menunjukkan bahwa pendapatan orang tua yang rendah berhubungan dengan kejadiannya
stunting
pada anak. SD Persa Juara Medan merupakan sekolah dasar yang dibangun untuk
memberikan pendidikan gratis kepada anak – anak yang berasal dari keluarga
dengan perekonomian yang kurang mampu. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Nasikhah 2012 pada anak balita usia 24
– 36 bulan di Kecamatan Semarang Timur menunjukkan bahwa pendapatan keluarga yang rendah
merupakan suatu faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya
stunting
pada anak.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas dan masih belum banyak penelitian tentang
stunting
yang dilakukan di Indonesia pada anak usia sekolah dasar, peneliti ingin melakukan penelitian berjudul “Perbedaan Prestasi
Belajar Pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia dan Kadar Hemoglobin pada Anak yang
Stunting
dan Normal Kelas 4 – 6 di SD Persa Juara Medan Tahun
2015”.
1.2. Rumusan Masalah
Apakah terdapat perbedaan prestasi belajar pelajaran matematika, Bahasa Indonesia dan kadar hemoglobin pada anak yang
stunting
dan normal kelas 4 – 6
di SD Persa Juara Medan tahun 2015?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum Mengetahui perbedaan prestasi belajar pelajaran matematika dan Bahasa
Indonesia dan kadar hemoglobin pada anak yang tinggi badannya berada di kategori
stunting
dan normal di SD Persa Juara Medan.
Universitas Sumatera Utara
1.3.2. Tujuan Khusus Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui perbedaan status gizi antara murid yang
stunting
dan normal di sekolah SD Persa Juara Medan.
2. Mengetahui prevalensi murid yang
stunting
di sekolah SD Persa Juara Medan.
3. Mengetahui perbedaan kadar hemoglobin antara murid yang
stunting
dan normal di sekolah SD Persa Juara Medan. 4.
Mengetahui perbedaan prestasi belajar antara murid yang
stunting
dan normal di sekolah SD Persa Juara Medan.
5. Mengatahui perbedaan pola makan antara murid yang
stunting
dan normal di sekolah SD Persa Juara Medan.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk : 1.
Sekolah SD Persa Juara Medan agar mengetahui informasi mengenai status gizi muridnya.
2. Sekolah SD Persa Juara Medan agar mengetahui informasi mengenai
kadar hemoglobin darah muridnya. 3.
Dunia pendidikan agar dapat mengembangkan informasi yang telah ada dan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang
stunting
dan pengaruhnya terhadap prestasi belajar dan kadar hemoglobin. 4.
Dinas Kesehatan sebagai masukan untuk mengembangkan program Usaha Kesehatan Sekolah UKS mengenai status gizi anak sekolah.
5. Menjadi sumber data atau informasi bagi peneliti selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Stunting
2.1.1. Definisi
Stunting
merupakan suatu keadaan dimana tinggi badan anak yang terlalu rendah.
Stunting
atau terlalu pendek berdasarkan umur adalah tinggi badan yang berada di bawah minus dua standar deviasi -2SD dari tabel status gizi WHO
child growth standard
WHO, 2012.
2.1.2. Faktor – Faktor Penyebab
Stunting
Stunting
dapat disebabkan oleh berbagai faktor. WHO 2013 membagi penyebab terjadinya
stunting
pada anak menjadi 4 kategori besar yaitu faktor keluarga dan rumah tangga, makanan tambahan komplementer yang tidak
adekuat, menyusui, dan infeksi. Faktor keluarga dan rumah tangga dibagi lagi menjadi faktor maternal dan faktor lingkungan rumah. Faktor maternal berupa
nutrisi yang kurang pada saat prekonsepsi, kehamilan, dan laktasi, tinggi badan ibu yang rendah, infeksi, kehamilah pada usia remaja, kesehatan mental,
Intrauterine growth restriction
IUGR dan kelahiran
preterm,
Jarak kehamilan yang pendek, dan hipertensi. Faktor lingkungan rumah berupa stimulasi dan
aktivitas anak yang tidak adekuat, perawatan yang kurang, sanitasi dan pasukan air yang tidak adekuat, akses dan ketersediaan pangan yang kurang, alokasi
makanan dalam rumah tangga yang tidak sesuai, edukasi pengasuh yang rendah. Faktor kedua penyebab
stunting
adalah makanan komplementer yang tidak adekuat yang dibagi lagi menjadi tiga, yaitu kualitas makanan yang rendah, cara
pemberian yang tidak adekuat, dan keamanan makanan dan minuman. Kualitas makanan yang rendah dapat berupa kualitas mikronutrien yang rendah, keragaman
jenis makanan yang dikonsumsi dan sumber makanan hewani yang rendah, makanan yang tidak mengandung nutrisi, dan makanan komplementer yang
mengandung energi rendah. Cara pemberian yang tidak adekuat berupa frekuensi pemberian makanan yang rendah, pemberian makanan yang tidak aadekuat ketika
Universitas Sumatera Utara
sakit dan setelah sakit, konsistensi makanan yang terlalu halus, pemberian makan yang rendah dalam kuantitas. Keamanan makanan dan minuman dapat berupa
makanan dan minuman yang terkontaminasi, kebersihan yang rendah,
penyimpanan dan persiapan makanan yang tidak aman. Faktor ketiga yang dapat
menyebabkan stunting adalah pemberian Air Susu Ibu ASI yang salah bisa karena inisiasi yang terlambat, tidak ASI eksklusif, penghentian menyusui yang
terlalu cepat. Faktor keempat adalah infeksi klinis dan subklinis seperti infeksi pada usus : diare,
environmental enteropathy
, infeksi cacing, infeksi pernafasan, malaria, nafsu makan yang kurang akibat infeksi, inflamasi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nasikhah 2012 pada anak usia 24
– 36 bulan di Semarang menunjukkan terdapat beberapa faktor risiko yang paling berpengaruh untuk terjadinya
stunting
, yaitu tinggi badan orang tua yang rendah, pendidikan ayah yang rendah, dan pendapatan perkapita yang rendah.
Mamiro 2005 juga melakukan penelitian yang serupa kepada anak usia 3 – 23
bulan di Tanzania menunjukkan bahwa malaria, berat badan lahir rendah BBLR, pendapatan keluarga yang rendah, dan indeks massa tubuh IMT ibu yang rendah
berperan sebagai faktor risiko terjadinya
stunting
pada anak. Berat badan lahir rendah dan indeks massa tubuh ibu yang rendah merupakan dua faktor risiko
terkuat untuk penyebab
stunting
. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Senbanjo 2011 pada anak usia 5
– 19 tahun di Abeokuta Nigeria ditemukan beberapa hal yang menjadi faktor risiko terjadinya
stunting
, yaitu anak yang bersekolah di sekolah pemerintah, keluarga poligami, pendidikan orang tua yang rendah, dan juga kelas sosial yang
rendah. Pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor risiko terjadinya
stunting
yang paling tinggi dibanding dengan faktor risiko lainnya. Menurutnya hal tersebut bisa disebabkan karena ibu dengan pendidikan yang tinggi cenderung
memiliki finansial yang lebih baik dan dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Hal tersebut membuat keluarga di kelas sosial yang lebih tinggi dan memiliki
status gizi keluarga yang lebih baik, sedangkan menurut penelitian Olukamakaiye 2013 terhadap anak sekolah di Nigeria, asupan makanan mempengaruhi
kejadian
stunting
. Penelitiannya menunjukkan bahwa anak dengan rendahnya
Universitas Sumatera Utara
keanekaragaman jenis makanan yang dikonsumsi menjadi faktor risiko terjadinya
stunting
. Olukamakaiye juga mendukung bahwa anak dari sekolah pemerintah lebih banyak yang menderita
stunting
dibanding dengan sekolah swasta. Hal tersebut dikarenakan malnutrisi yang disebabkan oleh keanekaragaman jenis
makanan yang rendah.
2.1.3. Dampak
Stunting
Stunting
dapat memberikan dampak bagi kelangsungan hidup anak. WHO 2013 membagi dampak yang diakibatkan oleh
stunting
menjadi dua yang terdiri dari jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendek dari
stunting
adalah di bidang kesehatan yang dapat menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas, di bidang perkembangan berupa penurunan perkembangan kognitif,
motorik, dan bahasa, dan di bidang ekonomi berupa peningkatan pengeluaran untuk biaya kesehatan.
Stunting
juga dapat menyebabkan dampak jangka panjang di bidang kesehatan berupa perawakan yang pendek, peningkatan risiko untuk
obesitas dan komorbidnya, dan penurunan kesehatan reproduksi, di bidang perkembangan berupa penurunan prestasi dan kapasitas belajar, dan di bidang
ekonomi berupa penurunan kemampuan dan kapasitas kerja. Menurut penelitian Hoddinott
et al.
2013 menunjukkan bahwa
stunting
pada usia 2 tahun memberikan dampak yang buruk berupa nilai sekolah yang lebih rendah, berhenti sekolah, akan memiliki tinggi badan yang lebih pendek, dan
berkurangnya kekuatan genggaman tangan sebesar 22.
Stunting
pada usia 2 tahun juga memberikan dampak ketika dewasa berupa pendapatan perkapita yang
rendah dan juga meningkatnya probabilitas untuk menjadi miskin.
Stunting
juga berhubungan terhadap meningkatnya jumlah kehamilan dan anak dikemudian
hari, sehingga Hoddinott menyimpulan bahwa pertumbuhan yang terhambat di kehidupan awal dapat memberikan dampak buruk terhadap kehidupan, sosial, dan
ekonomi seseorang. Dampak
stunting
terhadap prestasi sekolah juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Perignon
et al.
2014 terhadap anak usia 6 – 16 tahun di
Kamboja. Perignon menemukan bahwa anak yang mengalami
stunting moderate
Universitas Sumatera Utara
dan
severe
memiliki kecerdasan kognitif yang lebih rendah dibanding dengan anak yang normal.
Stunting
juga dapat mempengaruhi kadar hemoglobin anak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mamiro 2005 terhadap anak di
Tanzania menunjukkan bahwa anak yang mengalami
stunting
memiliki kadar hemoglobin darah yang rendah.
2.1.4. Metode Pengukuran
Pengukuran antropometri berdasarkan tinggi badan menurut umur berguna untuk mengukur status nutrisi pada populasi, karena pengukuran pertumbuhan
tulang ini mencerminkan dampak kumulatif yang mempengaruhi status nutrisi yang menyebabkan terjadinya
stunting
dan juga mengacu sebagai malnutrisi
kronis Alderman, 2011.
Cara pengukuran antropometri pada anak dengan menggunakan grafik standar panjang tinggi badan menurut umur menurut WHO pada
Training
Course on Child Growth Assessment
yang diterbitkan pada tahun 2008. Data ini menggunakan
Z-score
sebagai
cut-off point
untuk menentukan status antropometri anak yang disusun dalam tabel dibawah ini :
Tabel 2.1 Indikator Pertumbuhan WHO
Z
–
score
Panjang Tinggi badan menurut umur
3
Very tall
2 Normal
1 Normal
0 median Normal
-1 Normal
-2
Stunted
-3
Severely Stunted
Sumber :
Training Course on Child Growth Assessment
WHO, 2008
Universitas Sumatera Utara
2.1.5. Epidemiologi
Menurut data Riskesdas 2013 prevalensi pendek secara nasional pada balita adalah 37,2 yang terdiri dari sangat pendek sebesar 18 dan pendek
19,2. Terdapat 20 provinsi dengan prevalensi diatas nasional 37,2 dengan yang tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur, terendah di Jambi, dan Sumatera
Utara menempati urutan ke – 8 tertinggi.
Gambar 2.1 Kecenderungan Prevalensi Status Gizi TBU -2 SD Menurut Provinsi, Indonesia 2007, 2010, dan 2013
Sumber : Riskesdas, 2013 Prevalensi pendek secara nasional pada anak usia 5
– 12 tahun adalah 30,7 dengan sangat pendek sebesar 12,3 dan pendek sebesar 18,4. Terdapat
15 provinsi di Indonesia dengan prevalensi sangat pendek diatas prevalensi nasional 12,3 dan Sumatera Utara termasuk salah satu dari provinsi tersebut
dengan prevalensi pendek dan sangat pendek diatas 37.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Prevalensi Pendek Anak Umur 5 –12 Tahun Menurut Provinsi,
Indonesia 2013 Sumber : Riskesdas, 2013
Prevalensi nasional pendek pada remaja usia 13 – 15 tahun adalah 35,1
dengan sangat pendek sebesar 13,8 dan pendek sebesar 21,3. Terdapat 16 provinsi dengan prevalensi sangat pendek diatas prevalensi nasional 13,8.
Sumatera Utara juga termasuk salah satu dari provinsi tersebut dan prevalensi tertinggi terdapat di papua. Prevalensi pendek dan sangat pendek di Sumatera
pada usia 13 – 15 tahun adalah diatas 40.
Gambar 2.3 Prevalensi Pendek Remaja Umur 13 –15 Tahun Menurut Provinsi,
Indonesia 2013 Sumber : Riskesdas, 2013
Universitas Sumatera Utara
Prevalensi pendek secara nasional di Indonesia pada remaja rentang usia 16
– 18 tahun adalah 31,4 dengan sangat pendek sebesar 7,5 dan pendek sebesar 23,9. Sebanyak 17 provinsi dengan pervalensi pendek diatas prevalensi
nasional 23,9 dan Sumatera Utara juga termasuk dari salah satu provinsi tersebut.
Gambar 2.4 Prevalensi Pendek Remaja Umur 16 –18 Tahun Menurut Provinsi,
Indonesia 2013 Sumber : Riskesdas, 2013
2.2. Anemia Defisiensi Besi
2.2.1. Definisi
Anemia secara fungsional adalah penurunan jumlah massa eritrosit
red cell mass
sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah cukup ke jaringan perifer penurunan
oxygen carrying capacity
. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya
penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong
depleted iron store
yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang Bakta, 2009.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Etiologi
Berat badan lahir rendah dan bayi dengan kehilangan darah perinatal dapat menyebabkan terjadinya anemia defisiensi besi dikarenakan bayi tersebut
mempunyai cadangan zat besi yang lebih rendah sehingga simpanan zat besi akan lebih cepat habis. Konsumsi zat besi yang kurang dalam makanan. Pola makan
yang diamati pada bayi dan anak kecil yang menderita anemia defisiensi besi pada negara berkembang adalah konsumsi susu sapi yang berlebihan dimana
kandungan zat besinya rendah, dan juga penyerapan zat besi pada ASI 2 -3 kali lebih baik dibandingan dengan susu sapi.
Kehilangan darah harus dipertimbangkan sebagai penyebab dari kasus anemia defisiensi besi terutama pada anak yang lebih besar. Anemia defisiensi
besi kronis akibat pendarahan bisa disebabkan oleh lesi pada saluran pencernaan, seperti ulkus peptikum, divertikulum Meckel, polip, hemangioma, atau penyakit
inflamasi pada usus. Bayi dapat mengalami kehilangan darah kronis dari usus yang disebabkan
oleh terpapar oleh protein labil panas di susu sapi murni. Reaksi gastrointestinal ini tidak berhubungan dengan abnormalitas enzim pada mukosa, seperti defisiensi
laktase, atau alergi susu yang khas. Pada negara berkembang, infeksi cacing tambang,
Trichuris trichiura, Plasmodium,
dan
Helicobacter pylori
sering berkontribusi terhadap terjadinya defisiensi besi.
Sekitar 2 dari remaja perempuan menderita anemia defisiensi besi dikarenakan oleh kebutuhan yang besar untuk tumbuh pesat dan kehilangan darah
pada saat menstruasi. Risiko tinggi juga ditemukan pada remaja yang sedang atau pernah hamil, ditemukan 30 dari remaja wanita ini mengalami anemia
defisiensi besi Lerner, 2011. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tandirerung 2013 pada murid sekolah dasar di Manado menunjukkan bahwa
anak yang tidak memiliki kebiasaan sarapan pagi mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian anemia.
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Diagnosis
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung
eritrosit. Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Kadar normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur,
jenis kelamin, adanya kehamilan, dan ketinggian tempat tinggal Bakta, 2009.
Cut
–
off point
seseorang dikatakan sebagai anemia berbeda – beda
berdasarkan umur dan jenis kelamin. Anak balita 12 – 59 bulan adalah Hb 11,0
gdL, anak sekolah usia 6 – 12 tahun adalah Hb 12,0 gdL, laki – laki usia ≥15
tahun adalah Hb 13 gdL, wanita usia subur 15 – 49 tahun adalah Hb 12,0 gdL,
dan pada ibu hamil adalah Hb 11 gdL Riskesdas, 2013.
Tabel 2.2 Derajat Anemia
Derajat Hb
Ringan sekali Hb 10gdl
– cut off point Ringan
Hb 8 gdl – Hb 9,9 gdl
Sedang Hb 6 gdl
– Hb 7,9 gdl Berat
Hb 6 gdl Sumber : Hematologi Klinik Ringkas Bakta, 2014
2.2.4. Dampak Anemia pada Anak
Pengaruh defisiensi besi terutama melalui gangguan fungsi hemoglobin yang berfungsi sebagai penghantar oksigen yang dibutuhkan untuk reaksi
metabolisme di dalam tubuh. Anemia memberikan dampak kepada anak sekolah berupa penurunan daya konsentrasi anak dalam belajar dan juga kepada pekerja
yang menunjukkan penurunan kesanggupan dan daya kerja yang bermakna Sediaoetama, 2009.
Anemia defisiensi besi memiliki dampak terhadap kecerdasaan anak. Hal tersebut dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Perignon
et al.
2014 terhadap anak usia 6
– 16 tahun di Kamboja. Perignon menemukan bahwa anak laki
– laki yang mengalami anemia defisiensi besi memiliki kecerdasan kognitif
Universitas Sumatera Utara
yang lebih rendah dibanding anak yang normal. Penelitian yang dilakukan oleh Kishawi 2015 pada anak usia 2
– 5 tahun di Gaza Palestina menunjukkan bahwa anak yang menderita anemia memiliki hubungan yang signifikan terhadap berat
badan yang rendah
underweight
.
2.3. Prestasi Belajar
2.3.1. Definisi
Prestasi belajar menurut Ridwan 2008 dalam Picauly 2013 adalah penilaian hasil usaha kegiatan yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka,
huruf, maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak dalam periode tertentu.
2.3.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Belajar
Menurut Slameto 2013 faktor – faktor yang mempengaruhi belajar dapat
digolongkan menjadi dua golongan, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar.
Faktor jasmaniah Faktor kesehatan :
Sakit dapat menyebabkan cepat lelah, kurang semangat, mudah pusing, ngantuk, kurang darah, gangguan fungsi indera dan tubuh yang akan
menganggu proses belajar. Cacat tubuh :
Keadaan ini dapat mempengaruhi belajar, dan sebaiknya anak belajar pada lembaga pendidikan khusus atau dengan bantuan alat bantu untuk
mengurangi pengaruh dari kecacatan. Faktor psikologis
Faktor inteligensi : Siswa dengan tingkat inteligensi yang tinggi akan lebih berhasil
daripada yang tingkat inteligensinya lebih rendah.
Universitas Sumatera Utara
Perhatian : Siswa yang mempunyai perhatian terhadap bahan pelajarannya dapat
mencegah terjadinya kebosanan. Minat :
Bila pelajaran tidak sesuai dengan minatnya, siswa tidak akan belajar dengan sebaik
– baiknya karena tidak ada daya tarik baginya. Bakat :
Jika pelajaran sesuai dengan bakatnya, siswa akan senang dan lebih giat dalam belajar pelajaran tersebut sehingga hasil belajar lebih baik.
Motif : Motif untuk berpikir dan memusatkan perhatian, merencanakan, dan
melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan belajar. Kematangan :
Belajar lebih berhasil jika anak sudah siap matang. Kesiapan :
Siswa yang sudah ada kesiapan akan mempunyai hasil belajar yang lebih baik.
Faktor kelelahan Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglai tubuh dan kelelahan
rohani berupa kelesuan dan kebosanan. Faktor eksternal adalah faktor yang ada di luar individu.
Faktor keluarga Cara orang tua mendidik :
Orang tua yang kurang tidak memperhatikan pendidikan anaknya akan menyebabkan anak tidak kurang berhasil dalam belajarnya.
Relasi antar anggota keluarga : Relasi yang tidak baik dapat menyebabkan perkembangan anak
terhambat, belajar terganggu, dan bahkan dapat menimbulkan masalah psikologis yang lain.
Universitas Sumatera Utara
Suasana rumah : Suasana rumah yang gaduh tidak memberikan ketenangan kepada anak
untuk belajar. Keadaan ekonomi keluarga :
Kebutuhan pokok anak akan kurang terpenuhi pada keluarga yang miskin, sehingga kesehatan dan belajar anak akan terganggu.
Pengertian orang tua : Orang tua wajib memberi pengertian dan dorongan untuk membantu
kesulitan anak di sekolah. Latar belakang kebudayaan :
Penanaman kebiasaan yang baik agar mendorong semangat anak untuk belajar.
Faktor sekolah Metode mengajar :
Metode mengajar guru yang kurang baik menyebabkan siswa menjadi kurang senang dan malas belajar.
Kurikulum : Kurikulum tidak baik jika terlalu padat, diatas kemampuan siswa, tidak
sesuai dengan bakat, minat, dan perhatian siswa. Relasi guru dengan siswa :
Relasi guru dengan siswa yang baik membuat siswa menyukai mata pelajaran yang diberikan.
Relasi siswa dengan siswa : Relasi yang baik dapat memberi pengaruh positif terhadap belajar.
Disiplin sekolah : Kedisiplinan berhubungan erat dengan kerajinan siswa dalam sekolah
dan belajar. Alat pelajaran :
Alat pelajaran yang lengkap dan tepat akan memperlancar siswa dalam menerima bahan pelajaran.
Universitas Sumatera Utara
Waktu sekolah : Sebaiknya siswa belajar dipagi hari dengan pikiran yang masih segar
dan jasmani dalam kondisi yang baik. Standar pelajaran di atas ukuran
Keadaan gedung Metode belajar :
Belajar secara teratur setiap hari, pembagian waktu yang baik, cara belajar yang tepat, dan cukup istirahat.
Tugas rumah : Diharapkan guru jangan terlalu banyak memberi tugas karena dapat
membuat anak tidak mempunyai waktu lagi untuk kegiatan yang lain. Faktor masyarakat
Kegiatan siswa dalam masyarakat : Belajar dapat terganggu jika siswa terlalu banyak ambil bagian dalam
kegiatan masyarakat, terutama jika tidak bijaksana dalam mengatur waktu.
Media massa : Seperti bioskop, radio, sukat kabar, majalah, dan sebagainya dapat
memberi pengaruh yang baik ataupun buruk, tergantung dari media massa tersebut.
Teman bergaul : Teman bergaul yang tidak baik seperti suka begadang, keluyuran,
pecandu rokok, film, dan sebagainya dapat menyeret siswa ke ambang bahaya dan belajar akan jadi berantakan.
Bentuk kehidupan masyarakat : Masyarakat yang terdiri dari orang yang tidak terpelajar, penjudi, suka
mencuri, dan mempunyai kebiasaan tidak baik akan memberi pengaruh jelek karena anak tertarik untuk melakukan yang dilakukan orang
– orang disekitarnya dan dapat mengganggu belajarnya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Perignon
et al.
2014 pada anak usia 6
– 16 tahun di Kamboja menunjukan beberapa faktor risiko yang mempengaruhi kecerdasan anak. Anak yang mengalami
stunting
, anemia defisiensi besi, dan infeksi parasit mempunyai nilai yang lebih rendah pada tes
kecerdasan kognitif dibanding dengan anak yang normal. Picauly 2013 juga melakukan penelitian terhadap anak sekolah di
Kupang dan Sumba Timur NTT tentang pengaruh
stunting
terhadap prestasi belajar. Picauly mendapatkan bahwa setiap penurunan status gizi tinggi badan
menurut umur sebesar 1 SD dapat menyebabkan penurunan prestasi belajar. Menurut Semba
et al.
2008 dan Yustika 2006 dalam Picauly 2013 siswa yang mempunyai prestasi belajar yang rendah disebabkan oleh dua masalah, yaitu
absensi yang tinggi dan kualitas penyerapan dan penguasaan materi pembelajaran yang rendah.
Penelitian Olukamakaiye 2013 juga mengatakan bahwa energi makanan yang rendah, konsumsi daging, buah, dan sayur yang rendah memberikan dampak
negatif terhadap perkembangan, kesehatan, dan belajar. Penelitian yang dilakukan oleh Gajre 2008 pada anak sekolah di Kota Hiderabad menunjukkan bahwa
kebiasaan sarapan berpengaruh terhadap memori dan kecerdasan anak di sekolah. Tingkat pendidikan ibu juga memberikan pengaruh terhadap kecerdasan anak
dalam pelajaran Bahasa Inggris. Pengaruh sarapan pagi terhadap prestasi belajar juga didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh So 2013 pada anak sekolah di Korea. Hubungan antara sarapan pagi dan prestasi sekolah yang baik pada murid laki
– laki didapati signifikan jika sarapan pagi minimal 5 kali per minggu, sedangkan pada murid
perempuan ditemukan bahwa sarapan pagi sebanyak minimal 2 kali seminggu sudah menunjukkan hubungan yang signifikan.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :
Variabel Independen
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
3.2. Definisi Operasional
Tabel 3.1. Definisi Operasional
Variabel Definisi
Cara ukur Alat ukur
Kategori Skala
pengukuran Status Gizi :
TBUmur Tinggi badan
menurut umur dibawah -2
standar deviasi -2 SD dan
tinggi badan dinyatakan
dalam cm. Pengukuran
tinggi badan Microtoise
Stunting
Z- score
-2 SD Normal
Z- score
≥ -2 SD Ordinal
Stunting
Tinggi badan anak menurut
usia dengan
Z- score
-2 SD Pengukuran
tinggi badan Microtoise
Stunting
Z- score
-2 SD Ordinal
Normal Tinggi badan
anak menurut usia dengan
Z- score
≥ -2 SD Pengukuran
tinggi badan Microtoise
Stunting
Z- score
-2 SD Ordinal
Pola Makan Pola makan siswa SD
Persa Juara Medan
Wawancara Kuesioner
Baik Kurang
Ordinal Prestasi Belajar
dan Kadar Hemoglobin
Pola Makan Status Gizi : TBUmur,
IMTUmur Pendidikan Orang Tua
Stunting
Normal
Variabel Dependen
Universitas Sumatera Utara
Pendidikan Orang Tua
Jenjang pendidikan
formal terakhir yang ditamati
oleh orang tua murid
Wawancara Kuesioner
SD SMP
SMA D3PT
Ordinal
Prestasi Belajar
Nilai akhir rapor pelajaran
matematika dan Bahasa
Indonesia murid kelas 4
– 6 SD Menggunak
an data rapor
semester anak
Rapor Baik nilai
akhir ≥ mean Kurang nilai
akhir mean Ordinal
Kadar Hemoglobin
Kadar hemoglobin
murid kelas 4 – 6 SD dan
hasilnya dinyatakan
dalam gdL Pemeriksaa
n kadar hemoglobin
dengan menggunak
an darah perifer
Easy Touch
GCHb
Normal Hb ≥12,0 gdL
Anemia Hb 12,0 gdL
Ordinal
Status Gizi : IMTUmur
Indeks massa tubuh anak
berdasarkan umur
Pengukuran tinggi badan
dan berat badan
Microtoi se
Timbang an berat
badan Obesitas
Overweight Normal
Underweight Ordinal
3.3. Hipotesis