untuk mencapai berbagai prioritas yang ada. Sebab pada prinsipnya bahwa dana publik harus ditempatkan pada kemungkinan penggunaan terbaik, dan mereka yang melakukan urusan publik harus bertanggung-jawab pada manajemen yang ekonomis, efisien dan efektif dari sumberdaya yang dipercayakan kepada mereka (OAG, 2000).
2.1.2.3. Konseptual Framework
Untuk mencapai sasaran dan tujuan yang sesuai maka pencapaiannya harus dapat diukur berdasarkan variabel-variabel indikator kinerja yang telah ditentukan. Ada beberapa variabel yang dapat digunakan untuk tujuan pengukuran maupun pelaporan capaian kinerja, seperti: (1) cost, yaitu: berapa besarnya nilai rupiah (direpresentasikan dalam bentuk prices) yang harus kita keluarkan untuk memperoleh sumberdaya yang diperlukan; (2) input, yaitu: apa yang kita gunakan (staf, bahan, alat, tempat, finansial, dsb.) untuk melakukan suatu pekerjaan; (3) output, yaitu: apa yang kita hasilkan atau berikan baik dalam bentuk barang/jasa; dan (4) outcome, yaitu: apa yang ingin kita capai yang merupakan konsekuensi dari pencapaian suatu output tertentu. Cost, input dan output terkait dengan rencana, anggaran dan implementasi sedangkan outcome terkait dengan bagaimana mengelolanya untuk mencapai hasil yang sesuai dengan sasaran dan Untuk mencapai sasaran dan tujuan yang sesuai maka pencapaiannya harus dapat diukur berdasarkan variabel-variabel indikator kinerja yang telah ditentukan. Ada beberapa variabel yang dapat digunakan untuk tujuan pengukuran maupun pelaporan capaian kinerja, seperti: (1) cost, yaitu: berapa besarnya nilai rupiah (direpresentasikan dalam bentuk prices) yang harus kita keluarkan untuk memperoleh sumberdaya yang diperlukan; (2) input, yaitu: apa yang kita gunakan (staf, bahan, alat, tempat, finansial, dsb.) untuk melakukan suatu pekerjaan; (3) output, yaitu: apa yang kita hasilkan atau berikan baik dalam bentuk barang/jasa; dan (4) outcome, yaitu: apa yang ingin kita capai yang merupakan konsekuensi dari pencapaian suatu output tertentu. Cost, input dan output terkait dengan rencana, anggaran dan implementasi sedangkan outcome terkait dengan bagaimana mengelolanya untuk mencapai hasil yang sesuai dengan sasaran dan
Variabel-variabel indikator kinerja tersebut dapat dimasukkan dalam satu dimensi 3E's (SCRGSP, 2006). Hal ini tidak terlepas dari berbagai definisi VfM yang sejauh ini tidak hanya memberikan penilaian dari nilai uang yang melibatkan 3E's. Tetapi juga mencoba untuk menguji setiap variabel indikator kinerja yang mengidentifikasi hubungan antara indikator dan panduan tentang kesimpulan- kesimpulan yang ada berdasarkan bukti: (1) terkait seberapa baik mereka tampil bersama; (2) hubungannya dengan keseimbangan optimal; (3) pembandingan dengan rasio produktivitas maksimum; (4) pilihan yang paling murah tidak selalu mewakili VfM yang lebih baik; atau (5) konversi ke input, output dan output- outcome sebagai subyek untuk kepentingan penilaian VfM.
Gambar 2.2.
Konseptualisasi framework Value for Money
Sumber: diolah oleh peneliti (2016) Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model Value for Money
ITAD (2010) yang didasarkan pada tiga komponen.
2.1.2.3.1 Ekonomi