11
BAB II TINJAUAN TEORITIS
II.1 Paradigma Konstrukstivisme
Pada dasarnya media massa bukanlah sesuatu yang bebas dan independen. Media mewakili realitas sosial yang terkait dengan berbagai macam
kepentingan. Keterkaitan media ini berhubungan dengan kepentingan yang berada di dalam maupun di luar media massa itu sendiri. Kepentingan eksternal
bisa meliputi kepentingan pemilik modal yang berhubungan dengan pencarian keuntungan. Sedangkan, di sisi lain media juga harus menjaga hubungan dengan
masyarakat dan negara. Kepentingan-kepentingan eksternal dan internal ini mengharuskan media terus bergerak dinamis di antara kepentingan-kepentingan
tersebut. Hal ini menyebabkan media massa sulit menghindari bias-bias dalam penyampaian beritanya.
Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian sendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian
penting dari pendekatan ini. Pertama, Faktaperistiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir,
karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi, tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas itu tercipta
lewat konstruksi dan pandangan tertentu. Hal ini berbeda dengan pandangan
12
kaum positivis yang mengatakan bahwa ada fakta yang “rill” yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu yang berlaku universal.
12
Kedua, Media adalah agen konstruksi. Pandangan konstruksionis mempunyai posisi yang berbeda dibandingkan positivis dalam menilai media.
Dalam pandangan positivis media dilihat sebagai saluran. Media adalah sarana bagaimana pesan disebarkan dari komunikator ke penerima khalayak. Media
disini dilihat murni sebagai saluran, tempat bagaimana transaksi pesan dari semua pihak yang terlibat dalam berita. Sedangkan pandangan konstruksionis
menilai media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan bias dan pemihakannya. Di
sini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas. Pandangan semacam ini menolak argumen yang menyatakan media
seolah-olah sebagai tempat saluran bebas.
13
Ketiga, Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanyalah konstruksi dari realitas. Dalam pendangan positivis, berita adalah informasi. Ia dihadirkan
kepada khalayak sebagai representasi dari kenyataan. Kenyataan itu ditulis kembali dan ditransformasikan lewat berita. Tetapi dalam pandangan
konstruksionis berita itu ibaratnya seperti sebuah drama. Berita tidak mungkin cermin dan refleksi dari realitas, karena berita yang terbentuk merupakan
konstruksi atas realitas. Dalam pandangan kaum positivis, berita adalah refleksi
12
Eriyanto, Analisis Framing,Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, hlm 20
13
Ibid, h 23
13
dan pencerminan dari realitas. Berita adalah mirror of reality, karenanya ia harus mencerminkan realitas yang hendak dibicarakan.
14
Keempat, Berita bersifat subjektifkonstruksi atas realitas. Pandangan kostruksionis mempunyai penilaian yang berbeda dalam menilai objektivitas
jurnalistik. Hasik kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan sebuah standar yang rigid, seperti halnya positivis. Hal ini karena berita adalah produk
dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pada pendekataan positivis, titik perhatiannya adalah pada bias. Artinya, bias dianggap salah, dan wartawan
harus menghindari bias. Dalam tradisi penelitian positivis, analisis diarahkan untuk menemuakan ada-tidaknya bias – dengan meneliti sumber berita, pihak-
pihak yang diwawancarai, bobot dari penulisan, dan sebagainya. Berita dalam pandangan positivis bersifat objektif. Menyingkirkan opini dan pandangan
subjektif dari pembuat berita.
15
Kelima, kaum konstrukstivis memandang wartawan bukan sebagai pelapor, ia adalah agen konstruksi dari realitas.
16
Sedangkan positivis sendiri memandang wartawan seperti layaknya seorang pelapor observer. Sebagai
seorang pelapor, wartawan hanya bertugas memberitakan atau mentransferapa yang dia lihat dan apa yang dia rasakan dilapangan.
17
Keenam, dalam hal etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang intergral dalam produksi berita. Paradigma konstruksionis
memandang aspek etika, moral, dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin
14
Ibid, h 25
15
Ibid, h 27
16
Ibid, h 28
17
Ibid, h 29
14
dihilangkan dari pemberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti
keberpihakan pada satu kelompok atau nilai tertentu – umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu- adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam
membentuk dan mengonstruksi realitas.
18
Sebagai pelapor, pendekatan positivis menekankan agar nilai, etika, dan keberpihakan wartawan dilihangkan dalam
proses pembuatan berita. Artinya, pertimbangan moral dan etika yang dalam banyak hal selalu bisa diterjemahkan sebagai bentuk keberpihakan haruslah
disingkirkan. Intinya realitas haruslah didudukan dalam dungsinya sebagai realitas yang faktuil, yang tidak boleh dikotori oelh pertimbangan subjektif.
19
Ketujuh, salah satu sifat dasar dari penelitian yang bertipe konstruksionis adalah pandangan yang menyatakan peneliti bukanlah subjek yang bebas nilai.
Pilihan etika, moral atau keberpihakan peneliti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses penelitian. Sedangkan dalam pendangan positivis
peneliti haruslah bebas nilai, ini berarti etika dan pilihan moral peneliti tidak boleh ikut dalam penelitian.
20
Kedelapan, khalayak mempunyai penafsiran tersendiri atas berita. Positivis memandang berita sebagai sesuatu yang objektif. Konsekuensinya, apa
yang diterima oleh khalayak pembaca seharusnya sama denga apa yang disampaikan oleh poembuat berita. Hal ini bertentangan dengan pandangan
konstruksionis yang melihat khalayak bukan sebagai subjek yang pasif, tetapi
18
Ibid, hlm 32
19
Ibid, hlm 31
20
Ibid, hlm 33
15
juga subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dia baca. Stuart Hall mengatakan makna dari suatu teks bukan terdapat dalam pesanberita yang
dibaca oleh pembaca makna selalu potensial mempunyai banyak arti polisemi. Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial
bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi. Sedangkan paradigma positivis melihat komunikasi sebagai bentuk pengiriman pesan.
Komunikasi di sini dilihat sebagai suatu proses bagaimana pesan terkirim dari pengirim ke penerima dan proses yang terjadi dalam pengiriman tersebut
21
. Proses pengiriman pesan yang dimaksud dalam paradigma positivis di sini
adalah model komunikasi linier. Model komunikasi ini merupakan model yang diperkenalkan oleh Harold D. Laswell. Model komunikasi ini mengasumsikan
bahwa adanya hubungan satu arah dari media kepada khalayak, sehingga hubungan antara sumber dan khalayak digambarkan sebagai hubungan satu arah
atau linier saja seperti model yang tergambar dibawah ini.
Model komunikasi Harold D. Laswell
22
Paradigma konstruksionis menganggap pembuat teks berita sebagai penentu yang akan mengarahkan pola pikir khalayak. Sebaliknya paradigma
positivis melihat pembuat teks berita sebagai penyampai informasi yang memaparkan suatu peristiwa atau fakta secara rill dan objektif.
21
Ibid h 37-38.
22
Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Madia Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita Politik, Hlm. 115
Who Communicator
With what Effect Effect
To whom Receiver
In which channel? Medium
Says what? Massage
16
Pertanyaan utama dari paradigma konstruksionis ini adalah pada bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi?, dengan cara apa
konstruksi itu dibentuk?
23
. Bagi kaum konstruksionis realitas yang ada di media bukan terjadi begitu saja. Realitas yang disampaikan oleh media merupakan
hasil konstruksi dari manusia itu sendiri. Ada dua karakteristik penting dari pendekatan konstruksionis:
24
• Pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemakanaan dan proses
bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas makna adalah suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan.
• Pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses
yang dinamis.
Pendekatan konstruksionis
memeriksa bagaimana
pembentukan pesan dari sisi komunikator, dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan.
Analisis framing termasuk dalam kategori penelitian konstruksionis. Dengan analisis framing, kita mencoba melihat bagaimana media mengonstruksi
realitas. Persitiwa yang disajikan oleh media merupakan hasil konstruksi dari fakta-fakta yang diserap oleh wartawan, sehingga realitas yang tercipta
merupakan hasil konstruksi dari wartawan. Dan suatu hal yang mungkin jika realitas yang tercipta terdistorsi oleh pola pikir atau pandangan wartawan itu
sendiri.
23
Eriyanto, Analisis Framing : Konstruksi Ideologi dan Politik Media,, hlm. 37-38
24
Ibid, h 40-41
17
Jadi, dalam penelitian framing, yang menjadi titik persoalan adalah bagaimana realitas atau peristiwa dikonstruksi oleh media, bagaimana media
membingkai peristiwa dalam kostruksi tertentu. sehingga yang menjadi titik perhatian bukan apakah negatif atau positif, melainkan bagaimana bingkai yang
dikembangkan oleh media.
25
II.2 Media Massa Sebagai Media Konstruksi Berita Islam II.2.a Pengertian dan Fungsi Media Massa
Sebelum kita membahas mengenai media massa, penulis ingin menyinggung sedikit mengenai komunikasi massa, karena media massa adalah
salah satu bagian dari komunikasi massa. Komunikasi massa dalat didefinisikan sebagai komunikasi yang
berlangsung dimana pesannya dikirim dari smber yang melembagakepada khalayak yang sifatnya missal melalui alat-alat yang bersifat mekanis, baik cetak
maupun eletronik.
26
Ketika kita membicarakan komunikasi massa untuk melakukan kegiatan komunikasi, maka haruslah memahami karekteristik komunikasi massa sebagai
berikut :
27
1. Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri
dari banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan, pengelolaan, sampai pada penyajian informasi,
25
Ibid, h 7
26
Hafided Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, hlm 36
27
Ibid., 122
18
2. Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurnag
memungkinkan akan terjadinya dialog antara pengirim dan penerima. Kalaupun terjadi realksi atau umpan bakik, biasanya
memerlukan waktu yang tertunda. 3.
Meluas dan serempak, artinya dapat mengaasi rintangan waktu dan jarak, karena ia memeilik kecepatan.
4. Memakia peralatan teknis atau mekanis. Seperti perangkat
computer, mesin cetak, dll. 5.
Bersifat terbuka, aretinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan dimana saja tanpa mengel usia, jenis kelamain, suku bangsa, dll.
Media massa merupakan sebuah institusi yang memiliki serangkaian kegiatan produksi budaya dan informasinya dilaksanakan oleh berbagai tipe
‘komunikator massa’ untuk disalurkan kepada khalayak sesuai dengan peraturan dan kebiasaan yang berlaku.
28
Mc Quail
29
mengungkapkan dua asumsi dasar mengenai media massa. Instutusi media menyelenggarakan produksi, reproduksi, dan distribusi
pengetahuan dalam pengertian serangkaian simbol yang mengandung acuan bermakna tentang pengalaman dalam kehidupan sosial. Pengetahun tersebut
membuat kita mampu untuk memetik pelajaran dari pengalaman, membentuk persepsi kita terhadap pengalaman itu, dan memperkaya khasanah pengetahuan
masa lalu. Asumsi yang kedua media massa memiliki peran mediasi antara relaitas yang objektif dan pengalaman pribadi. Media massa seringkali berada
28
Vincent Moscow, The Political Economy of Communication, hlm. 150-156
29
Dennis McQuai, Teori Komunikasi Massa, sebuah pengantar. Edisi kedua,hlm. 72
19
diantara kita dengan bagian pengalaman lain yang berada di luar persepsi dan kontrak langsung kita.
Charles wright menggambarkan empat fungsi dasar media massa
30
yaitu :
1. Pengamat Lingkungan Surveillance
Media massa memberikan pesan-pean secara terus menerus melalui pemberitaan mereka yang memungkinkan anggota mesyarakat menyadari
perkembangan lingkungan yang dapat mempengaruhi mereka. Pengamat lingkungan juga memeliki fungsi pengawasan, yang memperingatkan
masyarakat akan bahaya, misalnya angin topan atau polusi udara.
2. Korelasi correlation
Media massa menghubungkan dan mengartikan pesan tentang peristiwa yang sedang terjadi. Fungsi korelasi membentu khalayak mesyarakat
menentukan relevansi berbagai informasi pengewasan apa yang berguna bagi mereka.
3. Sosialisasi Socialization
Sebagaian merupakan fungsi pengamat lingkungan dan korelasi; komunikasi melelui media massa mensosialisasikan individu-individu untuk
berpartisipasi dalam masyarakat. Media massa memeberikan berbagai pengalaman yang umum, harapan-harapan yang sama, perilaku yang sesuai
maupun tidak sesuai, dan megontribusikan berbagai kreasi kebudayaan umum dan konsesus kebudayaan. Komunikasi melalui media massa juga memainkan
30
Charles wright, Sosiologi Komunikasi Massa, hlm. 270-271
20
sebuah peran penting dalam mentransmisikan warisan kebudayaan dari generasi ke generasi.
4. Hiburan Entertainment
Media massa adalah sumber yang dapat menyediakan hiburan massa dan menyediakan hiburan dasar, serta menyiarkan bagi khalayak masyarakat.
II.2.b Pengertian Surat Kabar
Menurut Y.S Gunadi, Koran atau surat kabar adalah media komunikasi massa yang memuat serba-serbi pemberitaan meliputi bidang politik, ekonomi,
sosial dan budaya, pertahanan dan keamanan. Surat kabar merupakan media komunikasi cetak yang isinya lengkap ditujukan kepada masyarakat. Di
Indonesia surat kabar ada yang terbit secara harian, mingguan, bulanan.
31
Ada beberapa fungsi dari surat kabar diantaranya : 1.
Penyebar Informasi, menyalurkan informasi yang telah diolah sehingga khalayak dapat mengetahui keadaan yang terjadi diluar dirinya.
2. Area Pendidikan, surat kabar menyebatkan pendidikan secara non formal
kepada masyarakat
melalu informasi-informasi
yang bersifat
mencerdaskan. 3.
Area Hiburan. Kini surat kabar meluaskan fungsinya sebagai sarana hiburan yang bersifat cetak, karena kini banyak surat kabat yang
mempunayi kolom tersendiri untuk hiburan agar masyarakat juga bisa terhibur dengan membaca Koran.
31
Y.S. Gusnadi, Himpunan Istilah Komunikasi, hlm, 112.
21
4. Bisnis dan Kontrol Sosial. Fungsi lain adalh bisnis, karena kini banyak
khalayak yang menggunakan surat kabar sebagai media iklan usaha mereka. Selain itu media massa juga menjadi wacth dog bagi pemerintah
dan masyarakat
II.2.c Pengertian Berita
Banyak pakar komunikasi mencoba merumuskan definisi batasan pengertian berita, dengan penekanan yang berbeda terhadap unsur yang
dipandang sebagai sebuah berita. Nothlife misalnya menekankan pengertian berita pada unsur-unsur “keanehan” atau ketidaklaziman sehingga mampu
menarik perhatian dan rasa ingin tahu curiosity. Ia mengatakan “If a dog bites a man, it is not news, but if a man bites a dog is news”
32
Paul De Massenner dalam buku Here’s the New Unesco Assosiate menyatakan news atau berita adalah sebuah informasi yang penting dan menarik
perhatian serta minat khalayak atau pendengar. Charnley James M. Neal menuturkan berita adalah laporan tentang situasi, kondisi, interpretasi yang
penting, menarik, masih baru, dan kasus yang penting disampaikan kepada khalayak.
33
Berita adalah laporan dari suatu kejadian. untuk menjadikan sebuah peristiwa menjadi sebuah berita yang siap dipublikasikan. ada beberapa tahapan
yang harus dilalui. Dalam proses pembentukan berita banyak faktor-faktor yang
32
Asep syamsul M. Romli, Jurnalistik Praktis untuk Pemula, hlm 4
33
Drs. As Haris Sumadirian, M.Si, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature : Panduan Praktis Jurnalistik Profesional, hlm 64
22
mempengaruhinya. menurut pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese, ada beberapa faktor yang mempengaruhi penambilan keputusan dalam ruang
pemberitaan, yaitu :
34
1. Faktor Individual
Faktor ini berhubungan dengan latarbelakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari
pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. latarbelakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, sedikit
banyak mempenguhi apa yang ditampilkan media. latar belakang pendidikan, atau kecenderungan orientasi pada partai politik bisa mempengaruhi
pemberitaan media. Wartawan memperhatikan dan memahami setiap detil kejadian, meskipun mereka melihatnya sendiri, seperti manusia merasa,
menafsirkan dan mengingat kejadian secara selektif. Tepatnya, apa yang mereka amati dan ingat akan menjadi hasil dari set unik meraka akan kebutuhan,
kepercayaan, tingkah laku, nilai dan faktor-faktor kognitif lainnya, seperti skema ingatan yang tak terelakan dari bias interpretasi mereka
35
2. Level Rutinitas Media media routine
Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penetuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang
disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi
34
Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese, Mediating the Messege : Theories of Influence on Mass Media Center, dalam Agus Sudibyo,Politik Media dan Pertarungan Wacana, hlm. 7-13
3535
Denis DeFluer, Op Cit Hlm. 45
23
prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada
sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja sebuah tulisan sebelum sampai ke
proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Berbagai mekanisme yang menjelaskan bagaimana berita diproduksi, rutinitas media
kerenanya mempengaruhi bagaimana wujud akhir sebuah berita.
3. Level Organisasi
Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. pengelola media dan wartawan bukan
orang tunggal yang berada dalam organisasi berita, ia sebaiknya hanya bagian kecil dari organissi media itu sendiri. Masing-masing komponen dalam
organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri.
4. Level Ekstra Media
Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media
banyak mempengaruhi pemberitaan media. Ada beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media
a. Sumber Berita Sumber berita di sini dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral yang
memberikan informasi apa adanya. Ia juga mempunyai kepentingan
24
untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan, memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak
b. Sumber Penghasilan Media Sumber penghasilan media ini bisa berupa iklan, bisa juga berupa
pelanggan atau pembeli media. Untuk tetap bertahan kadang kala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupnya. Pelanggan
dalam banyak hal juga ikut mewarnai pemberitaan media. Tema tertentu harus menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan terus-menerus
diliput oleh media. Media tidak akan menyia-nyiakan momentum peristiwa yang disenangi oleh khalayak.
c. Pihak Eksternal Seperti pemerintah dan lingkungan. pemerintah dalam banyak hal
memegang lisensi penerbitan, kalau media ingin tetap dan bisa terbit ia harus mengikuti batas-batas yang telah ditentukan pemerintah tersebut.
5. Level Ideologi
Ideologi di sini diartikan sebagai kerangka berfikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat relaitas dan
bagaimana mereka menghadapinya. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa berita adalah jalan cerita
tentang peristiwa. Ini berarti bahwa suatu berita setidaknya mengandung
25
dua hal, yaitu peristiwa dan jalan ceritanya. Jalan cerita tanpa peristiwa atau peristiwa tanpa jalan cerita tidak dapat disebut berita.
36
Sebuah peristiwa harus memiliki nilai berita news value jika ingin dijadikan
sebuah berita, seperti di bawah ini: 1.
Keluarbiasaan unusualness. Berita adalah sesuatu yang luar biasa, bukanlah suatu peristiwa yang biasa. Seperti
kasus jatuhnya pesawat Adam Air jurusan Surabaya- Makassar
yang menewaskan
seluruh awak
dan penumpang pesawat.
2. Kebaruan newness. Berita adalah sesuatu yang terbaru.
Seperti Pilkada Provinsi Lampung yang diikuti oleh pasangan Calon Gubernur Cagub dan Calon Wakil
Gubernur terbanyak di Indonesia sebanyak tujuh pasangan calon dan diikuti oleh dua pasangan independen.
3. Akibat impact. Berita adalah sesuatu yang berdampak
luas. Seperti konvensi minyak tanah ke gas. 4.
Aktual timeliness. Berita adalah peristiwa yang sedang terjadi. Seperti menyambut bulan suci Ramadhan seluruh
media baik cetak maupun elektronik berlomba-lomba untuk memberitakan serba-serbi ramadhan.
5. Kedekatan proximity. Berita adalah kedekatan, baik
yang bersifat geografis maupun psikologis. Yang bersifat geografis
seperti masyarakat
Indonesia lebih
36
Sudirman Teba, Jurnalistik Baru, hlm 55.
26
mendahulukan mencari berita mengenai kampanye calon presiden dan wakil presiden Indonesia ketimbang
kampanye calon presiden dan calon wakil presiden Amerika Serikat.
6. Informasi. Berita adalah informasi. Menurut Wilbur
Schramm informasi
adalah segala
yang bisa
menghilangkan ketidakpastian. 7.
Konflik conflict. Konflik adalah segala sesuatu yang mengandung unsursarat pertentangan, merupakan sumber
berita yang tidak pernah kering dan tidak akan pernah habis.
8. Kejutan. News is surprices. Kejutan adalah sesuatu yang
datangnya tiba-tibadiluar dugaan, tidak direncanakan, diluar perhitungan, dan tidak diketahui sebelumnya.
Contohnya seperti kasus pembunuhan dan mutilasi berantai yang dilakukan oleh Ferry Idam Heniansyah
yang telah membunuh sebelas orang secara sadis. 9.
Orang Penting. News is about people. Berita adalah tentang orang-orang, terutama pesohor, sederhana, dan
publik figur. 10.
Human Interest. News is interesting. Kadang-kadang suatu peristiwa tak menimbulkan efek berarti pada
seseorang, sekelompok orang atau bahkan lebih jauh lagi
27
pada masyarakat, tetapi telah menimbulkan getaran pada suasana hati, suasana kejiwaan atau peristiwa.
11. Seks. Sepanjang sejarah peradaban manusia, segala hal
yang berkaitan dengan perempuan pasti menarik dan menjadi sumber berita. Pakar jurnalistik berteori bahwa
media massa tanpa seks dalam segala dimensi dan manifestasinya, sama saja seperti bulan tanpa bintang.
Teori ini ternyata menimbulkan dampak luar biasa dengan menjamurnya penerbitan pers yang secara khusus
mengangkat isu tentang seks, gender, segala sesuatu tentang kaum perempuan seperti namuli, kebutuhan,
keinginan, dan ambisinya terhadap lawan jenis.
37
II.2.d Media Islam dalam Konstruksi Berita
Membicarakan media islam adalah pembahasan yang sangat menarik. Sebelum kita membahas mengenai media islam, kita terlebih dahulu akan
membicarakan mengenai komunikasi islam. Tidak banyak buku yang membahas mengenai teori maupun perspektif komunikasi islami islam. Kalaupun ada
hanya disinggung sepeintas dan hanya satu atau dua aspeknya saja. Padahal jumlah penganutnya sangat banyak sekitar satu miliar orang di seluruh dunia.
Juga jumlah Negara islam atau penduduknya mayoritas islam cukup banyak.
38
Secara umum semua macam komunikasi manusia memiliki cirri yang sama atau serupa. Misalnya proses, model, dan pengaruh pesannya. Ihwal yang
37
Drs. As haris Sumadiria, M. Si, Panduan Praktis Jurnalistik Profesional, hlm 80
38
A.Muis, Komunikasi Islam, hlm. 33
28
membedakan komunikasi Islam Islami dengan teori komunikasi umum terutama pada latar belakang filosofinya Al-Qur’an dan Hadits dan aspek
etikanya juga didasarkan pada landasan filosofi tersebut.
39
Walaupun latar belakang filosofi komunikasi islami Islam tidak sama dengan yang ada pada studi komunikasi umum, namun cukup banyak aspek
paradigmatik dan teoritis perspektif yang sama. Misalnya definisi komunikasi baik definisi etimologis maupun terminologis. Mungkin ada istilah atau
perkataan lain menurut bahasa lain, tetapi istilah dari bahasa lain itu tetap mempunyai makna komunikasi atau berkomunikasi communicare – Latin,
yakni berbicara, menyampaikan pesan, pendapat, informasi, berita, pikiran, perasaan dan sebagainya dari seseorang kepada yang lainnya dengan
mengharapkan umpan balik, jawaban feedback.
40
Dan bagaimana dengan pengertian media islam itu sendiri sebagai saluran dari komunikasi massa? Seperti dikatakan diawal tidak banyak yang
membedakan antara media non-Islam dengan media Islam dalam hal model, proses, dan efeknya. Yang membedakannya hanya pada landasan filosofis yang
bersumber pada Al-Qur’an dan Al Hadits. Tetapi membahas media Islam tidak selesai jika kita hanya terpaku
dengan pengertian diatas. Masih banyak hal-hal lain yang perlu dibahas untuk mendapatkan gambaran dan perkembangan riil mengenai media islam itu
sendiri. Penulis mendapatkan pengertian mengenai apa sebenarnya atau lebih tepat bagaimana sebenarnya media Islam itu dari Redaktur Harian Republika,
39
Ibid., h, 34
40
Ibid., h35
29
yang menjadi satu-satunya harian yang bernafaskan Islam yang masih eksis sampai saat ini.
Menurut keterangan Republika, mereka melabeli harian mereka sebagai harian Islam dikarenakan beberapa hal: pertama, karena mayoritas pembaca
mereka adalah muslim. Kedua, dalam hal pemberitaan mereka memberi perhatian yang lebih terhadap isu-isu yang berkaitan dengan Islam dan umatnya
tanpa mengabaikan berita-berita yang lain.
41
Bagaimana seharusnya media massa Islam memainkan peranan dalam hiruk-pikuk seluruh dunia menyongsong era informasi dengan berbagai
implikasinya? Kebanyakan media massa Islam tumbuh di negara-negara berkembang. Karena itu media massa Islam masih dalam tahap atau kondisi
“berkembang” pula. Hal itu berarti bahwa kemampuan media massa Islam untuk bersaing dengan arus informasi internasional yang dikelola oleh kantor-kantor
atau jaringan-jaringan media raksasa milik negara-negara maju masih sangat lemah.
42
Perkembangan media islam dipengaruhi oleh fenomena tumbangnya orde baru pada Mei 1998. Bagi kalangan media, itulah untuk pertama kalinya
selama 30 tahun, media massa mengalami masa kebebasan yang hamper tak terbatas. Yunus Yosfiah, Menteri Penerangan saat itu melakukan terobosan
penting dengan mempermudah pengurusan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers SIUPP. Media-media Islam jelas diuntungkan dengan fenomena tersebut,
41
Yeyen
42
A. Muis, Komunikasi Islami, hlm 15
30
karena sebelumnya untuk menerbitkan SIUPP bukan hanya diperlukan uang yang banyak tetapi dibutuhkan orang yang punya akses terhadap proses
pengambilan keputusan untuk memperoleh SIUPP. Sayangnya pada saat pasa dipenuhi oleh media-media yang menyuarakan
fanatisme dan ekslusivisme, media Islam Moderat justu semaikin hilang dari peredaran. Majalah Ummat yang sempat mapan pada decade 90-an tidak
dilanjutkan penerbitan, Jurnal Ulumul Qur’an yang sempat menjadi salah satu icon pemikiran Islam ternyata tidak berlanjut ketika keran kebabasan dibuka,
dan Majalah Panji Masyarakat juga tidak lebih baik nasibnya. Ini tentu memprihatinkan karena media-media yang terbit saat itu didominasi oleh media
yang cenderung menjual “kabar-kabar kebencian”
43
Dua media yang sangat besar, yaitu Sabili dan Ummi, adalalah fenomena yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Majalah Panji Masyarakat memang
cukup besar berpengaruh pada dekade 70-an dan 80-an, demikian juga majalah Ummat sempat menjadi media islam terbesar pada dekade 90-an. Namun, dua
majalah ini tidak sefenomenal Sabili dan Ummi tertutama dari segi oplah. Pada tahun 2000, oplah Sabili diperkirakan mencapai angka di ats 100 ribu dan
Majalah Ummi 80 ribu eksemplar. Sabili dan Ummi hanya dua contoh sukses media Islam yang
menyuarakan fanatisme dan ekslusivisme yang kuat terhadap Islam. Ada banyak media lain yang terbit pada masa reformasi seperti Jurnal Islam, Saksi, Darul
43
Agus Sudibyo, Ibnu Hamad, Muhammad Qadari, Kabar-kabar kebencian dan Prasangka Agama, hlm. 24
31
Islam, dan beberapa lainnya tetapi tumbang oleh seleksi alam. Dari hasil penelitian penulis dilapangan, media-media Islam kini mulai membuka diri
terhadap sesuatu diluar fanatisme dan ekslusivisme. Media-media Islam kini mulai meragamkan diri dengan penerbitan majalah-majalah yang berhubungan
dengan gaya hidup life style Islami seperti Majalah Alia dan Noor, juga majalah yang bersegmentasi remaja seperti Annida dan Muslimah, dan juga yang
media Islam yang ditujukan untuk keluarga seperti Ummi. Perlahan tapi pasti media tersebut mulai bisa diterima oleh masyarakat.
Bagaimana keadaan media moderat saat ini? Media Islam moderat justru surut pada saat pasar didominasi oleh media Islam yang hanya menjual kabar-
kabar kebencian dan permusuhan? Memang ada asumsi pasar yang menyebutkan media Islam bukan sesuatu yang marketable, namun asumsi ini
patah oleh kisah sukses Sabili. Ada juga yang mengatakan bahwa Islam moderat bukan tema yang cukup menarik untuk dijual, asumsi ini patah oleh kisah sukses
Panji Masyarakat, Ulumul Qu’an dan Ummat. Kegagalan tiga media Islam ini bukan karena kehabisan gagasan atau gagasan yang diusung tidak manarik,
tetapi lebih kepada factor manajemen. Faktor manajemen memang menjadi problem serius dalam pengelolaan
media Islam, khususnya media Islam moderat. Manajamen di sini tidak semata- mata dalam pengertian manajemen perusahan, di mana seluruh pengelolaan
sumberdaya perusahaan diorientasikan sepenuhnya untuk menghasilkan produk berkualitas untuk memenuhi standar kompetisi, tetapi juga dalam arti
manajemen redaksional, di mana daya tarik peristiwa, aktualitas berita, akurasi dan validitas data serta kredibilitas narasumber diolah dan disajikan menjadi
32
sebuah berita yang memikat. Ini memang bukan pekerjan mudah. Apalagi media elektronik – radio, televisi dan internet – telah menyediakan informasi dengan
cara yang jauh lebih murah, mudah dan cepat. Selain itu media Islam juga membutuhkan Public Relation yang tanggu
untuk membentuk good name dan good will yang baik kepada masyarakat, sehingga masyarakat bisa menerima media Islam, sebagai media pertama dalam
rujukan sumber informasi. Keadaan yang sangat dilematis ketika Indonsia Negara mayoritas umat islam terbanyak didunia, jika melihat media Islamnya
seperti mati suri. Sangat berat ketika penulis harus mendikotomikan antara media Islam yang Moderat dan media dengan fanatisme Islam berlebihan. Tetapi
itulah fakta dilapangan. Menurut penulis sudah saatnya media massa Islam baik yang moderat dan media dengan fanatisme Islam mulai berbenah diri. Semakin
lama masyarakat kita semakin cerdas. Gunakanlah bahasa-bahasa yang baik dan cerdas untuk membela Islam. Karena jika tidak ini akan menjadi bom waktu
untuk pencirtaan umat dan media Islam itu sendiri. Walaupun faktanya umat Islam tertindas, gambarkanlah jeritan itu dengan ilmu dan santun sesuai dengan
pedoman Al-Qur’an dan As-Sunnah.
II.3. Ideologi Media
Secara umum dapat dikatakan bahwa ideologi mempunyai dua pengertian yang berbeda. Pengertian dalam tataran positif menyatakan bahwa
ideologi dipersepsikan sebagai realitas pandangan dunia world view, welttanschaung yang menyatakan sistem nilai kelompok atau komunitas sosial
tertentu untuk meligitimasikan kepentingannya. Sementara itu, pengertian dalam
33
tataran negatif menyatakan bahwa ideologi dipersepsikan sebagai realitas kesadaran palsu. Dalam arti bahwa ideologi merupakan sarana manipulatif dan
deceptive pemahaman manusia mengenai realitas sosial.
44
. Ada sejumlah definisi terkait konsep ideologi. Penulis yang berbeda
menggunakan istilah ini secara berbeda pula, tidaklah mudah memastikan penggunaanya peda setiap konteks. Raymond Williams 1977 menemukan tiga
penggunaan utama. Pertama , suatu sistem keyakainan yang menedai kelompok atau kelas tertentu. Kedua, ideologi merupakan suatu sistem keyakinan
ilusioner- gagasan palsu - yang bisa dikontraskan dengan pengetahuan sejati atau pengetahuan ilmiah. dan yang terakhir, ideologi seringkali digunakan untuk
sebuah proses umum produksi makna dan gagasan. Dalam perkembangan ilmu sosial, terminologi ideologi mengalami
banyak pemaknaan. tapi secara ringkas , ideologi juga dapat dilihat dalam tiga ranah acuan pokok. Pertama, ideologi sebagai realitas yang bermakna netral.
artinya, ideologi dimaknai sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai dan sikap dasar rohani suatu kelompok sosial dan komunitas kebudayaan tertentu.
Kedua, ideologi sebagai kesadaran palsu false consciousness. pengertian ideologi sebagai kesadaran palsu menyatakan bahwa ideologi
merupakan sistem berfikir yang sudah terdistorsi,baik secara sengaja maupun tidak disengaja. Ideologi dalam pengetian ini adalah sarana kelas atau kelompok
sosial tertentu untuk mensahkan atau melegitimasikan asal sumber dan praksis kekeuasaan secara tidak wajar. dalam pengerian ini, makna ideologi justru
44
Kalr Mannheim, Ideologi and Utopia. An introduction to the sociology of knowledge, hlm 24
34
bernilai negatif. artinya ideologi merupakan perangkat claim yang tidak wajar atau sebuah teori yang tidak berorientasi pada nilai kebenaran meskipun
ketegori kebenaran sangat bernilai relatif, melainkan sudah mengambil sikap berpihak pada kepentingan tertentu. objektifitas kebenaran merupakan jalinan
dan rangkaian kebenaran subjektif yang disepakati bersama sebagai kebenaran objektif.
Ketiga, ideologi sebagai sistem keyakinan yang tidak rasional.artinya, bahwa ideologi hanya sekedar rangkaian sistem kepercayaan dan keyakinan
subjektif belief system. Konsekuensinya adalah ideologi tidak membuka kemungkinan pertanggungjawaban rasional dan objektif.
45
Ideologi berkaitan dengan konsep seperti pandangan dunia, sistem kepercayaan, dan nilai-nilai.namun, ruang lingkup ideologi lebih luas dari pada
konsep-konsep tersebut.ideologi tidak hanya berkaitan dengan kepercayaan yang terkandung mengenai dunia, tapi juga cara yang mendasari definisi dunia. Oleh
sebab itu, ideologi tidak hanya tentang politik. Ideologi memiliki cakupan yang lebih luas lagi dan mengandung makna konotasi
46
. Ideologi merupakan sarana yang digunakan untuk ide-ide kelas yang berkuasa sehingga bisa diterima oleh
keseluruhan masyarakat sabagai sesuatu yang alami dan wajar.
47
Menurut Antonio Gramsci mengenai hegemoni, media massa adalah alat yang digunakan elit berkuasa untuk melestarikan kekuasaan, kekayaan dan
status mereka dengan mempopulerkan falsafah, kebudayaan dan moralitas
45
Franz Magnis Suseno, Filsafat sebagai ilmu kritis, hlm 230-231
46
Croteau and Hoynes, MediaSociety, Industries, Image, and Audience,hlm,163
47
John Fiske, cultural and communication studiest, sebuah pengantar paling komprehensif, hlm 239 .
35
mereka sendiri.”
48
Di satu pihak media massa merupakan sebuah medium penyampai informasi dan dipihak lain media massa dapat pula dijadikan sebagai
alat penyebarluasan ideologi golongan tertentu. Oleh karena itu, media massa dikatakan memiliki bias-bias kepentingan tertentu.
Kekuatan-kekuatan yang bermain di dalam dan di luar media diyakini memiliki pengaruh pada proses komunikasi yang dilakukan media massa. Dalam
beberapa kasus, pemberitaan media melibatkan dominasi kelompok-kelompok dominan. Sebagai medium penyampaian pesan, media memang tidak bisa
bersifat netral. Begitu pula pesan-pesan yang terkandung di dalamnya juga tidak bisa dikatakan bebas nilai karena pesan-pesan tersebut mengandung makna-
makna tertentu dan bahkan mungkin mengandung pesan yang sarat dengan muatan ideologis.
Teori-teori klasik ideologi diantaranya mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk memproduksi dan
melegitimasi dominasi mereka.
49
Pengaruh media massa yang begitu besar terhadap masyarakat membuat media massa dijadikan alat oleh kelompok-
kelompok tertentu untuk membujuk dan mengomunikasikan ideologi-ideologi demi kepentingan mereka.
Shoemaker dan Reese melihat ideologi sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi isi media. ideologi diartikan sebagai salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi isi media. ideologi diartikan sebagai suau mekanisme simbolok yang berperan sebagai kekuatan pengikat dalam masyarakat. tingkat
48
James Lull, Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, hlm, 34.
49
Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, hlm 13
36
ideologi menekankan pada kepentingan siapakah seluruh rutinitas dan organisasi media itu bekerja.
50
Hal ini tidak lepas dari unsur nilai, kepentingan dan kekuatan atau kekuasaan apa yang ada dalam media tersebut. kekuasaan tersebut berusaha
dijalankan dan disebarkan melalui media sehingga media tidak dapat lagi bersifat netral dan tidak berpihak. Media bukanlah ranah netral dimana berbagai
kepentingan dan pemaknaan dari berbagai kelompok akan mendapat perlakuan yang sama dan seimbang
51
. Dari pernyataan tersebut terlihat bahwa media berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari kelompok pemegang kekuasaan dan
kekuatan dalam masyarakat. Nilai yang dianggap penting bagi pemegang kekeuasaan disebarkan melalui media sehingga isi media mencerminkan apa
yang diinginkan oleh pemilik kekuasaan tersebut. Ideologi bekerja melalui bahasa dan bahasa adalah medium tindakan
sosial
52
. Dalam media masssa, aspek-aspek ideologi dapat dilihat dari bagaimana mereka menyampaikan pesan kepada kahalayaknya. Dalam hal ini pesan-pesan
disampaikan melalui simbol-simbol baik verbal maupun non verbal. Simbol- simbol itu dapat mewakili ide, perasaan, pikiran serta ideologi. Ideologi secara
verbal dapat diamati dengan melihat pilihan bahasa dan struktur bahasa yang dipakai.
Bahasa yang akan dipakai dalam media massa ditentukan oleh awak media itu sendiri, dalam hal ini yang mempunyai pengaruh besar dalam
50
Pamela J. shoemaker dan Stephen D Reese, Mediating the Message Theories of Influences on Mass Media Contend, second edition, hlm. 223
51
Agus Sudibyo , Politik Media dan Pertarungan Wacana, hlm, 55
52
John B Thompson, Analisis Ideologi : Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, , hlm 19
37
menentukan pilihan dan struktur bahasa adalah wartawan dan editor. Wartawan dan editor memiliki kewenangan untuk menentukan pilihan kata yang akan
dipergunakan. Wartawan memutuskan apa yang akan ia beritakan, apa yang akan diliput dan apa yang harus disembunykian kepada khlayakak.
53
. Proses- proses tersebut menunjukan adanya kegiatan penyeleksian berita. Proses
penyeleksian akan menentukan berita yang akan dimuat dalam media massa selanjutnya, sehingga untuk memproduksi sebuah berita banyak pihak-pihak dan
faktor-faktor yang terlibat dan bermain di dalamnya. Dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Ia
merupakan instrument pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita,
cerita, ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Keberadaan bahasa tidak lagi semata sebagai alat untuk menggambarkan realitas, melainkan bisa menetukan
gambaran makna citra mengenai suatu realitas media yang akan muncul di benak khalayak. Terdapat berbagai cara media massa mempengaruhi bahasa dan
makna, mengembangkan kata-kata baru beserta makna asosiatifnya; memperluas makna dari istilah-istilah yang ada; mengganti makna lama sebuah istilah
dengan makna baru; memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa.
54
III.4 Pengertian Konflik
Kalevi J. Holsti mengatakan bahwa konflik timbul akibat ketidaksamaan posisi atas suatu isu, adanya tingkah laku permusuhan, setra diperkuat oleh aksi-
53
Bimo Nugroho, Eriyanto, Frans Sudiarsis, Politik Media Mengemas Berita, Hlm 21
54
Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi critical Discourse Analysis Terhadap Berita-berita Politik, hlm, 12
38
aksi militer antara pihak-pihak yang bertikai.
55
Sementara Louise Kriesberg mendefinisikan konflik sebagai sebuah situasi dimana dua atau lebih pihak
mempercayai bahwa mereka mempunyai tujuan yang berbeda a conflict is a situation in which two or more parties, or their representatives, belives they
have incompatible objective.
56
Secara sempit, konflik memiliki pengertian perilaku behavior atau aksi action yang tidak bersahabat antara pihak-pihak yang bertikai.
57
Dengan pengertian seperti ini, dapat disimpulkan bahwa konflik berakhir bila perilaku
demikian juga berakhir. Namun pendapat ini masih dapat dipertanyakan, karena penghentian perilaku tidak bersahabat tidak selalu berati selesainya konflik.
Gencatan senjata,
penghentian pernyataan
verbal yang
ofensif propagandahasutan, mobilisasi, petisi, demonstrasi, boikot, dan sanksi, hanya
merupakan indikasi kearah penyelesaian konflik. Namun demikian perlu ditarik batasan antara perilaku tidak bersahabat yang dimaksud dalam konflik, yaitu
kekerasan politikmiliter politicmilitary violence, dengan kejahatan biasa oleh individu atau kelompok sheer banditary, mutinies and other form of collective
violence
58
Aksi-aksi kekerasan yang dilancarkan oleh pihak-pihak yang bertikai tersebut timbul akibat adanya perbenturan kepentingan incompability antara
mereka. Inilah pengertian konflik yang lebih umum, yaitu situasi dimana terdapat ketidaksepakatan mendalam antara sedikitnya dua pihak yang
55
K.J. Holsti, International Politics : A Framework for Analysis, third edit. eaglewood Cliffs: Prentice Hall Inc, 1977Hlm, 456
56
Louis Kriesberg, The Sociology of social Conflict New York : Prentice Hall, 1973.
57
Peter Wallensteen, understanding conflict resolution: war, peace, and the global system. London: sage publication, 13-14
58
Ibid., h 25
39
kebutuhankepentingan mereka atas suatu sumber daya yang sama dan terbatas tidak dapat terpenuhi dalam waktu yang bersamaan.
59
Komponen terakhir dan paling mendasar dari konflik adalah aktor. Dalam hubungan antar manusia, di saat seseorangsekelompok individu
mementukan kebutuhan dasarnya dan menyadari bahwa kepentingan untuk memeuhi kebeutuhannya itu berentangan dengan yang lain, maka dengan
sedirinya konflik telah tercipta. Oleh karena itu, latar belakang aktor serta bagaimana pemahaman si aktor atas posisinya dan sumber daya yang
dibutuhkannya menjadi elemen yang penting untuk dianalisa. Dalam sistem global, aktor terbagi menjadi dua kategori, yaitu negara dan non-negara.
Kelompok pertama mencakup organisasi antar pemerintah IGOs seperti PBB, Liga Arab, dan OKI; dan Negara yaitu Inggris, Paletina, Israel, Amerika, Mesir,
dll. Kelompok kedua adalah actor non negara, yang erbagi menjadi individu; organisasi non pemerintah NGOs; kelompok-kelompok kepentingan; dan
perusahaan multinasional. Dengan mengombinasikan ketiga komponan tadi, maka definisi yang
lengkap dari konflik adalah :
60
“A social situation in which a minimum of two actor parties stive to acquire at the same moment in the time an available set of scarce resources.”
“Sebuah situasi sosial dimana terdapat minimal dua aktorkelompok, yang berupaya memperoleh sumber daya yang terbatas pada saat yang bersamaan.”
59
Ibid., h 15
60
Ibid., h 16
40
Kata ‘Stive’ pada definisi diatas mencakup segala jenis upaya untuk memperoleh sumber daya yang terbats tadi, bisa dari aktivitas yang paling
ringan hingga yang paling keras yaitu berperang. Semantara frasa’at the same moment in time’ juga penting untuk ditekankan, karena waktu, seberapapun
berharganya, dapat dibagi. Bila salah satu pihak bertikai setuju untuk mendapatkan sumber daya yang diperebutkan pada waktu yang berbeda atau
memanfaatkan secara bergiliran, maka tidak akan ada konflik. Sementara frasa ‘available set of scare resources’ yang menimbulkan pembenturan pada konflik
tidak selalu mengacu kepada sumber daya yang memiliki nilai ekonomis. Incompatibility juga dapat berlaku atas perebutan kekuasaan atas suatu wilayah,
kekuasaan atas rakyat, posisi dalam partai politik atau pemerintahan, dan lain sebagainya.
61
Sebagai konsep konflik, maka penelitian ini melangkah pada konflik terberat yang ada yaitu perang. Peperangan berbeda dengan konflik biasa
dimana Ia merupakan fenomena dimana kerusakan yang diakibatkannya tidak dapat dihapus dan dikembalikan seperti sebelumnya irreversible. Perang
mencakup pengambilalihan wilayah, pengusiran penduduk asli wilayah tersebut, kematian tentara dan penduduk sipil, perusakan infrastruktur, sumber daya
manusia, serta lingkungan. Perang yang merupakan fenomena sosial paling destruktif yang bisa dilakukan manusia, mencakup repsesi sistematik,
totalitalianisme, hingga genosida. Di dalam studi perdamaian peace studies terdapat tiga istilah yang
perlu dipahami secara baik guna tidak mengacaukan pemahaman, yakni:
61
Ibid., h 15-16
41
pertama, penyelesaian konflik conflict resolution merujuk pada sebab-sebab konflik daripada manifestasi konflik. Logika yang bekerja dalam pemahaman ini
ialah konflik akan selalu ada di dalam kehidupan manusia karena itu konflik dapat terselesaikan. Kedua, pembasmian konflik, merujuk pada manifestasi
konflik daripada sebab-sebab konflik. Terjadi Logika yang bermain dalam konteks pembasmian adalah dalam jangka pendek konflik dibasmi dengan
kekerasan, tetapi untuk jangka panjang tidak mungkin menggunakan pendekatan ini, karena semakin dibasmi dengan kekerasan, maka konflik itu akan semakin
berkobar dan membesar. Ketiga, pengaturan konflik berupa bentuk-bentuk pengendalian yang lebih diarahkan pada manifestasi konflik daripada sebab-
sebab konflik. 1. Pendekatan dinamika konflik
Peter wallesteen mengemukakan tiga pendekatan untuk menjembatani konsep konflik dengan resolusi konflik.
62
Pendekatan pertama berpandangan bahwa konflik adalah fenomena sosial yang memiliki jiwa dan mendorong
aktor-aktor yang berada didalamnya untuk memposisikan diri saling berhadapan satu sama lain, sesuai dengan tujuan dan kepentingannya masing-masing, karena
konflik memilik siklus hidup yang dinamis, maka resolusi konflik adalah sebuah upaya tanpa akhir untuk mentransformasikan konflik menjadi interaksi positif.
Konflik dapat ditransformasikan melalui tiga cara, seperti yang ditunjukan dalam bagan di bawah ini
62
Ibid., h 33-49
42
A 100
50
50 100
Sumber : Peter Wallensteen Cara pertama, transcendence, ditunjukana pada titik IV adalah dimana
masing-masing aktor A dan B yang berkonflik memperoleh 100 tujuannya. Cara kedua compromise, adalah dimana masing-masing aktor bertemu di
tengah-tengah titik titik III dengan mengorbankan sebagian tujuannya. Pada cara ketiga, withdrawals, baik A maupun B melepaskan tujuannya dan
menyerahkan kepada pihak ketiga titik V. Tentu saja transformasi yang paling diinginkan dalam tiap konflik adalah transcendence, walaupun secara
metematis hal ini tidak mungkin dicapai karena tidak ada sumber daya yang bernilai 200. Untuk itu dibutuhkan kerativitas dari semua pihak yang
berkepentingan dalam konflik untuk dapat mencapat transcendence. Langkah yang signifikan dalam pendekatan ini adalah dengan
mengadakan dialog antara pihak-pihak yang berkonflik untuk mencapai suatu kesepakatan damai, dengan melibatkan pihak ketiga yang berperan sebagai
mediatorfasilitator. Pihak ketiga ini bisa Negara bisa juga organisasi non Negara NGOs, harus bersifat anti kekerasan non-voilent untuk dapat
I A Wins
B Loses IV
A Wins B Wins
III Compromise
V A Loses, B Loses,
C Wins II
B Wins A Loses
43
mengubah dinamika konflik, menjembatani tuntutan-tuntutan yang ada, serta memberikan jalan keluar alternative.
2. pendekatan kebutuhan dasar Pendekatan ini berpandangan bahwa konflik timbul akibat akumulasi
rasa frustasi pihak-pihak yang tuntutannya tidak terpenuhi. Bila mereka tidak menemukan jalan lain untuk memenuhi kebutuhannya, maka pihak-pihak ini
mengomunikasikan rasa frustasinya melalui jalur kekerasan. Ini berari konflik menjadi suatu instrument aksi bagi actor-aktor tertentu. Inilah ini dari
pendekatan kedua yang memfokuskan kepada kebutuhan dasar manusia. Konflik dan aksi-aksi kekerasan timbul bila individu merasa kebutuhan dasar misalnya
keamanan, identitas tercakup didalamnya factor-faktor etnis, akar sejarah, bahasa, agamakeyakinan, dan budaya, penerimaanpengakuan dalam
masyarakat, partisipasi dalam politik, akses terhap kekeuasaan, dan kebutuhan ekonomi.
Dengan demikian, proses resolusi konflik harus mengidentifikasi factor- faktor mana yang merupakan kebuhan dasar yang tidak terpenuhi serta jalan
keluar untuk mengantisipasinya. Namun kemudian timbul pertanyaan, mungkinkah semua tuntutan dan kebutuhan manusia atau sekelompok manusia
dapat terpenuhi? Berbeda dengan pendekatan cinamika konflik, penganut perspektif kedua ini cenderung kepada jawaban pesimistis karena kebutuhan
manusia tidak mungkin terpenuhi seluruhnya. Akan tetapi, sama seperti pendekatan dinamika konflik yang menyakini bahwa konflik hanya dapat
ditransformasikan dan tidak dieliminasi, pendekatan ini berkesimpulan bahwa
44
resolusi konflik hanya merupakan cara memanajemen konflik dan bukan mengakhirinya.
3. Pendekatan Kalkulasi Rasional Perspektif ketiga ini mengemukakan bahwa tiap aktor memliki
rasionalitas masing-masing, kemampuan membentuk penilaian, mambuat keputusan, menyusun stretegi, dan oleh karenanya dapat mengambil langkah-
langkah dan inisiatif yang dapat membawa kepada peperangan. Pemikiran seperti ini tidaklah menyenangkn, namun penganut perspektif ini beragumen
bahwa hal sebaliknya, pengakhiran perang dan pencapaian kesepakatan juga didasari oleh rasionalitas aktor tadi.
Aktor-aktor dalam konflik negara, kelompok orang, atau suatu pergerakan nasional, diasumsikan mengambil inisiatif untuk berperang dengan
tujuan kemenangan, setelah melakukan kalkulasi internal bahwa keuntungan yang mungkin diraih lebih besar dari kehilangan yang harus dikorbankan.
Namun setelah beberapa waktu dan kemenangan tidak juga tercapai, potensial keuntungan menurun sementara biaya peperangan baik berupa korban jiwa
maupun kerugian meteril meningkat. Dengan demikian actorinisiator akan melakukan revisi terhadap kalkulasi terdahulu, yang akan merubah arah dan
dinamika konflik. Bila pihak-pihak yang berhadapan memiliki kebutuhan yang sama untuk mengevaluasi posisi dna pengorbanankerugiannya, maka inilah saat
yang tepat untuk memulai proses resolusi konflik. Pendekatan kalkulasi rasional ini sulit untuk dipahami oleh pihak-pihak
di luar konflik karena alasan dibalik pengambilan keputusan atau inisiatif untuk
45
berperang teramat kompleks. Selain itu, berbeda dengan pendekatan dinamika konflik, perspektif ini menekankan pada signifikansi aktor dan bukan fenomena
alami dari interaksi sosial sebagai pengendali konflik. Namun pendekatan ini justru lebih menekankan kepada pentingnya peranan aktif dunia internasional
dibandingkan dua pendekatan terdahulu. Dunia luar berperan dalam mempengaruhi kalkulasi aktor-aktor yang berkonflik agar bergerak kearah
manajemen atau resolusi konflik. Salah satu cara mempengaruhi adalah melalui system reward and punishment, seperti misanya pemberlakuan sanksi atau
embargo sebagai tekanan terhadap aktor yang ‘bandel’. Kekuatan militer juga dapat digunakan untuk memperkuat kaualitas tekanan.
Namun cara ini memiliki kelemahan, yaitu hanya memiliki kemungkinan berasal bila yang berkonflik adalah Negara kecil. Lebih lanjut, timbul
pertanyaan-pertanyaan : pihak luar mana yang dapat turun tangan menangani konflik tertentu? Yang mana dapat berpartisipasi dlam pencapaian kesepakatan
damai yang tahan lama? Apa sebaiknya melibatkan sebanyak mungkin pihak luar atau tidak, dan apaakah mereka harus diundang atau berinisiatif sendiri?
Dengan kalkulasi rasional masing-masing, beberapa pihak justru dapat mempersulit pencapaian kesepakatan disebabkan ambisi dan kepentingan
pribadinya. Dari segi jumlah, sebanyak mungkin partai yang terlibat terlihat lebih baaik dan demokratis. Namun, negosiasi dalam skala besar dapat dilihat
sebagai penyia-nyia waktu dan sumber daya. Sedangkan perspektif ini menekankan kepada pentingnya waktu yang tepat ripe moment. Kesempatan
untuk memulai proses perdamaian harus diraih dengan aksimaneuver politik yang cepat dan tepat, atau momentum untuk itu akan terlewatkan.
46
BAB III METODOLOGI PENELITIAN