25
Bila ia meninggal tanpa bertobat maka ia kekal di neraka walaupun siksa yang ia terima lebih ringan daripada yang diterima orang kafir.
Prinsip al-wa’d wa al-wa’id dimaksudkan bahwa Tuhan akan memberikan balasan sesuai dengan perbuatan manusia di dunia. Siapa
yang keluar dari dunia ini dengan penuh ketaatan kepada Tuhan maka ia berhak memasuki surga. Siapa yang keluar dari dunia ini dengan penuh
maksiat maka ia akan masuk neraka. Tuhan akan menepati janjinya dan tidak akan mengingkarinya.
Prinsip al’adl dimaksudkan bahwa Allah tidak menyukai
keburukan dan tidak menciptakan perbuatan, tetapi manusialah yang melakukan apa yang diperintahkanNya dengan daya yang diberikan
kepada mereka. Tuhan hanya memerintahkan apa-apa yang Dia kehendaki dan melarang apa yang tidak Dia sukai. Dia menguasai kebaikan-kebaikan
yang Dia perintahkan dan tidak campur tangan dalam keburukan- keburukan yang Dia larang. Tuhan tidak membebani manusia sesuatu yang
tidak dapat mereka lakukan. Sesungguhnya manusia itu hanya dapat melakukan sesuatu sesuai dengan daya mereka yang diberikan Tuhan.
Hanya Tuhanlah satu-satunya yang mampu mewujudkan daya dan menghilangkannya jika ia menghendaki.
Sedangkan prinsip al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-munkar menurut Mu’tazilah bahwa semua kaum Muslim wajib menegakkan
perbuatan yang ma’ruf dan menjauhi perbuatan yang munkar. Karena prinsip ini, Mu’tazilah bersikap melawan siapa saja yang tidak sejalan
dengan paham mereka. Hal ini antara lain dilakukan dengan cara pemaksaan terhadap siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka.
Peristiwa pemaksaan ajaran Mu’tazilah dikenal dengan al-mihnah atau inkuisisi.
28
3. Al-Ma’mun dan Paham Mu’tazilah
Aliran rasional ini dituduh sebagai pembuat bid’ah oleh kaum Sunni. Perselisihan ini mencapai puncaknya pada masa Al-Ma’mun
menduduki jabatan khalifah 813-833 M. Ketika itu Al-Ma’mun menjadikan aliran ini sebagai aliran resmi Negara. Hal ini mengakibatkan
keresahan di kalangan masyarakat yang mayoritas mengikuti aliran Sunni. Keresahan itu terfokus kepada pemaksaan gagasan Muktazilah yang
menyatakan bahwa al-Qur’an itu serupa dengan hadis dan sekaligus makhluk. Peristiwa ini disebut Mihnah.
28
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, h. 171-173
26
Al-Ma’mun kemudian membuat kebijakan untuk meneliti keyakinan para pejabat Negara, seperti hakim, kadi, dan ulama,
sehubungan dengan mihnah. Pejabat-pejabat yang tidak sepaham dengan paham Mu’tazilah akan dipecat. Ulama yang tetap mempertahankan
pendapat ortodoksnya akan disiksa, sebagaimana yang dialami oleh Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Nuh.
29
Khalifah al-Ma’mun begitu keras menggunakan kekuasaannya untuk memaksa rakyat berpegang kepada pendapat al-Qur’an itu makhluk.
Banyak para penulis yang mengecam sikap keras al-Ma’mun yang menggunakan mata pedang untuk memperkukuh pihaknya dan menindas
para alim ulama yang menentang prinsipnya itu. Tetapi penulis yang adil mungkin bisa menemukan alasan tentang sikap al-Ma’mun itu. Bagi al-
Ma’mun, perkara tersebut sebenarnya tidak ada kaitannya dengan dirinya, andaikan ada kaitannya dengan dirinya tentu beliau akan mudah memberi
maaf, karena sudah menjadi tabiat al-Ma’mun suka memberi maaf. Tetapi baginya perkara tersebut sudah menyangkut masalah keislaman yang
menyangkut pokok aqidah, dan beliau berpendapat siapa yang tidak mengakuinya maka keluar dari aqidah Islam. Oleh karena itu, al-Ma’mun
mengumumkan sebagai khalifah kaum Muslimin yang mengurus masalah-masalah
agama dan
dunia untuk
mereka, al-Ma’mun berkewajiban tidak menggunakan golongan yang keluar dari agama itu
dalam urusan erajaan dan juga berkewajiban melindungi rakyat dari pikiran yang beliau anggap salah dan sesat. Al-Ma’mun semakin
bertambah marah terhadap golongan ahli Hadis, karena sikap mereka yang jumud beku dan tidak mempertahankan pendapat mereka dengan dalil-
dalil naqli.
30
Paham Mu’tazilah adalah pelopor yang sungguh-sungguh untuk digiatkannya pemikiran tentang ajaran-ajaran pokok Islam. Sikap mereka
yang rasionalistik dimulai dari titik tolak bahwa akal mempunyai
29
Fahsin M. Fa’al, “Sejarah Kekuasaan Islam”, Jakarta, CV. Artha Rivera, 2008 h. 84- 85
30
Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 138
27
kedudukan tinggi bahkan kedudukannya boleh dikatakan sama dengan wahyu dalam memahami agama. Sikap itu tampaknya adalah konsekuensi
logis dari dambaan mereka kea rah pemikiran sistematis.
31
Paham Mu’tazilah yang bersifat rasional ini pula yang mempengaruhi pola pemikiran Al-Ma’mun sehingga menjadi salah satu
sebab mengapa beliau sangat mendukung sagala macam kegiatan yang membutuhkan peran serta pemikiran seperti diadakannya diskusi dan
perdebatan sehingga berbagai macam pola pemikiran pun muncul, beliau juga
membuat berbagai
macam pembaharuan
dalam upaya
mengambangkan ilmu pengetahuan. Sehingga pada saat itu para ilmuan memiliki kebebasan untuk berpendapat dan menghasilkan karya
ilmiahnya.
31
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, h. 171
28
BAB IV UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN KHALIFAH
AL-MA’MUN DALAM MENGEMBANGKAN ILMU PENGETAHUAN
A. Gerakan Penerjemahan 1. Faktor-faktor yang memyebabkan munculnya gerakan penerjemahan
Gerakan penerjemahan yang mulai berkembang pesat pada masa Daulah Abbasiyah dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan
khalifah Al-Ma’mun. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan penerjamahan di antaranya adalah :
a. Tersebarnya ilmu pengetahuan Yunani, helenisme, dan helenistik ke penjuru dunia muslim disebabkan oleh faktor-faktor historis yang luar
biasa. Menurut analisis Mehdi Nakosten, faktor-faktor yang terpenting itu di antaranya adalah :
Pertama, peran orang-orang Kristen ortodoks sebagai Nestorian. Mereka adalah sekte-sekte yang dikucilkan oleh gereja induk mereka.
Pada saat penaklukan kaum Muslim ke Persia dan Romawi, mereka menyambut dengan suka cita karena kaum Muslim telah bertindak
toleran dan oleh mereka dianggap sebagai kaum pembebas.
Kedua, penaklukan yang dilakukan oleh Alexander Yang Agung dan para penggantinya telah menyebarkan ilmu pengetahuan Yunani
ke Persia dan India, tempat ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani diperkaya dengan pemikiran-pemikiran asli.
Ketiga, peran
Akademi Jundishapur
di Persia
yang mengembangkan kurikulum studi yang disusun setelah Universitas