Hak Pendidikan TINJAUAN TEORETIS TENTANG HAK ISTRI DALAM PERKAWINAN

BAB III HAK ISTRI AKIBAT PERCERAIAN MENURUT IMAM

SYAFI’I DAN KHI DI INDONESIA Secara umumnya ikatan perkawinan merupakan anugerah dan karunia Allah kepada umatnya. Lafaz yang diakadkan oleh suami di majelis perkawinan dan penerimaan suami adalah merupakan kontrak yang tidak bertempoh dan berjalan buat selama-lamanya. Meskipun, dalam menjalani kehidupan sebagai manusia biasa kita tidak terlepas dari menerima apa-apa ujian dan cobaan termasuklah keretakan rumahtangga. 27 Rumahtangga yang kehilangan elemen-elemen tersebut menjurus kepada kerengangan di mana hubungan suami istri menjadi tidak harmonis dan akhirnya menjurus kepada perceraian. Bagaimanapun, kita harus menerima hakikat bahwa jodoh dan pertemuan itu adalah ketentuan Tuhan. Islam telah menetapkan hak bagi pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan dan berlakunya perceraian itu. Di dalam Kamus Bahasa Indonesia hak memiliki pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dan sebagainya, kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan, keharusan sesuatu hal yang harus dilaksanakan. Di dalam perjalanan sejarah, tema hak relatif lebih 27 Mohd Razuan Ibrahim, Undang-Undang dan Prosedur, Selangor: DRI Publishing House, 2006, h. 85. muda usianya dibandingkan dengan tema kewajiban, walaupun sebelumnya telah lahir . Tema hak baru “lahir” secara formal pada tahun 1948 melalui Deklarasi HAM PBB, sedangkan tema kewajiban bersifat umum telah lebih dahulu lahir melalui ajaran agama di mana manusia berkewajiban menyembah Tuhan, dan berbuat baik terhadap sesama terlibat dalam perkawinan dan berlakunya perceraian itu. 28

A. Latar Belakang Imam Syafi’i

Muhammad al- Syafi’i ibn Idris 150-205 767-820. Seorang tokoh arsitek sistematika hukum Islam, lahir di Palestina dan tumbuh dewasa di Makkah. Ia adalah keturunan Quraisy yang hidup bergaul suku-suku badwi, sehingga pengetahuannya tentang bahasa Arab dan tentang syair-syair Arab sangatlah mendalam. Ia belajar hukum Islam di Madinah kepada Malik ibn Anas, dan kemudian ia belajar di Baghdad, dan kembali ke Madinah beberapa lama, karenanya ia mengenal fiqh Hambali secara dekat. 29 Sebagai perlawanan terhadap sunnah kebiasaan masyarakat Madinah yang menjadi metode penarikan hukum mazhab Maliki, dan sebagai serangan terhadap deduktif spekulatif mazhab Hanafi, maka al- Syafi’i berjuang mempromosikan hadis dan al-sunnah Nabi sebagai sumber otoritas utama dalam menafsirkan perintah-perintah al-Quran. Menurutnya, otoritas hadis dan sunnah al-Nabi lebih utama daripada qiyas analogi, dan hal ini mendukung keberadaan ijma’ sebagai legitimasi hukum al-Quran, hadis, sunnah, qiyas,dan ijma’ 28 Wikipedia, “Pengertian Hak”, artikel diakses pada 17 Mei 2011 dari http:id.wikipedia.orgwikiHak . 29 Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999, Cet 2, h. 379. secara bersama-sama merupakan prinsip utama hukum Islam ushul al-fiqh, dan merupakan dasar sistematika fiqh. Al- Syafi’i sendiri tidak bermaksud mendirikan sebuah mazhab fiqh, melainkan hal ini merupakan supaya yang dilakukan oleh murid-muridnya. Metodologi al- Syafi’i secara universal diterima mazhab-mazhab lainnya. 30

B. Hak Istri Akibat Perceraian menurut Imam Syafi’i

Menurut pendapat Imam Syafi’i tentang hak-hak istri akibat perceraian yaitu, h adhanah, nafkah iddah, mut’ah,dan hutang mahar; 1. Hadhanah a. Definisi Hadhanah dan Syarat-syaratnya Hadhanah dalam pengertian syariat adalah mengasuh anak yang belum tamyiz dan belum mampu mengerjakan urusannya secara mandiri, seperti merawat dirinya, mandi, mencuci baju serta menjaga diri dari bahaya. Hadhanah termasuk dari bagian perwalian dan penguasaan. Namun, dalam hal ini lebih diutamakan kaum perempuan karena mereka lebih lembut, sayang, pendidikan, lebih ulet, merawat, dan lebih akrab terhadap anak yang diasuh. 31 Tidak semua orang berhak memberi hadhanah kepada seseorang anak kecil, hanya mereka yang mampu memenuhi syarat- syarat kelayakan seperti berikut saja yang diharuskan 32 : 30 Ibid., h. 379. 31 Ibid., h. 65. 32 Mat Saad Abd Rahman, Undang-Undang Keluarga Islam Aturan Perkawinan, Selangor: Intel Multimedia and Publication, 2007, h.124