Prinsip-prinsip Ajaran Kaum Mu’tazilah

24 Menurut teori lain nama Mu’tazilah bukan berasal dari ucapan Hasan Al-Bashri, tetapi dari kata I’tazala yang dipakai terhadap orang- orang yang mengasingkan diri dari pertikaian politik yang terjadi pada zaman ‘Utsman bin Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib. Kata I’tazala dan Mu’tazilah menurut penulis sejarah Al-Thabari dan Al-Fuda memang sudah dipakai pada zaman itu. Orang-orang Mu’tazilah sendiri meskipun mereka menyebut diri Ahl Tawhid wa Ahl Al-‘Adl, tidak menolak nama Mu’tazilah itu. Bahkan dari ucapan-ucapan pemuka Mu’tazilah dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang menimbulkan nama itu. Menurut Al-Qadhi Abdul Jabbar, seorang pemuka Mu’tazilah yang buku-bukunya banyak ditemukan kembali pada abad kedua puluh Masehi ini, di dalam teoligi terdapat kata I’tazala yang mengandung arti mengasingkan diri dari yang salah dan tidak benar dan dengan demikian kata Mu’tazilah mengandung arti pujian dan menurut keterangan seorang Mu’tazilah lain, Ibn Al- Murtadha, nama Mu’tazilah itu bukan diberikan oleh orang lain, tetapi orang-orang Mu’tazilah sendirilah yang menciptakan nama itu. 27

2. Prinsip-prinsip Ajaran Kaum Mu’tazilah

Prinsip-prinsip kalam Mu’tazilah terhimpun dalam istilah al-ushul al-khamsah atau ‘pokok-pokok yang lima’ yaitu al-tawhid, al-manzilah bayna al-manzilatayn, al-wa’d wa al-wa’id, al-‘adl, dan al amr bi al- ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar. Prinsip al-tawhid dalam Mu’tazilah dimaksudkan bahwa Tuhan tidak bisa disamakan dengan sesuatu, tidak ber-jism, tidak berunsur, bukan subtansi, bahkan Tuhanlah yang menciptakan segala yang berbadan, berunsur, dan bersubtansi. Bagi Mu’tazilah, Tuhan tidak memiliki sifat sebab apabila Tuhan memiliki sifat maka Tuhan berdimensi banyak. Tuhan hanya memiliki zat atau esensi. Prinsip al-manzilah bayna al-manzilatayn dimaksudkan bahwa orang mukmin yang berbuat dosa besar statusnya bukan mukmin, tetapi bukan juga kafir, melainkan fasik. Posisinya antara mukmin dan kafir. Di akhirat ia bukan penghuni surga bukan juga penghuni neraka. Tingkatannya berada di bawah orang mukmin tetapi di atas orang fasik. 27 Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Jakarta : Mizan, 1996, Cet Ke-IV, H. 128-129 25 Bila ia meninggal tanpa bertobat maka ia kekal di neraka walaupun siksa yang ia terima lebih ringan daripada yang diterima orang kafir. Prinsip al-wa’d wa al-wa’id dimaksudkan bahwa Tuhan akan memberikan balasan sesuai dengan perbuatan manusia di dunia. Siapa yang keluar dari dunia ini dengan penuh ketaatan kepada Tuhan maka ia berhak memasuki surga. Siapa yang keluar dari dunia ini dengan penuh maksiat maka ia akan masuk neraka. Tuhan akan menepati janjinya dan tidak akan mengingkarinya. Prinsip al’adl dimaksudkan bahwa Allah tidak menyukai keburukan dan tidak menciptakan perbuatan, tetapi manusialah yang melakukan apa yang diperintahkanNya dengan daya yang diberikan kepada mereka. Tuhan hanya memerintahkan apa-apa yang Dia kehendaki dan melarang apa yang tidak Dia sukai. Dia menguasai kebaikan-kebaikan yang Dia perintahkan dan tidak campur tangan dalam keburukan- keburukan yang Dia larang. Tuhan tidak membebani manusia sesuatu yang tidak dapat mereka lakukan. Sesungguhnya manusia itu hanya dapat melakukan sesuatu sesuai dengan daya mereka yang diberikan Tuhan. Hanya Tuhanlah satu-satunya yang mampu mewujudkan daya dan menghilangkannya jika ia menghendaki. Sedangkan prinsip al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-munkar menurut Mu’tazilah bahwa semua kaum Muslim wajib menegakkan perbuatan yang ma’ruf dan menjauhi perbuatan yang munkar. Karena prinsip ini, Mu’tazilah bersikap melawan siapa saja yang tidak sejalan dengan paham mereka. Hal ini antara lain dilakukan dengan cara pemaksaan terhadap siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka. Peristiwa pemaksaan ajaran Mu’tazilah dikenal dengan al-mihnah atau inkuisisi. 28

3. Al-Ma’mun dan Paham Mu’tazilah