Masa remaja dan dewasa Al-Ma’mun

14 nyanyian yang biasanya menjadi hiburan di istana, karena kekhawatiran beliau nyanyian tersebut akan menghilangkan konsentrasi beliau ketika mengkaji berbagai buku-buku. Walaupun ia mendengar dari belakang tabir. Semua itu disebabkan karena kecintaan beliau kepada ilmu pengetahuan serta usahanya mengembalikan keutuhan kerajaan yang hampir runtuh. 10 Dalam Al-Tabari ay. 32, hal 231 dijelaskan bahwa sosok Al- Ma’mun memiliki tinggi rata-rata, kulit yang terangbersih, tampan dan memiliki jenggot yang panjang. 11

2. Masa remaja dan dewasa Al-Ma’mun

Al- Ma’mun merupakan salah seorang tokoh Khalifah Abbasiyah yang paling terkemuka. Kebanyakan ahli-ahli sejarah berpendapat, tanpa ketokohan dan kemampuan Al-Ma’mun, niscaya peristiwa-peristiwa yang berlaku di zamannya itu pasti dapat mengganggu kerajaan Islam dan membawa kepada bahaya dan keruntuhan. Khalifah Abbasiyah ketujuh yang mengantarkan dunia Islam pada puncak pencapaian masa keemasan Islam itu bernama Al-Ma’mun. Ia dikenal sebagai figur pemimpin yang dianugerahi intelektualitas yang cemerlang. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan. Kemampuan dan kesuksesannya mengelola pemerintahan dicatat dengan tinta emas dalam s Al-Ma’mun dinilai sebagai salah satu khalifah terbesar di Dinasti Abbasiyah. Pemerintahannya disebut masa keemasan Islam. Dia mempromosikan berbagai studi seni, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Dia mendorong dan menyukai diadakannya berbagai diskusi. Untuk mempromosikan ilmu pengetahuan ia mendirikan perpustakaan, observatorium dan lembaga lainnya. Banyak sarjana yang berprestasi berkembang dan dilindungi olehnya. 12 10 Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 121-122 11 Michael Cooperson, “Al-Ma’mun”, Oxford, Oneworld Publications, 2005, dalam http:id.wikipedia.org , 06 Januari 2011 12 Masudul Hasan, History of Islam : Clssical Period 571-1258 C. E., Adam Publishers, Delhi, 1992, Cet. Ke-I, h. 219 15 Khalifah Al-Ma’mun terkenal sebagai seorang yang tidak suka akan pertumpahan darah, amat benci menipu daya, dan bertoleransi. Seandainya beliau mengatur rencana jahat untuk menyingkirkan orang, maka yang memaksa beliau berbuat demikian ialah keadaan dan masalah- masalah besar yang begitu mendesak. Beliau tidak melakukannya karena tunduk kepada hawa nafsu atau untuk memenuhi keinginan menumpahkan darah, tetapi sebaliknya untuk melenyapkan huru-hara dan pemberontakan. Fenomena lain ternyata kelihatan pada usaha-usaha pembunuhan yang digalakkan oleh Al-Ma’mun. pembunuhan tersebut hanyalah ke atas siapa yang ditakuti bisa membahayakan saja, tidak melihat keluarga si mangsa atau perampasan harta benda. Di samping itu, hal yang juga menyangkut diri Al-Ma’mun. yaitu seolah-olah apa yang terjadi itu tidak ada hubungannya dengan dirinya, dan beliau sendiri berusaha sepenuh tenaga untuk meringankan kesan buruk yang menimpa keluarga korbannya itu. 13 Pemaaf adalah salah satu dari sifat Al-Ma’mun yang paling nyata. Beliau memaafkan Al-Fadhl bin Ar-Rabi’ yang telah menghasut berbagai pihak untuk menentang beliau. Beliau memaafkan Ibrahim Al-Mahdi yang telah melantik dirinya sebagai khalifah di Baghdad semasa Al-Ma’mun berada di Merw, walaupun Al-Mu’tashim dan Al-Abbas bin Al-Ma’mun menyarankan agar Ibrahim dibunuh. Beliau memaafkan Al-Husain Adh- Dhahak yang pernah mengatakan bahwa sesudah kematian Al-Amin, Al- Ma’mun tidak akan merasa gembira memegang jabatan khalifah, karena beliau adalah orang yang senantiasa diburu dan disingkirkan. Khalifah Al-Ma’mun adalah seorang khalifah Islam yang arif bijaksana, tinggi akal, bagus budi pekertinya, mengutamakan kemerdekaan berpikir dan berdiskusi. Al-Ma’mun menikah dengan Buran anak perempuan Al-Hasan bin Sahl salah satu menteri dalam pemerintahan al-Ma’mun yang juga masih saudara al-Fadhl wazir al-Ma’mun. Mengenai peristiwa ini Ibnu Tabatiba 13 Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 289-290 16 menceritakan bahwa Al-Hasan telah mengeluarkan belanja besar serta menaburkan mutiara yang tiada terkira banyaknya karena perkawinan itu. Al-Hasan telah membagi-bagikan buah-buah tembikar yang diletakkan sekeping kertas kecil bertulis dengan nama salah satu perkebunannya. Siapa yang mendapatkan tembikar yang berisi kertas tersebut, maka dia diberikan kebun yang telah ditetapkan itu. Undangan yang dibuat terlalu besar sehingga Al-Ma’mun sendiri menganggapnya sebagai pemborosan. Untuk menyambut khalifah Al-Ma’mun, Al-Hasan telah membentangkan hamparan tenunan emas bertahtakan seribu mutiara. 14 Pernikahan ini dirayakan dengan pertunjukan dan arak-arakan besar-besaran yang tidak biasa. Buran memberikan pengaruh yang besar kepada khalifah. Dermanya begitu besar, dan dia mendirikan beberapa rumah sakit di Baghdad. 15 Pada masa pemerintahannya Al-Ma’mun pernah berusaha untuk menceraikan isterinya karena tidak kunjung memberikannya keturunan. Namun atas bantuan dari hakim Suriah yang bersimpati kepada isterinya maka perceraian itu pun tidak terjadi. Selama menjadi khalifah , Al-Ma’mun tetap tinggal di Marw, tidak pindah ke Baghdad. Suatu pemberontakan di Kuffah yang dilakukan oleh Abu Suraya yang berhasil ditumpas oleh Hartsama mengundang kemarahan para anak buahnya di Baghdad sehingga menimbulkan kegaduhan dan kekacauan. 16 Kemenangan ini merupakan titik balik bagi Al-Ma’mun. posisinya di Khurasan tidak tergoyahkan dan pengaruhnya di wilayah lain semakin besar. Tidak lama kemudian, Al-Ma’mun diproklamirkan sebagai khalifah. Pada saat yang sama reputasi khalifah Al-Amin di Baghdad semakin menurun. Ia tidak berhasil merekrut angkatan perang baru karena suku- suku Arab kurang mempercayainya. Ia tampaknya memang lebih mempercayai dan memanjakan tentara yang berasal dari Khurasan, akan 14 Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 125 15 Syed Mahmudunnasir, “Islam, Konsepsi dan Sejarahnya”Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1991, Cet. Ke-II, h. 271 16 Perpustakaan Nasional RI, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, h. 96 17 tetapi satu persatu kota di daerah lain juga dapat dikuasai. Akhirnya bulan Agustus 812 M kota Baghdad terkepung oleh para pendukung Al- Ma’mun. pengepungan ini berlangsung selama setahun lebih dan akhirnya khalifah tertangkap dan terbunuh ketika ingin melarikan diri. Terbunuhnya khalifah telah menurunkan prestise kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Kota Baghdad mengalami dekadensi akibat perang dan barulah pada tahun 819 M khalifah Al-Ma’mun memindahkan pusat pemerintahannya dari Khurasan ke Baghdad dan sejak itu Bahgdad mulai aman kembali. Pada tahun-tahun berikutnya, Al-Ma’mun mengadakan konsolidasi seluruh wilayah Islam yang telah terkoyak-koyak akibat perang saudara. Pemerintahan Al-Ma’mun menandai pemisahan antara periode awal dan periode kedua Dinasti Abbasiyah. Kelompok yang semula membantu kekhalifahan pada tahun-tahun pertama sekarang turun dari panggung kekuasaan. Di antara kelompok ini, yang paling penting adalah para abnâ’ keturunan veteran revolusi Abbasiyah yang berasal dari Khurasan. Klan Abbasiyah sendiri yang telah memainkan peran penting selama ini, setelah periode ini, peranan mereka tidak begitu menentukan lagi. Sama juga halnya dengan keluarga-keluarga Arab, seperti Al- Muhallabi dan Syaibani. Mereka menghilang dari istana. Selama pemerintahan Al-Ma’mun, kelompok-kelompok tersebut digantikan oleh orang-orang baru yang dengan ideologi baru ingin menerapkan metode pemerintahan yang baru pula. Kelompok yang paling penting dan berpengaruh adalah yang dipimpin saudara khalifah Al-Ma’mun sendiri yang bernama Abu Ishaq. 17 Setelah perang saudara berakhir dengan kemenangan Al-Ma-mun, beliau naik tahtah. Masa kekhalifahan Al-Ma’mun selama dua puluh tahun itu bisa dibagi ke dalam dua bagian , yaitu : a Kehausan Al-Ma’mun akan ilmu pengetahuan mendorongnya untuk menyibukkan dirinya di dalam mempelajari kebudayaan dan membahas filsafat di Merv, dengan menyerahkan tugas pemerintahannya 17 Perpustakaan Nasional RI. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam , h. 96 18 kepada Al-Fadhal bin Sahal. Al-Fadhal bin Sahal mulai menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan Al-Ma’mun kepadanya. Fadhal bernafsu untuk tetap memegang kekuasaan di Merv, kabar mengenai keadaan yang sebenarnya di Barat tidak diperkenankan sampai kepada khalifah, dan beliau dibiarkan tidak mengetahui sama sekali tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di Irak dan Siria. b Dalam masa empat belas tahun berikutnya, Al-Ma’mun memegang sendiri kendali pemerintahan. Pada tahun 819 M Al-Ma’mun mengambil alih tanggung jawab atas imperium. Dengan kembalinya beliau berkuasa, semua kekacauan berhenti. Al-Ma’mun menyibukkan diri dengan bersemangat dalam pekerjaan mereorganisasi pemerintahan. Pemerintahan Kota Suci dipercayakan kepada seorang bani Ali. Kufah dan Basrah diserahkan kepada kedua orang saudara Khalifah. Tahir bin Hussain diangkat menjadi Gubernur Khurasan. Anak Tahir yang bernama Abdullah dipercayai memegang jabatan Gubernur Siria dan Mesir, bersama-sama dengan tugas menaklukkan Nasar Okaili. 18 Kemenangan yang diraih Al-Ma’mun dalam perang saudara yang terjadi antara Al-Amin dan Al-Ma’mun sedikit banyak meninggalkan berbagai masalah katidakpuasan dari beberapa pihak yang kemudian memunculkan pemberontakan-pemberontakan antara lain : a. Pemberontakan Abus-Saraya Abus-Saraya as-Sari bin Mansur as-Syaibani, salah seorang panglima besar di dalam angkatan bersenjata yang dipimpin oleh Hartsama disingkirkan oleh al-Fadhl bin Sahal, setelah keberhasilannya dalam pertarungan menentang al-Amin, dan digantikan dengan saudara al-Fadhl sendiri, yaitu al-Hasan bin Sahl. Abus-Saraya terpaksa melarikan diri dan meninggalkan kota Kufah yang dikejar oleh tentara pemerintah, yang dapat menawannya setelah Abus-Saraya mendapat cidera parah di dalam salah satu pertempuran, di mana tentaranya mengalami kekalahan besar. Abus- Saraya kemudian dibawa menghadap Al-Hasan bin Sahal, yang kemudian memerintahkan supaya ia dibunuh dan disalibkan, yaitu 18 Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, ”Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1991,h. 229 19 pada tahun 200 H. Gerakan pemberontakan itu berjalan selama 10 bulan. b. Pemberontakan Nasr bin Syabats Nasr bin Syabats ialah seorang bangsawan Arab yang melihat merosotannya kedudukan bangsa Arab dan kuatnya pengaruh bangsa Parsi hasil dari pembunuhan tehadap Al-Amin serta pemindahan kekuasaan kepada Al-Ma’mun. Dia telah bangkit memimpin suatu pemberontakan untuk mempertahankan keturunan Arab. Pemberontakannya mulai pada tahun 198 H, setelah terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap Al-Amin, dan menjadikan kota Yaksum di utara Syria sebagai pusat gerakannya. Khalifah Al-Ma’mun telah memerintahkan Tahir bin Al-Husain supaya menyerahkan pemerintahan kota Baghdad kepada Al-Hasan bin Sahal dan keluar untuk memerangi Nasr. 19 c. Pemberontakan Baghdad dan pelantikan Ibrahim bin al-Mahdi sebagai khalifah Setelah terjadi pembunuhan terhadap Al-Amin, Al-Fadhal bin Sahal mencoba menggunakan kekuasaannya dengan sewenang- wenang. Dia telah melantik saudaranya Al-Hasan bin Sahal sebagai pegawai pemerintah di Iraq. Al-Fadhal sendiri berkuasa atas seluruh wilayah Khurasan. Khalifah al-Ma’mun memejamkan mata dan tidak mengetahui apa yang telah terjadi. Al-Fadhal bin Sahal juga telah menyingkirkan dua panglima yang telah membuat kemenangan, yaitu Tahir dan Harstamah agar berada jauh dari Baghdad. Selain itu Al- Fadhal melantik seorang dari golongan Alawiyah sebagai putra mahkota, dengan demikian dia telah merintis jalan bagi pemindahan kekuasaan dari golongan Abbasiyah kepada golongan Alawiyah. d. Pemberontakan Zatti Menurut Ibnu Khaldun, Zatti ialah suatu kelompok dari berbagai keturunan yang mengambil kesempatan untuk membuat perlawanan sewaktu pihak tentara sedang sibuk mengalami peperangan. Mereka telah menutup jalan yang menuju ke Basrah, serta merusak kampung-kampung dan wilayah-wilayah. Mereka hanya bertujuan untuk menculik dan menimbulkan kekacauan. e. Pemberontakan orang-orang Mesir Di Mesir meletus suatu pemberontakan yang timbul di antara kaum Arab Utara dan kaum Arab Selatan. Kaum Arab Utara memberi dukungan kepada Al-Amin sedangkan kaum Arab Selatan memberi dukungan kepada Al-Ma’mun. Sebagian orang Mesir mengambil kesempatan dari pemberontakan ini dan bangkit menentang orang- 19 Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 130 20 orang Arab. Al-Ma’mun mewakilkan kepad Abdullah bin Tahir untuk menumpas pemberontakan tersebut. Abdullah telah berhasil menjalankan tugasnya, tetapi kepada ia meninggalkan negeri Mesir, pemberontakan itu kembali meletus, menyebabkan Al-Ma’mun terpaksa pergi sendiri untuk memperbaiki keadaan di sana serta memulihkan keamanan dan ketentraman. Sedangkan di antara tokoh-tokoh utama dalam kerajaan al- Ma’mun ialah Yahya bin Aktsam al-Tamimi yang menjadi Qadhi Besar Hakim Besar dan juga salah satu ahli Hadist yang terkemuka, Ahmad bin Abu Daud al-Mu’tazili seorang alim yang disegani di istana. Karena usianya yang panjang, dia telah berpeluang berhubungan dengan banyak khalifah-khalifah, serta Qadhi Besar di zaman al-Ma’mun, al-Mu’tashim, al-Watsiq dan di permulaan zaman al-Mutawakkil. 20 Tidak salah kiranya jika sejarah menyatakan masa kegemilangan daulah Abbasiyah salah satu masanya adalah pada pemerintahan khalifah Al- Ma’mun. sosok yang sejak belia sudah menunjukkan sikap dan sifat yang baik sebagai bekal untuk menjadi seorang pemimpin. Dari bekal yang didapat sejak belia ini pula yang dapat menjadi landasan bagaimana beliau menjalankan pemerintahannya termasuk kepeduliannya yang teramat sangat terhadap ilmu pengetahuan dan perkembangannya. Perhatian yang sangat besar beliau tunjukkan kepada pengembangan ilmu pengetahuan karena cintanya yang demikian besar terhadap ilmu pengetahuan. Tidak heran banyak upaya yang beliau lakukan untuk mewujudkan kecintaan dan perhatiaannya terhadap ilmu pengetahuan yang bukan hanya bermanfaat bagi dirinya pribadi tapi dapat menjadi salah satu sumber kekuatan terbesar dalam mewujudkan pemerintahan yang baik di kemudian hari karena mampu menguasai berbagai aspek ilmu pengetahuan yang dapat menyeimbangkan segala aspek penting dalam kehidupan. Al-Ma’mun wafat sewaktu sedang berperang di Tarsus tahun 218 H. usianya saat itu 48 tahun. Semoga Allah merahmatinya dengan bakti dan kebaikan yang disumbangkan kepada agama Islam dan kaum muslimin. 21 20 Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 141 21 Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 144 21

C. Al-Ma’mun dan Paham Mu’tazilah