Hak Istri Akibat Perceraian menurut Imam Syafi’i

terbagi kepada suami barunya, walaupun suami barunya mengizinkanya untuk mengasuh anak tersebut. b. Daftar Urut Pengasuhan Kaum ibu lebih berhak untuk mengasuh si kecil dan lebih layak daripada bapak. Yang berhak menjadi pengasuh ada tiga bagian, yaitu laki-laki dan perempuan saja, atau laki-laki saja. Adapun pengasuh dari kalangan kaum ibu secara berurutan, yaitu sebagai berikut: 1. Ibu, karena kasih sayang kepada anak, 33 2. Nenek dari ibu, mengingat nenek termasuk orang yang besar perhatiannya kepada cucu, 3. Nenek dari ayah, karena perhatian yang diberikan oleh nenek dari ayah sama besarnya dengan perhatian yang diberikan oleh nenek dari ibu, 4. Ibu dari ayahnya ayah umi abil jaddi dan ke atas dari kalangan kaum ibu yang berhak menerima waris dan begitu seterusnya karena mereka orang yang mempunyai keturunan dan warisan sebagaimana ibu dan nenek, 5. Saudari kandung, karena mereka setara dalam hal nasab dan kasih sayang yang diberikan kepada anak tersebut, 6. Saudari kandung, kemudian saudara seayah, lalu saudara seibu. 7. Bibi dari ibu, 8. Keponakan perempuan dari saudara kandung, putra-putra mereka, kemudian putri- putri dari saudara seayah, lalu yang seibu, 33 Ibid., h. 71. 9. Bibi sekandung, seayah, atau seibu, 10. Paman sekandung atau seayah, 11. Putri-putri bibi dari kandung, seayah, atau seibu, 12. Putri-putri paman dari ayah, 13. Putra-putra paman dari ayah. 34 Dapat disimpulkan bahwa yang didahulukan dalam urutan pengasuh tersebut adalah dari kalangan ibu, nenek, saudara, dan dan dari kalangan paman. Hak asuh diberikan kepada laki-laki yang mempunyai ikatan mahram dan waris dengan si kecil dengan mengacu pada tuntutan warisan. Kemudian hak asuh juga diberikan kepada pihak laki-laki yang tidak mempunyai ikatan mahram seperti anak dari paman sepupu si kecil. Namun, tidak boleh menyerahkan pengasuhan anak wanita yang sudah besar kepada laki-laki untuk menghindari berduaan yang diharamkan. Akan tetapi, si kecil boleh diasuh dan diserahkan kepada laki-laki yang bisa dipercayai dan direkomendasikan oleh orang yang berhak mengasuhnya karena pengasuhan merupakan haknya. c. Hal Yang Membatalkan Hadhanah Hadhanah dilarang bagi ibu yang tidak memenuhi syarat yang telah dijelaskan seperti gila, budak, kafir fasik, tidak dipercayai, dan menikah dengan laki-laki lain, terkecuali menikah dengan laki-laki yang berhak untuk mengasuh anak tersebut, seperti paman anak itu atau seperti ayah menikahkan anaknya dengan anak istri yang dihasilkan dari suami lain, dan kemudian melahirkan anak, hasil dari pernikahan itu. 34 Ibid., h. 71. Lalu ayah dan ibu si anak meninggal maka istri dari bapaknya itu berhak untuk mengasuh anak tersebut. Orang yang tidak mempunyai hak waris dzawil arham tidak berhak untuk mengasuh anak, seperti cucu laki-laki dari anak perempuan, anak laki-laki dari saudari, anak laki-laki saudara seibu, bapaknya ibu, paman dari ayah, karena pengasuhan itu merupakan hak perempuan yang memahami cara mengasuh dengan baik atau merupakan kewajiban orang yang mempunyai ikatan kekerabatan yang bisa dibuktikan dengan berhak menerima waris dari kalangan laki-laki dan ini tidak terdapat dalam kalangan anak famili dzawil arham. 35 Orang yang garis keturunannya melalui dzawil arham tersebut, baik laki-laki maupun perempuan tidak mempunyai hak asuh karena orang yang garis keturunan di atasnya saja tidak mempunyai hak waris apalagi yang bergaris keturunan ke bawahnya. 36 Apabila suami istri bercerai dan mempunyai anak yang telah tumbuh dewasa maka dia boleh hidup sendiri, tidak bersama dengan orang tuanya. Dia tidak membutuhkan pengasuhan dan tanggungan, namun dianjurkan agar dia hidup bersama salah satu dari kedua orang tuanya dan wajib berbakti kepada mereka. Jika dia seorang perempuan maka dimakruhkan hidup sendirian tanpa orang tua demi keselamatannya. 35 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i, Jakarta: almahira, 2010 , h. 70. 36 Ibid., h. 70 d. Mut’ah Mut’ah diambil dari kata mata‟, artinya sesuatu yang digunakan untuk senang- senang. Mut’ah yaitu suatu pembayaran sagi hati yang diberikan oleh seorang mantan suami kepada mantan istrinya yang dicerai. 37 Yang dimaksud di sini ialah, harta yang wajib diberikan suami istri yang ditinggalkannya semasa hidup akibat perceraian maupun putusan hukum dengan syarat- syarat tertentu. Pemberian mut’ah ini berlaku untuk pria muslim, dzimmi, muslimah, dan dzimmiah, dan lain sebagainya. Hukum mut’ah berbeda-beda sesuai jenis perpisahan suami istri furqah. Sebab furqah ada dua macam: 1 furqah akibat kematian, yang dalam hal ini, menurut kesepakatan ulama, tidak ada mut’ah, sebagaimana dikemukakan an- Nawawi r.a; dan 2 furqah yang terjadi saat masih hidup, seperti perceraian. 38 Apabila furqah terjadi sebelum hubungan intim, baik pihak wanita ditalak atau disumpah lian, maka akan muncul ketentuan hukum sebagai berikut: Menurut qaul jadid, wanita itu berhak menerima mut’ah, jika dia tidak wajib menerima separuh mas kawinnya, misalnya dia wanita mufawadhah wanita yang diserahkan oleh walinya kepada seorang pria untuk dinikahi, dan suami tidak menentukan maskawin apa pun baginya. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt.: 37 Mat Saad, UU Keluarga Islam Aturan Perkawinan, Selangor: Intel Multimedia and Publicition, 2007, h. 165. 38 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i, Jakarta: almahira, 2010 , h. 571.                             Artinya: “ Tidak ada dosa bagi kalian, jika kalian menceraikan istri-istri kalian yang belum kalian sentuh campuri atau belum kalian tentukan maharnya. Dan hendaklah kalian beri mereka mut‟ah, bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan. ” Selain itu, wanita mufawadhah tidak memperoleh apa pun. Jadi, dia wajib mendapatkan mut’ah, karena adanya perasaan gundah dalam dirinya. Dia berbeda dengan wanita yang berhak menerima separuh maskawin telah cukup baginya cukup baginya sebagai pengobatan kesedihannya. Demikian pula, menurut pendapat Imam Syafi’i, mut’ah wajib diberikan kepada istri setelah hubungan intim, juga kepada setiap wanita yang diceraikan suaminya tanpa ada aib dalam dirinya, atau diceraikan oleh hakim, misalnya dalam kasus suami melakukan lian, atau ayah atau anak suami menyetubuhinya akibat syubhat dan lain sebagainya. Status ini seperti ditalak. 39 Menurut pendapat yang shahih, khuluk itu kedudukannya seperti talak, sedangkan talak yang ditaklik kedudukannya seperti talak yang dilakukan secara langsung. Talak itu, baik terjadi karena suami atau atas permintaan istri, statusnya sama saja. Seandainya suami menaklik talak dengan suatu perbuatan tertentu, lalu si istrinya melakukan perbuatan tersebut, atau dia menyetubuhi istrinya kemudian 39 Ibid., h. 572. menalaknya setelah beberapa lama atas permintaan istri, menurut pendapat yang shahih, hal itu statusnya seperti talak. Begitu pula setiap perceraian yang bukan disebabkan istri, artinya bersumber dari suami, misalnya suami murtad, melakukan lian, baru masuk Islam; atau perceraian itu dilakukan melalui orang lain, misalnya ibu mertua istri ternyata ibu susuannya, atau anak laki-laki suaminya akibat syubhat. 40 Untuk semua kasus ini, dalam hal kewajiban memberikan mut’ah, hukumnya seperti talak. Jika sumber furqah perpisahan itu berasal dari pihak wanita, misalnya dia murtad atau masuk Islam karena mengikuti salah satu orang tuanya, atau suami melakukan fasakh akibat aib yang dimiliki istri, atau justru istri yang mengajukan fasakh lantaran suami melarat atau menghilang maka wanita tersebut tidak bisa men dapatkan mut’ah, baik perpisahan itu terjadi sebelum maupun sesudah hubungan intim, mengingat maskawin menjadi gugur akibat adanya fasakh tersebut. Apabila suami istri bersengketa perihal besarnya mut’ah, hakim menetapkan ukuran mut’ah menurut pertimbangan nya. Artinya, ukuran mut’ah yang harus diberikan adalah menurut ijtihad hakim sendiri, dengan mempertimbangkan situasi dan keadaan keduanya, seperti kaya, miskin, keturunan, termasuk juga karakter wanita tersebut. 41 Hal ini berdasarkan firman Allah Swt.: 40 Kata, Imam Nawawi rahimahullah adalah sesuatu yang tidak jelas halalnya ataupun haramnya, karena itu kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Adapun ulama mereka mengetahui hukumnya dengan nash atau qiyas atau istishaab atau dengan selainnya atau arti lain ragu- ragu. 41 Ibid., h. 573.               رق لا ر س : Artinya: “ Dan hendaklah kalian beri mereka mut‟ah, bagi mereka yang mampu menurut kemampuannya. Dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan patut, yang merupakan kewajiban bagi orang- orang yang yang berbuat kebaikan.” e. Nafkah Iddah Macam-macam iddah istri. Pertama , iddah karena talak raj’i cerai tetapi suami masih diperkenankan untuk kembali ke pangkuan istri. Kedua, iddah karena talak ba’in cerai yang dilakukan tiga kali oleh suami atau dengan melalui talak khulu’yaitu gugatan cerai yang dilakukan oleh istri dengan mengembalikan maskawin atau sejenisnya. Ketiga, iddah dalam masa hamil. Keempat, iddah sebab ditinggal mati oleh suaminya. Selama iddah karena talak raj’i, istri berhak menerima nafkah serta seluruh haknya, kecuali biaya merias diri karena dia bukan lagi milik sang suami, terkecuali tidak bisa tidur karena kotor. Selain itu, suami wajib memberikan nafkah istrinya jika dicerai jika istri masih tamkin. 42 Di samping tanggungjawab suami memberikan nafkah dalam masa perkawinan, suami juga dikehendaki membayar nafkah istri dalam masa iddah karena perkawinan mereka masih lagi berterusan sehinggalah habis tempoh iddah. Wanita yang ditalak dan berada dalam tempoh iddah berhak mendapat nafkah daripada suaminya dalam beberapa keadaan. Istri yang diceraikan dengan talak raj’i 42 Tamkin yaitu sempurna. adalah berhak untuk menerima nafkah dalam tempoh beriddah. Bagi istri yang berada dalam talak bain, mereka hanya mendapat nafkah apabila hamil. Jika mereka tidak hamil dalam tempoh beriddah, mengikut Imam Syafi’i mereka hanya berhak mendapat tempat tinggal sahaja. 43 Istri haruslah menetap di tempat kediaman suami. Maksud menetap ialah tidak keluar ke mana-mana dari tempat kediamannya. Maksud tempat kediaman suami ialah kediaman yang disediakan oleh si suami sebagai memenuhi tanggungjawab nafkah yang diwajibkan ke atasnya selepas saja akad perkawinan dilangsungkan di antara mereka berdua. Inilah di antara tanggungjawab seorang istri yang berada di dalam iddah cerainya yang sering tidak dipedulikan oleh si istri atau suami atau keluarga masing-masing terutamanya keluarga si istri. Apa yang kita tahu, selepas saja lafaz talak diucapkan oleh si suami, sama ada talak raj’iatau talak bain, maka si istri yang diceraikan itu akan terus pulang ke rumah ibu bapanya, atau dia terus larikan pulang ke rumah keluarganya hampir kalaupun tidak ke rumah ibu bapanya, atau dia diusir keluar dari rumah kediamannya oleh si suami. Sebenarnya tindakan begini boleh menjejaskan hak dan tanggungjawab istri yang diceraikan di samping menjejaskan juga hikmah talak itu disyariatkan. Sebagian mantan istri berhak mendapat nafkah semasa menjalani masa iddahnya. Ia menjadi tanggungjawab si suami untuk melaksanakannya karena sama ada hubungan perkawinan itu masih lagi wujud seperti bekas istri yang berada di 43 Mohd Razuan, Undang-undang Prosedur, Selangor:Dri Publishing, h. 170. dalam iddah raj‟i atau karena dia sedang hamil sekalipun dia sedang menjalani iddah bain. Menurut asalnya, tidak ada nafkah yang diwajibkan untuk bekas istri yang menjalani iddah bain walaupun dia berhak mendapatkan tempat tinggal. Tetapi apabila, pada ketika itu, dia sedang hamil maka nafkah dan tempat tinggal diberi peruntukan untuknya sama seperti seorang bekas istri yang menjalani iddah raj’i. 44 Hal ini disebabkan anak yang dikandungnya itu memerlukan kepada kesehatan yang sempurna. Sedangkan kesehatan adalah tergantung pada kondisi kesehatan si ibu dan kesehatan si ibu pula memerlukan bahan-bahan makanan dan minuman yang sempurna begitu juga dengan tempat tinggal yang selesa. Justru itu kedua-duanya yaitu nafkah dan tempat tinggal menjadi haknya yang wajib dipenuhi oleh bekas suaminya selama sebelum dia melahirkan anaknya. Firman Allah Swt.:                           ر س قاطلا : Artinya: “Dan jika mereka sedang hamil maka berikanlah kepada mereka akan nafkah mereka sehinggalah mereka melahirkan anak yang dikandungnya”. Kewajiban memberikan nafkah lain sebagainya tidak bisa gugur sampai lewat waktu. Begitulah menurut Imam Syafi’i. Namun, nafkah tidak wajib diberikan kepada perempuan yang hamil karena wathi syubhat dan tidak dinikahi atau perempuan yang hamil hasil nikah fasid. Tidak wajib memberikan nafkah kepada 44 Mat Saad, UU Keluarga Islam Aturan Perkawinan, Selangor: Intel Multimedia and Publicition 2007, h. 164. istri yang ragu hamil, kecuali betul-betul hamil. Apabila dia telah nyata hamil, maka suami wajib memberikan nafkah harian. 45 Jumlah nafkah bagi perempuan yang telah dicerai yaitu setara dengan kebutuhannya saat masih bersama sang suami. Apabila nikah fasakh disebabkan sesusuan atau aib, maka istri berhak mendapat tempat tinggal pada masa iddah. Hal ini tidak termasuk perempuan yang cerai dari nikah fasid atau wathi syubhat karena perempuan tersebut tidak melalui nikah yang sah. 46 Dan dalil pemberian tempat tinggal bagi wanita yang ditalak ini adalah firman Allah Swt.:             ر س قاطلا : Artinya: “Janganlah kalian keluarkan mereka dari rumahnya, dan jangan diizinkan keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas….” Suami atau orang lain tidak bisa mengusir istri yang sedang menjalani iddah. Dia juga tidak boleh keluar dari rumah karena dalam iddah terdapat hak Allah. Hak tersebut tidak gugur dengan adanya saling ridha antara suami istri, kecuali dalam kondisi darurat atau ada uzur, misalnya karena mengkhawatirkan keselamatan jiwa, harta dan kehormatan, atau karena takut rumahnya runtuh dan terbakar, takut sendirian, para tetangganya jahat, atau dia sangat jahat pada mereka. 47 45 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i, Jakarta: almahira, 2010, Cet 1, h. 54. 46 Ibid., h.55. 47 Ibid., h. 21. Imam Syafi’i berkata ada kemungkinan perintah Allah Swt. untuk menempatkan mereka, dan tidak keluar baik siang atau malam, bukan karena suatu makna selain makna uzur. 48 Semua wanita yang dicerai dan masih memungkinkan dirujuk kembali oleh suaminya, maka ia berhak mendapatkan nafkah selama masih dalam iddah dari suami yang menceraikannya itu. Lalu semua wanita yang dicerai dan suaminya tidak mungkin lagi untuk rujuk dengannya, maka ia tidak mendapatkan nafkah dari suaminya selama dalam masa iddah, kecuali bila ia dalam keadaan hamil. Fuqaha sependapat bahwa yang beriddah dari talak raj’i memperoleh nafkah dan tempat tinggal. Begitu halnya wanita yang sedang hamil, berdasarkan firman Allah berkenaan dengan istri- istri yang ditalak raj’i dan istri-istri yang ditalak dalam keadaan hamil:                      Artinya: “ Tempatkanlah istri-istri yang menjalani iddahnya itu di tempat kediaman kamu sesuai dengan kemampuan kamu; dan janganlah kamu adakan sesuatu yang menyakiti mereka di tempat tinggal itu dengan tujuan hendak menyusahkan kedudukan mereka supaya mereka keluar meninggalkan tempat itu. Dan jika mereka berkeadaan sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya s ehingga mereka melahirkan anak yang dikandungnya….” Kemudian fuqaha berselisih pendapat mengenai tempat tinggal dan nafkah bagi istri yang ditalak bain tidak di dalam keadaan hamil dalam tiga pendapat: 48 Imam Syafi’i, Kitab Al-Umm, Jakarta: Pustaka Azzam 2009 , h. 599. Pendapat pertama yaitu menetapkan istri berhak mendapat tempat tinggal dan nafkah. Pendapat ini dikemukakan oleh fuqaha Kufah, pendapat kedua, mengatakan bahwa istri tersebut tidak memperoleh tempat tinggal maupun nafkah. Pendapat ini dikemukakan oleh Ahmad, Dawud, Abu Tsaur, Ishaq, dan segolongan fuqaha dan pendapat ketiga, hanya menetapkan tempat tinggal saja untuk istri tanpa nafkah. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik, Imam Syafi’i dan lain. 49 f. Hutang Mahar Mahar yang perlu dibayar biasanya dilakukan semasa akad nikah dilakukan. Ada juga sekelompok lelaki yang tidak membayarnya. Apabila mas kawin atau pemberian tidak dibayar dan tidak dihalalkan oleh istri, istri berhak mendapat mas kawin apabila diceraikan. 50 Imam Syafi’i berpendapat, tidak wajib membayar uang mahar seluruhnya kecuali bila diawali dengan persetubuhan yang sebenar-benarnya. Akan tetapi, jika suami istri hanya tinggal serumah, ia hanya wajib membayar separuh maharnya, Firman Allah Swt.:                                        Artinya: “Dan jika kamu ceraikan mereka sebelum kamu sentuh bercampur Dengan mereka, padahal kamu sudah menetapkan kadar maskawin untuk mereka, maka mereka berhak mendapat separuh dari maskawin yang telah kamu tetapkan itu, 49 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, 2007, Cet 3, h. 615. 50 Mohd Razuan, Undang-Undang Prosedur, Selangor: Dri Publishing, 2006, h. 170. kecuali jika mereka memaafkannya tidak menuntutnya; atau pihak yang memegang ikatan nikah itu memaafkannya memberikan maskawin itu dengan sepenuhnya. Dan perbuatan kamu bermaaf-maafan halal menghalalkan itu lebih hampir kepada taqwa. dan janganlah pula kamu lupa berbuat baik dan berbudi sesama sendiri. Sesungguhnya Allah sentiasa melihat akan apa jua yang kamu kerjakan”. Maksudnya, bila terjadi talak, padahal belum pernah bersetubuh dalam arti yang sebenarnya, ia wajib membayar mahar separuh dari yang telah dijanjikan. Adapun dalam keadaan tinggal serumah dan belum melakukan persetubuhan, ia tidak wajib membayar mahar seluruhnya. 51 Mahar disyariatkan dibayar oleh suami kepada istrinya karena dinilai dari kemampuan suami karena suami akan menafkahi keluarganya dan ia telah mendapat nikmat dari istri.

C. Hak Istri Akibat Perceraian Menurut KHI di Indonesia

Kompilasi hukum Islam adalah merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis para ulama fiqih yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama yang diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan. Himpunan tersebut inilah yang dinamakan kompilasi. Materi atau bahan-bahan hukum dimaksud telah diolah melalui proses metode tertentu, kemudian dirumuskan dalam bentuk yang serupa dengan peraturan perundang-undangan yaitu dalam pasal-pasal tertentu. Bahan ini kemudian ditetapkan berlakunya melalui sebuah keputusan Presiden yang untuk selanjutnya 51 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta:Pena Pundi Aksara, 2008, Jil 3, h.45. dapat digunakan oleh para Hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan sesuatu perkara yang diajukan kepadanya sebagai pedoman. 52 Hak istri akibat perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia terdapat dalam beberapa pasal yaitu:

1. Pasal 156 yang berbunyi: Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2. Ayah; 3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; 5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu; 6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. 53 a Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya; b Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula; 52 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 2007,h. 14. 53 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 2007, h. 151. c Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri 21 tahun; d Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf a, b, c, dan d; e Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

2. Pasal 157

Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 96, 97. 54

3. Pasal 158

Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat: a. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al dukhul. b. Perceraian itu di atas kehendak suami.

4. Pasal 159

Mut’ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada Pasal 158.

5. Pasal 160

Besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami. 54 Ibid., h. 152.