Komitmen Organisasi

2.1.4. Komitmen Organisasi

2.1.4.1. Pengantar

Pada hakekatnya terdapat beberapa karakteristik umum sebagai acuan untuk menggambarkan keb eradaan suatu “komitmen”. Pertama, komitmen pribadi yang menggambarkan aspek-aspek positif suatu komitmen yang dirasakan oleh seseorang terhadap rekan atau relasinya. Kedua, komitmen moral yang muncul dari nilai-nilai (values) dan keyakinan (beliefs) seseorang terhadap keseriusan dari suatu hubungan. Terakhir, komitmen struktural dimana menunjukkan kendala- kendala yang mungkin akan dihadapi ketika seseorang ingin meninggalkan suatu Pada hakekatnya terdapat beberapa karakteristik umum sebagai acuan untuk menggambarkan keb eradaan suatu “komitmen”. Pertama, komitmen pribadi yang menggambarkan aspek-aspek positif suatu komitmen yang dirasakan oleh seseorang terhadap rekan atau relasinya. Kedua, komitmen moral yang muncul dari nilai-nilai (values) dan keyakinan (beliefs) seseorang terhadap keseriusan dari suatu hubungan. Terakhir, komitmen struktural dimana menunjukkan kendala- kendala yang mungkin akan dihadapi ketika seseorang ingin meninggalkan suatu

Definisi dari konseptualisasi komitmen organisasi sendiri telah diberikan dalam berbagai konteks yang salah satunya adalah psychological approaches — dikenal juga sebagai konsep multi-dimensional. Pendekatan ini menggambarkan dengan jelas sebuah sikap yang lebih aktif dan positif terhadap organisasi. Selain itu, menggambarkan orientasi intensitas tinggi hubungan atau kedekatan emosional seseorang terhadap organisasinya (Buchanan, 1974). Menurut Porter et al. (1974) dan Steers (1977), gambaran orientasi tersebut meliputi komponen: (1) identifikasi dengan tujuan dan nilai-nilai organisasi; (2) keterlibatan tinggi dalam aktivitas kerja; dan (3) keinginan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi. Oleh karena itu, sudut pandang pendekatan ini lebih kompleks dan tidak semata hanya dipengaruhi oleh aspek ikatan emosional, investasi atau kewajiban moral.

2.1.4.2. Pengertian

Menurut Robbins & Judge (2008), komitmen organisasi sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan- tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Hal senada dikemukakan oleh Mathis & Jackson (2006), komitmen organisasi adalah tingkat dimana karyawan percaya dan menerima tujuan-tujuan Menurut Robbins & Judge (2008), komitmen organisasi sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan- tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Hal senada dikemukakan oleh Mathis & Jackson (2006), komitmen organisasi adalah tingkat dimana karyawan percaya dan menerima tujuan-tujuan

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa: “komitmen organisasi adalah keyakinan dalam menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi, dan proses berkelanjutan dimana individu mengekspresikan perhatiannya pada organisasi melalui keterlibatan yang tinggi, loyalitas aktif dan rasa memiliki organisasi ”. Keyakinan akan memberikan kepastian pada sikap atau perilaku masing-masing anggota organisasi. Bersedia menerima nilai-nilai dan tujuan mencerminkan sejauh mana seorang anggota mampu mengenal dan terikat secara psikologis pada organisasinya, dimana pada akhirnya mereka pun bersedia untuk mempertahankan keanggotaannya. Sedangkan proses berkelanjutan menunjukkan bentuk perhatian seorang anggota pada organisasinya untuk mencapai keberhasilan dan kemajuan yang berkelanjutan, dan bagi kesejahteraan mereka. Akhirnya, agar tercipta suatu komitmen organisasi maka suatu organisasi harus memiliki nilai-nilai, respek serta adil terhadap anggotanya (McKinnon et al., 2003).

Organisasi merupakan suatu bentuk kelompok sosial yang terdiri dari beberapa anggota yang mempunyai kesatuan persepsi bersama. Oleh karena itu, komitmen organisasi merupakan sifat hubungan yang ada antara anggota dengan organisasinya. Atau komitmen organisasi berdasarkan premis dimana individu membuat suatu keterikatan pada organisasi. Keterikatan tersebut terbentuk melalui Organisasi merupakan suatu bentuk kelompok sosial yang terdiri dari beberapa anggota yang mempunyai kesatuan persepsi bersama. Oleh karena itu, komitmen organisasi merupakan sifat hubungan yang ada antara anggota dengan organisasinya. Atau komitmen organisasi berdasarkan premis dimana individu membuat suatu keterikatan pada organisasi. Keterikatan tersebut terbentuk melalui

2.1.4.3. Konseptual Framework

Kita bekerja disuatu organisasi yang tidak hanya bergengsi tetapi memiliki atmosfir kerja yang membuat kita merasa nyaman dan rileks. Oleh karena itu, kita memiliki affective commitment terhadap pekerjaan tersebut dan ingin tetap tinggal. Dalam perkembangannya tentu sangat wajar ketika timbul suatu keinginan untuk memiliki gaji yang lebih baik, mendapatkan tunjangan lainnya atau mendapat promosi. Namun, karena adanya pertimbangan “sunk- costs ” maka kita membuat pertaruhan untuk tetap bersama organisasi tersebut. Disamping itu, adanya perasaan wajib untuk memberi balasan atas apa yang telah diterima dari organisasi turut menjadi pertimbangan, dimana kita merasa harus tetap tinggal dan membantu organisasi untuk mencapai tujuannya. Adanya

pertimbangan “sunk-costs” menunjukkan bahwa kita memiliki continuance commitment. Sementara terhadap pertimbangan berdasarkan pada norma-norna

yang ada dalam diri menunjukkan bahwa kita memiliki normative commitment. Dengan demikian, mengukur komitmen organisasi hanya menggunakan satu dimensi saja bukanlah cara yang tepat. Sebab profil komitmen merupakan interaksi antara beberapa komponen. Dalam hal ini, pendekatan multi-dimensional dapat memberikan suatu pemahaman yang lebih lengkap dari hubungan antara yang ada dalam diri menunjukkan bahwa kita memiliki normative commitment. Dengan demikian, mengukur komitmen organisasi hanya menggunakan satu dimensi saja bukanlah cara yang tepat. Sebab profil komitmen merupakan interaksi antara beberapa komponen. Dalam hal ini, pendekatan multi-dimensional dapat memberikan suatu pemahaman yang lebih lengkap dari hubungan antara

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model komitmen organisasi Meyer & Allen (1991) yang didasarkan pada tiga komponen.

2.1.4.3.1 Affective commitment

Menurut Buchanan (1974), affective commitment merupakan suatu ikatan emosional terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, serta peran seorang anggota dalam kaitannya dengan tujuan dan nilai-nilai organisasi. Adanya keterikatan emosional menunjukkan bahwa setiap anggota setuju dengan tujuan dan nilai-nilai yang mendasari organisasi tersebut, sehingga mendorong mereka untuk terus bekerja (Greenberg & Baron, 2003). Selain itu, adanya kesamaan harapan dan terpenuhinya kebutuhan dasar dapat menjadi faktor penentu atau potensi lainnya bagi berkembangnya komitmen ini —terutama bagi anggota organisasi yang memiliki pengalaman (Meyer et al., 1993).

Jadi, alasan seseorang untuk tetap tinggal bersama dengan organisasinya adalah lebih pada pertimbangan emosional (emotion-based), seperti: perasaan tentang persahabatan, suasana atau budaya organisasi, ada perasaan puas setiap menyelesaikan tugas atau pekerjaan, dsb.. Kuncinya adalah keinginan untuk bertahan (wants to stay).

2.1.4.3.2 Continuance commitment

Continuance commitment dapat dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, terkait dengan “investasi” dimana setiap tindakan atau keputusan seseorang untuk meninggalkan organisasinya memiliki potensi kerugian yang cukup besar (Allen

& Meyer, 1990). Seperti waktu yang sudah dihabiskan untuk memperoleh keterampilan yang tidak dapat dengan mudah ditransfer, potensi kerugian atas manfaat dan pemberian posisi atau penghargaan, dsb.. Selain dampak dari kerugian investasi terkait dengan pekerjaan, adapula kerugian yang mungkin timbul dan tidak terkait dengan pekerjaan. Misalnya gangguan hubungan personal atau expense dan human cost saat terjadi relokasi satu keluarga ke kota lainnya. Selain itu, waktu yang sudah dihabiskan baik itu untuk melewati jalur karier tertentu maupun membangun suatu kelompok kerja atau jaringan pertemanan. Adanya pertimbangan semacam itu dimana pada akhirnya mereka membuat pertaruhan (side-bets) terhadap sejumlah alternatif yang layak untuk kemudian memutuskan tetap bersama organisasi tersebut (Becker, 1960).

Kedua, terkait dengan ketersediaan “alternatif pekerjaan”. Menurut Yu & Egri (2005), komitmen ini berkembang sebagai ekses dari kurangnya ketersediaan lapangan kerja alternatif. Artinya, semakin sedikitnya alternatif pekerjaan yang dimiliki organisasi lain membuat komitmen seseorang terhadap organisasinya menjadi lebih kuat. Sementara jika dikaitkan dengan investasi waktu, maka proses pengalihan suatu keterampilan yang terjadi diorganisasi lain dapat menjadi faktor yang menentukan bagi penilaian mereka tentang ketersediaan alternatif (Meyer & Allen, 1997). Dalam hal ini, seseorang yang berpikir tentang investasi pendidikan atau pelatihan yang tidak mudah dipindah-tangankan ditempat lain cenderung melihat kurangnya alternatif. Pada akhirnya mereka pun akan memutuskan untuk tetap tinggal dan memberikan komitmen yang lebih kuat pada organisasi tersebut.

Jadi, alasan seseorang untuk tetap tinggal bersama dengan organisasinya adalah lebih pada pertimbangan untung-rugi (cost-based). Kuncinya adalah kebutuhan untuk bertahan (needs to stay) atau keharusan bertahan (must stay).

2.1.4.3.3 Normative commitment

Pengalaman bersosialisasi dapat membawa segala macam pesan tentang kesesuaian sikap dan perilaku tertentu dalam organisasi. Selain itu, ada aturan- aturan yang berlaku tentang kewajiban timbal balik antara organisasi dan anggotanya. Mengingat kewajiban tersebut berlandaskan pada teori pertukaran sosial, maka seseorang yang menerima manfaat selalu berada dalam kewajiban normatif yang kuat atau aturan untuk membayar manfaat dalam beberapa cara (McDonald & Makin, 2000). Dalam hal ini, normative commitment berkembang berdasarkan pada sekumpulan tekanan yang dirasakan oleh individu saat sebelum (melalui sosialisasi keluarga/budaya) dan setelah berada dalam organisasi tertentu.

Menurut Meyer & Allen (1991), normative commitment berkembang karena dipengaruhi oleh investasi yang sudah diberikan oleh organisasi pada anggotanya. Dengan kata lain, investasi dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya ketidak-seimbangan suatu hubungan antara seorang anggota dengan organisasinya. Misalnya, investasi dalam bentuk pelatihan keterampilan. Seorang anggota mungkin merasa tidak nyaman dan memiliki perasaan hutang budi. Oleh karena itu, melalui internalisasi norma timbal-balik mereka mulai mencoba untuk memperbaiki ketidak-seimbangan itu. Melalui komitmen yang diberikan pada organisasi sampai benar-benar mereka merasa bahwa hutangnya telah lunas.

Jadi, alasan seseorang untuk tetap tinggal bersama dengan organisasinya adalah lebih pada pertimbangan kewajiban (obligation-based). Kuncinya adalah kewajiban untuk bertahan (ought to stay).