BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka
1. Konsep School Based Management Konsekuensi logis dari diberlakukannya Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah RI No. 33 Tahun 2004 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, dan
bukti-bukti empirik yang menunjukkan bahwa manajemen berbasis pusat merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kurang optimalnya kinerja sekolah adalah perlu
diterapkanya manajemen berbasis sekolah School Based Management. Esensi School Based Management adalah otonomi sekolah plus pengambilan keputusan partisipatif.
Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Pengambilan keputusan partisipatif adalah cara mengambil keputusan yang melibatkan kelompok-kelompok
kepentingan sekolah, terutama yang akan melaksanakan keputusan dan yang akan terkena dampak keputusan. Tujuan School Based Management adalah untuk memandirikan atau
memberdayakan sekolah. Tahap-tahap pelaksanaan School Based Management dapat diurutkan seperti berikut: mensosialisasikan konsep School Based Management, melakukan
analisis sasaran, merumuskan sasaran, mengidentifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran, melakukan analisis SWOT, menyusun rencana sekolah,
mengimplementasikan rencana sekolah, melakukan evaluasi, dan merumuskan sasaran baru.
a. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah Dede Rosyada, mengutip pendapat Joseph Murphy bahwa “School Based
Management atau manajemen berbasis sekolah secara konsep masih belum jelas”
3
. Meski demikian, para pakar semisal Etheride, mendefinisikan bahwa:
SBM adalah sebuah proses formal yang melibatkan kepala sekolah, guru, orang tua siswa, siswa dan masyarakat yang berada dekat dengan sekolah, dalam proses
pengambilan keputusan. Sementara Short dan Greer mendefiniskan, bahwa SBM adalah sebuah strategi yang mengangkat konsep tentang pemberdayaan dan
memberdayakan semua individu di sekolah.
4
Kedua definisi yang dikutip Murphy kelihatanya memiliki basis paradigma yang sama bahwa SBM pada intinya adalah memberikan otonomi yang sangat luas pada sekolah
dalam membuat perencanaan, penganggaran, dan implementasi program-programnya dengan memaksimalkan keterlibatan semua komponen yang terdekat dengan sekolah
tersebut, yaitu kepala sekolah, guru, karyawan, orang tua siswa, siswa dan bahkan masyarakat.
Istilah manajemen berbasis sekolah sendiri berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Arti manajemen sendiri menurut T Hani Handoko dengan mengutip
James A.F. Stoner adalah: “Proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan
3
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Jakarta: Kencana Prenada Media, 2004 Cet. I, h. 267
4
Ibid
pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.”
5
Lebih lanjut, Slamet PH berpendapat bahwa manajemen adalah: Pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya melalui sejumlah input
manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Catatan: sumber daya terbagi menjadi sumber daya manusia dan sumber daya
selebihnya peralatan, perlengkapan, bahanmaterial, dan uang; input manajemen terdiri dari tugas, rencana, program, limitasi yang terwujud dalam bentuk ketentuan-
ketentuan, pengendalian tindakan turun tangan, dan kesan dari anak buah ke bapakibu buah.
6
Kemudian Slamet PH mengutip pendapat Poernomosidi Hadjisarosa bahwa Pengertian manajemen dapat dilukiskan seperti pada gambar berikut, dengan keterangan:
SDM-M sumberdaya manusia manajer mengatur sumber daya manusia pelaksana SDM- P melalui input manajemen yang terdiri dari T = Tugas; R = Rencana, P = Program; T3 =
Tindakan Turun Tangan; K = Kesan agar SDM-P menggunakan jasa manusianya Jm untuk bercampur tangan terhadap sumber daya selebihnya SD-slbh, sehingga proses dapat
berlangsung dengan baik untuk menghasilkan output.
7
Gambar 1: Manajemen
8
5
T Hani Handoko, Manajemen Edisi II, Yogyakarta: BPFE-LMP2M AMP-YKPN, 1986, h. 8. Lebih jelas lihat juga James A.F. Stoner, Management, New York: Prentice-Hall International, Inc.
Englewood Cliffs, 1982 h. 8
6
Slamet PH., Manajemen Berbasis Sekolah dalam http:www.depdiknas.go.id Jurnal27
manajemen_berbasis_sekolah.htm
7
Ibid
8
Poernomosidi Hadjisarosa, 1997 www.depdiknas.go.id
Berbasis berarti berdasarkan pada atau berfokuskan pada. Sekolah adalah suatu organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional Depdiknas yang
bertugas memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik atas dasar ketentuan- ketentuan yang bersifat legalistik makro, meso, mikro dan profesionalistik kualifikasi,
untuk sumber daya manusia; spesifikasi untuk barangjasa, dan prosedur-prosedur kerja. Dari uraian tersebut lanjut Slamet PH, dapat dirangkum bahwa manajemen berbasis
sekolah adalah: Pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara otonomis
mandiri oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok
kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan partisipatif. Dalam hal ini, kelompok kepentingan yang terkait dengan
sekolah meliputi: kepala sekolah dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga administratif, orangtua siswa, tokoh masyarakat, para profesional, wakil
pemerintahan, wakil organisasi pendidikan. Lebih ringkas lagi, manajemen berbasis
sekolah dapat dirumuskan sebagai berikut: manajemen berbasis sekolah = otonomi manajemen sekolah + pengambilan keputusan partisipatif.
9
Dalam hal ini otonomi dapat diartikan sebagai kewenangankemandirian yaitu
kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdekatidak tergantung. …istilah otonomi juga sama dengan istilah swa, misalnya swasembada, swakelola,
swadana, swakarya, swalayan, dan swa-swa lainnya. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang
dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasimeng-hargai perbedaan pendapat,
kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan ber-komunikasi yang efektif, kemampuan memecahkan
persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
10
Konsep School Based Management adalah salah satu alternatif pendekatan dalam
mengelola pendidikan yang difokuskan pada pemberian otonomi yang lebih luas pada sekolahmadrasah untuk mengelola dirinya sendiri.
11
Muara akhirnya adalah peningkatan mutu madrasah tersebut. Lebih jauh, E. Mulyasa memandang bahwa:
School Based Management juga merupakan strategi untuk mewujudkan sekolah yang efektif dan produktif. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika
masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. School Based Management merupakan
paradigma baru manajemen pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada sekolah, dan pelibatan masyarakat dalam rangka kebijakan pendidikan nasional.
School Based Management adalah suatu ide pengambilan keputusan pendidikan yang diletakan pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran, yakni sekolah.
Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar, di samping
9
Ibid, lebih jelas lihat juga David, Jane L. Synthesis of Research on School-Based Management, Educational Leadership, Volume 46, Number 8, May 198.
10
Ibid
11
Amir Muhammad Imron Siregar, Implementasi School Based Management, Jurnal Edukasi, Vol.2, Nomor 2
, Jakarta, Puslitbang Depag RI-Kalimah, April-Juni 2004
menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat juga peningkatan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan
12
. Keterlibatan kepala sekolah dan guru dalam pengambilan keputusan akan
membangkitkan rasa kepemilikan yang lebih tinggi terhadap sekolah, sehingga mendorong mereka untuk mendayagunakan sumber daya yang ada seefisien mungkin untuk mencapai
hasil yang optimal. Program School Based Management dalam pelaksanaan sekolah perlu didukung
oleh partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik. Mereka tidak hanya mendukung sekolah melalui bantuan keuangan, tetapi melalui komite sekolah dan dewan pendidikan,
merumuskan serta mengembangkan program yang dapat meningkatkan kualitas sekolah. Masyarakat dan orang tua menjalin kerjasama membantu sekolah sebagai nara sumber
berbagai kegiatan sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Dengan demikian, dalam program-program sekolahmadrasah masyarakat
diturutsertakan. Tokoh-tokoh dari setiap aspek kehidupan masyarakat seperti dari dunia perusahaan, pemerintah, agama, politik, dan sebagainya diminta bekerja sama dengan
sekoalah dalam proyek perbaikan masyarakat. Untuk itu diperlukan masyarakat yang merasa ikut bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat dan atas pendidikan anak.
Sekolah dan masyarakat dalam hal ini bekerja sama dalam suatu aksi sosial. b. Tujuan School Based Management
Manajemen berbasis sekolah bertujuan untuk memberdayakan sekolah, terutama sumber daya manusianya kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang tua siswa, dan
12
E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional Dalam Konteks Mewujudkn MBS dan KBK, Bandung: Rosda, 2003, h.. 33
masyarakat sekitarnya, melalui pemberian kewenangan, fleksibilitas, dan sumber daya lain untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan.
Ciri-ciri sekolah yang berdaya menurut Slamet PH pada umumnya: …tingkat kemandirian tinggitingkat ketergantungan rendah; bersifat adaptif dan
antisipatifproaktif sekaligus; memiliki jiwa kewirausahaan tinggi ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dsb.; bertanggungjawab terhadap hasil sekolah;
memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya; kontrol terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan dinilai oleh
pencapaian prestasinya. Selanjutnya, bagi sumber daya manusia sekolah yang berdaya, pada umumnya, memiliki ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia
bertanggung jawab, dia memiliki suara bagaimana sesuatu dikerjakan, pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya dimana, dia memiliki kontrol terhadap
pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan bagian hidupnya.
13
Lebih jauh mengenai tujuan School Based Management ini, Direktorat Menengah
Umum Departemen Pendidikan Nasional merilis dalam situsnya sebagai berikut: Tujuan utama penerapan School Based Management pada intinya adalah untuk
penyeimbangan struktur kewenangan antara sekolah, pemerintah daerah pelaksanaan proses dan pusat sehingga manajemen menjadi lebih efisien. Kewenangan terhadap
pembelajaran di serahkan kepada unit yang paling dekat dengan pelaksanaan proses pembelajaran itu sendiri yaitu sekolah. Disamping itu untuk memberdayakan sekolah
agar sekolah dapat melayani masyarakat secara maksimal sesuai dengan keinginan masyarakat tersebut.
Tujuan penerapan School Based Management adalah untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui kewenangan otonomi kepada sekolah dan
mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya School Based Management bertujuan untuk:
1. meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam
mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia; 2. meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam
menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; 3. meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orangtua, masyarakat, dan
pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan
4.
meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
14
13
Slamet PH., Op Cit
14
www.dikmenum.go.id edisi 2 juli 2005
2. Partisipasi Masyarakat Terhadap Pendidikan Madrasah a. Rendahnya Partisipasi Masyarakat Terhadap Madrasah
Merupakan fakta yang tidak bisa dibantah, bahwa tingkat partisipasi masyarakat terhadap peningkatan mutu pendidikan sangat rendah. Sejak Orba hingga saat ini peran
pemerintah yang tinggi berbanding terbalik dengan peran masyarakat yang rendah. Apa yang terjadi pada madrasah negeri sesungguhnya merupakan cermin dari
kebijakan pemerintah terhadap dunia pendidikan secara umum. Pada tahun 70-an yang merupakan awal pemerintah mengkonsolidasikan kekuatannya, berimbas pada dunia
pendidikan yang dijadikan sebagai instrumen pendudung negara terutama dalam menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa. Pemerintah misalnya mengeluarkan kebijakan
untuk membangun Sekolah Dasar Inpres secara massal yang mencapai seluruh pelosok negeri. Belakangan pemerintah juga melakukan perubahan madrasah menjadi negeri.
Dalam dasawarsa 1970-an kebijakan seperti itu bisa dilakukan oleh pemerintah karena pemerintah sedang kebanjiran dana dari oil boom, yang berdampak pada anggaran
pendapatan negara yang terus tinggi. Ini membuka ruang lebih besar bagi peran pemerintah dalam dunia pendidikan, terutama pada sekolah negeri.
Sementara itu dukungan yang relatif besar pada sekolah swasta tidak secara otomatis berakibat pada peningkatan mutu madrasah. Meskipun dalam kasus madrasah
swasta peran masyarakat lebih besar tapi tidak memiliki nilai yang signifikan. Implikasinya sangat kasat mata yakni rendahnya mutu pendididikan, terutama mutu pendidikan dasar
yakni madrasah ibtidaiyah. Selama ini pemerintah mempunyai blueprint yang harus dipatuhi menyangkut segala kebijakan penyelenggaran pendidikan, termasuk dalam hal ini
partisipasi masyarakat. Masyarakat yang sejatinya menjadi bagian integral proses
pendidikan, dan memberikan kontrol aktif dalam penyelenggaran kegiatan belajar mengajar KBM telah kehilangan fungsinya.
Selama ini memang ada perwakilan orang tua murid lewat Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan BP3 yang didisain sebagai lembaga perwakilan masyarakat.
Namun lembaga ini jauh dari efektif, karena orang-orang yang duduk di dalamnya tidak mempunyai peran fungsional. Semua kebijakan yang dikeluarkan oleh sekolah terbatas
pada guru dan kepala sekolah yang merupakan pelaksana kebijakan dari pemerintah. Dengan manajemen pendidikan terpusat seperti yang terjadi selama ini, maka secara
teknis Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama mengatur dan menyelenggarakan pendidikan untuk masyarakat. Masyarakat dalam posisi ini jelas
menjadi tidak penting, karena tidak bisa mengubah kebijakan. Kalaupun ada peran, ia terbatas pada sumbangan fisik seperti pembangunan sarana pendidikan seperti gedung dan
sarana fisik lainnya, yang justru tidak secara maksimal juga dipenuhi oleh masyarakat. Inilah satu masalah utama yang dihadapi oleh madrasah.
Pemerintah sendiri dengan setengah hati mengeluarkan kebijakan pembentukan Badang Pembantu Penyelenggara Pendidikan BP3 sebagai representasi keterlibatan
masyarakat dalam madrasah. Namun anggota BP3 yang dipilih dari orang tua murid ini dibentuk sebagai perwakilan formal dan tentunya tidak fungsional. Dari segi kewenangan
misalnya lembaga ini tidak memiliki hak untuk mempengaruhi jalannya proses Kegiatan Belajar dan Mengajar KBM, apalagi untuk mengubah kurikulum. Bilapun BP3 berhak
memberi masukan hal itu terbatas pada persoalah teknis belaka, sementara untuk urusan yang lebih substansif seperti peningkatan mutu pendidikan terbatas pada usulan saja.
Kenyataan seperti itu yang membuat pengelolaan institusi pendidikan tercerabut dari masyarakat dan menutut semua kemungkinan masukan dari bawah.
Beberapa hal yang membuat dunia pendidikan tercerabut dari masyarakat adalah; a Pemerintah menetapkan pengelolaan pendidikan merupakan tanggungjawab pemerintah
dan sekolah hanya melaksanakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. b Pemerintah tidak memberi kebebasan kepada madrasah untuk melakukan improvisasi
dalam peningkatan mutu dan pengelolaan c BP3 dipilih dari orang tua murid sebagai perwakilan formal, tidak mempunyai
kewenangan fungsional seperti mempengaruhi kebijakan sekolah atau mengubah kurikulum dan sebagainya.
d Peran BP3 hanya sebatas pada pemberian sumbangan fisik belaka. e Masyarakat menganggap tugas penyelenggaraan pendidikan di tangan pemerintah
sebagai respon langsung kebijakan pemerintah. f Proses penyelenggaraan pendidikan hanya dilakukan oleh sekolah
b. Redefinisi Peran BP3 Permasalahan di atas menyebabkan masyarakat tidak mempunyai peran signifikan
dalam peningkatan mutu pendidikan. Kini di era Reformasi muncul berbagai pemikiran untuk memberikan solusi dalam mewujudkan otonomi penyelenggaraan pendidikan di
madrasah dengan membentuk manajemen yang mandiri. Reformasi dalam pengelolaan pendidikan seperti diusung Diknas mengarah pada terciptanya desentralisasi, baik pada
tataran birokrasi maupun pengelolaan madrasah. Belakangan ini dikalangan pendidikan dikenal School Based Management SBM, atau manajemen berbasis sekolah School
Based Management. Tawaran konsep ini merupakan jawaban dari kebijakan otonomi
penyelenggaraan pendidikan yang digulirkan oleh pemerintah. SBM mengidealkan sebuah manajemen sekolah yang otonom baik dalam penyelenggaran atau dalam pengajaran yang
diberikan. SBM dibentuk untuk mempersiapkan agar sekolah menjadi efektif dan mampu
meningkatkan mutu lulusannya secara mandiri school based quality improvement. Penerapan SBM membutuhkan kesiapan masyarakat untuk berperan serta dalam
manajemen institusi pendidikan. Artinya masyarakat turut bertanggungjawab baik dalam perencanaan, penyelenggaraan, maupun pembiayaan sekolah. Peran strategis itu sejatinya
dimainkan oleh BP3 yang belakangn kemudian berubah nama menjadi Komite Sekolah atau Komite Madrasah. Sayangnya peran itu tidak teraktualkan karena berbagai kendala
teknis dan non teknis yang dihadapi oleh BP3 atau Komite SekolahMadrasah. Berbarengan dengan digulirkannya School Based Management SBM, maka untuk
tingkat masyarakat muncul pula community based education CBE. CBE adalah konsep pendidikan yang berbasis mengakar pada masyarakat. CBE mengandaikan adanya sebuah
komitmen dari sebuah komunitas atau masyarakat untuk secara bersama-sama memikirkan perkembangan institusi pendidikan. CBE secara langsung memang merupakan respon atas
otonomi penyelenggaraan pendidikan yang lebih khusus memunculkan SBM. Dengan demikian dari segi fungsi sangat jelas bahwa CBE dihadirkan untuk sepenuhnya
mendukung SBM, yang diarahkan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Terbentuknya CBE akan membantu tidak saja dalam hal peningkatan sarana, prasarana dan mutu
pendidikan, tetapi akan mendekatkan peserta didik dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Untuk itu manajemen berbasis komunitas bisa terbentuk manakala ada persiapan- persiapan mental dan komitmen yang kuat dari masyarakat. Sementara ini tidak jarang di
lapangan ditemukan bahwa para orang tua tidak peduli dengan dunia pendidikan, bahkan tidak jarang pula ada yang antipati dengan kegiatan sekolah, bahkan tidak mau tahu soal
pembiayaan. Dapat ditarik kesimpulan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh
madrasah adalah dengan melakukan redefinisi peran BP3. Sebelum menjelaskan format baru BP3, perlu dijelaskan terlebih dahulu beberapa kecenderungan yang menonjol dalam
dunia pendidikan Indonesia. Kecenderungan itu muncul akibat interaksi masyarakat dengan dunia pendidikan, yang melahirkan watak dinamis bagi sistem pendidikan. Dinamika itu
misalnya terlihat dalam pandangan praktisi pendidikan dalam menyikapi tuntutan yang berkembang dimasyarakat. Kecenderungan yang lahir sebagai respon terhadap kebijakan
pemerintah mengenai otonomi penyelenggaran pendidikan ini menarik untuk ditelusuri karena grafiknya meningkat cukup drastis. Diantara kecenderungan tersebut adalah minat
penyelenggara pendidikan dalam upaya peningkatan mutu dan out put peserta didik yang bermutu mendapatkan perhatian yang serius dan semakin meluas.
Di samping itu ada gelombang kecenderungan lain yang lebih deras yakni upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap proses penyelenggaran pendidikan.
Masalah peningkatan mutu sesungguhnya merupakan isu yang sudah lawas, namun hal itu tidak pernah usang. Kecenderungan yang menjadi trend sekarang adalah peningkatan mutu
yang dibarengi dengan upaya mendekatkan kemampuan peserta didik sehingga aplikatif terhadap dunia kerja. Bahkan lebih luas lagi peningkatan mutu itu diarahkan untuk
menciptakan SDM yang memang benar-benar aplikatif terhadap tuntutan perkembangan
dan kebutuhan sebuah masyararakat. Kecenderungan ini saling kait-mengait dengan proses lahirnya policy desentralisasi oleh pemerintah yang harus disikapi leibh serius oleh
masyarakat. Di tingkat masyarakat sendiri banyak harapan dan tentunya kemampuan yang sejauh ini belum teraktualkan secara kongkret untuk mengembangkan madrasah, sehingga
untuk membuka cakrawala pemikiran dan aksi tersebut perlu langkah kongkret seperti pelatihan, seminar, diskusi, dan banyak media lain yang bisa digunakan. Ini akan
menjelaskan sejauh mana peran masyarakat akan lebih dominan dalam mendukung madrasah atau sebaliknya.
Berangkat dari dua kecenderungan tersebut, maka redefinisi peran BP3 sedang menemukan momentumnya yang tepat. Dr. H. Sufyana M. M.Pd dalam bukunya Kapita
Selekta Manajemen Pendidikan menjelaskan bahwa: …pengembangan konsep BP3 amat diperlukan baik dalam arti keanggotaan maupun
perannya. Keanggotaan BP3 hendaknya mencakup masyarakat di luat orang tua peserta didik. Mungkin saja untuk masa yang akan datang diprediksi banyak orang tua
yang sudah tiak memiliki anak di sekolah, tetapi mereka memiliki potensi dan kepedulian terhadap pendidikan. Perbedaan mendasar peranan antara BP3 yang ada
sekarang dengan BP3 yang akan dikembangkan atau komite sekolah adalah di samping menyumbang dana, tetapi sampai dengan pemikiran bahkan dalam
penyusunan rencana pengembangan sekolah dan pemeriksaan akuntabilitas dalam pelaksanaannya. Menurut konsep manajemen mutu terpadu, BP3 sebagai pelanggan
sekunder tentunya memiliki hak tersebut.
15
Dengan demikian desentralisasi penyelenggaran pendidikan menyebabkan penanggungjawab institusi pendidikan berubah. Kini masyarakat diberi peluang lebih besar
untuk menentukan sistem dan mekanisme yang diterapkan oleh sebuah institusi pendidikan.
15
Dr. H. Sufyana M., M.Pd, Kapita Selekta Manajemen Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2003 cet. 1, h. 87
Dengan demikian pola yang harus dikembangkan menyangkut hubungan masyarakat dan madrasah juga pemerintah dapat dideskripsikan sebagai berikut.
BP3 yang selama ini menjadi representasi keterlibatan masyarakat mengalami reduksi secara drastis. Dengan demikian representasi masyarakat dilengkapi dengan elemen
lain, yang meliputi pemerintahbirokrasipolitisi, masyarakat, akademisi dan sekolah. Lembaga inilah yang pada tingkat ideal bisa menjadi cikal bakal lahirnya educational
community. Satu hal perlu dicatat adalah beragamnya orang-orang yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan akan berdampak pada kinerja yang lambat. Hal itu tentunya
perlu pemikiran teknis sehingga rasio antara jumlah elemen dan fungsi lembaga menjadi lebih berimbang.
Trend baru School Based Management SBM pun akan lebih mempertegas peran baru BP3 ataupun komite sekolah. SBM adalah penyelenggaran pendidikan yang
mengharuskan sekolah tidak bergantung pada pemerintah. Penerapan sebuah sistem yang secara otomatis mengurangi wewenang dan peran pemerintah akan menyulitkan sekolah,
bila peran itu tidak tergantikan oleh lembaga lain. Masyarakat yang lebih mengetahui keinginan dan kebutuhan serta potensi daerahnya, oleh karena itu akan lebih tepat jika
masyarakat sendiri yang mengatur penyelenggaraan pendidikan, mengadakan guru, membangun gedung, mengadakan alat praktik dan sebagainya. Sementara pemerintah
hanya memberikan rambu-rambu baik bersifat akademik maupun non-akademik seperti kualitas guru, sarana dan prasarana pembelajaran yang mengaju pada standar internasional
yang harus dipenuhi oleh masyarakat bila mendirikan sebuah lembaga pendidikan. Dengan hakikat dan fungsi seperti itu maka peran BP3 haruslah berubah, dari posisi sebagai
lembaga perwakilan formal menjadi lembaga perwakilan yang fungsional.
Yang lebih penting disepakati bersama redefinisi peran BP3 tersebut harus memunculkan kesadaran baru terhadap penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan untuk
semua education for all adalah kenyataan yang harus diterima, begitupun dengan penyelenggarannya bahwa persoalan pendidikan bukan lagi monopoli sekolah dan negara
tetapi sudah menjadi tanggung jawab masyarakat. Dengan banyaknya unsur yang terlibat seperti yang disebutkan di atas, maka lembaga seperti BP3 menjadi tidak layak lagi
dipertahankan. Sekarang sudah sangat mendesak dirumuskan sebuah lembaga baru yang mewakili seluruh elemen masyarakat dalam membantu mengatur jalannya proses
penyelenggaran pendidikan. Lembaga ini -- terlepas namanya, mungkin bisa Board of Education atau yang lainnya-- harus bersifat terbuka dan dinamis, sebagai wadah konsultasi
antara sekolah, murid, wali murid dan masyarakat. Upaya mengoptimalkan peran masyarakat ini memang bukan persoalan mudah dan diperlukan waktu yang lama untuk
merumsukannya. Kondisi ini diharapkan secara langsung akan mengubah persepsi masyarakat yang
mendikhotomikan madrasah negeri dan swasta, terutama yang berkaitan dengan stigma bahwa sekolah swasta tidak bermutu. Stigma tersebut akhinya hilang dengan perubahan
kualitas mutu pendidikan yang terjadi pada madrasah, terlepas apakah swasta atau negeri.
B. Kerangka Berpikir