Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pengguna Ijazah Yang Dikeluarkan Oleh Perguruan Tinggi Yang Tidak Memenuhi Syarat

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PENGGUNA

IJAZAH YANG DIKELUARKAN OLEH PERGURUAN TINGGI

YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT

TESIS

Oleh :

DESI NATALIA GINTING

107005046/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PENGGUNA

IJAZAH YANG DIKELUARKAN OLEH PERGURUAN TINGGI

YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

DESI NATALIA GINTING

107005046/HK

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(3)

ABSTRAK

Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap pembuat karena perbuatannya yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan terlarang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kategori ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat dan bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu dilakukan dengan cara menganalisis permasalahan yang ada dalam penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum, serta mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian menggunakan teori pertanggungjawaban pidana, berdasarkan asas “tiada pidana tanpa kesalahan”, disini peneliti mencoba untuk melihat ada tidaknya unsur kesalahan pada pelaku sehingga patut dicela sesuai dengan dalam Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, mengatur tentang pemberian ijazah namun tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan ijazah dan bagaimana yang dikatakan dengan ijazah perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat. Pasal 61 ayat (2) yaitu ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan, setelah lulus ujian yang diselenggarakan satuan pendidikan yang terakreditasi. Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan berhak menyelenggarakan program pendidikan, dimana izin penyelenggaraan pendidikan diberikan oleh Menteri berdasarkan atas penilaian Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Pasal 21 ayat (1) yaitu perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan pendidikan tentu dapat memberikan gelar akademik sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya.

Pertanggungjawaban pidana sesuai dalam Pasal 68 ayat (2) yakni pengguna ijazah dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi syarat, adalah merupakan perbuatan tercela dan dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perbuatan pelaku merupakan suatu tindak pidana dan bersifat melawan hukum. Perbuatan pelaku dilihat berdasarkan atas ada tidaknya kesalahan.

Dari analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa kategori ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak mememenuhi syarat ialah bahwa ijazah dikleuarkan oleh perguruan tinggi karena belum memperoleh izin penyelenggaraan program pendidikan dan terakreditasi (karena sarana dan prasarananya belum memenuhi persayaratan) sesuai dengan ketentuan hukum, dan konsep pertanggungjawaban pidana melanggar Pasal 68 ayat (2) adalah dilihat dari ada tidaknya kesalahan. kesalahan merupakan unsur utama patut di celannya perbuatan, kesalahan terdiri atas kesengajaan dan kelalaian. Menentukan adanya unsur sengaja dan kelalaian tidak mudah, sehingga harus dibuktikan terlebih dahulu berdasarkan peristiwa konkrit (fakta-fakta yang ada) pada tindak pidana tersebut.

Kata kunci : Pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah,Perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat


(4)

ABSTRACT

Criminal Responsibility is to put a reproach on someone due to his/her violating what is prohibited or creating a prohibited condition.

The purpose of this study was to find out what category the certificate issued by the non-eligible university belongs to and how the concept of criminal responsibility of the user of the certificate issued by the non-eligible university is.

This normative legal study was conducted by analyzing the existing problems through the approach of legal principles referring to the legal norms found in regulation of legislation. This study employed the theory of criminal responsibility based on the principle of “no offence without mistakes” to look at whether or not the actor are with elements of mistakes that he/she deserves to be put a reproach on in accordance with Article 68 paragraph (2) of Law No.20/2003 on National Education System.

Law No.20/2003 on National Education System regulates the awarding of certificate but it does not define what is meant by certificate and how we can judge that a certificate is a certificate of non-eligible university. Article 61 paragraph (2) says that a certificate is awarded to the students as recognition after they passed the examination held by an accredited education unit. Eligible university has the right to hold education program whose permit issued by the Minister based on the evaluation given by the University National Accreditation Board. Article 21 paragraph (1) says that universities which meet the establishment requirements and entitled to run an education program are surely able to award an academic degree in accordance with the education programs run.

According to Article 68 paragraph (2), criminal responsibility is that the use of the certificate issued by a non-eligible education unit is a despicable act that the responsibility of the actor can be asked in accordance with existing provisions. What is done by the actor is a criminal act which is against the law but this act is also looked at based on whether or not there is a mistake in it.

The result of this study showed that the category of the certificate issued by a non-eligible university is that the certificate is issued by a university which has not yet had operational permit to run education program and is not yet accredited (because its facilities and infrastructures have not met the requirements) that in accordance with the provision of law and the concept of criminal responsibility, it is against Article 68 paragraph (2) seen from whether or not there is a mistake in it. Mistake is the main element that makes the actor’s action reprehensible. Mistake can be intentional and negligent. It is not easy to determine the element of intent and negligence because it must be first proven based on concrete events (existing facts) of the criminal act.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa dengan berkat, Rahmat dan Karunia-Nya penulis akhirnya dapat menyelesaikan laporan penelitian ini tepat pada waktunya.

Penulisan Tesis ini berjudul PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PENGGUNA IJAZAH YANG DIKELUARKAN OLEH PERGURUAN TINGGI YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT, Tesis ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam rangkaian studi pada Program Pasca Sarjana pada Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan Tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak-Bapak Komisi Pembimbing yang terhormat Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS., Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH., M.Hum., Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum., yang penuh dengan perhatian dan kesabaran telah meluangkan waktu Beliau untuk memberikan kesempatan bimbingan dan pengarahan kepada penulis, sehingga Tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.

Dan tidak lupa penulis sampaikan terimakasih kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM)., Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama mengikuti Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(6)

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis untuk mengikuti dan membina ilmu pengetahuan pada Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua dan Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, dan Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis untuk mengikuti dan menimba ilmu pengetahuan pada Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku sebagai Penguji dalam menyelesaikan tesis dan pengujian tesis di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ide dan pertanyaan-pertanyaan terhadap penulis

5. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS, selaku Penguji dalam menyelesaikan tesis serta pengujian tesis di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ide dan pertanyaan-pertanyaan terhadap penulis.

6. Para Bapak/Ibu Dosen yang telah memberikan khazanah ilmu pengetahuan dan membuka cakrawala berfikir penulis, yang sangat bermanfaat dalam menghadapi kehidupan dimasa yang akan datang.

7. Teristimewa kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta Sedia Ginting, SH., M.Hum. dan Arus Malem Bangun, senantiasa mengiringi penulis dengan doa dan kasih sayangnya serta memberi dorongan, semangat dan bantuan baik moril maupun


(7)

materil yang sungguh besar nilainya bagi penulis dalam menyelesaikan studi Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Teristimewa kepada Kakak dan Adik-adik penulis tercinta Siska Ulina Ginting, SH. Agus Tina Ginting, SP., dan Rezeki Petrus Ginting yang telah memberikan perhatian dalam menyelesaikan studi di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Sahabat-sahabat seperjuangan di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara stambuk 2010 (Reguler B) dan teman-teman saya terkasih yang selalu memberikan dukungan dalam menyelesaikan studi di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yakni Iriani O.T. Siallagan,SH., Lamtiur Imelda Nababan SH., Maria Simarmata, SH., Murni Sitorus, SH., Asrina Marina Tampubolon, SH., Chresbina Tarigan, Spd., Eva Tiurma Samosir, SH., Eka Simanungklit, SE., Meri Natalia, SE. Beserta Bapak Hoplen Sinaga, SH.MHum., di Kejaksaan Tinggi Sumatera Uatara dan Bapak Adjiet Latuconsina, SH di Kejaksaan Tinggi Maluku (Ambon) yang telah membantu penulis dalam memberikan masukan berupa materi pengetahuan seputar ilmu hukum.

10.Para Pegawai di lingkungan di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yakni Kak Fika, Kak Juli, Kak Fitri, Ibu Ganti, Ibu Niar, Bang Hendra, Bang Udin, yang tak bosan-bosannya memberikan nasehat kepada penulis untuk tetap semangat, terima kasih atas dukungan dan doanya.


(8)

Semoga Tesis ini dapat memberikan manfaat, bukan hanya kepada diri Penulis saja melainkan juga kepada kepada semua pihak, terutama bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya dibidang ilmu hukum.

Medan, 7 Juni 2012

Penulis

107005046 Desi Natalia Ginting


(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Desi Natalia Ginting

Tempat/tanggal lahir : Medan, 17 Desember 1987

Agama : Katolik

Status : Belum Kawin

Nama orang tua

Ayah : Sedia Ginting, SH., MHum.

Ibu : Arus Malem Bangun

Alamat : Jl. Berdikari No.95 Pasar I Padang Bulan Medan

e-mail : angeldena77@yahoo.com

Hp : 085211070477

Riwayat Pendidikan :

1. SD Swasta Maranatha Medan Lulus Tahun 1999 2. SLTP Negeri 10 Medan Lulus Tahun 2002 3. SMA Katolik Cahaya Medan Lulus Tahun 2005 4. Universitas HKBP Nommensen Medan Lulus Tahun 2009

Medan, 7 Juni 2012


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………...……….i

ABSTRACT………...…...ii

KATA PENGANTAR………...…....iii

RIWAYAT HIDUP………..…vii

DAFTAR ISI………viii

BAB I. PENDAHULUAN………...………..……….…...….1

A. Latar Belakang……….………....….…….…...1

B. Rumusan Masalah……….……….……...…..9

C. Tujuan Penelitia……….….…………9

D. Manfaat Penelitian……….………10

E. Keaslian Penelitian………11

F. Kerangka Teori Dan Konsepsional………...12

1. Kerangka Teori………...12

2. Kerangka Konsepsional………...21

G. Metode Penelitian……….…....25

1. Spesifikasi penelitian……….…….25

2. Sumber Bahan Hukum………...26

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum……….…26

4. Analisis Bahan Hukum………...27

BAB II. KATEGORI IJAZAH YANG DIKELUARKAN OLEH PERGURUAN TINGGI YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT………..…28


(11)

1. Ketentuan Tentang Perguruan Tinggi………...28

2. Syarat Dan Tata Cara Pendirian Perguruan Tinggi……….…..32

3. Akreditasi Perguruan Tinggi……….……38

B. Masalah Pemberian Ijazah……….…...46

1. Pengertian Ijazah……….……...46

2. Syarat Pemberian Ijazah……….……...48

2.1.Hak Dan Kewajiban Peserta Didik (Mahasiswa) Pada Perguruan Tinggi………49

2.2. Persyaratan Lulus Program Studi………...51

2.3.Predikata Kelulusan………...51

2.4.Pemberian Ijazah………52

3. Kerjasama Perguruan Tinggi Sebagai Penyelenggara Pendidikan..54

1. Tujuan Kerjasama Perguruan Tinggi Program Kembaran (Double Degree)……….55

2. Sasaran Kerjasama Program Kembaran (Double Degree)…….56

3. Bentuk Dan Manfaat Kerjasama………....56

4. Sistem Pendidikan Jarak Jauh……….59

C. Kategori Ijazah Yang Dikeluarkan Oleh Perguruan Tinggi Yang Tidak Memenuhi Syarat…...65

BAB. III. Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Pengguna Ijazah Perguruan Tinggi Yang Tidak Memenuhi Syarat………....68

A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pengguna Ijazah Yang Tidak Memenuhi Syarat………..68


(12)

B. Masalah Melawana Hukum Terhadap Tindak Pidana Menggunakan Ijazah Yang Dikeluarkan Oleh Perguruan Tinggi Yang Tidak

Memenuhi Syarat……….75

C. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Pengguna Ijazah Yang Tidak Memenuhi Syarat………...81

D. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pengguna Ijazah Yang Dikeluarkan Oleh Perguruan Tinggi Yang Tidak Memenuhi Syarat (Dalam Hal Turut Serta/Secara Bersama-Sama)…………107

BAB. IV. PENUTUP………...………..120

A. KESIMPULAN………...120

B. SARAN………...121


(13)

ABSTRAK

Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap pembuat karena perbuatannya yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan terlarang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kategori ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat dan bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu dilakukan dengan cara menganalisis permasalahan yang ada dalam penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum, serta mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian menggunakan teori pertanggungjawaban pidana, berdasarkan asas “tiada pidana tanpa kesalahan”, disini peneliti mencoba untuk melihat ada tidaknya unsur kesalahan pada pelaku sehingga patut dicela sesuai dengan dalam Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, mengatur tentang pemberian ijazah namun tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan ijazah dan bagaimana yang dikatakan dengan ijazah perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat. Pasal 61 ayat (2) yaitu ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan, setelah lulus ujian yang diselenggarakan satuan pendidikan yang terakreditasi. Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan berhak menyelenggarakan program pendidikan, dimana izin penyelenggaraan pendidikan diberikan oleh Menteri berdasarkan atas penilaian Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Pasal 21 ayat (1) yaitu perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan pendidikan tentu dapat memberikan gelar akademik sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya.

Pertanggungjawaban pidana sesuai dalam Pasal 68 ayat (2) yakni pengguna ijazah dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi syarat, adalah merupakan perbuatan tercela dan dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perbuatan pelaku merupakan suatu tindak pidana dan bersifat melawan hukum. Perbuatan pelaku dilihat berdasarkan atas ada tidaknya kesalahan.

Dari analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa kategori ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak mememenuhi syarat ialah bahwa ijazah dikleuarkan oleh perguruan tinggi karena belum memperoleh izin penyelenggaraan program pendidikan dan terakreditasi (karena sarana dan prasarananya belum memenuhi persayaratan) sesuai dengan ketentuan hukum, dan konsep pertanggungjawaban pidana melanggar Pasal 68 ayat (2) adalah dilihat dari ada tidaknya kesalahan. kesalahan merupakan unsur utama patut di celannya perbuatan, kesalahan terdiri atas kesengajaan dan kelalaian. Menentukan adanya unsur sengaja dan kelalaian tidak mudah, sehingga harus dibuktikan terlebih dahulu berdasarkan peristiwa konkrit (fakta-fakta yang ada) pada tindak pidana tersebut.

Kata kunci : Pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah,Perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat


(14)

ABSTRACT

Criminal Responsibility is to put a reproach on someone due to his/her violating what is prohibited or creating a prohibited condition.

The purpose of this study was to find out what category the certificate issued by the non-eligible university belongs to and how the concept of criminal responsibility of the user of the certificate issued by the non-eligible university is.

This normative legal study was conducted by analyzing the existing problems through the approach of legal principles referring to the legal norms found in regulation of legislation. This study employed the theory of criminal responsibility based on the principle of “no offence without mistakes” to look at whether or not the actor are with elements of mistakes that he/she deserves to be put a reproach on in accordance with Article 68 paragraph (2) of Law No.20/2003 on National Education System.

Law No.20/2003 on National Education System regulates the awarding of certificate but it does not define what is meant by certificate and how we can judge that a certificate is a certificate of non-eligible university. Article 61 paragraph (2) says that a certificate is awarded to the students as recognition after they passed the examination held by an accredited education unit. Eligible university has the right to hold education program whose permit issued by the Minister based on the evaluation given by the University National Accreditation Board. Article 21 paragraph (1) says that universities which meet the establishment requirements and entitled to run an education program are surely able to award an academic degree in accordance with the education programs run.

According to Article 68 paragraph (2), criminal responsibility is that the use of the certificate issued by a non-eligible education unit is a despicable act that the responsibility of the actor can be asked in accordance with existing provisions. What is done by the actor is a criminal act which is against the law but this act is also looked at based on whether or not there is a mistake in it.

The result of this study showed that the category of the certificate issued by a non-eligible university is that the certificate is issued by a university which has not yet had operational permit to run education program and is not yet accredited (because its facilities and infrastructures have not met the requirements) that in accordance with the provision of law and the concept of criminal responsibility, it is against Article 68 paragraph (2) seen from whether or not there is a mistake in it. Mistake is the main element that makes the actor’s action reprehensible. Mistake can be intentional and negligent. It is not easy to determine the element of intent and negligence because it must be first proven based on concrete events (existing facts) of the criminal act.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kunci pembangunan bagi masa mendatang bangsa Indonesia ialah pendidikan. Lewat perolehan pendidikan diharapkan setiap individu dapat meningkatkan kualitas keberadaannya, dan mampu berpartisipasi dalam gerak pembangunan. Pendidikan merupakan alat untuk memperbaiki keadaan sekarang, juga juga untuk mempersiapkan dunia esok yang lebih baik serta lebih sejahtera. Disamping itu pendidikan merupakan masalah yang amat kompleks dan teramat penting karena menyangkut macam-macam sektor kehidupan, bagi pemerintah dan rakyat.1

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang, hal ini tercantum dalam Pasal 31 menyebutkan bahwa;

“Ayat (1) tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, dan ayat (2) menegaskan bahwa, Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.2

1

Kartini Kartono, Wawasan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional,(Bandung : Mandar Maju, 1990), hal.v

2

Pasal 31 ayat (1) dan (2), Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya, (Bandung:Fokus media, 2004), hal.33.


(16)

Pendidikan menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.3 Pendidikan bertugas untuk mengembangkan kesadaran atas tanggung jawab setiap warga negara terhadap kelanjutan hidupnya, bukan saja terhadap lingkungan masyarakatnya dan negara tetapi juga terhadap manusia.4 Pendidikan kini antara lain juga berfungsi untuk mempersiapkan peserta didik menjadi manusia yang memiliki perilaku, nilai, dan norma sesuai sistem yang berlaku, sehingga mewujudkan totalitas manusia yang utuh dan mandiri sesuai tata cara hidup bangsa.5

Ketentuan lain mengenai Sistem Pendidikan Nasional diatur dalam konsep peraturan yakni Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan, Perubahan Badan Hukum Milik Negara Atau Perguruan Tinggi, Dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Tinggi Sebagai Badan Hukum pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan

3

Pasal 1, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional,(Jakarta: Sinar Grafika, 2003)

4

H.A.R.Tilaar,Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan Masa Depan, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya,1992), hal.4

5

Conny R.Semiawan, Pendidikan Tinggi, Peningkatan Kemampuan Manusia Sepanjang Hayat Seoptimal Mungkin, (Direktorat Jendral Perguruan Tinggi, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan :1999), hal.36.


(17)

Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi (PT). Kepmendiknas RI Nomor 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi (PPPT). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2005 Tentang Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (selanjutnya disingkat BAN-PT). Kepmendiknas RI. No.178/U/2001 Tentang Gelar dan lulusan Perguruan Tinggi.

Perguruan tinggi adalah lembaga pendidikan formal tertinggi yang melaksanakan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.6 Perguruan tinggi merupakan satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, selanjutnya perguruan tinggi dibagi menjadi beberapa jenis yaitu akademi, politeknik, pendidikan tinggi, institut dan universitas. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi mengatur bahwa penyelenggara perguruan tinggi yang dilakukan oleh masyarakat haruslah berbentuk yayasan atau badan yang bersifat sosial. Ketentuan tersebut tampaknya dimaksudkan untuk memberikan status badan hukum pada penyelenggara pendidikan tinggi7

Seseorang yang ingin memperoleh sertifikat berupa ijazah haruslah melalui suatu proses yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Kenyataannya pada masa sekarang ini, masih banyak pihak-pihak yang ingin memperoleh ijazah melalui tanpa proses yang sebenarnya, sebagaimana yang ditetapkan oleh ketentuan hukum. Faktor inilah yang menyebabkan semakin maraknya pengguna ijazah yang tidak memenuhi sebagai satuan pendidikan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan undang-undang.

6

Kumpulan Makalah Lokakarya Kelembagaan Dan Pengelolaan Perguruan Tinggi,(Bogor:1994), hal.3

7

Eko Indrajit dan Djokopranoto, Manajemen Perguruan Tinggi Modern, (Yogyakarta:Andi,2005),hal.6.


(18)

syarat. Ijazah seharusnya diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi8

Pelanggaran yang terjadi di dunia pendidikan sangat heterogen sifatnya dan dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, secara fulgar maupun terselubung. Pelanggaran yang terjadi di dunia pendidikan dilakukan secara kelembagaan maupun secara personal yang semuanya mencoreng citra dunia pendidikan. Misalnya, seperti dalam kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan No.629/Pid.B/2007/PN.MDN tanggal 27 Juni 2007, dalam perkara ini menyatakan bahwa terdakwa (HM) telah melakukan tindak pidana menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, yang diperolehnya dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan berupa gelar kehormatan DR (H.C) dan gelar akademis (S.Sos).

, tetapi bisa didapatkan dan digunakan oleh para pihak yang memiliki tujuan dan kepentingan tertentu.

Permasalahan di negara Indonesia sebetulnya bukanlah dalam hal sumber daya manusia (SDM), tetapi sesungguhnya dari kualitas sumber daya manusianya. Terdapatnya ketidak mampuan bersaing, bertindak dengan cepat, berpikir dengan logis dan untuk kepentingan rakyat, mewarnai hampir sebagian besar pemimpin dan aparat negara ini. Ironis, dimana pemerintah sedang gencar-gencarnya berupaya meningkatkan kualitas SDM Indonesia, melalui berbagai program pembangunan, salah satunya melalui program pendidikan mengalami hambatan. Terhambatnya

8


(19)

segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah tersebut akibat adanya pihak-pihak yang bersedia “memudahkan” bagi orang yang ingin memperoleh ijazah tanpa perlu mengikuti jenjang pendidikan yang legal. Tindakan ini jika dibiarkan terus-menerus maka nantinya jabatan-jabatan penting pemerintahan dapat diisi oleh orang-orang yang tidak berkompeten karena ijazahnya tersebut tidak memenuhi syarat atau ijazah palsu.9

Tindak pidana pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat merupakan kejahatan terhadap sistem pendidikan nasional, serta dapat dimintai pertanggungjwaban pidana. Tindak pidana merupakan perbuatan seseorang yang dilarang dan diancam pidana. Perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

Aturan hukum mengenai tindak pidana mempunyai struktur yang berbeda dengan aturan mengenai bagaimana reaksi terhadap mereka yang melanggarnya tersebut. Artinya penegakan terhadap kewajiban-kewajiban tersebut memerlukan suatu program aplikasi yang dinamakan sistem pertanggungjawaban pidana. Aturan mengenai pertanggungjawaban pidana bukan merupakan standar perilaku yang wajib ditaati masyarakat, tetapi regulasi mengenai bagaimana memperlakukan mereka yang melanggar kewajiban tersebut. Kesalahan dalam hal ini merupakan faktor penentu bagi pertanggungjawaban pidana. Terdapat tidaknya kesalahan terutama penting bagi

9

Karya ilmiah Skripsi : Tindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Dalam Undang-Undang Sisdiknas, (Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara), hal.4.


(20)

penegak hukum untuk menentukan apakah seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan dan karenanya patut dipidana.10

Melihat kasus dalam dunia pendidikan ini menunjukan bahwa pada hakekatnya bidang pendidikan sangat perlu adanya perlindungan hukum. Peraturan yang berkaitan dengan kejahatan pendidikan perlu dirumuskan secara terinci dan sejelas-jelasnya, sehingga dapat dijadikan sarana dalam menyelesaikan persoalan kejahatan pendidikan secara efektif dan efisien.

Kedaulatan hukum jelas-jelas berkaitan erat dengan keadilan. Kita dapat melihatnya dengan melihat gagasan tentang sistem hukum dan hubungan dekatnya dengan prinsip definitif keadilan sebagai keteraturan. Sistem hukum adalah sebuah urutan aturan publik yang memaksa yang ditujukan pada orang-orang rasional. Tujuannya mengatur perilaku mereka dan memberikan kerangka kerja bagi kerja sama sosial, dan ketika aturan-aturan ini adil mereka menegakkan sebuah dasar bagi harapan-harapan yang sah. Mereka merupakan landasan tempat orang atau satu sama lain bersandar dan berhak berkeberatan ketika harapan-harapan mereka tidak terpenuhi.11

Memandang bahwa tidak terdapatnya batasan yuridis, dalam praktik selalu diartikan, bahwa “tindak pidana adalah suatu perbuatan yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang”. Landasan ini didasarkan pada perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 KUHP yang mengandung asas “nullum delictum sine lege” dan sekaligus mengandung asas “sifat melawan hukum yang formal”. Ketentuan secara teoritis dan

10

Chairul huda, Dari Tiada Pidana Tanp kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana, 2006), hal.19-20

11


(21)

menurut yurisprudensi serta menurut rasa keadilan, diakui adanya asas “tiada tindak pidana dan pemidanaan tanpa sifat melawan hukum (secara materil)”.12

Upaya dalam mewujudkan ketertiban, keadilan dan kepastian hukum, sebagaimana dikemukakan diatas, maka pengaturan pemidanaan berupa tindak pidana menggunakan ijazah yang tidak memenuhi syarat mutlak perlu diformulasikan dalam peraturan hukum pidana positif. Pembahasan mengenai pemidanaan terhadap seseorang juga sering menjadi perdebatan yang panjang, karena ketika menjatuhkan pidana seseorang harus menjalani hukuman tertentu.13

Peraturan pemidanaan tentang tindak pidana menggunakan ijazah yang dikeluarkan oleh satuan pendidikan yang tidak memenuhi syarat telah diatur dalam hukum pidana positif. Di Indonesia hal ini telah diatur dengan baik didalam KUHP maupun dalam Undang-undang di luar KUHP. Tindak pidana ini di dalam KUHP digolongkan kedalam kejahatan pemalsuan surat (Buku II, Bab XII KUHP), sedangkan di luar KUHP ketentuan mengenai tindak pidana ini diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Berbicara mengenai pertanggungjawaban terhadap pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat telah diatur dalam Pasal 68 ayat (2) UU Sisdiknas yang menyebutkan bahwa;

“Setiap orang yang menggunakan ijazah, serfitikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah).”

12

18.35 Wib.

13


(22)

Meninjau dari ketentuan pidana Undang-Undang Sisdiknas, subjek tindak pidana yang diatur dalam ketentuan tersebut adalah tidak hanya perseorangan (sebagai pengguna) ijazah yang tidak memenuhi syarat tersebut, tetapi juga perseorangan, organisasi ataupun penyelenggara pendidikan sesuai (Pasal 67 ayat (1) UU Sisdiknas, dengan kata lain korporasi juga dapat dibebani pertanggungjawaban pidana.

Berbicara tentang bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi tersebut dan sanksi apa yang dijatuhkan padanya sama sekali tidak diatur secara tegas dalam ketentuan pidana yang tercantum dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut. Ketentuan dalam hukum pidana menyatakan bahwa korporasi diterima sebagai subjek tindak pidana meskipun masih terbatas pada beberapa peraturan perundang-undangan di luar KUHP. KUHP sebagai peraturan umum hukum pidana belum mengakui korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan yang harus bertanggung jawab. 14

Ketentuan ini sesuai dengan pasal 59 KUHP yang berbunyi : dalam hal menentukan hukuman karena pelanggaran terhadap pengurus, anggota salah satu pengurus atau komisaris, maka hukuman tidak dijatuhkan atas pengurus atau komisaris, jika nyata bahwa pelanggaran itu telah terjadi diluar tanggungannya.

15

14

H.Setiyono, Kejahatan Korporasi : Analisis Viktimonologis Dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang :Averroes Press Pustaka Pelajar,2002), hal.23.

Berarti dalam hal ini KUHP masih mengikuti sistem pertanggungjawaban yang pertama, yaitu pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus itu yang harus

15


(23)

bertanggungjawab. Berarti pengembangan pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana saat ini, masih tergantung pada perkembangan peraturan-peraturan hukum pidana di luar KUHP.16

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut diatas maka penulis tertarik untuk mengangkat judul tentang pertanggungjawaban pidana terhadap pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian pada bagian latar belakang tersebut diatas, maka permasalahan yang menjadi pokok pembahasan pada bab selanjutnya yaitu:

1. Bagaimana kategori ijazah yang dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi yang tidak memenuhi syarat?

2. Bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan yang hendak di peroleh dari penelitian yaitu : 1. Mengetahui kategori ijazah yang dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi yang tidak

memenuhi syarat.

2. Mengetahui konsep pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat.

16


(24)

D. Manfaat Penelitian

Selain tujuan yang dikemukakan diatas penulisan karya ilmiah ini juga bermanfaat antara lain untuk :

1. Manfaat Teoritis

a. Menambah ilmu pengetahuan dan melengkapi perbendaharaan karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran mengenai kategori ijazah yang dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi yang tidak memenuhi syarat dan konsep pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat.

b. Sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lanjutan. 2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat digunakan :

a. Memberi kontribusi pemikiran kepada masyarakat tentang kategori ijazah yang dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi yang tidak memenuhi syarat dan konsep pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat.

b. Memberikan masukan kepada aparat penegak hukum, dalam hal menerapkan efektifitas hukum terhadap kategori ijazah yang dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi yang tidak memenuhi syarat dan konsep pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat.


(25)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penulis di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang :

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pengguna Ijazah Yang Dikeluarkan Oleh Perguruan Tinggi Yang Tidak Memenuhi Syarat.

Belum pernah dilakukan, namun ada beberapa penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa terdahulu yang membahas tentang ijazah palsu, diantaranya yaitu :

1. Tarima Saragih, Aspek Hukum Pidana Dalam Kasus Penggunaan Ijazah Palsu Pada Pencalonan Anggota Legislatif.

2.

(Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN)17

Penelitian ini berbeda dengan kedua penelitian tersebut yang juga membahas kejahatan tentang ijazah. Penelitian ini berfokus kepada pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat. Topik dari pada penelitian ini sengaja dipilih dan ditulis, karena topik dari pada penelitian ini juga merupakan lanjutan dari tulisan penulis yang sebelumnya. Penulis ingin memperluas kajian dari pada sistem pertanggungjawaban pidana penyalahgunaan ijazah, dengan demikian keaslian penulisan penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

17

pukul,22.30.wib.


(26)

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Dasar dari pada penjatuhan pidana terhadap suatu tindak pidana, harus dilandasai oleh suatu teori pendukung, dimana mengenai teori-teori ini (dalam bentuk literatur hukum disebut dengan teori hukum pidana/strafrech-theorien) yang berhubungan langsung dengan pengertian hukum pidana subjektif tersebut.18

Hukum pidana tidak akan terlepas dari masalah pokok yang menjadi titik perhatiannya, masalah pokok dalam hukum pidana tersebut meliputi masalah tindak pidana (perbuatan jahat), kesalahan dan pidana serta korban.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pertanggungjawaban pidana. Berbicara tentang pertanggung jawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat, tidak dapat dilepaskan dengan tindak pidana.

19

Ketentuan dalam hukum pidana menyatakan bahwa manusia itu terkait dengan suatu cara yang tidak hanya mendalam tetapi juga banyak segi.20

Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yang didefinisikan sebagai ”perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sampai yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan

Perbuatan jahat dalam arti hukum pidana adalah perbuatan jahat sebagaimana terwujud in abstracto dalam peraturan-peraturan pidana.

18

Purnadi Purbacaraka dan .Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum, (Jakarta: CV.Rajawali, 1987), hal.35.

19

Iswanto, dalam A.Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, (Malang : UMM Press, 2004), hal.32

20

Roeslan Saleh, Dari Lembaran kepustakaan Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 1988), hal.114.


(27)

tersebut.21 Beliau memisahkan antara pengertian ”perbuatan pidana” (criminal act) dan ”pertanggungjawaban pidana” sebab ”perbuatan pidana” disini tidak dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggungjawaban bagi orang yang melakukan perbuatan pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar.22

Simons mengartikan bahwa tindak pidana (strafbaar feit) adalah perbuatan (handeling) kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.23

Memperhatikan rumusan ”strafbaar feit” diatas jelas, bahwa disamping adanya perbuatan pidana (feit), juga harus ada sifat melawan hukum, kesalahan, dan kemampuan bertanggung jawab. Osman Simanjuntak, menyatakan bahwa agar tidak menimbulkan kesalah pahaman, maka sebaiknya istilah ”Strafbaar feit” dapat diterjemahkan istilah ”Perbuatan yang dapat dihukum”, dan untuk perbuatan pidana dipergunakan istilah ”Feit ”. Melihat realita yang ada, tidak semua feit (perbuatan pidana) menjadi ”strafbaar feit”, namun untuk adanya ”strafbaar feit”harus ada terlebih dahulu perbuatan pidana (feit), dan untuk adanya feit (perbuatan pidana), harus ada terlebih dahulu handeling (perbuatan), semua kejahatan ataupun

Kedua pendapat diatas mengenai pengertian tindak pidana memang memiliki pemikiran tersendiri namun sama-sama mengarah kepada satu hal yaitu ”perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana”.

21

Waluyadi, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : Djambatan,2003), hal.3

22

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,2008), hal 62.

23


(28)

pelanggaran harus didahului suatu perbuatan (handeling) : yaitu adanya kejadian yang ditimbulkan gerakan phisik (gedraging).24

Perbuatan (handeling), bilamana melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku maka perbuatan itu, menjadi perbuatan pidana (feit). Perbuatan pidana jika terbukti ada sifat melawan hukum ; ada kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) ada juga kemampuan bertanggungjawab, maka dari feit, meningkatkan menjadi perbuatan yang dapat di hukum (Strafbaar feit) dengan demikian dalam setiap terjadinya suatu kejadian ada 3 (tiga) komponen yang harus dikuasai yaitu : 1. Perbuatan pidana (feit), 2. Sifat melawan hukum (wederrechtlijk), 3. Pertanggungjawaban pidana.

25

Perbuatan pidana dalam hal menggunakan ijazah yang tidak sah merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, perbuatan yang dilarang merupakan (perbuatan manusia yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya sementara itu ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.26

24

Osman Simanjuntak, Teknik Perumusan Perbuatan Pidana Dan Azas-Azas Umum, (Jakarta,1997), hal.131.

Perbuatan pidana (perbuatan yang dilarang) dalam pelaku pengguna ijazah tidak sah jelas tercantum dalam ketentuan Pasal 68 ayat (2) yang menyatakan : setiap orang yang menggunakan ijazah, serfitikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan, adalah perbutaan yang dilarang oleh undang-undang dan tercela dimasyarakat.

25

Ibid. 26

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada,2008). hal.71.


(29)

Perbuatan pidana (feit) didalamnya terdapat perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana. Langemeyer menyatakan “untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang tidak dapat dipandang keliru, itu tidak masuk akal”. Melawan hukum disini memiliki dua pembagian yaitu melawan hukum formil dan melawan hukum materil. Melawan hukum formil adalah perbuatan tersebut telah sesuai dengan ketentuan undang-undang, letak melawan hukumnya perbuatan sudah ternyata, dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk pengecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula. Melawan hukum materil adalah hukum bukanlah undang-undang saja, disamping undang-undang (hukum tertulis) ada pula hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan yang berlaku dalam masyarakat.27

Sifat melawan hukum dalam tindak pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat merupakan perbuatan pidana (feit). Perbuatan telah sesuai dengan ketentuan undang-undang (hukum positif) berdasarkan Undang-Undang Sisdiknas. Perbuatan disini telah sesuai sesuai dengan sifat melawan hukum formil. Didukung juga dengan melawan hukum materil karena perbuatan dari pada pelaku tidak sesuai dengan apa yang dianggap baik oleh kenyataan-kenyataan yang ada di dalam kehidupan masyarakat (perbuatan dianggap tercela). Terpenuhinya komponen perbuatan pidana dan dengan adanya sifat melawan hukum, maka perbuatan tersebut harus dapat di pertanggunggjawabkan.

27


(30)

Asas pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana yang secara tegas menyatakan ; “Tiada dipidana tanpa ada kesalahan”, atau yang dalam bahasa Belanda berbunyi ; “geen straf zonder schuld”. Asas tersebut dalam bahasa Latin dirumuskan dengan “Actus non tacit reum misi mens sit rea”. Berdasarkan pada asas tersebut diatas dapat disimpulkan suatu pendapat bahwa pertanggungjawaban pidana sangat erat berkaitan dengan kesalahan serta untuk menentukan apakah seseorang pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan.28

Simons “kesalahan adalah adanya keadaan physis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan ada hubungannya antara keadaan tersebut dengan perbuatan pidana yang dilakukan sedimikian rupa, hingga orang ini dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi”. Pertanggungjawaban pidana terdiri atas 3 (tiga) hal yaitu:

29

1. Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvaatbaarheid) dari pelaku atau keadaan physis dari pelaku yaitu Keadaan batin yang normal ditentukan oleh faktor akal pembuat. Akalnya dapat membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan perbuatan yang tidak boleh dilakukan, menyebabkan yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, ketika melakukan suatu tindak pidana.30

2. Kesalahan adalah hubungan sikap batin (physis) pembuat (pelaku) dengan perbuatannya, yaitu adanya faktor :

28

A.Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, (Malang : UMM Press, 2004), hal.74.

29

Osman Simanjuntak, Op.Cit.,.,hal.170.

30


(31)

a. Kesengajaan, adalah kehendak yang ditujukan untuk melakukan perbuatan, artinya untuk mewujudkan perbuatan itu memang telah dikehendaki sebelum orang itu sungguh-sungguh berbuat. Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada tiga bentuk kesengajaan yaitu :

1. Kesengajaaan sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk) artinya dengan menghendaki (willens) untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif), menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana pasif) dan atau juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana materil).

2. Kesengajaan sebagai kemungkinan ialah kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil risiko untuk melakukan perbuatan itu.

3. Kesengajaan sebagai kepastian adalah kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal orang pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya suatu perbuatan tertentu. Perbuatan tertentu yang disadarinya pasti menimbulkan akibat yang tidak dituju itu, dilakukannya juga maka disini terdapat kesengajaan sebagai kepastian.31

b. Kealpaan (kelalaian),sering juga disebut tidak sengaja merupakan lawan dari kesengajaan (opzettelijk atau dolus), dalam rumusan tindak pidana sering disebut dengan schuld dalam arti sempit. Pebedaannya adalah dolus 31


(32)

merupakan kesalahan yang berat, sedangkan culpa merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan. Dasar pembedanya dapat dilihat sebagai berikut: Dolus

Culpa : perbuatan dilakukan dengan kealpaan, perbuatan itu disebut “colpeuse delicten”, ancaman pidana lebih ringan dari pada delik sengaja/dolus.

: perbuatan dilakukan dengan sengaja, perbuatan itu disebut “doleusa delicten”, diancam dengan pidana lebih berat dari pada delik culpa.

3. Ada tidaknya alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana dari pelaku yang dapat dibedakan menjadi :

a. Alasan pembenar ; yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.

b. Alasan pemaaf ; yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.

c. Alasan penghapus penuntutan ; disini sebenarnya bukan ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan. Pertimbangan


(33)

disini ialah kepentingan umum, kalau perkaranya tidak dituntut tentunya yang melakukan perbuatan tidak dapat dijatuhi pidana.32

Konsepsi dasar dalam pertanggungjawaban hukum adalah konsepsi mengenai satu perbuatan, mengenai satu manifestasi kehendak didalam dunia luar.

33

Tindak pidana menggunakan ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat jelas diatur dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Berdasarkan Pasal 61 UU Sisdiknas, bahwa ijazah adalah salah satu bentuk serfitikat selain sertifikat kompetensi yang diberikan kepada peserta didik

Jelas bahwa untuk dapat dimintainya suatu pertanggungjawaban pidana dari pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat, harus terlebih dahulu terdapat kesalahan sehingga dengan adanya kesalahan tersebut maka dapat di mintai pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan undang-undang (Undang-Undang Sisdiknas) berdasarkan unsur-unsur pertanggungjawaban pidana.

34

32

Moeljatno, Op.Cit.,hal.148.

sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi. Pasal 53 UU Sisdiknas, disebutkan bahwa penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Kemudian dalam Bab XVII Pasal 62 UU Sisdiknas disebutkan mengenai syarat-syarat bagi setiap satuan pendidikan formal dan non formal untuk memperoleh

33

Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Penerjemah: DRS.Mohamad Radjab, (Jakarta:Bhratara Karya Aksara, 1982), hal.87.

34

Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu (Pasal 1 angka 4 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas)


(34)

izin pendirian satuan pendidikan sehingga berhak menyelenggarakan program pendidikan dan memberikan ijazah, gelar akademik, profesi atau vokasi yaitu antara lain meliputi; isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi serta manajemen dan proses pendidikan.35

Formulasi pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat, telah diatur dalam Pasal 68 ayat (2) UU Sisdiknas. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat dimintai kepada para pembuat (pelaku pidana) apabila unsur-unsur tindak pidana telah terpenuhi. Sikap mampu bertanggung jawab dan untuk dapat dimintainya pertanggungjawaban pidana harus terdapat suatu kesalahan (perbuatan yang dilarang).

Perbuatan pidana secara otomatis tidak hanya akan dapat dilakukan oleh seorang pelaku saja khususnya pada tindak pidana menggunakan ijazah yang tidak memenuhi syarat. Perbuatan pidana dapat dilakukan oleh beberapa orang dengan bagian dari tiap-tiap orang dalam melakukan perbuatan itu sifatnya berlainan. Perbuatan ini sering dikatakan sebagai penyertaan atau deelneming36

35

Karya ilmiah (Skripsi : Tindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Dalam Undang-Undang Sisdiknas), Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, hal.21.

dan diatur dalam Pasal 55 dan 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penyertaan terdiri atas; orang yang melakukan (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doen pleger), orang yang turut melakukan (medepleger), orang yang dengan pemberian,

36

Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana : Dasar Aturan Hukum Pidana Kodifikasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal.141.


(35)

salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan dan sebagainya, dengan sengaja membujuk melakukan perbuatan itu (uitlokker).

Tindak pidana menggunakan ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat merupakan salah satu tindak pidana yang dapat dikaitkan dengan unsur penyertaan (turut serta), karena seperti diketahui bahwa tidak mungkin seseorang dapat menggunakan ijazah yang tidak memenuhi syarat apabila tidak ada yang memproses serta memberikan kepada pengguna ijazah yang tidak memenuhi syarat tersebut.

2. Kerangka Konsepsional

Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah.37 Konsep yang di pergunakan dalam penelitian adalah konsep yang terkait langsung dengan variable penelitian dan untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang digunakan, oleh karena itu penulis merumuskan konsep dengan mempergunakan model defenisi operasional.38

1. Tindak pidana ialah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.39

37

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal.132.

38

Fotokopi : Pedoman Penulisan Tesis Program Studi Ilmu Hukum SPS USU, (Medan: Universitas Sumatera Utara), hal.5.

39

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,(Jakarta: Kencana,2008), hal.78.


(36)

2. Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana pada hakekatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu. Penolakan masyarakat terhadap suatu perbuatan diwujudkan dalam bentuk larangan (ancaman dengan pidana) atas perbuatan tersebut. Gambaran ini merupakan suatu sikap, bahwa masyarakat melalui Negara telah mencela perbuatan tersebut. Celaan tersebut ditujukan terhadap pembuat karena tindak pidana yang dilakukannya. “We blame people for what they have done; we blame them for their conduct”. Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap pembuat karena perbuatannya yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan terlarang.40

3. Ijazah adalah salah satu bentuk serfitikat selain serfitikat kompetensi yang diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.41

4. Perguruan tinggi merupakan satuan pendidikan yang menjadi terminal terakhir bagi seseorang yang berpeluang belajar setinggi-tingginya melalui jalur pendidikan sekolah,42

40

Chairul Huda, Op.Cit.,hal.70-71.

selain itu Perguruan tinggi adalah lembaga pendidikan

41

Pasal 61, UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas

42

Hadari Nawawi dan H.Mimi Martini, Kebijakan Pendidikan Di Indonesia Ditinjau dari Sudut Hukum,(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1994), hal.365.


(37)

formal tertinggi yang melaksanakan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.43

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi, mengatur bahwa penyelenggara perguruan tinggi yang dilakukan oleh masyarakat haruslah berbentuk yayasan atau badan yang bersifat sosial. Ketentuan tersebut tampaknya dimaksudkan untuk memberikan status badan hukum pada penyelenggara pendidikan tinggi

44

Peserta didik perguruan tinggi disebut

sebagai satuan pendidikan yang memenuhi persayaratan sesuai dengan ketentuan undang-undang.

perguruan tinggi disebut menjadi dua:

a. Perguruan tinggi negeri adalah perguruan tinggi yang pengelolaan dan regulasinya dilakukan oleh negara.

b. Perguruan tinggi swasta adalah perguruan tinggi yang pengelolaan dan regulasinya dilakukan oleh swasta.45

5. Akreditasi adalah pengakuan terhadap perguruan tinggi atau program studi yang menunjukkan bahwa perguruan tinggi atau program studi tersebut dalam melaksanakan program pendidikan dan mutu lulusan yang dihasilkannya, telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Penetapan akreditasi oleh BAN-PT dilakukan dengan menilai

43

Kumpulan Makalah Lokakarya Kelembagaan Dan Pengelolaan Perguruan Tinggi, (Bogor:1994), hal.3

44

Eko Indrajit dan Djokopranoto, Manajemen Perguruan Tinggi Modern, (Yogyakarta:Andi,2005),hal.6.

45

22.30 Wib.


(38)

proses dan kinerja serta keterkaitan antara tujuan, masukan, proses dan keluaran suatu perguruan tinggi atau program studi, yang merupakan tanggung jawab perguruan tinggi atau program studi masing-masing.46 Akreditasi dilakuan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.47

6. Kategori adalah bagian dari sistem klasifikasi misalnya seperti pengolongan, jenis, yang dibedakan atas bentuk, fungsi dan makna.48

7. Konsep adalah sesuatu yang diterima dalam pikiran atau suatu ide yang umum dan abstrak. Konsep juga merupakan penyajian-penyajian internal dari sekelompok stimulus-stimulus, konsep-konsep itu tidak dapat diamati, konsep harus diamati dari perilaku.49 Soedjadi mendefinisikan konsep adalah ide abstrak yang digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangakaian kata.50

46

Lihat;http://www.google.co.idakreditasi+adalah&pf=luk.staff.ugm.ac.id/.../

Buku_1Naskah_Akademik_Akreditasi_PS.doc, Diakses pada tanggal 12 Januari 2012, Pikul 22 32 Wib.

47

Pasal 61, UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, hal.38.

48

22.12 wib.

49

Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar, (Jakarta; Erlanga, 1989), hal 79.

50

pada tanggal 30 Mei 2012, Pukul 22.10 wib.


(39)

G. METODE PENELITIAN 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian dalam penulisan tesis ini adalah penelitian hukum normatif. penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan cara menganalisis permasalahan yang ada dalam penelitian ini melalui pendekatan terhadap asas-asas51 hukum serta mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur dan berkaitan dengan penulisan tesis.

2. Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum dalam penelitian ini adalah menggunakan bahan hukum sekunder, yaitu data atau informasi yang diperoleh dari hasil penelaahan tulisan-tulisan serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, dimana sebagai bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum serta jurnal-jurnal hukum lainnya,52

1. Bahan hukum primer antara lain :

yang sesuai dengan penelitian yang akan dibahas, yang meliputi :

a. Norma atau kaedah dasar b. Peraturan dasar

c. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana menggunakan ijazah yang tidak memenuhi syarat berdasarkan ketentuan

51

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2001), hal.14.

52


(40)

Undang-Undang yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikana Nasional, KUHP, dan KUHAP.

2. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, sperti berbagai tulisan , jurnal dan buku-buku yang dianggap berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

3. Baham hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,53 seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnar ilmiah, serta bahan-bahan diluar bidang hukum yang sesuai dan dapat di pergunakan untuk melengkapi data yang di perlukan dalam penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini menggunakan teknik penelitian kepustakaan (library research), dimana dalam penggunaan teknik ini penulis tidak lain hanya melakukan pengumpulan data melalui studi kepustakaan yakni buku-buku, putusan pengadilan, jurnal, dokumen-dokumen, serta sumber teoritis lainnya sebagai dasar penyelesaian pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini. Keseluruhan dari pada data tersebut kemudian digunakan untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif, pendapat-pendapat atau tuliskan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi.

53


(41)

4. Analisis Bahan Hukum

Bahan yang telah diperoleh selanjutnya akan disusun dan dianalisis secara kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.54

Bahan yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis bahan, selanjutnya semua bahan diseleksi dan diolah kemudian disajikan secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas pokok permasalahan dalam penelitian tesis ini.

54


(42)

BAB II

KATEGORI IJAZAH YANG DIKELUARKAN OLEH PERGURUAN TINGGI YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT

A. Perguruan Tinggi Yang Memenuhi Syarat 1. Ketentuan Tentang Perguruan Tinggi

Perguruan tinggi sebagai lembaga sosial yang secara tradisional bertugas mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan suatu lembaga yang paling merasakan tuntutan sosial untuk perubahan global tersebut. Dunia usaha, pemerintah dan masyarakat yang memerlukan ilmu pengetahuan baru yang berbasis teknologi informasi, bioteknologi serta ilmu-ilmu multidisiplin lainnya akan menuntut perguruan tinggi untuk memenuhi kebutuhan mereka akan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih tinggi.55

Globalisasi ekonomi yang sedang berlangsung dengan cepat pada beberapa dekade ke depan. Globalisasi di satu pihak akan memberikan kesempatan yang amat besar kepada perguruan tinggi untuk memberikan pelayanan ilmu pengetahuan dan teknologi baik kepada pemerintah, masyakarat maupun kepada dunia usaha. Perguruan tinggi jika terlalu terjerumus pada kegiatan tersebut, mengakibatkan peranan yang selama ini hampir monopolisitik dalam pengembangan ilmu pasti, akan mengalami perubahan drastis. Penting, untuk selalu diperhatikan adalah peranan perguruan tinggi Indonesia sebagai lembaga menghasilkan calon pemimpin bangsa

15.22.wib.


(43)

yang bermoral dan berbudaya demokratis, kalau perguruan tinggi terlalu terjebak dalam arus globalisasi yang merupakan suatu proses yang nir-demokratis, secara pasti perguruan tinggi akan tidak mampu melaksanakan salah satu tugas utamanya tersebut.56

Ketentuan mengenai perguruan tinggi telah diatur dalam peraturan tertulis seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas pada (Pasal 19 sampai Pasal 25), Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang BHP. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan, Perubahan Badan Hukum Milik Negara Atau Perguruan Tinggi, Dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Tinggi Sebagai Badan Hukum pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi. Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Kepmendiknas RI Nomor 234/U/2000 Tentang PPPT dan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas R.I Nomor: 108/Dikti/Kep/2001Tentang Pedoman Pembukaan Program Studi Dan/Atau Jurusan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2005 Tentang BAN-PT. Kepmendiknas RI. No.178/U/2001 Tentang Gelar dan lulusan Perguruan Tinggi.

56 Ibid.


(44)

Ketentuan tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan perguruan tinggi telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010, dalam Pasal 1 ayat 17 berbunyi;

“Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal setelah pendidikan menengah yang dapat berupa program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi”.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (17) tersebut bahwa yang dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi dalam berbagai program yang telah ditentukan adalah perguruan tinggi. Pengelolaan satuan pendidikan perguruan tingi bertujuan untuk memajukan pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan UUD RI 1945, serta untuk dapat terwujudnya tujuan tersebut suatu perguruan tinggi ssbagai penyelenggara pendidikan haruslah dapat memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat. Penjaminan mutu yaitu kegiatan sistematik kegiatan sistemik satuan pendidikan dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan secara berkelanjutan.57

Perguruan tinggi sebagai suatu satuan pendidikan haruslah telah memenuhi izin penyelenggaraan pendidikan dan terakreditasi berdasarkan ketetapan pemerintah. Ketentuan mengenai izin penyelenggaraan pendidikan baik satuan pendidikan yang di selenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat telah terdapat dalam Peraturan Pemerintah.58

57

Pasal 49 ayat (2) butir (c) Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Satuan pendidikan yang dikelola oleh pemerintah terdapat dalam Pasal 58D sampai dengan Pasal 58F, sedangkan satuan pendidikan

58

Lihat Penetapan Pertama, Keenam dan Ketujuh, Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas R.I Nomor: 108/Dikti/Kep/2001Tentang Pedoman Pembukaan Program Studi Dan/Atau Jurusan.


(45)

yang diselenggarakan oleh masyarakat terdapat dalam Pasal 58G Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (PPP).59

Ketentuan selanjutnya mengenai izin pendirian program atau satuan pendidikan formal pada perguruan tinggi terdapat pada Pasal 182 ayat (1) dan Pasal 182 ayat (8, 9, 9 a, 10, dan 11) Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 Tentang PPP. Syarat-syarat pendirian satuan pendidikan formal diatur dalam Pasal 184 dan perubahan perguruan tinggi pada Pasal 184A,

60

Ketentuan-ketentuan tentang perguruan tinggi tersebut diatas apabila di perhatikan dengan seksama maka belum mengatur tentang sanksi pidana yang secara tegas dapat di berlakukan bagi para pelanggar ketentuan dalam dunia pendidikan, dalam hal (subjek hukum) baik manusia sebagai perorangan maupun terutama korporasi sebagai pendukung jalannya satuan pendidikan. Maraknya pelanggaran dalam dunia pendidikan disebabkan karena kurangnya formulasi perundang-undangan serta ketidak tegasan tindakan hukum, mengakibatkan banyaknya pelanggaran dalam dunia pendidikan yang pada akhirnya menimbulkan dampak tidak hanya bagi perorangan melainkan bangsa dan negara.

dan ketentuan lain mengenai izin opersional penyelenggara pendidikan diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri.

59

Pasal 58D s.d.Pasal 58G Peraturan Pemerintah Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan.

60

Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.


(46)

2. Syarat Dan Tata Cara Pendirian Perguruan Tinggi

Perguruan Tinggi adalah lembaga ilmiah yang mempunyai tugas yang menyelengarakan pendidikan dan pengajaran diatas perguruan tingkat menengah, dan yang memberikan pendidikan dan pengajaran berdasarkan kebudayaan kebangsaan Indonesia dan dengan cara ilmiah,61

Carter V. Good menyatakan pendidikan adalah proses perkembangan kecakapan seseorang dalam bentuk sikap dan prilaku yang berlaku dalam masyarakatnya. Proses sosial dimana seseorang dipengaruhi oleh sesuatu lingkungan yang terpimpin (khususnya di sekolah) sehingga seseorang dapat mencapai kecakapan sosial dan mengembangkan kepribadiannya.

dimana penyelenggaraan Perguruan Tinggi dilakukan oleh Pemerintah dan Badan Hukum Swasta.

62

Perguruan tinggi pada umumnya bertujuan :

1) Membentuk manusia susila yang berjiwa Pancasila dan bertanggungjawab agar terwujudnya masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur, materil dan spritual.

2) Menyiapkan tenaga yang cakap untuk memangku jabatan yang memerlukan pendidikan dan yang cakap berdiri sendiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan.

3) Melakukan penelitian dan usaha kemajuan dalam lapangan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan kehidupam kemasyarakatan.63

Pendirian satuan pendidikan berbentuk perguruan tinggi telah diatur pada Kepmendiknas RI. No.234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi,

61

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1961 Tentang Perguruan Tinggi.

62

tanggal 30 Mei 2012, pukul 22.20 wib.

63


(47)

menjelaskan bahwa untuk menyelenggarakan Pendirian Perguruan Tinggi tersebut didirikan harus dengan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut64

1. Rencana Induk Pengembangan (RIP) ;

:

Rencana Induk Pengembangan merupakan pedoman dasar pengembangan untuk jangka waktu sekurang-kurangnya lima tahun, Rencana Induk Pengembangan memuat materi pokok ;

a. Bidang akademik : 1. Program kegiatan

2. Organisasi penyelenggaraan 3. Sumber daya manusia 4. Sarana akademik 5. Kerjasama

6. Program penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. b. Administrasi Kepegawaian

c. Prasarana kampus d. Pembiayaan

e. Tahapan penetapan sasaran dan kuantitatif dalam bidang akademi, organisasi dan keterlaksanaan serta pengembangan kampus.

2. Kurikulum yang terdiri atas :

(1) Kurikulum ditetapkan oleh penyelenggara perguruan tinggi yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) Kurikulum merupakan bagian dari program kegiatan akademik;

(3) Program kegiatan akademik memuat keterangan mengenai jurusan/bagian/program studi, tujuan, silabi, peraturan akademik dan administratif serta prospek lulusan perguruan tinggi yang keseluruhannya itu tersusun dalam buku pedoman/katalog;

(4) Program kegiatan akademik disusun berdasarkan semester.65 3. Tenaga kependidikan yakni :

(1) Dosen tetap pada perguruan tinggi yang baru didirikan untuk setiap program studi sekurang-kurangnya 6 (enam) orang dengan latar belakang pendidikan sama/sesuai dengan program studi yang diselenggarakan dan dengan kualifikasi yang memenuhi syarat;

(2) Program studi yang didalam penyelenggaraannya memerlukan dukungan lebih dari satu jurusan/bagian, dan disyaratkan pula harus mempunyai dosen tetap dari masing-masing jurusan bagian pendukung;

(3) Pada perguruan tinggi yang baru didirikan secara mandiri maupun melalui kerjasama dengan pihak asing dosen tetap juga dapat digantikan dengan dosen kontrak yaitu seseorang yang memenuhi syarat dosen yang dikontrak

64

Pasal 5, Kepmendiknas RI Nomor 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi.

65

Pasal 7, Kepmendiknas RI Nomor 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi.


(48)

untuk masa sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai dosen tetap atau dosen perguruan tinggi asing mitra kerjasama yang ditugaskan sebagai dosen tetap pada perguruan tinggi yang baru.66

4. Memiliki calon mahasiswa.

5. Memiliki kode etik sivitas akademik bahwa untuk setiap program studi pada Diploma dan program S-1 jumlah calon mahasiswa sekurang-kurangnya 30 orang dan sebanyak-banyaknya disesuaikan dengan nisbah dosen tetap dengan mahasiswa, untuk kelompok bidang ilmu pengetahuan sosial 1 : 30 dan untuk kelompok bidang pengetahuan alam 1 : 20.67

6. Memiliki sumber pembiayaan, dimana sumber pembiayaan disediakan oleh penyelenggara perguruan tinggi yang bersangkutan untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pendidikan tinggi sesuai dengan peranan, tugas dan fungsi perguruan tinggi.68

7. Sarana dan prasarana berupa antara lain :

(1) Tanah tempat mendirikan perguruan tinggi dimiliki dengan bukti sertifikat sendiri atau disewa/kontrak untuk sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun dengan hak opsi, yang dinyatakan dalam perjanjian.

(2) Sarana dan prasarana lainnya dimiliki sendiri atau disewa/kontrak untuk sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun yang dibuktikan dengan sertifikat atau perjanjian meliputi fasilitas fisik pendidikan dengan ketentuan minimal;

a. Ruang kuliah : 0.5 m2 per mahasiswa; b. Ruang dosen tetap : 4 m2 per orang

c. Ruang administrasi dan kantor 4 m2 per orang; d. Ruang perpustakaan dengan buku pustaka:

1. Program Diploma dan Program S1

a. buku mata kuliah pengembangan kepribadian (MPK) 1 judul permata kuliah;

b. buku mata kuliah ketrampilan dan keahlian (MKK) 2 judul permata kuliah;

c. jumlah buku sekurang-kurangnya 10% dari jumlah mahasiswa dengan memperhatikan komposisi jenis judul;

d. berlangganan jurnal ilmiah sekurang-kurangnya 1 judul untuk setiap program studi;

2. Program S2 untuk setiap program studi : 500 judul buku dan berlangganan minimal dua jurnal ilmiah yang terakreditasi pada bidang studi yang relevan;

66

Pasal 8, Kepmendiknas RI Nomor 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi.

67

Pasal 10, Kepmendiknas RI Nomor 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi.

68

Pasal 11, Kepmendiknas RI Nomor 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi.


(49)

e. Ruang laboratorium dan unit komputer serta sarana untuk praktikum dan/atau penelitian sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Direktur Jenderal.69

Disamping dengan adanya syarat pendirian perguruan tinggi maka akan diperbuat juga tata cara pendirian perguruan tinggi menurut Kepmendiknas R.I. Nomor : 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi, sebagai berikut :

1. Usul pendirian untuk dipertimbangakan yakni :

(1) Usul pendirian Perguruan Tinggi oleh pemrakarsa disampaikan kepada Direktur Jenderal bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan Perguruan Tinggi Kedinasaan (PTK).

(2) Semua usulan dilengkapi dengan melampirkan persyaratan pendirian perguruan tinggi dan hasil studi kelayakan.70

2. Pemberian pertimbangan yakni ;

(1) Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, Direktur Jenderal memberi pertimbangan kepada pemrakarsa tentang kemungkinan persetujuan atau penolakan pendirian perguruan tinggi.

(2) Pertimbangan didasarkan atas:

a. Pemenuhan persyaratan pendirian perguruan tinggi.

b. Pengembangan dan keseimbangan kelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian dengan mempercepat pengembangan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan penerapannya.

c. Pengembangan peta pendidikan di suatu wilayah yang menggambarkan jumlah dan bentuk perguruan tinggi yang sudah ada, jenis program studi yang diselenggarakan, sebaran lembaga dan daya dukung wilayah yang bersangkutan.

d. Pengembangan bidang ilmu yang strategis, dengan membatasi bidang ilmu yang telah dianggap mencukupi kebutuhan pembangunan.71

(3) Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun setelah pertimbangan Direktur Jenderal yang memungkinkan pendirian perguruan tinggi, pemrakarsa telah mengajukan usul persetujuan pendirian dengan ketentuan telah memenuhi persyaratan.

3. Pengajuan usul persetujuan pendirian yaitu ;

(1) Usul persetujuan pendirian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada:

a. Menteri, Menteri lain atau pimpinan LPND bagi PTN dan PTK melalui Direktur Jenderal;

69

Pasal 12, Kepmendiknas RI Nomor 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi.

70

Pasal 20, Kepmendiknas RI Nomor 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi.

71

Pasal 21, Kepmendiknas RI Nomor 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi.


(50)

b. Menteri melalui Direktur Jenderal bagi PTS dengan melampirkan:

1. Referensi Bank dan bukti lain berkenaan dengan dana penyelenggaran PTS;

2. Akte Notaris Pendirian BP-PTS;

3. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PTS;

4. Surat Keterangan tidak terlibat pelanggaran hukum bagi pengurus BP-PTS;

5. Sertifikat atau perjanjian/sewa kontrak tanah dan prasarana fisik lainnya.72

4. Pemberian persetujuan, dalam hal pemberian persetujuan pendirian ini maka : a. Menteri mengajukan usul persetujuan pendirian PTN kepada Menteri yang

menangani pendayagunaan aparatur negara dan Menteri Keuangan; b. Menteri memberi atau menolak memberi rekomendasi pendirian PTK.

c. Direktur Jenderal atas nama Menteri memberi atau menolak memberi persetujuan pendirian PTS.

d. Atas dasar rekomendasi Menteri, Menteri lain atau pimpinan LPND mengajukan usul persetujuan pendirian PTK kepada Menteri yang menangani pendayagunaan aparatur negara dan Menteri Keuangan.73

e. Atas dasar persetujuan yang diberikan oleh Menteri, yang menangani pendayagunaan aparatur negara dan Menteri Keuangan. Menteri:

1. menetapkan pendirian PTN yang berbentuk akademi atau politeknik; 2. mengajukan usul penetapan pendirian PTN yang berbentuk universitas,

institut atau sekolah tinggi kepada Presiden;

f. Atas dasar persetujuan yang diberikan oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Menteri Keuangan, Menteri lain atau pimpinan LPND:

1. menetapkan pendirian PTK yang berbentuk akademi atau politeknik; 2. mengajukan usul penetapan pendirian PTK yang berbentuk sekolah

tinggi kepada Presiden melalui Menteri;74 5. Penetapan pendirian :

Setelah ada ketetapan pendirian PTN atau PTK oleh Menteri, Menteri lain, pimpinan LPND atau Presiden, PTN dan PTK mengusulkan statuta perguruan tinggi yang bersangkutan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal, Menteri lain atau pimpinan LPND untuk ditetapkan dengan keputusan. Setelah ada ketetapan pendirian PTS, BP-PTS menetapkan statuta PTS yang bersangkutan atas usul senat.75

72

Pasal 22, Kepmendiknas RI Nomor 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi.

73

Pasal 24, Kepmendiknas RI Nomor 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi.

74

Pasal 24, Kepmendiknas RI Nomor 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi.

75

Pasal 25, Kepmendiknas RI Nomor 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi.


(1)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku

Abdullah, Mustafa dan Ruben Achmad. Instisari Hukum Pidana. Jakarta; Ghalia Indonesia, 1983

Ali, Zainuddin. Metode penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika,2009.

Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta : Kencana, 2008.

Borahima, Anwar. Kedudukan Yayasan Di Indonesia, Eksistensi, Tujuan, Dan Tanggung Jawab Yayasan. Jakarta: Kenacana,2010.

Chazawi, Adami. Kejahatan Terhadap pemalsuan. Jakarta : PT.Grafindo Persada, 2001.

_______________. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada,2008.

Dahar, Ratna Wilis. Teori-Teori Belajar. Jakarta; Erlanga, 1989.

Friedman, Lawrence M. American Law An Introduction. Penerjemah : Wisnu Basuki. Jakarta: PT.Tatanusa, 2001.

Farid, Zainal Abidin. Hukum Pidana 1. Jakarta:Sinar Grafika,2007.

________________. Bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan,Penyertaan, dan Gabungan Delik)dan Hukum Penitensier. Jakarta:Raja Grafindo Persada,2006.

Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta; Rineka Cipta, 1994

Huda, Chairul. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta : Kencana, 2008. Indrajit,Eko & Djokopranoto. Manajemen Perguruan Tinggi Modern.

Yogyakarta : Andi,2005

Kansil dan Christine. Pokok-Pokok Hukum Pidana, Hukum Pidana Untuk Tiap Orang. Jakarta; Pradnya Paramita,2004.


(2)

Kartono, Kartini. Wawasan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Bandung : Mandar Maju, 1990.

Lamintang, P.A.F., C., Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Cetakan III. Bandung: Sinar Baru, 1985.

Marlina. Hukum Penitensier. Bandung : Refika Aditama, 2011.

Marpaung, leden. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta:Sinar Grafika,2005 Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana, 2008.

Muladi dan Dwidja Priyatno. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta; Kencana,2010.

Molejatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta, 2008.

Nawawi., H.Hadari., H.Mimi Martini. Kebijakan Pendidikan Di Indonesia Ditinjau dari Sudut Hukum.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1994

Poernomo, Bambang. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta; Ghalia Indonesia, 1992 Pound, Roscoe. Pengantar Filsafat Hukum. Penerjemah: DRS.Mohamad Radjab,

Jakarta:Bhratara Karya Aksara, 1982.

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia. (Bandung; Refika Aditama, 2003

Purbacaraka, Purnadi., dan Soerjono Soekanto. Renungan Tentang Filsafat Hukum. Jakarta: CV.Rajawali, 1987.

Ranoemihardja, Atang. Hukum Pidana. Bandung; Tarsito, 1984.

Remmelink, Jan. Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama,2003.

Sakidjo,Aruan., dan Bambang Poernomo. Hukum Pidana : Dasar Aturan Hukum Pidana Kodifikasi. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990

Saleh, Roeslan. Dari Lembaran kepustakaan Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 1988.


(3)

____________. Beberapa Catatan Sekitar Perbuatan Dan Kesalahan Dalam Hukum Pidana. Aksara Baru,1985.

____________.Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana. Jakarta; Akasara Baru, 1983. ____________.Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta;

Ghalia Indonesia, 1986

Semiawan, R.Conny. Pendidikan Tinggi, Peningkatan Kemampuan Manusia Sepanjang Hayat Seoptimal Mungkin. Direktorat Jendral Perguruan Tinggi, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan ,1999.

Setiyoso, H. Kejahatan Korporasi : Analisis Viktimonologis Dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia. Malang : Averroes Press Pustaka Pelajar, 2002.

Simanjuntak, Osman. Teknik Perumusan Pidana Dan Asas-Asas Umum. Jakarta, 1997.

Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta : PT.Grafindo, 2001. ________________. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, 1986.

Suharto. Hukum Pidana Materil, Unsur-Unsur Objektif Sebagai Dasar Dakwaan Edisi Ke II. Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Syahrani, Riduan. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung; Citra Aditya Bakti,1999.

Tian., dkk., didedikasikan kepada Setiajadi. Pendidikan Terbuka Dan Jarak Jauh. Jakarta; Universitas Terbuka, 1999.

Tilaar. Manajemen Pendidikan Nasional,Kajian Pendidikan Masa Depan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1992.

Tongat. Dasar-Dasar Hukum Pidana Dalam Perspektif Pembaharuan. Malang; UMM Press, 2009.

Usfa, A. Fuad., Tongat. Pengantar Hukum Pidana. Malang: UMM Press, 2004.

Rawls, John. Teori Keadilan,Dasar-Dasar Filsafat PolitikUntuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006. Waluyadi. Hukum Pidana Indonesia. Jakarta, Djambatan,2003.


(4)

B. Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Republik Indonesia Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan Perubahan Badan Hukum Milik Negara Atau Perguruan Tinggi, Dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Tinggi Sebagai Badan Hukum pendidikan.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Permendiknas Nomor. 26 Tahun 2007 Tentang Kerja Sama Perguruan Tinggi Di Indonesia Dengan Perguruan Tinggi Atau Lembaga Lain Di Luar Negeri.

Kepmendiknas RI Nomor 234/U/2000 Tentang Pedomana Pendirian Perguruan Tinggi.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2005 Tentang BAN-PT.

Kepmendiknas RI. No.178/U/2001 Tentang Gelar dan lulusan Perguruan Tinggi. Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas R.I Nomor: 108/Dikti/Kep/2001Tentang Pedoman Pembukaan Program Studi Dan/Atau Jurusan

C. Makalah, Karya ilmiah, Jurnal,Putusan, dan lain-lain

Skripsi : Tindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Dalam Undang-Undang Sisdiknas, Fakultas Hukum Sumatera Utara

Tesis : Sistem Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Melalui Pendekatan Perbuatan Melawan Hukum Materil, Fakultas Hukum Sumatera Utara.


(5)

Kumpulan Makalah Lokakarya Kelembagaan Dan Pengelolaan Perguruan Tinggi,Bogor:1994

Foto kopi : Pedoman Penulisan Tesis Program Studi Ilmu Hukum SPS USU, Medan : Universitas Sumatera Utara.

D. Internet

Januari 2012, Pukul : 18.15 Wib.

Pukul : 18.35 Wib.

Pukul 22.30 Wib.

http://www.google.co.idakreditasi+adalah&pf=luk.staff.ugm.ac.id/.../Buku_1Naskah_ Akademik_Akreditasi_PS.doc, Diakses pada tanggal 12 Januari 2012, Pikul 22 32 Wib.

wib.

2012, pukul : 20.40 wib

tanggal 20 Maret 2012, Pukul 15.22.wib.

2012, pukul 11.15 wib.

Maret 2012, Pukul : 15.23.wib.

tanggal 16 Maret 2012, Pukul : 16.12 wib


(6)

21.04 wib.

http://www.google.co.id/#h akreditasi.unair.ac.id/folderfile/Buku-02Final.doc, diakses tanggal 14 April 2012, Pukul : 21.00 wib.

tanggal 14 April 2012, pukul 21.00 wib

wib.

22.10 wib.

15.00 wib.

tanggal 15 Mei 2012, pukul, 18.30 wib.

Mei 2012, pukul 22.30 wib.

diakses pada tanggal 30 Mei 2012, Pukul 22.10 wib.

Pukul 22.12 wib.