Hak Mahar TINJAUAN TEORETIS TENTANG HAK ISTRI DALAM PERKAWINAN

a. Dalam kondisi suami tidak ada menyebutkan sama sekali mahar atau jumlahnya. b. Suami menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat ditentukan atau mahar tersebut cacat seperti maharnya adalah minuman keras. c. Suami ada menyebutkan mahar musamma,namun kemudian suami istri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat diselesaikan. Mahar adalah hak istri, bukanlah hak walinya. Dan masih banyak ayat-ayat menunjukkan bahwa mahar adalah hak perempuan sepenuhnya. Orang lain, ayahnya sendiri, tidak boleh mengambil apa pun dari mahar tersebut tanpa seizinnya. 3. Hikmah disyariatkan Mahar Mahar disyariatkan Allah Swt. untuk mengangkat derajat wanita dan memberikan penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu, Allah Swt. mewajibkannya kepada laki-laki bukan kepada wanita, karena ia lebih mampu berusaha. Mahar diwajibkan padanya seperti halnya juga seluruh beban materi. Istri pada umumnya dinafkahi dalam mempersiapkan dirinya dan segala perlengkapannya yang tidak dibantu oleh ayah dan kerabatnya, tetapi manfaatnya kembali kepada suaminya juga. Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang relevan suami dibebani mahar untuk diberikan kepada sang istri. Mahar ini dalam segala bentuknya menjadi penyebab suami tidak terburu-buru menjatuhkan talak kepada istri karena yang ditimbulkan dari mahar tersebut seperti penyerahan mahar yang diakhirkan, penyerahan mahar bagi wanita yang dinikahinya setelah itu dan juga sebagai jaminan wanita ketika ditalak. 15

B. Hak Nafkah

1. Definisi dan Bagian Nafkah Secara bahasa, an-nafaqat adalah bentuk jamak dari kata nafaqah, kata kerja yang dibendakan mashdar al-infaq,yaitu memberikan sesuatu secara baik demi mengharap ridha Tuhan. Nafkah juga bermaksud mengeluarkan biaya atau tanggungan hidup kepada mereka yang wajib atas seseorang untuk membiayainya. 16 Nafkah terbagi kepada dua yaitu, Pertama: Memprioritas nafkah untuk diri sendiri. Kedua: Bernafkah kepada orang lain. Poin ini disebabkan oleh tiga faktor yaitu, hubungan pernikahan, hubungan kekerabatan, dan hubungan kepemilikan, di antaranya kewajiban memberi makan kepada hewan ternak. 2. Hukum Pemberian Nafkah Nafkah hanya diwajibkan atas suami, karena tuntutan akad nikah dan karena keberlangsungan bersenang-senang sebagaimana istri wajib taat kepada suami, selalu menyertainya, mengatur rumah tangga, mendidik anak-anaknya. Ia tertahan melaks anakan haknya, “setiap orang yang tertahan untuk hak orang lain dan manfaatnya, maka nafkahnya atas orang yang menahan karenanya.” Dalil al-Quran, yaitu firman Allah Swt.: 15 Abdul Aziz Muhammad Azzam, dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat,Jakarta: Amzah, 2009, cet 1, h.178. 16 Mohd Razuan Ibrahim, Undang-Undang dan Prosedur, Selangor: DRI Publishing House,2006, h. 56.                   رق لا ر س : Artinya: “Dan ibu-ibu hendaklah menyusukan anak-anak mereka selama dua tahun genap yaitu bagi orang yang hendak menyempurnakan penyusuan itu; dan kewajipan bapa pula ialah memberi makan dan pakaian kepada ibu itu menurut cara yang sepatutnya”.                              قاطلا ر س : ۷ Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya; dan sesiapa yang di sempitkan rezekinya, maka hendaklah ia memberi nafkah dari apa yang diberikan Allah kepadanya sekadar Yang mampu; Allah tidak memberati seseorang melainkan sekadar kemampuan yang diberikan Allah kepadaNya. orang-orang yang dalam kesempitan hendaklah ingat bahawa Allah akan memberikan kesenangan sesudah berlakunya kesusahan”. Ayat di atas mewajibkan nafkah secara sempurna bagi wanita atau pun seorang istri. Sebab wajib nafkah atas suami kepada istri, karena dengan selesainya akad yang sah, perempuan menjadi terikat dengan hak suaminya, yaitu untuk menyenangkannya, wajib taat kepadanya, harus tetap tinggal di rumah untuk mengurus rumah tangganya, mengasuh anak-anaknya dan mendidiknya, maka sebagai imbalan dari yang demikian ini, Islam mewajibkan kepada suami untuk memberi nafkah kepada istrinya. 17 3. Besarnya Nafkah Jika istri hidup serumah dengan suaminya, ia wajib menangung nafkahnya dan mengurus segala keperluan, seperti makan, pakaian, dan sebagainya. Istri tidak 17 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Petempuan Kontemporer, Bogor: Ghali Indonesia, 2010, h. 121. berhak menerima nafkahnya dalam jumlah tertentu selama suami melaksanakan kewajibannya itu. Jika suami bakhil, tidak memberikan nafkah yang secukupnya kepada istrinya atau itdak memberikan nafkah tanpa alas an-alasan dibenarkan syara, istri berhak menuntut jumlah nafkah tertentu baginya untuk keperluan makan, pakaian, dan tempat tinggal. Imam Mazhab berpendapat tentang besarnya nafkah yang harus diberi oleh suami kepada istrinya yaitu seperti berikut: a. Golongan Hanafi berpendapat bahwa agama tidak menentukan jumlah nafkah. Kalangan Hanafi menetapkan jumlah nafkah istri sesuai dengan kemampuan suami, baik kaya atau miskin, tanpa melihat keadaan istrinya. 18 b. Imam Malik berpendapat bahwa besarnya nafkah itu tidak ditentukan berdasarkan ketentuan syarak, tetapi berdasarkan keadaan masing-masing suami istri, dan ini akan berbeda-beda berdasarkan perbedaan tempat, waktu, dan keadaan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Hanifah. c. Menurut kalangan Imam Syafi’i, menetapkan jumlah nafkah tidak diukur dengan jumlah kebutuhan, tetapi diukur hanya berdasarkan hukum syarak. Walaupun kalangan Syafi’i sependapat dengan kalangan Hanafi, yaitu tentang memperhatikan kaya dan miskinnya keadaan si suami, suami yang kaya tetap diwajibkan memberi nafkah setiap hari sebanyak dua mud. 19 18 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi, 2008, h. 62 19 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi, 2008, h.62.