Modal Intelektual
2.1.5. Modal Intelektual
2.1.5.1. Pengantar
Pada hakekatnya suatu organisasi tidak dapat menciptakan pengetahuan atas usaha sendiri. Melainkan pengetahuan itu hanya dapat tercipta atas inisiatif individu dan interaksi yang terjadi dalam kelompok individu yang nantinya akan terkristalisasi lewat proses dialog, diskusi, berbagai pengalaman dan observasi. Pengalaman yang dimiliki setiap individu tentu saja bersifat personal sehingga menjadi sulit untuk diformulasikan dan dikomunikasikan. Namun, sangat penting bagi suatu organisasi untuk dapat menuangkan pengalaman-pengalaman individu tersebut —yang dikategorikan sebagai tacit knowledge dimana know-how berasal dari apa yang diperoleh dan sudah dipraktekan sebelumnya —ke dalam bentuk tulisan atau suatu pernyataan yang terdokumentasikan sedemikian rupa sehingga menjadi expilicit knowledge.
Dengan demikian, modal intelektual berhubungan dengan pengetahuan organisasi baik itu yang berasal dari individu maupun kolektif. Akan tetapi tidak semua pengetahuan yang ada dapat dijadikan sebagai bagian dari modal intelektual. Pendapat senada tetapi dengan argumentasi berbeda dikemukan oleh Bontis et al. (2002) yang menunjukkan bahwa modal intelektual merupakan stock of knowledge yang ada dalam suatu organisasi. Mengelola stock of knowledge merupakan domain dari teori manajemen pengetahuan (Choo & Bontis, 2002).
Gagasannya, semua pengetahuan dan penerapannya adalah sarana bagi kreativitas yang dapat dipromosikan, inovasi dapat difasilitasi dan ukuran kompetensi ditarik sedemikian rupa sehingga mencapai sasaran dan tujuan organisasi.
Pengetahuan bukanlah data ataupun informasi melainkan “pemahaman” (CIO Council, 2001). Selain itu, kinestetik pengetahuan tidak terletak dikepala saja melainkan ditangan seperti keterampilan (skill), ketangkasan (dexterity) dan penilaian (judgment) (Smith, 1976). Tingkat operasional pengetahuan meliputi pertama, know-what (dicapai melalui pendidikan, pelatihan dan kualifikasi formal lainnya), know-how (hasil pembelajaran pada tingkat know-what kemudian diterjemahkan dan selanjutnya dieksekusi) dan know-why (menciptakan solusi baru menggunakan jaringan hubungan kausalitas terhadap pemecahan atas masalah-masalah yang lebih besar dan lebih kompleks). Kedua, merupakan suatu diferensiasi antara pandangan subjektif dan objektif.
2.1.5.2. Pengertian
Galbraith (1969) mendefenisikan modal intelektual sebagai bentuk pengetahuan, kecerdasan dan aktivitas otak yang menggunakan pengetahuan untuk menciptakan nilai. Sementara menurut Edvinsson & Malone (1997), modal intelektual merupakan pengetahuan, pengalaman yang diterapkan, teknologi organisasi, hubungan dengan pelanggan dan keterampilan profesional yang dimiliki oleh perusahaan untuk mencapai keunggulan kompetitif di pasar. Demikian pula Reed et al. (2006) mendefenisikan modal intelektual sebagai dasar kompetensi dari karakter tidak berwujud yang memungkinkan perusahaan untuk menciptakan dan mempertahankan keunggulan kompetitif. Hal ini menunjukkan Galbraith (1969) mendefenisikan modal intelektual sebagai bentuk pengetahuan, kecerdasan dan aktivitas otak yang menggunakan pengetahuan untuk menciptakan nilai. Sementara menurut Edvinsson & Malone (1997), modal intelektual merupakan pengetahuan, pengalaman yang diterapkan, teknologi organisasi, hubungan dengan pelanggan dan keterampilan profesional yang dimiliki oleh perusahaan untuk mencapai keunggulan kompetitif di pasar. Demikian pula Reed et al. (2006) mendefenisikan modal intelektual sebagai dasar kompetensi dari karakter tidak berwujud yang memungkinkan perusahaan untuk menciptakan dan mempertahankan keunggulan kompetitif. Hal ini menunjukkan
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa: “modal intelektual adalah kemampuan kolektif dari organisasi untuk mengekstrak solusi terbaik dari pengetahuan tersembunyi individunya untuk kemudian didokumentasikan sedemikian rupa dan dijadikan properti organisasi sehingga dapat menciptakan nilai dan daya-saing yang berkelanjutan bagi organisasi ”. Dalam hal ini, untuk dapat memecahkan masalah-masalah yang lebih besar dan lebih kompleks untuk kemudian menciptakan solusi terbaik tentu saja menggunakan jaringan hubungan kausalitas (know-why). Sementara kegiatan mendokumentasikan pengalaman- pengalaman yang dimiliki oleh setiap individunya bertujuan untuk mengatur pengetahuan sehingga mengalir cepat dan tidak terganggu diantara fungsi-fungsi dalam suatu organisasi. Selain itu, dapat mengurangi kepastian waktu (lead time) antara belajar dan berbagi pengetahuan.
Fokus pada manajemen strategis merupakan sebuah pemahaman dari apakah suatu organisasi sudah mengetahuinya, apakah pengetahuan tambahan masih diperlukan untuk menjadi kompetitif dan bagaimana harus menyelaraskan sumberdaya untuk pengetahuan tambahan yang diperlukan. Memperoleh,
mengintegrasikan, dan menyebarkan pengetahuan merupakan proses yang dinamis dan memerlukan pula perluasan batas-batas organisasi. Dalam hal ini, diperlukan manajemen pengetahuan yang dapat membantu mengintegrasikan pengetahuan yang ada dan untuk meningkatkan kemampuan berbagi pengetahuan diseluruh departemen, fungsi dan unit bisnis dalam organisasi tersebut. Terutama penekanan yang lebih besar ditempatkan pada “aset tidak berwujud” atau “aset tersembunyi” dari suatu organisasi. Sebab sama seperti uang atau peralatan maka pengetahuan dapat ditentukan dan dikelola sebagai aset intelektual ketika kita tahu apa yang kita coba lakukan terhadap mereka (Stewart, 1997).
2.1.5.3. Konseptual Framework
Hari ini komunitas modal intelektual terdiri dari ribuan akademisi dari seluruh dunia termasuk banyak perusahaan yang juga sedang bereksperimen dengan sistem pengukuran internal dan laporan eksternal modal intelektual. Hal ini menunjukkan bahwa belum ada konsensus terkait defenisi dan komponen yang dapat dicirikan sebagai model dari modal intelektual. Masing-masing model berbeda, sementara secara inheren masing-masing mengakui bahwa stakeholders organisasi membutuhkan beragam jenis informasi. Oleh karena itu, perlu memperluas cakupan yang disampaikan dalam praktek-praktek akuntansi tradisional (Guthrie et al., 2001). Seiring waktu, konsensus yang luas telah berkembang bahwa modal intelektual dapat dicirikan dalam model tripartit.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model modal intelektual dari Bontis (1999) yang didasarkan pada tiga komponen.
2.1.5.3.1 Human capital
Human capital sangat berharga bagi suatu organisasi karena kompetensi profesional yang unik yang ada pada suatu organisasi dan tidak dapat dengan mudah ditransfer ke pesaingnya (Swart, 2006). Menurut Löthgren (1999), kompetensi profesional mencakup pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan memiliki karakter lebih teoritis sehingga kadang dianalogikan seperti digital yaitu apakah anda tahu atau apakah anda tidak tahu. Sementara keterampilan memiliki lebih daripada karakter praktis sehingga kadang-kadang disebut analog yaitu kita dapat mengetahui sesuatu dengan lebih atau kurang baik, dengan lebih atau kurang rinci. Keterampilan yang unik dapat berkembang ketika seorang anggota terlibat dalam pemecahan masalah-masalah organisasi yang spesifik atau ketika prosedur operasi yang unik sedang diikuti. Hal ini pula yang dapat memberikan pengalaman baru bagi individu bersangkutan.
Seiring berjalannya waktu, kompetensi profesional yang dikembangkan membentuk proses-proses pembelajaran dalam organisasi. Melalui pendidikan dan pelatihan profesional mengerti bagaimana orang belajar, berbagi pengetahuan dan bekerjasama. Belajar akan menjadi keterampilan kerja dasar. Dengan belajar menunjukkan bahwa sesuatu sedang berlangsung, tidak pernah berakhir dan selalu berubah. Ini adalah dasar dari adaptasi dan inovasi. Dan hal ini pula yang menegaskan bahwa human capital adalah sumber inovasi dan pembaharuan dalam organisasi (Stewart 1997). Termasuk kemampuan kolektif dari organisasi untuk mengekstrak solusi terbaik dari pengetahuan individunya (Bontis 1998).
Jadi, ruang lingkup dari human capital terbatas pada simpul pengetahuan tacit yang dimiliki oleh setiap anggota dalam organisasi. Sementara esensinya adalah hanya semata terkait dengan kecerdasan dari anggotanya. Human capital dapat diukur (meskipun sulit) sebagai fungsi dari volume dimana meliputi ukuran (size), lokasi dan waktu (Bontis, 1998). Sementara tingkat kesulitan dalam melakukan kodifikasi adalah tinggi.
2.1.5.3.2 Structural capital
Structural capital dapat dijelaskan sebagai pengetahuan organisasi yang menetap dalam suatu organisasi dan tidak akan hilang. Meskipun masing-masing anggota meninggalkan pekerjaan mereka pada setiap akhir hari kerja atau ketika tidak lagi menjadi bagian dari organisasi itu (Roos et al., 1997). Ini adalah aliran pengetahuan internal antara jaringan organisasi manusia. Oleh karena structural capital membutuhkan pengetahuan untuk dibagikan, diangkut dan didongkrak. Maka harus menjadi tujuan bagi organisasi untuk mengisi dan mempertahankan pengetahuan tersebut. Tujuannya adalah untuk mengatur pengetahuan sehingga mengalir cepat dan tidak terganggu diantara fungsi-fungsi dalam suatu organisasi.
Di sisi lain, ketika organisasi memiliki sistem dan prosedur yang miskin melalui pelacakan terhadap tindakan-tindakan yang pernah dilakukan oleh anggotanya. Maka secara keseluruhan modal intelektual tidak akan mencapai potensi yang sepenuhnya (Bontis, 1998). Sementara intelektualitas seorang anggota organisasi akan tetap berada dalam benak mereka. Oleh karena itu, diperlukan suatu proses perpindahan intelektualitas individu ke structural capital. Hal ini dapat menjamin terjadinya pengurangan waktu proses yang dihabiskan
Misalnya, dalam hal mencari informasi yang sudah ada. Mengurangi kepastian waktu (lead time) antara belajar dan berbagi pengetahuan. Dengan kata lain, kesuksesan dalam menerapkan structural capital sepenuhnya tergantung pada kemampuan untuk mengetahui dan melaksanakan apa yang harus dilakukan. Dalam rangka memunculkan suatu properti bagi organisasi melalui human capital yang dimiliki.
Dalam hal ini, aset structural capital mengacu pada unsur-unsur yang dapat mengubah know-how individu menjadi properti organisasi (Guthrie, 2001). Properti tersebut kemudian dapat direproduksi dan berbagi. Atau dapat dijual, diperdagangkan dan bahkan dapat mengambil tindakan hukum jika digunakan tanpa izin. Berbagai properti yang mengandung pengetahuan dan dimiliki seperti teknologi, penemuan, data dan publikasi dapat dipatenkan, dibuatkan hak-ciptanya dan diproteksi oleh undang-undang. Pada akhirnya dapat memberikan manfaat atau penciptaan nilai bagi organisasi.
Jadi, ruang lingkup dari structural capital terletak diinternal organisasi tetapi diluar dari simpul human capital. Sementara esensinya adalah terkait dengan pengetahuan yang tertanam dalam rutinitas organisasi. Structural capital dapat diukur (meskipun sulit) sebagai fungsi dari efisiensi —yaitu, suatu fungsi dari output per beberapa unit sementara (input) (Bontis, 1998). Sementara karena bersifat internal akhirnya pengetahuan yang tertanam dapat dikodifikasi.
2.1.5.3.3 Relational capital
Dalam konteks organisasi pemerintahan, relational capital merupakan suatu hubungan yang terbenuk antara pemerintahan dengan masyarakatnya.
Namun, hubungan tersebut tidak dapat secara langsung “dipengaruhi” oleh adanya kesepakatan atau perjanjian kerjasama, ataupun konstelasi urusan lainnya. Tidak ada hubungan langsung antara suatu organisasi pemerintahan dengan pihak lain yang berkepentingan. Jika ada maka dalam kasus itu dianggap sebagai structural capital dan bukan sebagai relational capital (Löthgren, 1999). Artinya, hubungan dalam structural capital hanya dapat dikelola sedangkan relational capital tidak dapat dikendalikan atau dipengaruhi. Semenara peningkatan pada relational capital melibatkan pencarian di luar batas-batas suatu organisasi untuk hal-hal seperti dalam rangka mengembangkan hubungan dan tingkat kepercayaan.
Memberikan layanan pada masyarakat merupakan indikator terbaik dari sikap masyarakat terhadap pemerintahnya. Sementara hakekatnya pemerintah adalah pelayan masyarakat (public service) (Finer, 1974). Dalam hal ini, apabila kualitas layanan pemerintah meningkat maka sikap masyarakat terhadap pemerintah pun ikut meningkat. Layanan pada masyarakat yang berkualitas tinggi menandakan bahwa pemerintah sudah berfungsi dengan baik dan berkerja dengan baik. Sama halnya dengan organisasi privat yang berbasis pada pelanggan, pemerintah dapat mengembangkan dan menggunakan sistem umpan balik dari masyarakat untuk terus mengikuti kebutuhan mereka. Mengukur seberapa baiknya pemerintahan adalah terkait apa yang sudah dikerjakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Sukses adalah sosial dimana hal ini tergantung pada hubungan kita dengan orang lain (Baker, 2012). Lebih lanjut Baker mengatakan bahwa sebuah bahan kesuksesan yang lazim kita anggap sebagai “individu”—bakat alam,
kecerdasan, pendidikan, usaha dan keberuntungan —yang rumit terkait dengan jaringan. Dalam hal ini, organisasi pemerintah harus mampu merubah perspektif yang dapat membebaskan mereka dari mitos individualisme dan memulai bagaimana menghargai kekuatan modal sosial dalam mencapai kesuksesan sendiri dan urusan yang terkait dengan organisasi pemerintahannya. Menurut Nahapiet & Ghoshal (1998), modal sosial memiliki akar dibidang sosiologi. Sebagian besar digunakan untuk menggambarkan efek organisasi yang dikembangkan melalui koneksi yang diperoleh secara sosial dalam komunitas yang lebih luas, masyarakat dan budaya. Fokusnya pada “relationships“ antara organisasi dengan jaringan mereka (Bourdieu, 1986). Selain itu, modal sosial memiliki konotasi normatif yang kuat dimana menyiratkan bahwa “relationships” yang berasal dari rasa saling percaya dan seimbang adalah baik untuk kohesi sosial dan keberhasilan ekonomi (Leadbeater, 1999). Tentu saja hal ini sangat berbeda dengan human capital yang lebih berfokus pada “individual agent” semata (Schuller, 2001).
Jadi, ruang lingkup dari relational capital berada di luar organisasi maupun simpul human capital. Sementara esensinya adalah pengetahuan yang tertanam khususnya terkait hubungannya dengan lingkungan eksternal. Relational capital dapat diukur (meskipun sulit) sebagai fungsi dari longevity dimana akan menjadi lebih berharga seiring berjalannya waktu (Bontis, 1998). Sementara karena sifatnya adalah eksternal dan longevity maka pengetahuan yang tertanam adalah yang paling sulit untuk dikodifikasi.