Hak Nafkah TINJAUAN TEORETIS TENTANG HAK ISTRI DALAM PERKAWINAN

berhak menerima nafkahnya dalam jumlah tertentu selama suami melaksanakan kewajibannya itu. Jika suami bakhil, tidak memberikan nafkah yang secukupnya kepada istrinya atau itdak memberikan nafkah tanpa alas an-alasan dibenarkan syara, istri berhak menuntut jumlah nafkah tertentu baginya untuk keperluan makan, pakaian, dan tempat tinggal. Imam Mazhab berpendapat tentang besarnya nafkah yang harus diberi oleh suami kepada istrinya yaitu seperti berikut: a. Golongan Hanafi berpendapat bahwa agama tidak menentukan jumlah nafkah. Kalangan Hanafi menetapkan jumlah nafkah istri sesuai dengan kemampuan suami, baik kaya atau miskin, tanpa melihat keadaan istrinya. 18 b. Imam Malik berpendapat bahwa besarnya nafkah itu tidak ditentukan berdasarkan ketentuan syarak, tetapi berdasarkan keadaan masing-masing suami istri, dan ini akan berbeda-beda berdasarkan perbedaan tempat, waktu, dan keadaan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Hanifah. c. Menurut kalangan Imam Syafi’i, menetapkan jumlah nafkah tidak diukur dengan jumlah kebutuhan, tetapi diukur hanya berdasarkan hukum syarak. Walaupun kalangan Syafi’i sependapat dengan kalangan Hanafi, yaitu tentang memperhatikan kaya dan miskinnya keadaan si suami, suami yang kaya tetap diwajibkan memberi nafkah setiap hari sebanyak dua mud. 19 18 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi, 2008, h. 62 19 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi, 2008, h.62. d. Silang pendapat ini disebabkan ketidak jelasan nafkah dalam hal ini, antara disamakan dengan pemberian makan dalam kafarat atau dengan pemberian pakaian. Dengan demikian makanan itu ada batasnya. 4. Syarat-syarat Menerima Nafkah Syarat-syarat perempuan yang berhak menerima nafkah suami: a Ikatan perkawinan yang sah b Menyerahakan dirinya kepada suaminya c Suami dapat menikmati dirinya, d Tidak menolak apabila diajak pindah ke tempat yang dikehendaki suaminya. 20 e Kedua-duanya dapat saling menikmati. Jika salah satu dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, ia tidak wajib diberi nafkah. Jika ikatan perkawinannya tidak sah, bahkan batal, suami istri tersebut wajib bercerai untuk mencegah timbulnya bencana yang tidak dikehendaki. Begitu juga istri yang tidak mau menyerahkan dirinya kepada suaminya atau suami tidak dapat menikmati dirinya atau istri enggan pindah ke tempat yang dikehendaki suami, dalam keadaan seperti ini tidak ada kewajiban. Orang yang berhak menerima nafkah fuqaha berpendapat bahwa nafkah tersebut untuk istri yang merdeka dan tidak membangkang nusyuz. 20 Kecuali kalau suami bermaksud merugikan istri dengan membawanya pindah atau membahayakan keselamatan dirinya atau hartanya. 5. Pendapat tentang nafkah istri yang durhaka Tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa apabila istri mendurhakai suaminya, kemudian gugur nafkahnya. 21 Allah Swt. telah menyuruh wanita mentaati suaminya. Firman Allah Swt. dalam surat al- Nisa’: 34:              ر س ءاس لا Artinya: “ Maka jika mereka taat kepada kamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi, lagi Maha Besar”. Apabila istri mendurhakai kepada suaminya, diperbolehkan menghukum istri dengan menghentikan nafkah hingga istri kembali taat kepada suaminya. Karena istri meninggalkan kewajibannya untuk taat kepada suaminya, maka suami boleh menghentikan kewajiban berupa pemberian nafkah.

C. Hak Disayangi

Di dalam perkawinan ada juga hak dan tanggungjawab yang harus dilaksanakan, bukan sekedar berbentuk kebendaan bahkan berbentuk kasih sayang seperti hak perempuan untuk mendapatkan perlakuan yang baik. Di antara hak istri dalam perkawinan ialah untuk mendapat perlakuan yang baik dari suami dalam pergaulan hidup berumah tangga. Perlakuan yang baik adalah meliputi tingkah laku, 21 Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah Ibadat-Muamalat, Jakarta:Pustaka Amani, 1999, Cet 3, h. 350. tindakan dan sopan santun yang harus dilakukan suami terhadap istri. 22 Hal ini disebutkan dalam al-Quran surah An- Nisa’ ayat19:                                       ر س ءاس لا : ۹ Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan-perempuan dengan jalan paksaan, dan janganlah kamu menyakiti mereka dengan menahan dan menyusahkan mereka kerana kamu hendak mengambil balik sebahagian dari apa yang kamu telah berikan kepada-Nya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. dan bergaulah kamu dengan mereka istri-istri kamu itu dengan cara yang baik. kemudian jika kamu merasai benci kepada mereka disebabkan tingkah-lakunya, janganlah kamu terburu-buru menceraikannya, karena boleh jadi kamu bencikan sesuatu, sedang Allah hendak menjadikan pada apa yang kamu benci itu kebaikan y ang banyak untuk kamu”. Bergaul dengan baik antara suami istri untuk membina rumah tangga adalah merupakan syarat dari suatu perkawinan yang akan mencapai tujuan dan hikmah berumah tangga. 23 Laki-laki sebagai pemimpin kaum perempuan di dalam rumah tangga wajib melaksanakan tanggungjawab kepimpinannya untuk mengajari kaum perempuan agar bisa melaksanakan kewajibannya dengan baik, serta menanamkan rasa hormat dalam diri mereka sendiri dengan memberikan hak-hak perempuan tanpa dipersulit karena manusia berdasarkan naluri alamiahnya selalu menghormati orang dalam pandangan matanya adalah terdidik dan tahu akan hak kewajibannya, serta 22 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, Jakarta:Ghalia Indonesia, 2010, h. 121. 23 Ibid., h.121. tidak pernah memandang enteng kepadanya, maka apabila hak-hak perempuan tidak diberikan, berarti kaum laki-laki sendirilah yang menutup pintu kebaikan yang akan diberikan oleh kaum perempuan. Suami wajib menjaga dan memelihara istri segala hal yang menghilangkan kehormatannya, atau mengotori kehormatannya, atau merendahkan derajatnya, dan atau yang menghilangkan pendengarannya karena dicela.

D. Hak Pendidikan

Di antara yang menjadi hak seorang istri suaminya ialah membimbingnya ke arah penghayatan hukum-hukum agama, membaiki akhlaknya serta memberi tujuk ajar kearah kebaikan dan kabahagiaan tanpa membiarkannya dalam keadaan serba tidak betul serta menyimpang ke arah keburukan. 24 Jika si suami diwajibkan menjaga keselamatan diri istrinya, kesehatan tubuh badannya dan memberi layanan yang baik, maka dia juga diwajibkan menjaga kesempurnaan agamanya, akhlaknya serta kebaikan sikapnya. Dengan demikian, si suami sudah benar-benar menjadi pemimpin yang berkualitas serta beramanah. Justru, itu seorang suami tidak dianggap sebagai beramanah terhadap amanah Allah jika dia tidak mempedulikan tentang kejahilan serta penyimpangan istrinya dari kehendak agama, pengabaiannya menunaikan fardu- fardu agama dan tidak membetulkan akhlaknya yang salah, sedangkan dia wajib 24 Mat Saad Abd Rahman, Undang-Undang Keluarga Islam Aturan Perkawinan, Selangor: Intel Multimedia and Publication, 2007, h. 78.