Khalifah al-Ma'mun dan jasanya dalam pengembangan ilmu pengetahuan

(1)

Disusun Oleh :

YUNITA SEPTIANI

106011000208

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

KHALIFAH AL-MA’MUN DAN JASANYA

DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

Skripsi ini Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Pendidikan Islam

Oleh Yunita Septiani NIM. 106011000208

Di bawah Bimbingan Dosen Pembimbing Skripsi

Eri Rosatria, M.Ag NIP. 19477017 196608 2 001

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

Skripsi yang berjudul “KHALIFAH AL-MA’MUN DAN JASANYA

DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN” diajukan kepada Fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam ujian munaqasyah pada tanggal 16 Maret 2011 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar sarjan S1 (S. Pd. I) dalam Bidang Pendidikan Islam

Jakarta , 16 Maret 2011 Panitia ujian Munaqasyah

Tanggal Tanda Tangan

Ketua Panitia (Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam)

(Bahrissalim, M. Ag) ………. …...

NIP. 19680307 199803 1 002

Sekretaris (Sekretaris Jurusan Pendidikan)

(Drs. Sapiudin Shidiq, M.Ag) ………. …...

NIP. 19680328 200002 1 001

Penguji I

(Dra. Djunaidatul Munawaroh, M.Ag) ………. …... 19580918 198701 2 001

Penguji II

(Ahmad Irfan Mufid, M.A) ………. …...

19740318 20031 2 002

Mengetahui

Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Prof. Dr. Dede Rosyada, MA NIP. 19751005 198703 1 003


(4)

iv DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penulisan ... 3

D. Manfaat Penulisan ... 3

E. Metodologi Penulisan ... 3

F. Kajian yang Relevan ... 4

G. Teknik Penulisan ... 4

BAB II KONDISI SOSIAL BUDAYA DAN POLITIK MASYARAKAT BAGHDAD A. Kondisi Sosial-Budaya masyarakat Baghdad ... 5

B. Kondisi Politik Masyarakat Baghdad ... 7

BAB III BIOGRAFI AL-MA’MUN A. Al-Ma’mun dan Latar Belakang Keluarganya ... 11

1. Latar Belakang Orang Tua Al-Ma’mun ... 11

B. Kehidupan Al-Ma’mun ... 13

1. Masa Kecil Al-Ma’mun ... 13

2. Masa Remaja dan Dewasa Al-Ma’mun ... 14

C. Al-Ma’mun dan Paham Mu’tazilah ... 21

1. Asal mula Munculnya Paham Mu’tazilah ... 22

2. Prinsip-prinsip Ajaran Kaum Mu’tazilah ... 24


(5)

v

A. Gerakan Penerjemahan ... 28

1. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan penerjemahan ... 28

2. Munculnya Gerakan Penerjemahan ... 30

3. Tokoh-tokoh penting dalam gerakan Penerjemahan ... 32

B. Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar ... 35

1. Upaya Khalifah Al-Ma’mun dalam Pengembangan Kegiatan Belajar Mengajar ... 35

C. Pengembangkan Instituti Pendidikan ... 40

BAB V HASIL YANG DICAPAI KHALIFAH AL-MA’MUN DALAM MENGEMBANGKAN ILMU PENGETAHUAN A. Berkembangnya Baitul Hikmah ... 42

B. Berkembangnaya Berbagai Cabang Ilmu Pengetahuan pada Masa Khalifah Al-Ma’mun ... 47

1. Faktor-faktor yang menyebabkan Pesatnya Perkembangan Sains dan Filsafat ... 47

2. Perkembangan cabang-caban Ilmu Pengetahuan ... 48

3. Munculnya Tokoh-tokoh Penting dalam berbagai Bidang Ilmu pengetahuan ... 56

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 66


(6)

i

KATA PENGANTAR











Teruntai pujian penuh rasa syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “KHALIFAH AL-MA’MUN DAN JASANYA DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN”. Shalawat teriring salam penulis sampaikan kepada sang revolusioner nabi besar Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

Skripsi ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam rangka menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dalam berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M.A, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen pembimbing seminar proposal skripsi beserta staff Fakultas yang telah membantu secara administratif sehingga mempelancar penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Bahrissalim, M.A dan bapak Sapiudin Shidiq, M. Ag, Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) beserta staff.

3. Ibu Hj. Eri Rosatria MA, Dosen Pembimbing skripsi yang telah menyediakan waktu, pikiran dan tenaganya untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan petunjuknya kepada penulis dalam menyusun skripsi ini. 4. Bapak Abdul Ghofur, MA, Dosen Penasehat Akademik yang dengan penuh

perhatian telah memberikan bimbingan, arahan dan motivasi serta ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan.

5. Bapak pimpinan dan karyawan/karyawati Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, dan


(7)

ii Uminda Hj. Suryati

7. Ayahanda dan Ibunda yang dengan tenaga, peluh keringat dan air mata serta iringan do’a juga semangat sehingga mampu membuat ananda tetap teguh berjuang mencapai salah satu hal terbaik dalam hidup.

8. All brothers and sisters (A’ Din Haidi Sutrisna, Teh Yuhaeni, A’ Kosasih, A’ Azru, A’ Hendy, Bank Bogem, Yanuar Huda, Dhe Ncexs, Dhe Mhedy, Dhe Handy, Dhe Zaenal, Dhe Mely, Dhe Mput, Dhe Muhyi, Dhe Ipay, Dhe Chory, Iif dan Ipul) terimakasih untuk perhatian, kesabaran, semangat, kemanjaan, kerepotan, waktu, canda tawa dan air mata yang membuat penulis merasa berarti.

9. My Power Ranger, Phoel”(Ranger Ungu), Nenk Fathia (Ranger Merah), Nienk (Ranger Hijau), Nona Timas (Ranger Pink), dan Cyta (Ranger Biru) moga kita tetap bisa berkumpul membasmi rasa jenuh, bosan, pusing dan capek dengan sejuta petualangan.

10. My Favorit class, warga masyarakat E angkatan tahun 2006 yang penuh cerita (Sya”, Dhe”, Try, Wati, Qi”, Wely, Sule, Ozi, Shofi, Syifa, Ujank, Aan, Emy, dll)

11.Team rusuh di Jurusan, pak Faza, Fuzie, Ina, Arif, Iwat, K’Adhe, dan Imunk. Moga keberadaan kita bikin sejarah perubahan di jurusan. Team Lab. FITK (P’Yudhi, P’ Tanenji, P’Irfan, K’Iwan,bu Yati, Eka, Ephee, dan Linda) yang beda tempat tapi tetap kompak.

12. Sahabat spesial yang pernah hadir dan mengisi hari dalam kehidupan penulis walaupun hanya sejenak namun mampu menghadirkan berbagai rasa bahagia, kecewa, sedih, sakit, sepi, jenuh. Terima kasih untuk semuanya.

13. Segenap pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya, terima kasih atas segala bantuan, perhatian dan semangat yang diberikan kepada penulis.


(8)

iii

Demikianlah semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semuanya atas kebaikan yang telah diperbuat. Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Jakarta, April 2011


(9)

Yunita Septiani, Khalifah Al-Ma’mun dan Jasanya dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

Khalifah al-Ma’mun merupakan salah satu khalifah daulah Abbasiyah yang termasuk ke dalam The Golden Age (zaman keemasan). Selama masa pemerintahannya banyak hal yang beliau lakukan khususnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, paham Mu’tazilah yang turut mempengaruhi pemikirannya, dan pengaruh pemikiran Persia yang tidak lain adalah daerah asal ibunya sedikit banyak mempengaruhi pemikiran al-Ma’mun. kedudukan akal yang sangat dijunjung tinggi yang juga membuat al-Ma’mun banyak melakukan pembaharuan dan terobosan-terobosan baru dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Gerakan penerjemahan yang sudah dimulai oleh khalifah al-Manshur kembali digalakkan pada masa al-Ma’mun. Al-Ma’mun tidak segan-segan memberi imbalan besar kepada para penerjemah. Para pejabat pada masanya juga diwajibkan menguasai 2 bahasa, para pelajar dan ilmuan diberi fasilitas untuk melakukan rihlah ilmiah bahkan ketika menaklukkan suatu daerah bukan harta benda yang jadi fokus utama al-Ma’mun melainkan manuskrip-manuskrip yang dimiliki oleh daerah tersebut yang akan dipinjam Al-Ma’mun untuk kemudian diterjemahkan dan dijadikan koleksi tambahan di Baitul Hikmah. Baitul Hikmah yang dibangun oleh ayahnya Harun ar-Rasyid juga tidak luput dari perhatian beliau, keberadaan Baitul Hikmah begitu dimanfaatkan oleh al-Ma’mun sebagai tempat untuk para ilmuan berdiskusi, juga sebagai tempat berkembanganya ilmu pengetahuan. Dari kegiatan itulah muncul berbagai cabang ilmu pengetahuan dan para ilmuan yang sangat berguna bagi perkembangan umat Islam.

Kata kunci : Khalifah al-Ma’mun, Jasanya dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan


(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejarah merupakan hal yang tidak boleh dilupakan sepanjang perjalanan hidup manusia, karena keberadaan sejarah dapat membuat manusia belajar untuk dapat hidup lebih baik. Sejarah yang pernah terjadi terkadang terulang kembali pada masa kini dengan atau tanpa disadari.

Salah satu sejarah Islam yang cukup menarik perhatian adalah sejarah Daulah Abbasiyah yaitu daulah atau kerajaan yang muncul setelah daulah Umayyah. Tidak seperti daulah sebelumnya yang lebih mengutamakan kekuatan militer dalam pemerintahannya, pada daulah Abbasiyah mengembangkan ilmu pengetahuan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat menjadi hal yang sangat diperhatikan terutama pada masa pemerintahan beberapa khalifah.

Puncak kejayaan pemerintahan Bani Abbas berada pada masa Khalifah Harun Al-Rasyid dan putranya al-Ma’mun, yang disebut “Masa Keemasan Islam” (The Golden Age of Islam).1

Walaupun sempat diwarnai perang saudara namun pemerintahan al-Ma’mun tidak kalah megah dan maju dengan kepemimpinan ayahnya Harun ar-Rasyid. Bahkan beliau melanjutkan perkembangan Baitul Hikmah yang

1

Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, (Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), h. 40


(11)

telah dibangun Harun ar-Rasyid menjadi pusat ilmu pengetahuan. Baitul Hikmah digunakan sebagai tempat diskusi dan musyawarah untuk menyelesaikan berbagai masalah yang hasilnya sangat bermanfaat untuk kerukunan masyarakat.

Selain itu, pada masa ini, gerakan penerjemahan sangat digalakkan. Dari gerakan penerjemahan inilah mulai banyak bermunculan hasil karya para ilmuan yang karyanya diberi imbalan dengan gaji atau emas setara dengan berat karya mereka. Minat membaca masyarakat yang juga cukup tinggi turut membuat perkembangan ilmu pengetahuan mencapai puncaknya.

Paham Mu’tazilah yang juga sangat mempengaruhi pemikiran al-Ma’mun membuat dia sangat menjunjung tinggi kegunaan akal sehingga memunculkan berbagai macam upaya dan penemuan baru untuk menunjang perkembangan ilmu pengetahuan.2

Perhatiannya yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuanlah yang kemudian memunculkan berbagai macam kegiatan yang berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Para dermawan pada saat itu pun tak ragu untuk membelanjakan hartanya untuk membantu para penuntut ilmu dan para ilmuan dalam melakukan perjalanan (Rihlah Ilmiah) demi untuk mendapatkan bahan yang dapat menambah khazanah keilmuan mereka.

Dapat dikatakan pada masa itu para penuntut ilmu dan para ilmuan benar-benar berada dalam masa kejayaan ilmu pengetahuan. Dari kerja keras merekalah kemudian bermunculan berbagi macam karya yang tidak hanya berguna tapi sangat membanggakan umat Islam.

Dari latar belakang masalah di atas maka penulis menuangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul“KHALIFAH AL-MA’MUN DAN JASANYA DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN ”.

2

Harun Nasution,Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (Jakarta : Mizan, 1996), Cet Ke-IV, H. 128


(12)

3

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar permasalahan terarah, maka masalah pokok yang akan diteliti dalam penulisan skripsi ini adalah jasa dan hasil yang dicapai khalifah Al-Ma’mun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.

Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah “Apa saja jasa dan hasil yang dicapai khalifah Al-Ma’mun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan?”

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan maka penulisan ini bertujuan untuk mengetahui sejarah khalifah Al-Ma’mun dan jasa-jasa serta hasil yang dicapai khalifah Al-Ma’mun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang dilakukan pada masanya yang membuat khalifah Al-Ma’mun menjadi salah satu khalifah yang paling gemilang pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah.

D. Manfaat Penulisan

Hasil penulisan ini bermanfaat untuk menambah khazanah keilmuan khususnya dalam bidang sejarah dan sebagai bahan kajian untuk penelitian selanjutnya.

E. Metodologi Penelitian

Dalam penulisan ini penulis menggunakan library research atau penelitian kepustakaan (Deskriftif Analitif), yaitu meneliti, menghimpun dan mengkaji beberapa literatur dan kepustakaan yang ada relevansinya dengan masalah yang akan dibahas dalam penyusunan skripsi ini.

Adapun sumber primer dalam penulisan skripsi ini adalah Sejarah dan Kebudayaan Islam karya Ahmad Syalaby. Sedangkan sumber sekunder dalam penulisan skripsi ini adalah Sejarah Peradaban Islam : Dari Masa Klasik hingga Modernkarya Dudung Abdurrahman, kitabAl-Kamil fit-Tarikh


(13)

karya Ibnul Atsir, Sejarah Kekuasaan Islamkarya Fa’al M. Fahsin, , Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarahkarya Fadil SJ, dan lain-lain.

F. Kajian yang Relevan

Dalam proses penulisan skripsi ini penulis belum mendapatkan kajian yang relevan selama proses penelitian dan penulisan, yang membahas tentang khalifah al-Ma’mun secara khusus.

G. Teknik Penulisan

Untuk teknik penulisan skripsi ini penulisan berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi , Tesis dan Disertasi, oleh UIN Jakarta Press, 2009.


(14)

5

BAB II

KONDISI SOSIAL BUDAYA

DAN POLITIK MASYARAKAT BAGHDAD

A. Kondisi Sosial-Budaya Masyarakat Baghdad

Masa kejayaan peradaban Islam, ditandai oleh kebhineka tunggal ika-an, dalam berbagai aspek peradaban. Diwarnai oleh keberagaman dalam bidang kehidupan keagamaan, keberagaman dalam pemikiran-pemikiran kefilsafatan, keberadaan dalam warna dan corak keseniannya, timbulnya sistem sosial politik yang diwarnai oleh peradaban dan budaya local yang berbeda-beda, dengan tingkat perekonomian serta ilmu pengetahuan, serta tekhnologi yang beragam yang kesemuanya saling mendukung dan dijiwai sama, yaitu mewujudkan kesejahteraan hidup umat manusia lahir batin, dunia akhirat.1

Kemajuan peradaban Abbasiyah sebagiannya disebabkan oleh stabilitas politik dan kemakmuran ekonomi kerajaan ini. Pusat kekuasaan Abbasiyah berada di Baghdad. Daerah ini bertumpu pada pertanian dengan sistem irigasi dan kanal di sungai Eufrat dan Tigris yang mengalir sampai Teluk Persia. Perdagangan juga menjadi tumpuan kehidupan masyarakat Baghdad yang menjadi kota transit perdagangan antara wilayah timur seperti Persia, India, China, dan Nusantara dan wilayah barat seperti Negara-negara

1

Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (Malang : UIN Malang Press, 2008) cet. Ke-I, h. 149


(15)

Eropa dan Afrika Utara sebelum ditemukan jalan laut menuju timur melalui Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Wilayah imperium ini membentang sepanjang 6.500 kilometer dari Sungai Indus di India di sebelah timur sampai ke perbatasan barat Tunisia, Afrika Utara di sebelah barat dan selua 3000 kilometer dari Aden, Yaman di selatan sampai pegunungan Armenia, Kaukasia di utara. Penduduk Daulah Abbasiyah terdiri dari berbagai etnik dan suku bangsa yang hidup di wilayah yang memiliki cuaca dan kondisi geografis yang sangat berbeda.2

Khalifah al-Mansur salah satu khalifah daulah bani Abbasiyah dan pegawai-pegawainya yang mempunyai ide membuat ibukota yang baru itu. Tempatnya baik, berangin, udaranya nyaman, dibentengi oleh alam asli dari serangan-serangan musuh, mudah mengadakan hubungan dengan kebanyakan wilayah-wilayah kerajaan Islam. Letaknya di tebing Sungai Dajlah dan melalui sungai itulah datang barang-barang dagangan dari India, Sind, Cina, Basrah, Ahwaz, Mausil, Diar Bakar dan DiarRabi’ah.3

Mula-mula yang dibangun ialah dua tembok: tembok sebelah dalam dan tembok sebelah luar. Ukuran garis bulatan tengah tembok sebelah dalam ialah 1,200 hasta, tingginya 35 hasta dan lebarnya dari sebelah bawah ialah 20 hasta. Sementara tembok sebelah luar, lebarnya dari sebelah bawah ialah 50 hasta dan dari sebelah atasnya 20 hasta dan tingginya 30 hasta. Lebar di antara kedua tembok itu ialah 60 hasta. Keseluruhan tembok tersebut mempunyai gerbang berhadapan dengan empat ruas jalan raya, dan masing-masing gerbang menghadap ke satu arah tertentu yang masing-masing mempunyai nama sendiri-sendiri yaitu Gerbang Kufah, Gerbang Basrah, Gerbang Khurasab dan Gerbang Syam. Di antara tiap-tiap gerbang itu terdapat kubah dibuat dari emas, di atas setiap kubah terdapat 28 menara.

Pembangunan kota Baghdad menghabiskan dana sebesar 4,000,833 dirham, dan sebagian besar pekerja-pekerja yang terlibat dalam pembangunan

2

Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam, dari Masa Klasik hingga Modern, Yogyakarta, LESFI, 2004), Cet. Ke-II, h. 97-98

3

Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura, 1991), Cet. Ke-III, h.177


(16)

7

itu adalah insinyur dan orang-orang kenamaan. Di antarany adalah al-Hajjaj bin Artaah yang turut merancang pembangunan kota itu, dan Imam Abu Hanifah yang bertugas menghitung batu-batu yang diperlukan.4

Kehidupan sosial masyarakat Islam terdiri dari orang muslim dan non muslim (dzimmi). Dari segi etnis, orang muslim dibedakan atas orang Arab dan non Arab (‘ajam) seperti keturunan Turki, Persia, Qibthi, Syiria, Barbar, Andalusia (Vandal) dan lain sebagainya. Kehidupan sosial masyarakat pada mulanya, menunjukkan adanya struktur kelompok atau kelas yang terdiri dari : 1. Kelas penguasa, yaitu kelompok orang Arab yang memegang kekuasaan; 2. Kelas menengah, yang terdiri dari orang Islam yang bukan Arab

(penduduk asli suatu daerah yang kemudian masuk Islam;

3. Kelompok non-muslim yang berada di bawah perlindungan pemerintah/kekuasaan Islam, disebut kaum dzimmi;

4. Kelompok kaum pekerja, yang terdiri fari kaum budak belian; namun pada masa kejayaan peradaban Islam (Abbasiyah) telah terjadi pembauran antara kelompok-kelompok tersebut.5

Kemegahan dan kemakmuran Baghdad turut pula membuat peradaban kamu muslimin semakin maju dan jauh lebih hebat dari peradaban bangsa Eropa. Kaum muslimin tidak saja mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan yang didapat dari bangsa Eropa tapi dengan kemahiran, kecerdasaan, sikap ingin menelaah kaum muslimin berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan tersebut menjadi lebih bermanfaat. Sehingga pada perkembanggannya kaum muslimin tidak lagi berguru kepada orang-orang Yunani seperti yang dilakukan sebelumnya.

B. Kondisi Politik Masyarakat Baghdad

Gerakan revolusi Abbasiyah juga mempergunakan suku Arab Selatan, orang-orang Qais Yaman yang membenci Bani Umayyah karena tersingkir dari lingkaran kekuasaan Bani Umayyah yang lebih memilih pesaing mereka,

4

Ibnul Atsir,Al-Kamil fit Tarikh,(Beirut : Dar Sader, 1971), jilid 6 h. 178

5


(17)

suku Arab dari wilayah Utara, Qais, dan Mudar. Orang-orang Yaman inilah yang menjadi salah satu tulang punggung kekuatan Abu Muslim al-Khurasani, jenderal Persia yang menjadi salah satu inti kekuatan gerakan Revolusi Abbasiyah.

Gerakan penggulingan imperium Umayyah ini sukses berkat organisasi tentara yang dipersenjatai dan diorganisir dengan baik. Abu Muslim al-Khurasani dapat mempersatukan dan memimpin pasukan yang terdiri dari orang Arab dan non-Arab yang diperlakukan secara setara. Dialah yang memulai pemberontakan terbuka terhadap pemerintahan Bani Umayyah yang pertama dapat ditaklukkan adalah wilayah Khurasan. Setelah ditalukkan, wilayah ini menjadi basis kekuatan untuk menaklukan wilayah-wilayah lain di sekitarnya.6

Kekuasaan Harun Al- Rasyid amat luas, yang terbentang di daerah-daerah Laut Tengah di sebelah Barat sampai India di sebelah Timur. Puncak kejayaaan pemerintahan Bani Abbas pada masa khalifah Harun al-Rasyid dan putranya, Al-Ma’mun, yang disebut “Masa Keemasan Islam” (The Golden Age of Islam). Pada tahun 800 M/184 H Baghdad telah menjadi kota metropolitan dan kota utama bagi dunia Islam, yakni sebagai pusat pendidikan, ilmu pengetahuan, pemikiran, dan peradaban Islam, serta pusat perdagangan, ekonomi, dan politik. Pada tahun 791 M, Harun Al-Rasyid, atas permintaan Ratu Zubaidah, menunjuk ketiga anak laki-lakinya Amin, Al-Ma’mun, dan Al-Qasim sebagai calon-calon pengganti secara berturut-turut setelah kematiannya.

Tampaknya di sini kelemahan Harun. Karena sangat sayangnya pada Zubaidah, ia sering menuruti kemauan isterinya. Untuk memberikan latihan politik kepada anak-anaknya, Harun membagi imperium ke dalam tiga bagian. Al-Amin diberi tanggung jawab atas wilayah Barat, al-Ma’mun wilayah Timur, dan al-Qasim bertanggung jawab atas wilayah Mesopotamia.7

6

Dudung Abdurrahman,Sejarah Peradaban Islam, dari Masa Klasik hingga Modern,h. 99

7

Didin Saefuddin,Zaman Keemasan Islam, Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, (Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), h. 40


(18)

9

Ar-Rasyid membaiat anaknya Muhammad Al-Amin sebagai “Putra Mahkota” pada hari Kamis bulan Sya’ban 173 Hijriah, dan diberikan kekuasaan daerah Syam dan Irak. Kemudian juga membaiat anaknya Abdullah Al-Ma’mun di Ra’fah pada tahun 183 H, dan diberi kekuasaan daerah Hamdan sampai akhir Masyriq (wilayah timur).8

Ketika masih menjadi putera mahkota, al-Ma/mun diangkat oleh ayahnya menjadi gubernur di Khurasan dan bertempat tinggal di Marw. Berkat bantuan wazirnya. Fadhal bin Sahal, popularitas yang diperolah Al-Ma’mun di daerah Persia semakin lama semakin meningkat yang kemudian mengakibatkan timbulnya perselisihan dengan kakaknya khalifah Al-Amin. Oleh Al-Amin, kedudukan Al-Ma’mun sebagai putera mahkota dicopot, digantikan oleh putera Al-Amin sendiri yang bernama Musa. Pada mulanya Al-Ma’mun tidak berkeberatan untuk melepaskan kedudukannya tersebut, namun wazinya, Al-Fadhal bin Sahal mendesaknya untuk menolak tindakan pemecatan yang dilakukan oleh Al-Amin.9

Ketegangan di antara Al-Amin dan Al-Ma’mun mulai muncul dan berkembang berkaitan dengan status otonomi Propinsi Khurasan. Para perwira militer Khurasan yang berada di Baghdad mempengaruhi Khalifah Al-Amin untuk menguasai propinsi penting ini, meskipun berarti harus menyingkirkan saudaranya sendiri Al-Ma’mun, dan melanggar piagam Perjanjian Makkah tahun 186 H/802 M. Desakan militer ini juga didukung oleh Al-Fadhl bin Ar-Rabi, hajib istana yang telah menjadi orang kepercayaan khalifah. Selama 2 tahun, pihak Baghdad mendesak Al-Ma’mun agar mau tunduk kepada kekuasaan khalifah. Al-Ma’mun sendiri sebenarnya tidak melakukan persiapan yang memadai jika ternyata Baghdad menggunakan kekerasan. Kekuatan militernya sangat kecil dan kesetiaan mereka juga tidak dapat diandalkan. Akan tetapi, berkat nasihat menterinya Al-Fadhal bin Sahal, ia menolak desakan Baghdad. Menurut Al-Fadhal bin Sahal, Al-Ma’mun bekerja

8

Syauqi Abu Khalil,Harun Ar-Rasyid Amirul Khulafa(Pustaka Azzam, Jakarta, 2002), Cet. Ke-I, h. 53

9


(19)

sama dengan para kepala suku dan pemimpin golongan tertentu di Khurasan yang kurang menyukai dominasi Baghdad atas negeri mereka.10

Perpecahan kedua saudara ini bertambah serius setelah Al-Amin mengubah isi piagam wasiat Harun Al-Rasyid yang menyatakan bahwa Harun ar-Rasyid akan melantik al-Ma’mun setelah al-Amin serta meletakkan wilayah Khurasan hingga Hamdan di bawah pemerintahan al-Ma’mun, namun Khalifah al-Amin justru mengangkat Isa bin Isa menjadi gubernur Khurasan. Kemudian, sebuah angkatan perang, yang menurut sebuah riwayat, berjumlah 40 ribu orang, dipersiapkan untuk membebaskan Khurasan. Untuk menghadapi balatentara yang besar ini, Ma’mun mengangkat Tahir bin Al-Husain (775-822 M) untuk memimpin satu unit pasukan sekitar 5.000 orang. Tahir bin Al-Husain sendiri menyatakan bahwa ini merupakan misi bunuh diri. Akan tetapi, ketika kedua pasukan bertempur di pinggir kota Rayy bulan Mei 811 M, Ali bin Isa dari pihak Baghdad terbunuh dan pasukannya kocar-kacir.

Para sejarawan memandang perselisihan antara Ma’mun dan Al-Amin sebagai perselisihan antara orang-orang Persia dan orang-orang Arab. Karena dalam perselisihan tersebut, Al-Ma’mun didukung oleh orang-orang Persia, sedangkan Al-Amin yang ibunya orang Arab didukung oleh orang Arab. Ini berarti kemenangan “pengaruh” Persia atas pengaruh Arab.11

10

Perpustakaan Nasional RI, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,(Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, , 2003) Cet. Ke-II, h. 95

11

Musyarifah Sunanto,Sejarah Islam Klasik,( Jakarta : Prenada Media, 2003), Cet. I, H. 50


(20)

11

BAB III

BIOGRAFI AL-MA’MUN

A. Latar Belakang Keluarga Al-Ma’mun 1. Latar Belakang Orang Tua Al-Ma’mun

Al-Ma’mun adalah putera dari Harun al-Rashid yang merupakan putra dari al-Mahdi, ia dilahirkan di Ravy pada Februari 763 M. dia diberi pendidikan oleh Barmakiy yang berbakat, Yahya bin Khalid. Pada usia 23 tahun, dia menggantikan saudaranya Hadi sebagai Khalifah Abbasiyah pada September 786 M. Segera setelah diangkat, dia menunjuk Yahya Barmakiy sebagai Perdana Menteri dan selama 17 tahun kemudian, Yahya dan empat putranya, memimpin kerajaan dan memegang kekuasaan penuh atas kekhalifahan Abbasiyah.1

Ibu Harun ar-Rasyid bernama Khaizuran, seorang bekas sahaya (ummu Walad) yang dijadikan permaisuri oleh Mahdi. Harun al-Rasyid berperawakan tinggi, berkulit putih, gemuk dan tampan.2

Harun ar-Rasyid dikenal sebagai sosok yang sangat pemberani. ketika usianya baru dua puluh tahun dia telah melakukan penyerbuan dan penaklukan negeri Romawi pada masa pemerintahan ayahnya. Selain itu

1

M. Atiqul Haque, Seratus Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, (Yogyakarta : Diglossia, 2007), cet ke- I, h. 273

2


(21)

dia juga dikenal sebagai sosok yang takwa dan takut kepada Allah dalam segala perkara. Dia melakukan ibadah haji sebanyak sembilan kali.3

Khalifah Harun ar-Rasyid mempunyai 2 sifat yang sangat berlawanan, ketika marah Harun begitu garang dan menggeletar seluruh tubuh, dan kalau memberi nasihat, dia menangis tersedu sedan. Harun mendekati pelawak-pelawak penglipur lara yang karut dan juga pahlawan-pahlawan yang cakap dan gagah. Sehingga Harun ar-Rasyid diumpamakan sebagai angin ribut yang kencang dan kadang-kadang pula sebagai bayu yang bertiup sepoi-sepoi basah. Di sisi lain Harun ar-Rasyid lebih banyak menggunakan akal dari pada emosi.4

Selain itu, Harun dikenal sebagai sosok khalifah yang selalu setia mendengarkan nasihat-nasihat dan sering kali menangis karena takut kepada Allah. Dia adalah salah seorang khalifah yang memiliki sifat-sifat utama. Dia seorang yang fasih dalam berbicara. Juga salah seorang ulama di antara mereka dan orang yang paling mulia dan terhormat.

Di antara kerja mulia yang dia lakukan untuk ilmu pengetahuan adalah pendirian Baitul Hikmah, sebuah akademi yang menjadi mercusuar ilmu dan peradaban di dunia pada masa itu. Sebuah akademi yang darinya muncul obor bagi kebangkitan sains di Eropa setelah itu.5

Harun ar-Rasyid menikah dengan Zubaidah binti Ja’far bin abu Ja’far Al-Manshur. Zubaidah adalah seorang wanita mulia yang memiliki wawasan yang luas dan perhatian yang besar terhadap para ulama, penyair dan dokter. Dia seorang yang cerdik, pintar, fasih dalam berbicara dan menguasai ilmu balaghah. Dia adalah sepupu Harun ar-Rasyid yang begitu disayanginya Zubaidah adalah ibu dari al-Amin. Kemudian Harun menikah lagi dengan Marajil seorang bekas hamba sahaya dari Persia yang meninggal tidak lama setelah melahirkan al-Ma’mun.

3

Ahmad Al-Uasairy,Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam hingga abad XX,(Jakarta : Akbarmedia, 2009), cet. Ke-VII, h. 227

4

Ibnul Atsir,Al-Kamil fit Tarikh,(Beirut : Dar Sader, 1971), jilid 6 h. 72

5


(22)

13

Harun meninggal pada tahun 193-H/808 M. Dia memerintah selama 23 tahun karena terserang suatu penyakit di suatu tempat bernama Tus ketika akan menumpas pemberontakan yang dilancarkan oleh Rafi’ bin Laith di daerah Khurasan.6

B. Kehidupan Al-Ma’mun 1. Masa kecil Al-Ma’mun

Abdullah Abul-Abbas Al-Ma’mun dilahirkan pada tahun 198-218 H/ 813-833 M. Al-Ma’mun dilahirkan enam bulan lebih dulu dari saudara sebapaknya Al-Amin 194-198 H/809-813 M.7

Al-Ma’mun termasuk putra yang jenius. Sebelum usia 5 tahun ia dididik agama dan membaca al-Qur’an oleh dua orang ahli yang terkenal bernama Kasai Nahvi dan Yazidi. Untuk belajar hadits, Harun Al-Rasyid menyerahkan kedua putranya Al-Ma’mun dan Al-Amin kepada Imam Malik di Madinah. Kedua putranya itu belajar kitabal-Muwatha, karangan Imam Malik sendiri dalam waktu yang sangat singkat, Al-Ma’mun telah menguasai ilmu-ilmu kesustraan, tatanegara, hukum, hadits, falsafah, astronomi, dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Ia hafal al-Qur’an begitu juga menafsirkannya.8

Harun Al-Rasyid pun mempercayakan anak-anaknya dengan memberi tanggung jawab penuh kepada guru pribadi. Al-Ma’mun berada di bawah bimbingan Ja’far Ibn Yahya seorang yang bijak dalam berbicara, bijaksana dalam berpikir, murah hati dan pemaaf . Ja’far juga mengusulkan kepada Harun untuk mencalonkan al-Ma’mun sebagai khalifah yang kemudian disambut baik oleh Harun9

Al-Ma’mun adalah pribadi yang jarang bermain. Selama dua puluh bulan tinggal di Baghdad beliau tidak sembarangan mendengarkan

6

Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura, 1991), Cet. Ke-III, h. 124

7

Ahmad Shalaby,Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 114

8

Iwan, “Abdullah al-Makmun”, dalamhttp://eone26donk.blog.com, 06 September 2010

9

Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, (Jakarta : Grasindo, 2002) h. 41


(23)

nyanyian yang biasanya menjadi hiburan di istana, karena kekhawatiran beliau nyanyian tersebut akan menghilangkan konsentrasi beliau ketika mengkaji berbagai buku-buku. Walaupun ia mendengar dari belakang tabir. Semua itu disebabkan karena kecintaan beliau kepada ilmu pengetahuan serta usahanya mengembalikan keutuhan kerajaan yang hampir runtuh.10

Dalam Tabari (ay. 32, hal 231) dijelaskan bahwa sosok Al-Ma’mun memiliki tinggi rata-rata, kulit yang terang/bersih, tampan dan memiliki jenggot yang panjang.11

2. Masa remaja dan dewasa Al-Ma’mun

Al- Ma’mun merupakan salah seorang tokoh Khalifah Abbasiyah yang paling terkemuka. Kebanyakan ahli-ahli sejarah berpendapat, tanpa ketokohan dan kemampuan Al-Ma’mun, niscaya peristiwa-peristiwa yang berlaku di zamannya itu pasti dapat mengganggu kerajaan Islam dan membawa kepada bahaya dan keruntuhan.

Khalifah Abbasiyah ketujuh yang mengantarkan dunia Islam pada puncak pencapaian masa keemasan Islam itu bernama Al-Ma’mun. Ia dikenal sebagai figur pemimpin yang dianugerahi intelektualitas yang cemerlang. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan. Kemampuan dan kesuksesannya mengelola pemerintahan dicatat dengan tinta emas dalam s

Al-Ma’mun dinilai sebagai salah satu khalifah terbesar di Dinasti Abbasiyah. Pemerintahannya disebut masa keemasan Islam. Dia mempromosikan berbagai studi seni, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Dia mendorong dan menyukai diadakannya berbagai diskusi. Untuk mempromosikan ilmu pengetahuan ia mendirikan perpustakaan, observatorium dan lembaga lainnya. Banyak sarjana yang berprestasi berkembang dan dilindungi olehnya.12

10

Ahmad Shalaby,Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 121-122

11

Michael Cooperson, “Al-Ma’mun”, (Oxford, Oneworld Publications, 2005), dalam

http://id.wikipedia.org, 06 Januari 2011

12

Masudul Hasan,History of Islam : Clssical Period 571-1258 C. E., (Adam Publishers, Delhi, 1992), Cet. Ke-I, h. 219


(24)

15

Khalifah Al-Ma’mun terkenal sebagai seorang yang tidak suka akan pertumpahan darah, amat benci menipu daya, dan bertoleransi. Seandainya beliau mengatur rencana jahat untuk menyingkirkan orang, maka yang memaksa beliau berbuat demikian ialah keadaan dan masalah-masalah besar yang begitu mendesak. Beliau tidak melakukannya karena tunduk kepada hawa nafsu atau untuk memenuhi keinginan menumpahkan darah, tetapi sebaliknya untuk melenyapkan huru-hara dan pemberontakan. Fenomena lain ternyata kelihatan pada usaha-usaha pembunuhan yang digalakkan oleh Al-Ma’mun. pembunuhan tersebut hanyalah ke atas siapa yang ditakuti bisa membahayakan saja, tidak melihat keluarga si mangsa atau perampasan harta benda. Di samping itu, hal yang juga menyangkut diri Al-Ma’mun. yaitu seolah-olah apa yang terjadi itu tidak ada hubungannya dengan dirinya, dan beliau sendiri berusaha sepenuh tenaga untuk meringankan kesan buruk yang menimpa keluarga korbannya itu.13

Pemaaf adalah salah satu dari sifat Al-Ma’mun yang paling nyata. Beliau memaafkan Al-Fadhl bin Ar-Rabi’ yang telah menghasut berbagai pihak untuk menentang beliau. Beliau memaafkan Ibrahim Al-Mahdi yang telah melantik dirinya sebagai khalifah di Baghdad semasa Al-Ma’mun berada di Merw, walaupun Al-Mu’tashim dan Al-Abbas bin Al-Ma’mun menyarankan agar Ibrahim dibunuh. Beliau memaafkan Al-Husain Adh-Dhahak yang pernah mengatakan bahwa sesudah kematian Amin, Al-Ma’mun tidak akan merasa gembira memegang jabatan khalifah, karena beliau adalah orang yang senantiasa diburu dan disingkirkan.

Khalifah Al-Ma’mun adalah seorang khalifah Islam yang arif bijaksana, tinggi akal, bagus budi pekertinya, mengutamakan kemerdekaan berpikir dan berdiskusi.

Al-Ma’mun menikahdengan Buran anak perempuan Al-Hasan bin Sahl salah satu menteri dalam pemerintahan al-Ma’mun yang juga masih saudara al-Fadhl wazir al-Ma’mun. Mengenai peristiwa ini Ibnu Tabatiba

13


(25)

menceritakan bahwa Al-Hasan telah mengeluarkan belanja besar serta menaburkan mutiara yang tiada terkira banyaknya karena perkawinan itu. Al-Hasan telah membagi-bagikan buah-buah tembikar yang diletakkan sekeping kertas kecil bertulis dengan nama salah satu perkebunannya. Siapa yang mendapatkan tembikar yang berisi kertas tersebut, maka dia diberikan kebun yang telah ditetapkan itu. Undangan yang dibuat terlalu besar sehingga Al-Ma’mun sendiri menganggapnya sebagai pemborosan. Untuk menyambut khalifah Al-Ma’mun, Al-Hasan telah membentangkan hamparan tenunan emas bertahtakan seribu mutiara.14 Pernikahan ini dirayakan dengan pertunjukan dan arak-arakan besar-besaran yang tidak biasa. Buran memberikan pengaruh yang besar kepada khalifah. Dermanya begitu besar, dan dia mendirikan beberapa rumah sakit di Baghdad.15

Pada masa pemerintahannya Al-Ma’mun pernah berusaha untuk menceraikan isterinya karena tidak kunjung memberikannya keturunan. Namun atas bantuan dari hakim Suriah yang bersimpati kepada isterinya maka perceraian itu pun tidak terjadi.

Selama menjadi khalifah , Al-Ma’mun tetap tinggal di Marw, tidak pindah ke Baghdad. Suatu pemberontakan di Kuffah yang dilakukan oleh Abu Suraya yang berhasil ditumpas oleh Hartsama mengundang kemarahan para anak buahnya di Baghdad sehingga menimbulkan kegaduhan dan kekacauan.16

Kemenangan ini merupakan titik balik bagi Al-Ma’mun. posisinya di Khurasan tidak tergoyahkan dan pengaruhnya di wilayah lain semakin besar. Tidak lama kemudian, Al-Ma’mun diproklamirkan sebagai khalifah. Pada saat yang sama reputasi khalifah Al-Amin di Baghdad semakin menurun. Ia tidak berhasil merekrut angkatan perang baru karena suku-suku Arab kurang mempercayainya. Ia tampaknya memang lebih mempercayai dan memanjakan tentara yang berasal dari Khurasan, akan

14

Ahmad Shalaby,Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 125

15

Syed Mahmudunnasir, “Islam, Konsepsi dan Sejarahnya”(Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1991), Cet. Ke-II, h. 271

16


(26)

17

tetapi satu persatu kota di daerah lain juga dapat dikuasai. Akhirnya bulan Agustus 812 M kota Baghdad terkepung oleh para pendukung Al-Ma’mun. pengepungan ini berlangsung selama setahun lebih dan akhirnya khalifah tertangkap dan terbunuh ketika ingin melarikan diri. Terbunuhnya khalifah telah menurunkan prestise kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Kota Baghdad mengalami dekadensi akibat perang dan barulah pada tahun 819 M khalifah Al-Ma’mun memindahkan pusat pemerintahannya dari Khurasan ke Baghdad dan sejak itu Bahgdad mulai aman kembali. Pada tahun-tahun berikutnya, Al-Ma’mun mengadakan konsolidasi seluruh wilayah Islam yang telah terkoyak-koyak akibat perang saudara.

Pemerintahan Al-Ma’mun menandai pemisahan antara periode awal dan periode kedua Dinasti Abbasiyah. Kelompok yang semula membantu kekhalifahan pada tahun-tahun pertama sekarang turun dari panggung kekuasaan. Di antara kelompok ini, yang paling penting adalah para abnâ’ (keturunan veteran revolusi Abbasiyah yang berasal dari Khurasan). Klan Abbasiyah sendiri yang telah memainkan peran penting selama ini, setelah periode ini, peranan mereka tidak begitu menentukan lagi. Sama juga halnya dengan keluarga-keluarga Arab, seperti Al-Muhallabi dan Syaibani. Mereka menghilang dari istana. Selama pemerintahan Al-Ma’mun, kelompok-kelompok tersebut digantikan oleh orang-orang baru yang dengan ideologi baru ingin menerapkan metode pemerintahan yang baru pula. Kelompok yang paling penting dan berpengaruh adalah yang dipimpin saudara khalifah Al-Ma’mun sendiri yang bernama Abu Ishaq.17

Setelah perang saudara berakhir dengan kemenangan Al-Ma-mun, beliau naik tahtah. Masa kekhalifahan Al-Ma’mun selama dua puluh tahun itu bisa dibagi ke dalam dua bagian , yaitu :

(a) Kehausan Al-Ma’mun akan ilmu pengetahuan mendorongnya untuk menyibukkan dirinya di dalam mempelajari kebudayaan dan membahas filsafat di Merv, dengan menyerahkan tugas pemerintahannya

17


(27)

kepada Al-Fadhal bin Sahal. Al-Fadhal bin Sahal mulai menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan Al-Ma’mun kepadanya. Fadhal bernafsu untuk tetap memegang kekuasaan di Merv, kabar mengenai keadaan yang sebenarnya di Barat tidak diperkenankan sampai kepada khalifah, dan beliau dibiarkan tidak mengetahui sama sekali tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di Irak dan Siria.

(b) Dalam masa empat belas tahun berikutnya, Al-Ma’mun memegang sendiri kendali pemerintahan. Pada tahun 819 M Al-Ma’mun mengambil alih tanggung jawab atas imperium. Dengan kembalinya beliau berkuasa, semua kekacauan berhenti. Al-Ma’mun menyibukkan diri dengan bersemangat dalam pekerjaan mereorganisasi pemerintahan. Pemerintahan Kota Suci dipercayakan kepada seorang bani Ali. Kufah dan Basrah diserahkan kepada kedua orang saudara Khalifah. Tahir bin Hussain diangkat menjadi Gubernur Khurasan. Anak Tahir yang bernama Abdullah dipercayai memegang jabatan Gubernur Siria dan Mesir, bersama-sama dengan tugas menaklukkan Nasar Okaili.18

Kemenangan yang diraih Al-Ma’mun dalam perang saudara yang terjadi antara Al-Amin dan Al-Ma’mun sedikit banyak meninggalkan berbagai masalah katidakpuasan dari beberapa pihak yang kemudian memunculkan pemberontakan-pemberontakan antara lain :

a. Pemberontakan Abus-Saraya

Abus-Saraya as-Sari bin Mansur as-Syaibani, salah seorang panglima besar di dalam angkatan bersenjata yang dipimpin oleh Hartsama disingkirkan oleh al-Fadhl bin Sahal, setelah keberhasilannya dalam pertarungan menentang al-Amin, dan digantikan dengan saudara al-Fadhl sendiri, yaitu al-Hasan bin Sahl.

Abus-Saraya terpaksa melarikan diri dan meninggalkan kota Kufah yang dikejar oleh tentara pemerintah, yang dapat menawannya setelah Abus-Saraya mendapat cidera parah di dalam salah satu pertempuran, di mana tentaranya mengalami kekalahan besar. Abus-Saraya kemudian dibawa menghadap Al-Hasan bin Sahal, yang kemudian memerintahkan supaya ia dibunuh dan disalibkan, yaitu

18

Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1991),h. 229


(28)

19

pada tahun 200 H. Gerakan pemberontakan itu berjalan selama 10 bulan.

b. Pemberontakan Nasr bin Syabats

Nasr bin Syabats ialah seorang bangsawan Arab yang melihat merosotannya kedudukan bangsa Arab dan kuatnya pengaruh bangsa Parsi hasil dari pembunuhan tehadap Al-Amin serta pemindahan kekuasaan kepada Al-Ma’mun. Dia telah bangkit memimpin suatu pemberontakan untuk mempertahankan keturunan Arab. Pemberontakannya mulai pada tahun 198 H, setelah terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap Al-Amin, dan menjadikan kota Yaksum di utara Syria sebagai pusat gerakannya.

Khalifah Al-Ma’mun telah memerintahkan Tahir bin Al-Husain supaya menyerahkan pemerintahan kota Baghdad kepada Al-Hasan bin Sahal dan keluar untuk memerangi Nasr.19

c. Pemberontakan Baghdad dan pelantikan Ibrahim bin al-Mahdi sebagai khalifah

Setelah terjadi pembunuhan terhadap Al-Amin, Al-Fadhal bin Sahal mencoba menggunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang. Dia telah melantik saudaranya Al-Hasan bin Sahal sebagai pegawai pemerintah di Iraq. Al-Fadhal sendiri berkuasa atas seluruh wilayah Khurasan. Khalifah al-Ma’mun memejamkan mata dan tidak mengetahui apa yang telah terjadi. Al-Fadhal bin Sahal juga telah menyingkirkan dua panglima yang telah membuat kemenangan, yaitu Tahir dan Harstamah agar berada jauh dari Baghdad. Selain itu Al-Fadhal melantik seorang dari golongan Alawiyah sebagai putra mahkota, dengan demikian dia telah merintis jalan bagi pemindahan kekuasaan dari golongan Abbasiyah kepada golongan Alawiyah.

d. Pemberontakan Zatti

Menurut Ibnu Khaldun, Zatti ialah suatu kelompok dari berbagai keturunan yang mengambil kesempatan untuk membuat perlawanan sewaktu pihak tentara sedang sibuk mengalami peperangan. Mereka telah menutup jalan yang menuju ke Basrah, serta merusak kampung-kampung dan wilayah-wilayah. Mereka hanya bertujuan untuk menculik dan menimbulkan kekacauan.

e. Pemberontakan orang-orang Mesir

Di Mesir meletus suatu pemberontakan yang timbul di antara kaum Arab Utara dan kaum Arab Selatan. Kaum Arab Utara memberi dukungan kepada Al-Amin sedangkan kaum Arab Selatan memberi dukungan kepada Al-Ma’mun. Sebagian orang Mesir mengambil kesempatan dari pemberontakan ini dan bangkit menentang

orang-19


(29)

orang Arab. Al-Ma’mun mewakilkan kepad Abdullah bin Tahir untuk menumpas pemberontakan tersebut. Abdullah telah berhasil menjalankan tugasnya, tetapi kepada ia meninggalkan negeri Mesir, pemberontakan itu kembali meletus, menyebabkan Al-Ma’mun terpaksa pergi sendiri untuk memperbaiki keadaan di sana serta memulihkan keamanan dan ketentraman.

Sedangkan di antara tokoh-tokoh utama dalam kerajaan al-Ma’mun ialah Yahya bin Aktsam al-Tamimi yang menjadi Qadhi Besar (Hakim Besar) dan juga salah satu ahli Hadist yang terkemuka, Ahmad bin Abu Daud al-Mu’tazili seorang alim yang disegani di istana. Karena usianya yang panjang, dia telah berpeluang berhubungan dengan banyak khalifah-khalifah, serta Qadhi Besar di zaman al-Ma’mun, al-Mu’tashim, al-Watsiq dan di permulaan zaman al-Mutawakkil.20

Tidak salah kiranya jika sejarah menyatakan masa kegemilangan daulah Abbasiyah salah satu masanya adalah pada pemerintahan khalifah Al-Ma’mun. sosok yang sejak belia sudah menunjukkan sikap dan sifat yang baik sebagai bekal untuk menjadi seorang pemimpin. Dari bekal yang didapat sejak belia ini pula yang dapat menjadi landasan bagaimana beliau menjalankan pemerintahannya termasuk kepeduliannya yang teramat sangat terhadap ilmu pengetahuan dan perkembangannya.

Perhatian yang sangat besar beliau tunjukkan kepada pengembangan ilmu pengetahuan karena cintanya yang demikian besar terhadap ilmu pengetahuan. Tidak heran banyak upaya yang beliau lakukan untuk mewujudkan kecintaan dan perhatiaannya terhadap ilmu pengetahuan yang bukan hanya bermanfaat bagi dirinya pribadi tapi dapat menjadi salah satu sumber kekuatan terbesar dalam mewujudkan pemerintahan yang baik di kemudian hari karena mampu menguasai berbagai aspek ilmu pengetahuan yang dapat menyeimbangkan segala aspek penting dalam kehidupan.

Al-Ma’mun wafat sewaktu sedang berperang di Tarsus tahun 218 H. usianya saat itu 48 tahun. Semoga Allah merahmatinya dengan bakti dan kebaikan yang disumbangkan kepada agama Islam dan kaum muslimin.21

20

Ahmad Shalaby,Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 141

21


(30)

21

C. Al-Ma’mun dan Paham Mu’tazilah

Dikalangan umat Islam, sejalan dengan perkembangan akal pikiran yang menurut Islam memang harus dikembangkan, timbullah berbagai macam aliran keagamaan yang mempunyai sikap dan pandangan keagamaan yang berbeda-beda. Tumbuhnya aliran-aliran dalam Islam berpangkal pada pertikaian politik yang kemudian merembes atau meningkat pada masalah keagamaan.22

Secara garis besar aliran-aliran tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu dalam bidang akidah (teologis), hukum dan tasawuf. Dalam bidang akidah (teologi) terdapat golongan Khawarij, Murji’ah, Syi’ah, Qodariyah, Jabariyah, Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah. Dalam bidang hukum ada berbagai mazhab seperti mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali. Sementara itu, dalam bidang tasawuf berubah menjadi organisasi-organisasi keagamaan yang disebut Thariqah. Thariqah yang muncul pada masa itu antara lain : Qodariyah, Rifayah, Baidawiyah, Dasuqiyah, Bayyuniyah, dan Sadziliyah.23

Dalam bidang akidah (teologi) beberapa aliran atau golongan sempat menimbulkan konflik keagamaan antara lain :

1. Syiah

Golongan Syiah bergabung dan aktif bekerja sama dengan keluarga Abbas dalam menjatuhkan daulat Umayyah. Namun, setelah diketahui bahwa keluarga Abbas memonopoli kekuasaan untuk mereka sendiri dan kemudian membentuk dinasti Abbasiyah, kaum Syiah mengambil sikap melawan mereka. Seperti dalam kasus Muhammad, salah seorang anggota keluarga Ali bin Abi Thalib. Dia tidak bersedia membaiat kekhalifahan Abbasiyah dan bahkan mengirimkan saudaranya, Ibrahim bin Abdillah, untuk menyemarakkan kampenyenya. Kekalahan syiah ini membawa lembaran sejarah baru bagi golongan Syiah itu sendiri.

22

A. Hanafi,Teologi Islam(Jakarta : Bulan Bintang, 1974), h. 8-9

23

Fadil SJ, pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (Malang : UIN Malang Press, 2008), cet. I, h. 153


(31)

2. Khawarij

Pada masa khalifah al-Manshur, kelompok ini mengadakan pemberontakan di Afrika yang dipimpin oleh Abu Hatim. Saat melawan golongan ini, al-Manshur mengirimkan pasukan sebanyak 60 ribu personel dibawah pimpinan Yazid bi Hatim bin Qabishah. Pertempuran ini menelan 30 ribu orang.24

3. Qodariyah

Mazhab Qodariyah didirikan oleh Ma’bad Ibn Khalid Al-Juhani (699 M/79H). mazhab ini berpandangan bahwa manusia mampu berbuat dank arena itu bertanggung jawab atas perbuatannya. Ayat-ayat al-Qur’an seperti tangan Tuhan, melihat dan mendengar, dipahami secara takwil atau qiyas, dan bukan ditafsirkan secara harfiah.

4. Jabariyah

Paham jabariyah yang dipelopori oleh Jahm Ibn Shafwan (745 M/127 H). pandangan utama paham ini bahwa semua perbuatan manusia ditentukan oleh kuasa Tuhan, termasuk keimanan, kebajikan, dan kejahatannya. Manusia dalan hal ini tergantung dari kekuasaan atau paksaan Allah dalam segala kehendak danperbuatannya; karena itu tidak ada kekuasaan manusia untuk melakukan pilihan atas segala perbuatannya.25

1. Asal mula munculnya Paham Mu’tazilah

Gerakan Mu’tazilah dimulai pada akhir abad pertama hijriah. Asal-usul gerakan ini dimulai dari seorang ulama yang termasyhur. Hasan Al-Basyri. Suatu hari ia ditanya pendapatnya tentang perbedaan pendapat antara Murjiah dan Khawarij, yaitu apakah seorang Muslim yang melakukan dosa besar harus dianggap sebagai seorang mukmin atau seorang kafir. Sementara Hasan sedang mempertimbangkan pertanyaan itu, salah seorang muridnya, Wasil bin Ata, menjawab bahwa orang-orang

24

Fahsin M. Fa’al,Sejarah Kekuasaan Islam, (Jakarta : Cv. Artha Rivera, 2008), h. 81

25

Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, h. 170


(32)

23

seperti itu tidak termasuk orang mukmin ataupun seorang kafir, tetapi harus ditempatkan di tengah-tengah (al-manzilah bayna al-manzilatayn). Hasan tidak menyetujui pendapat Wasil, dan karenanya Wasil memisahkan diri dari aliran itu dan mendirikan suatu aliran sendiri. Karena itulah para pengikut Wasil disebut kaum Mu’tazilah, yaitu kaum yang memisahkan diri. “Meskipun cerita itu secara harfiah tidak benar, mungkin lebih aman kalau menganggap bahwa sekte baru yang dilahirkan di Basrah di antara murid-murid Hasan itu adalah kehidupan dan jiwa gerakan agama dalam abad pertama hijriah”. Kaum Mu’tazilah adalah penegak paham keinginan bebas dan rasionalisme, dan menolak paham takdir.

Kemunculannya patut diperhatikan karena hal itu merupakan suatu reaksi etika terhadap ekses-ekses ajaran dan kebiasaan kaum Khawarij yang sangat fanatik. Dia juga melancarkan serangan yang berapi-api terhadap kelemahan etika kaum konformis politik, yaitu kaum Murjiah. Sementara kaum Murjiah mengikuti paham takdir, kaum Mu’tazilah mengikuti pemikiran bebas. Perbedaan mereka dengan kaum Khawarij terletak di dalam kenyataan bahwa kaum Mu’tazilah tidak begitu menekankan pada karya sebagai satu-satunya ukuran kepercayaan yang benar. Selama abad kedua, kaum rasionalis berhubungan dengan logika dan filsafat Yunani. Oleh karena itu, pada tahap permulaan gerakannya, hampir tidak ada pengaruh asing, dan mereka lebih merupakan puritan yang kaku daripada rasionalis.26

Nama Mu’tazilah yang diberikan kepada mereka berasal dari kata

I’tazala, yang berarti ‘mengasingkan diri’. Menurut suatu teori, nama itu diberikan atas dasar ucapan Hasan Al-Bashri, setelah melihat Washil memisahkan diri. Hasan Al-Bashri diriwayatkan memberi komentar sebagai berikut : I’tazala anna (ia mengasingkan diri dari kami). Orang-orang yang mengasingkan diri disebut Mu’tazilah. ‘Mengasingkan diri’ bisa berarti mengasingkan diri dari pendapat Murji’ah dan pendapat khawarij.

26


(33)

Menurut teori lain nama Mu’tazilah bukan berasal dari ucapan Hasan Al-Bashri, tetapi dari kata I’tazala yang dipakai terhadap orang-orang yang mengasingkan diri dari pertikaian politik yang terjadi pada zaman ‘Utsman bin Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib. Kata I’tazala dan Mu’tazilah menurut penulis sejarah Al-Thabari dan Al-Fuda memang sudah dipakai pada zaman itu.

Orang-orang Mu’tazilah sendiri meskipun mereka menyebut diri Ahl Tawhid wa Ahl Al-‘Adl, tidak menolak nama Mu’tazilah itu. Bahkan dari ucapan-ucapan pemuka Mu’tazilah dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang menimbulkan nama itu. Menurut Al-Qadhi Abdul Jabbar, seorang pemuka Mu’tazilah yang buku-bukunya banyak ditemukan kembali pada abad kedua puluh Masehi ini, di dalam teoligi terdapat kata I’tazala yang mengandung arti mengasingkan diri dari yang salah dan tidak benar dan dengan demikian kata Mu’tazilah mengandung arti pujian dan menurut keterangan seorang Mu’tazilah lain, Ibn Al-Murtadha, nama Mu’tazilah itu bukan diberikan oleh orang lain, tetapi orang-orang Mu’tazilah sendirilah yang menciptakan nama itu.27

2. Prinsip-prinsip Ajaran Kaum Mu’tazilah

Prinsip-prinsip kalam Mu’tazilah terhimpun dalam istilah al-ushul al-khamsah atau ‘pokok-pokok yang lima’ yaitu al-tawhid, al-manzilah bayna al-manzilatayn, al-wa’d wa al-wa’id, al-‘adl, dan al amr bi al

-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar. Prinsip al-tawhid dalam Mu’tazilah dimaksudkan bahwa Tuhan tidak bisa disamakan dengan sesuatu, tidak ber-jism, tidak berunsur, bukan subtansi, bahkan Tuhanlah yang menciptakan segala yang berbadan, berunsur, dan bersubtansi. Bagi Mu’tazilah, Tuhan tidak memiliki sifat sebab apabila Tuhan memiliki sifat maka Tuhan berdimensi banyak. Tuhan hanya memiliki zat atau esensi.

Prinsip al-manzilah bayna al-manzilatayn dimaksudkan bahwa orang mukmin yang berbuat dosa besar statusnya bukan mukmin, tetapi bukan juga kafir, melainkan fasik. Posisinya antara mukmin dan kafir. Di akhirat ia bukan penghuni surga bukan juga penghuni neraka. Tingkatannya berada di bawah orang mukmin tetapi di atas orang fasik.

27

Harun Nasution,Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (Jakarta : Mizan, 1996), Cet Ke-IV, H. 128-129


(34)

25

Bila ia meninggal tanpa bertobat maka ia kekal di neraka walaupun siksa yang ia terima lebih ringan daripada yang diterima orang kafir.

Prinsip al-wa’d wa al-wa’id dimaksudkan bahwa Tuhan akan memberikan balasan sesuai dengan perbuatan manusia di dunia. Siapa yang keluar dari dunia ini dengan penuh ketaatan kepada Tuhan maka ia berhak memasuki surga. Siapa yang keluar dari dunia ini dengan penuh maksiat maka ia akan masuk neraka. Tuhan akan menepati janjinya dan tidak akan mengingkarinya.

Prinsip al’adl dimaksudkan bahwa Allah tidak menyukai keburukan dan tidak menciptakan perbuatan, tetapi manusialah yang melakukan apa yang diperintahkanNya dengan daya yang diberikan kepada mereka. Tuhan hanya memerintahkan apa-apa yang Dia kehendaki dan melarang apa yang tidak Dia sukai. Dia menguasai kebaikan-kebaikan yang Dia perintahkan dan tidak campur tangan dalam keburukan-keburukan yang Dia larang. Tuhan tidak membebani manusia sesuatu yang tidak dapat mereka lakukan. Sesungguhnya manusia itu hanya dapat melakukan sesuatu sesuai dengan daya mereka yang diberikan Tuhan. Hanya Tuhanlah satu-satunya yang mampu mewujudkan daya dan menghilangkannya jika ia menghendaki.

Sedangkan prinsip al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-munkar menurut Mu’tazilah bahwa semua kaum Muslim wajib menegakkan perbuatan yang ma’ruf dan menjauhi perbuatan yang munkar. Karena prinsip ini, Mu’tazilah bersikap melawan siapa saja yang tidak sejalan dengan paham mereka. Hal ini antara lain dilakukan dengan cara pemaksaan terhadap siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka. Peristiwa pemaksaan ajaran Mu’tazilah dikenal dengan al-mihnah atau inkuisisi.28

3. Al-Ma’mun dan Paham Mu’tazilah

Aliran rasional ini dituduh sebagai pembuat bid’ah oleh kaum Sunni. Perselisihan ini mencapai puncaknya pada masa Al-Ma’mun menduduki jabatan khalifah (813-833 M). Ketika itu Al-Ma’mun menjadikan aliran ini sebagai aliran resmi Negara. Hal ini mengakibatkan keresahan di kalangan masyarakat yang mayoritas mengikuti aliran Sunni. Keresahan itu terfokus kepada pemaksaan gagasan Muktazilah yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu serupa dengan hadis dan sekaligus makhluk. Peristiwa ini disebut Mihnah.

28

Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, h. 171-173


(35)

Al-Ma’mun kemudian membuat kebijakan untuk meneliti keyakinan para pejabat Negara, seperti hakim, kadi, dan ulama, sehubungan dengan mihnah. Pejabat-pejabat yang tidak sepaham dengan paham Mu’tazilah akan dipecat. Ulama yang tetap mempertahankan pendapat ortodoksnya akan disiksa, sebagaimana yang dialami oleh Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Nuh.29

Khalifah al-Ma’mun begitu keras menggunakan kekuasaannya untuk memaksa rakyat berpegang kepada pendapat al-Qur’an itu makhluk. Banyak para penulis yang mengecam sikap keras al-Ma’mun yang menggunakan mata pedang untuk memperkukuh pihaknya dan menindas para alim ulama yang menentang prinsipnya itu. Tetapi penulis yang adil mungkin bisa menemukan alasan tentang sikap Ma’mun itu. Bagi al-Ma’mun, perkara tersebut sebenarnya tidak ada kaitannya dengan dirinya, andaikan ada kaitannya dengan dirinya tentu beliau akan mudah memberi maaf, karena sudah menjadi tabiat al-Ma’mun suka memberi maaf. Tetapi baginya perkara tersebut sudah menyangkut masalah keislaman yang menyangkut pokok aqidah, dan beliau berpendapat siapa yang tidak mengakuinya maka keluar dari aqidah Islam. Oleh karena itu, al-Ma’mun mengumumkan sebagai khalifah kaum Muslimin yang mengurus masalah-masalah agama dan dunia untuk mereka, al-Ma’mun berkewajiban tidak menggunakan golongan yang keluar dari agama itu dalam urusan erajaan dan juga berkewajiban melindungi rakyat dari pikiran yang beliau anggap salah dan sesat. Al-Ma’mun semakin bertambah marah terhadap golongan ahli Hadis, karena sikap mereka yang jumud (beku) dan tidak mempertahankan pendapat mereka dengan dalil-dalil naqli.30

Paham Mu’tazilah adalah pelopor yang sungguh-sungguh untuk digiatkannya pemikiran tentang ajaran-ajaran pokok Islam. Sikap mereka yang rasionalistik dimulai dari titik tolak bahwa akal mempunyai

29

Fahsin M. Fa’al, “Sejarah Kekuasaan Islam”,(Jakarta, CV. Artha Rivera, 2008) h. 84-85

30


(36)

27

kedudukan tinggi bahkan kedudukannya boleh dikatakan sama dengan wahyu dalam memahami agama. Sikap itu tampaknya adalah konsekuensi logis dari dambaan mereka kea rah pemikiran sistematis.31

Paham Mu’tazilah yang bersifat rasional ini pula yang mempengaruhi pola pemikiran Al-Ma’mun sehingga menjadi salah satu sebab mengapa beliau sangat mendukung sagala macam kegiatan yang membutuhkan peran serta pemikiran seperti diadakannya diskusi dan perdebatan sehingga berbagai macam pola pemikiran pun muncul, beliau juga membuat berbagai macam pembaharuan dalam upaya mengambangkan ilmu pengetahuan. Sehingga pada saat itu para ilmuan memiliki kebebasan untuk berpendapat dan menghasilkan karya ilmiahnya.

31

Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, h. 171


(37)

28

AL-MA’MUN DALAM MENGEMBANGKAN

ILMU PENGETAHUAN

A. Gerakan Penerjemahan

1. Faktor-faktor yang memyebabkan munculnya gerakan penerjemahan Gerakan penerjemahan yang mulai berkembang pesat pada masa Daulah Abbasiyah dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan khalifah Al-Ma’mun. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan penerjamahan di antaranya adalah :

a. Tersebarnya ilmu pengetahuan Yunani, helenisme, dan helenistik ke penjuru dunia muslim disebabkan oleh faktor-faktor historis yang luar biasa. Menurut analisis Mehdi Nakosten, faktor-faktor yang terpenting itu di antaranya adalah :

Pertama,peran orang-orang Kristen ortodoks sebagai Nestorian. Mereka adalah sekte-sekte yang dikucilkan oleh gereja induk mereka. Pada saat penaklukan kaum Muslim ke Persia dan Romawi, mereka menyambut dengan suka cita karena kaum Muslim telah bertindak toleran dan oleh mereka dianggap sebagai kaum pembebas.

Kedua,penaklukan yang dilakukan oleh Alexander Yang Agung dan para penggantinya telah menyebarkan ilmu pengetahuan Yunani ke Persia dan India, tempat ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani diperkaya dengan pemikiran-pemikiran asli.

Ketiga, peran Akademi Jundishapur di Persia yang mengembangkan kurikulum studi yang disusun setelah Universitas


(38)

29

Alexandria, dan selama abad keenam disamakan dengan ilmu pengetahuan India, Grecian, Syria, helenistik, Hebrew, dan Zoroastrian.1

Keempat, karya ilmiah Yahudi merupakan faktor yang tidak dapat dilupakan. Para penerjemah Hebrew merupakan alat yang hebat dalam alih pengetahuan ini karena keterampilan berbahasa mereka.2 b. Para ilmuan di utus ke daerah Bizantium untuk mencari naskah-naskah

Yunani dalam berbagai bidang ilmu terutama filsafat dan kedokteran. c. Perburuan manuskrip-manuskrip di daerah timur seperti Persia

terutama di bidang tata Negara dan sastra.3

d. Khalifah al-Ma’mun mensyaratkan agar para pejabat pemerintahannya yang non Arab diminta menguasai sedikitnya dua bahasa. Dan memang dari sanalah sumber tenaga para tenaga penerjemah buku direkrut. Salah satu jalur pendatangannya adalah melalui Harran, kota di Mesopotamia, yang memang banyak penduduknya masih menggunakan bahasa Yunani. Jalur datangnya para penerjemah lainnya adalah melalu Jund-i-Shahpur di Khuzistan. Kota ini dibangun oleh Kaisar Sasanid Shahpur I sebagai tempat para tawanan yang dibawa dari Syiria. Kota ini menjadi pusat ilmu kedokteran.

Gerakan penerjemahan merupakan suatu kegiatan yang telah dilakukan oleh khalifah al-Mansur yang kemudian dilanjutkan oleh khalifah al-Ma’mun. Gerakan penerjemahan menjadi begitu semarak dilakukan karenak banyak faktor yang mendukung kegiatan tersebut diantaranya kecintaan al-Ma’mun kepada ilmu pengetahuan yang membuatnya sangat menganjurkan perburuan karya-karya dan manuskrip-manuskrip penting di berbagai daerah yang ditaklukannya untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa setempat agar mudah untuk dipelajari dan dipahami.

1

Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, (Jakarta : PT. Grasindo, 2002) H.151

2

Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, H.151

3

Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern, (LESFI, Yogyakarta, 2003), Cet. Ke-I, h.124


(39)

2. Munculnya gerakan penerjemahan

Al-Ma’mun sebagai pengganti Harun al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli.

Suyuthi menyatakaan : “ Al-Ma’mun adalah tokoh Bani Abbas yang paling utama keilmuan, keberanian, kehebatan, kesabaran, dan kecerdasannya”. Selama 20 bulan tinggal di Bagdad beliau tidak mau mendengar sembarang nyanyian. Faktor penyebabnya adalah karena ia harus berkonsentrasi penuh untuk mengembalikan keutuhan kerajaan yang hampir runtuh. Ia juga berkonsentrasi pada ilmu pengetahuan dan buku-buku yang ia baca.4

Gerakan penerjemahan tumbuh di bawah kekhalifahan Abbasiyah yang menggantikan Umayyah pada pertengahan abad ke-8. Pemindahan ibu kota dari Syria ke Irak telah memperkuat pengaruh orang-orang Timur Tengah dan melemahkan pengaruh Laut Tengah. Beberapa karya yang erat hubungannya dengan ketatanegaraan dan upacara istana diterjemahkan dari bahasa Persia ke dalam bahasa Arab. Buku matematika juga diterjemahkan dari bahasa India. Namun penerjemahan yang terpenting dan terbanyak tercatat dari bahasa Yunani, baik yang diterjemahkan langsung maupun versi Syiria. Penerjemahnya orang-orang non- Muslim atau yang baru masuk Islam. Sebagian besar orang Kristen, sebagian kecil beragama Yahudi, dan selebihnya orang-orang Sabia.5

Pada awal penerjemahan, naskah yang diterjemahkan terutama dalam bidang astrologi, kimia dan kedokteran. Kemudian naskah-naskah filsafat karya Aristoteles dan Plato juga diterjemahkan. Dalam masa keemasan karya yang diterjemahkan kebanyakan tentang ilmu-ilmu

4

Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, H. 44

5

Bernard Lewis,Muslim Menemukan Eropa, (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1988), Cet, Ke-I, h. 59


(40)

31

pragmatis (kebutuhan sehari-hari) seperti kedokteran. Naskah astronomi dan matematika juga diterjemahkan. Namun, karya-karya berupa puisi, drama, cerita pendek dan sejarah jarang diterjemahkan karena bidang ini dianggap kurang bermanfaat dan dalam bahasa Arab sendiri perkembangan ilmu-ilmu ini sudah sangat berkembang. Paham rasional Mu’tazilah menjadi tulang punggung penyerapan ilmu-ilmu “Asing” agar kemajuan umat Islam segera dapat dicapai.6

Ketika kerajaan Bizantium bertekuk lutut terhadap pemerintahan Islam yang dipimpinnya, sang khalifah memilih untuk menempuh jalur damai. Tak ada penjarahan terhadap kekayaan intelektual Bizantium, seperti yang dilakukan peradaban Barat ketika menguasai dunia Islam. Khalifah Al-Ma’mun secara baik-baik meminta sebuah kopian Almagest atau al-Kitabu-I-Mijisti (sebuah risalah tentang matematika dan astronomi yang ditulis Ptolemeus pada abad kedua) kepada raja Bizantium.7

Membanjirnya terjemahan buku dari bahasa Yunani dan Syiria ke dalam bahasa Arab tersebut jelas menunjukkan bahwa waktu itu sudah terdapat masyarakat pembaca yang aktif. Sedangkan pusat kebudayaan Arab yang sedang tumbuh pada saat itu adalah Bagdad. Kota itu terletak di tepi sungai Tigris, tidak jauh dari Ctesiphon, bekas ibu kota kerajaan Persia dan ibu kota kerajaan sebelumnya, Parta Arsacadid/Bagdad sendiri dibangun pada 762 M sebagai ibukota kekhalifahan Abbasiyah. Selain dipenuhi bangunan megah, kota ini juga dilengkapi dengan gedung perpustakaan yang lengkap.8

Menurut W. Muir, “Melalui kesibukan para pekerja ilmuan ini, bangsa-bangsa Eropa yang telah lama tenggelam dalam kegelapan abad pertengahan dapat mengenal kembali kekayaan ilmunya, yang sebelum ini

6

Dudung Abdurrahman,Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern, h. 125

7

As-Suyuthi, “Tarikh Khulafa’ Sejarah Para Penguasa Islam”, (Jakarta : Pustaka Al -Kautsar, 2006) , dalamhttp://id.wikipedia.org, 06 Januari 2011

8

Muhammad Subarkah, “Menapak Jejak Buku dalam Peradaban Islam”,dalam


(41)

mereka tidak mengenal pengetahuan dan filsafat Yunani kuno. Sebuah pusat Observatory didirikan di dataran Tadmore untuk kepentingan penelitian astronomi dan geometri, observasi antariksa mengalami kemajuan pesat pada masa ini”.

Gerakan penerjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300 H. buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.9

Tradisi intelektual terbangun serta membudaya. Gerakan penerjemahan semakin bergairah, begitu pula perdebatan ilmiah, yang mencakup multidisiplin ilmu. Semua itu berkat dedikasi dan dukungan luar biasa dari al-Ma’mun. “Dia merupakan kekuatan pendorong di belakang modernisasi Islam serta penguasaan sains dn teknologi”. Tegas Ehsan Masood.10

Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filasafat, kimia, dan sejarah.11

3. Tokoh-tokoh penting dalam gerakan penerjemahan

Di Baghdad didirikanSekolah Tinggi Penerjemah yang pertama di dunia, dilengkapi dengan berbagai taman pustaka. Disinilah orang dapat mengenal Hunain Ibnul Ishaq (809-833 M), seorang yang termasyhur dalam ilmu kedokteran dan filsafat. Bahkan buku-buku kedoteran yang

9

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000) Cet. X, h. 55-57

10

Yusuf Assidiq, “Al-Ma’mun dan Baitul Hkmah”, dalam http://batavies.co.id, 06 Januari 2011

11


(42)

33

sekarang terdapat di berbagai toko buku dengan nama “Materia Medica”

adalah berasal dari Hunain. Ia juga sempat menerjemahkan buku Galen dalam lapangan ilmu pengobatan dan filsafat, sebanyak 100 buah ke dalam bahasa Syria, dan 39 buah ke dalam bahasa Arab. Penulis-penulis Eropa mengakui, bahwa Hunainlah pemberitahu teori Galen dalam berbagai pengetahuan ke dunia Barat. Di samping meringkas dan memberi komentar buah karya Galen, ia juga mengarang sendiri. Buku-buku karangannya dalam bahasa Arab dan Persia banyak dijumpai, misalnya soal jawab. Bukunya yang ternama ialah sepuluh soal tentang mata. Buku ini disusun secara sistematis untuk pelajar-pelajar ilmu ophthalmology (Ilmu mata). Perkembangan ilmu opthamology sekarang adalah berkat jasa Hunain. Dokter-dokter mata sekarang sebenarnya harus merasa, bahwa Hunain adalah bapaknya.

Nama yang dianggap sebagai penerjemah besar adalah Hunayn ibn Ishaq (810 M-877 M/194 H-263 H). Ia adalah seorang cendekiawan Kristen yang memberi andil berarti bagi kebangkitan sains Islam sebagai penerjemah dan penyalur sains Yunani. Ia lahir di Hira, ayahnya seorang Apoteker. Ia belajar di Jundishapur dan bagdad di bawah bimbingan dokter ternama Ibn Maskawih. Kemudian merantau ke Anatolia untuk melengkapi pengetahuan bahasa Yunani (Grika). Ia dan murid-muridnya, termasuk anak dan kemenakannya, membuat terjemahan naskah yang paling tepat dan baik dari bahasa syiria dan Grika ke dalam bahasa Arab. Ia memainkan peran besar dalam peningkatan minat kaum Muslim pada sains Grekohelenistik. Hunayn sendiri adalah seorang dokter ternama yang karyanya dikutip oleh berbagai pengarang muslim di kemudian hari. Ia juga menulis tentang astronomi, meteorology, dan terutama filsafat. Karyanya Aforisma Filosof dalam versi Ibrani sangat terkenal di Barat dan ia terpandang karena pengkajian dan terjemahannya atas semua filsafat Galen.

Nama lain yang cukup penting dalam bidang penerjemahan adalah Tsabit Ibn Qurrah (826 M-901 M/211 H-288 H). Tsabit menulis karya


(43)

abadi dalam bidang ilmu medis dan filsafat. Ia menguasai astronomi dan matematika. Ia juga banyak menulis naskah tentang astronomi, teori bilangan, fisika, dan cabang matematika lainnya, yang amat besar pengaruhnya pada para saintis muslim. Gema dari pandangan ilmiahnya, terlebih lagi tentang teori getaran, terdengar sepanjang abad pertengahan di dunia barat.12

Tokoh lain yang juga berperan dalam usaha penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab adalah :

a. Yuhana bin Masawaih b. Ishak bin Hunain

c. Muhammad bin Musa Khawarazmi d. Sa’id bin Harun

e. Umar bin Al-Farrakhan13

Akibat penerjemahan buku Yunani ke dalam bahasa Arab dan masuknya kebudayaan Helinesia ke dalam kebudayaan Islam telah menciptakan suasana subur di kalangan kaum muslimin tertentu untuk berkembangnya pemikiran yang rasional. Meskipun bukan golongan rasional imam, namun jelas mereka adalah pelopor yang mengingatkan pemikiran tentang ajaran pokok Islam secara lebih sistematis. Sikap mereka yang rasionalis bertitik tolak dari pandangan bahwa akal mempunyai kedudukan yang sama dengan wahyu. Sikap yang demikian ini akan mendorong umat Islam mempergunakan segala kekuatan akal untuk memahami agama, akhirnya akan melahirkan intelektual muslim di segala lapangan ilmu antara lain muncul filosof Islam yang tidak kalah dengan filosof Yunani. Demikian juga dokter ulung, ahli kimia, ahli matematika, ahli ilmu bintang, ahli musik, ahli optik, ahli geografi, dan lain-lain.14

12

Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekunstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, h. 155-156

13

Mahmud Yunus,Sejarah Pendidikan Islam ( Jakarta : Hidakarya Agung, 1992) h. 64

14

Musyrifah Sunanto,Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Pernada Media, Jakarta, 2003), Cet. Ke-I, h. 81


(44)

35

Dapat diketahui dengan jelas, betapa pada masa khalifah al-Ma’mun kecintaannya kepada ilmu pengetahuan membuat beliau meneruskan bahkan mengembangkan kegiatan yang telah dilakukan oleh khalifah sebelumnya bahkan beliau tidak menjadikan perbedaan suku, bangsa, agama, dan ras sebagai penghalang untuk meningkatkan pengembangan ilmu pengetahuan melalui gerakan penerjemahan.

Beliau sadar betul bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya dimiliki kaum muslim tapi beliau mencari cara bagaimana ilmu pengetahuan yang juga dikuasai oleh bangsa barat yang mayoritas non muslim dapat juga dipelajari oleh kaum muslim.

Gerakan penerjemahan berbagai macam buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan yang menurut beliau dapat meningkatkan minat dan kecintaan kaum muslim terhadap ilmu pengetahuan yang dapat menghantarkan mereka menuju kehidupan yang bahagia dunia dan akhirat.

B. Optimalisasi Kegiatan Balajar Mengajar

1. Upaya khalifah al-Ma’mun dalam Pengembangkan Kegiatan Belajar Mengajar

Kemajuan pendidikan dalam arti seluas-luasnya pada masa al-Ma’mun telah banyak mengundang perhatian para ahli baik di Barat maupun di Timur. Kemajuan suatu bangsa dan Negara salah satunya disebabkan karena kualitas manusia yang hidup dalam bangsa dan Negara tersebut. Kualitas manusia itu dihasilkan dari kualitas proses pendidikan yang dijalaninya.

Upaya khalifah al-Ma’mun dalam pengembangkan kegiatan belajar mengajar dapat dilihat dari kegiatan berikut :

a. Aktivitas Belajar Langsung dengan Syekh

Pada masa al-Ma’mun, pengajaran diberikan langsung kepada murid-murid, seorang demi seorang. Pelajaran diberikan dengan cara dibacakan oleh guru dan diulang-ulang membacanya oleh murid, atau didiktekan oleh guru dan ditulis oleh murid, atau murid disuruh menyalin dari buku yang telah ditulis guru dengan tangan. Kehidupan


(45)

demikian, berlangsung dalam halaqoh-halaqoh yang diselenggarakan oleh ulama.15

Murid duduk berkeliling berhadapan dengan seorang syekh (guru). Guru memberikan pelajaran kepada semua murid yang hadir. Guru memulai dengan membaca bismillah dan memuji Allah serta bershalawat kepada Rasul Allah, baru kemudian memulai pelajaran. Jika guru menghafal pelajaran atau dituliskannya diktat, maka dibacakan pelajaran itu dengan perlahan-lahan, lalu murid menulis apa yang dibacakan guru. Setelah selesai dibacakan, lalu guru menerangkan hal-hal yang sulit dalam pelajaran yang didiktekan tersebut. Keterangan itu dituliskan oleh murid di pinggir kertas. Pada akhir pelajaran, guru mengulang membaca pelajaran dan disuruhnya seorang pelajar membacakannya untuk membetulkan kalau ada pelajar yang salah menuliskannya. Dari diktat-diktat yang dituliskan itulah, telah lahir kitab-kitab tulisan tangan yang kemudian dicetak beribu-ribu naskah, sehingga menjadi kitab yang termasyhur.

Jika telah tamat ilmu yang diajarkan guru, lalu guru menandatangani satu naskah atau beberapa naskah yang ditulis oleh pelajar-pelajar itu, serta menerangkan bahwa guru telah membacakan naskah itu kepada pelajar yang menuliskannya. Kemudian guru memberikan ijazah kepada pelajar bahwa ia berhak mengajarkan atau meriwayatkan kepada pelajar yang lain. Jadi, dalam halaqah, ijazah tidak diberikan oleh sekolah, melainkan oleh guru sendiri. Seorang pelajar yang tamat pelajarannya, ia mengatakan : Saya mendapat ijazah dari guru (syekh) fulan’, bukan dari sekolah apa.

Pelajar tidak memilih sekolah yang baik melinkan memilih guru (syekh) yang termasyhur kealimannya dan kesolehannya. Murid bebas memilih guru. Kalau pelajaran guru tidak memuaskan baginya, boleh pindah kehalaqah guru yang lain.16

15

W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia, Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, (Jakarta : Gramedia, 1997), h. 97

16


(46)

37

Dari kegiatan ini dapat dilihat bagaimana nikmatnya kegiatan menuntut ilmu pada masa itu, dimana seorang murid memiliki kebebasan untuk memilih guru dan pelajaran yang ingin diambil tanpa harus merasa dipaksa sehingga kegiatan belajar akan belajar lebih optimal.

Seorang murid pada masa itu dapat menyalurkan minat dan keinginannya kepada suatu ilmu dengan guru yang sesuai dengan keinginannya sehingga murid tersebut akan bersungguh-sungguh dan senang hati dalam mendalami suatu ilmu pelajaran.17

Sungguh berbeda dengan pendidikan zaman sekarang yang seakan menuntut seorang murid untuk mengikuti pola pendidikan yang sudah diatur dengan berbagai mata pelajaran dan guru yang sudah ditentukan dan harus diterima serta diikuti oleh setiap murid.

Tidak berarti pola tersebut tidak baik hanya banyak fakta yang menunjukkan setiap anak tidak dapat menguasai secara penuh seluruh mata pelajaran yang diajarkan, hanya beberapa mata pelajaran yang mungkin dapat dikuasai dengan baik bahkan tidak sedikit yang hanya mampu mengikuti tanpa dapat menguasai mata pelajaran tersebut dengan baik dan banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. b. Aktivitas Berdebat sebagai Latihan Intelektual

Tokoh-tokoh yang muncul dalam sejarah adalah mereka yang kritis, berani, dan tegas dalam ilmu yang diyakininya benar. Mereka yang menjalani pendidikan Tinggi di lembaga-lembaga formal melakukan hal tersebut karena kecintaan terhadap kehidupan intelektual. Kehidupan para ilmuwan yang benar-benar tekun dan telah berhasil menguasai ilmunya, terbuka peluang untuk maju menjadi mufti, menjadi penasihat, atau tutor di rumah hartawan bagi sejumlah mahasiswa, pengakuan sebagai ilmuan dan status sosial yang disandangnya cukup menjadi justifikasi hasil kerja keras mereka.

17


(1)

b) Ibnu Sahal (wafat 255 H), yaitu Sabur bin Sahal, direktur Rumah Sakit Jundisabur. Karangannya tentang thib dan farmasi

c) Abu Bakar ar-Razy (wafat 320 H), yaitu Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razy. Dokter yang paling masyhur di zamannya, sehingga menjadi ketua dokter Rumah Sakit di Baghdad

d) Ali bin Abbas (wafat 354 H)

e) Ibnu Sina (wafat 428 H), kecuali filosof beliau juga dokter yang ahli dan masyhur

5) Dalam bidang Ilmu Astronomi :

a) Abu Ma’syar Falaky (wafat 272 H), yaitu Ja’far bin Umar al-Falaky, yang terkenal dengan nama Abu MA’syar al-Falaky

b) Jabir Batany (wafat 319 H), yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Jabir al-Batany al-Hiranya ash-Shaby, yang telah menetapkan letak bintang.

c) Abu Hasan (277-352 H), yaitu Abu HAsan Ali bin Abi Abdillah Harun Bin Ali

d) Al-Biruny (wafat tahun 440 H), yaitu Muhammad bin Ahmad al-Biruny

e) Al-Farghani (Alfraganus) sekitar tahun 860

f) Al-Battani (albatanius) 859-929 bersama Sabit bin Qurrah (836-901) merupakan penerus al-Farghani

6) Dalam bidang Matematika :

a) Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780-850 M), ia juga ahli geografi terkemuka. Kitabnya antara lain : al-Kitab al-Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah (Kompendium tentang Hitung al-Jabar dan Persamaan),al-Hisab al-Jabar wa al-muqababah.38 b) Al-Nasawi (wafat 1040). Ia adalah orang pertama yang

menguraikan pembagian pecahan dan mencari akar pangkat dua dari suatu bilangan dengan cara yang hampir sama dengan cara yang dikenal saat ini.

38


(2)

64

c) Abu Kamil al-Suja al-Hasib al-Mishri, kitabnya adalah :Kitab fi al-Jam wa al-Tafriq (penambahan dan pengurangan dan Kitab

al-Khatha’ain (tentang dua kesalahan).

d) Abu al-Wafa al-Khurasani (940 998 M). Ia adalah ahli matematika yang mengembangkan trigonometri

e) Abu Ja’far al-Khazin al-Khurasani (wafat 960 M) telah membuktikan kemiringan zodiac dan berhasil merumuskan penyelesaian persoalan persamaan pangkat tiga.

7) Dalam bidang Geografi :

1) Hisyam al-Kalbi, yang masyhur pada abad kesembilan, khususnya dalam studi mendalam mengenai kawasan Arab

2) Al-Khawarizmi, ia mengoreksi pandangan Ptolemaeus tentang Geografi

3) Abu Ubaid al-Bakri (wafat 1094) dia menulis dua kitab terkenal : al-Mu’jam al-Isti’jam (Ensiklopedi Geografi),Kitab al-Masalik wa al-Mamalik(Jalan dan Kerajaan)

4) Al-Biruni dengan karyanya Athar Baqiyah fi Qanun al-Kihaliyah39


(3)

65

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas, penulis mendapatkan beberapa temuan yang perlu diungkapkan. Di antara temuan-temuan yang perlu dikemukakan di sini adalah:

1. Al-Ma’mun adalah salah satu Khalifah dari Daulah Abbasiyah yang masa pemerintahannya mendapat julukan The Goden Age (Masa Keemasan). Pribadinya yang dikenal sebagai figur pemimpin yang dianugerahi intelektualitas yang cemerlang, menguasai beragam ilmu pengetahuan, seorang yang tidak suka akan pertumpahan darah, amat benci menipu daya, bertoleransi, arif bijaksana, tinggi akal, bagus budi pekertinya, mengutamakan kemerdekaan berpikir, berdiskusi, pemaaf, dan jarang bermain membuat dan membentuknya menjadi pribadi seorang pemimpin yang patut untuk dicatat dengan tinta emas dalam sejarah.

2. Jasa-jasa beliau dalam usahanya mengembangkan ilmu pengetahuan di antaranya adalah :

a. Gerakan Penerjemahan, kegiatan ini benar-benar digalakkan pada masa Al-Ma’mun.

b. Mengoptimalisasikan kegiatan belajar mengajar c. Mengembangkan institusi pendidikan


(4)

66

3. Hasil yang dicapai oleh khalifah Al-Ma’mun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan adalah :

a. Berkembangnya Bait al-Hikmah menjadi lebih baik dari sebelumnya b. Seiring berkembangnya Bait al-Hikmah, mulai banyak bermunculan

cabang-cabang ilmu pengetahuan yang sangat penting untuk dipelajari dan sangat berguna untuk kehidupan sehari-hari. Di antaranya yaitu : 1) Ilmu-ilmu Agama seperti : ilmu Tafsir. Ilmu Hadits, Ilmu Fikih,

ilmu Kalam, ilmu Tasawuf, ilmu Etika/Akhlak, dan Humaniora 2) Ilmu-ilmu Umum seperti : Ilmu Filsafat, Kedokteran, Astronomi,

Matematika, dan Geografi

c. Munculnya tokoh-tokoh penting diantaranya adalah :

1) Dalam bidang ilmu Umum yaitu : Abu Yusuf ibn Ishaq (al-Kindi), Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Thankhan (al-Farabi), Ibnu Sina, dan Al-Fazari

a) Dalam bidang ilmu Agama yaitu :

1) Ulmu Hadis yaitu Ibnu Jarir Thabary, Ibnu Athiyah al-Andalusy Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, Al-Hakim an-Naisabury

2) Dalam bidang ilmu Kalam : Washil bin Atha’, Abu Huzail, Juba’I, Allaf, Nazzam, Abu Hasan Asy’ary, al-Baqillani, al-Juwaeni dan Hujjatul Islam Imam Ghazali 3) Dalam bidang tasawuf yaitu : Al-Qusairy. Syahabuddin.,

Abu Usman Maziny (wafat 249 H), Abdurrahman al-Hamzany (wafat 327 H)

B. Saran-saran

1. Bagi para pemimpin hendaknya dapat mencontoh tindakan Al-Ma’mun yang sangat peduli terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat penting sebagai bekal untuk pembangunan dan perkembangan pemerintahan menjadi lebih maju.


(5)

67

A. Hanafi,Teologi Islam(Jakarta : Bulan Bintang, 1974)

Abdurrahman, Dudung, Sejarah Peradaban Islam : Dari Masa Klasik hingga Modern, Yogyakarta : LESFI, Cet : ke- I 2003

Al-Qardhawi, Yusuf, Meluruskan Sejarah Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005

Amin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2001

Arief, Armai, Dr. MA., Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik, Bandung : Angkasa, 2005

Armstrong, Karen, A Short History : Sepintas Sejarah Islam, Surabaya : Ikon Teralitera, Cet : ke-4, 2004

Assidiq, Yusuf, “Al-Ma’mun dan Baitul Hkmah”, dalamhttp://batavies.co.id, 06 Januari 2011

As-Suyuthi, “Tarikh Khulafa’ Sejarah Para Penguasa Islam”, Jakarta : Pustaka Al -Kautsar, 2006, dalamhttp://id.wikipedia.org, 06 Januari 2011

Atsir, Ibnul,Al-Kamil fi Tarikh,Beirut : Dar Sader, 1871 Ensiklopedi Islam, Jakarta : Departemen Agama RI, 1988

Fa’al, Fahsin M.,Sejarah Kekuasaan Islam,Jakarta : CV. Artha Rivera, 2008

Fadil SJ, Drs, M. Ag., Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Malang : UIN Malang Press, Cet : ke- I, 2008

Hasan, Masudul, Prof.,History of Islam : Classical Period 571-1258 C. E, Delhi, Adam Publisher, Cet: ke- I, 1992

Hitti, Philip K.,Dunia Arab Sejarah Ringkas, Bandung : Sumur, Cet : ke- II

Iwan, “Abdullah al-Makmun”, dalamhttp://eone26donk.blog.com, 06 September

2010

Khalil, Syauqi Abu, Dr., Harun Ar-Rasyid Pemimpin dan Raja yang Mulia, Jakarta : Pustaka Azzam, Cet. Ke- I, 2002

Lapidus, Ira M., Sejarah sosial umat Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Cet ke-I, 1999


(6)

68

Lewis, Bernard, Muslim Menemukan Eropa, Jakarta : Pustaka Firdaus, Cet : ke-I, 1988

Mahmudunnasir, Syed, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, Cet : ke- III, 1993

Nakosten Mehdi, ”Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, Deskripsi Analisi Abad Keemasan Islam”, Surabaya : Risalah Gusti, Cet. Ke-I, 1996

Nasution, Harun, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran, Jakarta : Mizan,Cet ke-IV, 1996

Perpustakaan Nasional RI,Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet : ke- II, 2003

Saefuddin, Didin, Zaman Keemasan Islam : Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah,Jakarta : Grasindo, 2002

Subarkah, Muhammad, “Menapak Jejak Buku dalam Peradaban Islam”,dalam

http://www.republika.co.id, 26 Februari 2009

Sunanto, Musyrifah, Prof. Dr. Hj., Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,Jakarta : Prenada Media, Cet : ke- I, 2003

Syalaby, Ahmad, Prof. Dr., Sejarah dan Kebudayaan Islam,Singapura : Pustaka Nasional PTE LTD, cet : ke- III, 1991

Watt, W. Mongomery, Islam dan Peradaban Dunia : Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1995

Yatim, Badri, Dr. M.A,Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II,Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Cet: ke- X, 2000

Yunus, Mahmud, Prof. Dr. H.,Sejarah Pendidikan Islam,Jakarta : PT. Hidakarya Agung, Cet : ke- VII, 1992