Analisis Framing Pemberitaan Konflik Tolikara Pada Harian Kompas Dan Republika

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom.I)

Oleh

NURLAELA NIM: 1111051100017

KONSENTRASI JURNALISTIK

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1437 H / 2016M


(2)

(3)

(4)

(5)

i

Konflik antar agama dan etnis di Indonesia semakin tinggi intensitasnya. Berdasarkan hasil penelitian, pada 29 provinsi di Indonesia, terjadi 832 insiden konflik dalam kurun waktu 1990-2008 yang mengakibatkan 55.080 korban jiwa dan 1.993 kerugian materil. (Ihsan Ali, dkk.,: 2009). Data tersebut menunjukan peristiwa konflik dapat dikategorikan sebagai kejadian luar biasa dan memiliki nilai berita tinggi. Sehingga pemberitaan tentang konflik hampir dapat ditemukan di berbagai media massa. Konflik Tolikara merupakan salah satu konflik etnoreligius yang terbilang baru. Konflik antar umat Kristiani dengan umat Islam ini terjadi pada 17 Juli 2015, bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Konflik Tolikara juga menjadi pemberitaan di berbagai media massa. Terlihat harian Kompas dan Republika beberapa kali memberitakan peristawa tersebut.

Berdasarkan kerangka berfikir tersebut, penulis ingin mengkaji framing pemberitaan pada Harian Kompas dan Republika dalam membingkai pemberitaan terkait konflik Tolikara.

Teori yang digunakan adalah teori konstruksi realitas yang diperkenalkan Peter L. Berger dan Thomas Luckman yang menyatakan bahwa konstruksi media massa atas realitas sosial melihat bagaimana realitas dipandang oleh individu secara subjektif.

Metodologi Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan penelitian yang digunakan ialah studi dokumen dan wawancara. Studi dokumen diambil dari teks berita Kompas dan Republika kemudian di analisis dengan teknik analisis framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. model framing tersebut menggunakan empat struktur dalam membedah teks yaitu, sintaksis, skrip, tematik dan retoris.

Hasil penelitian ini menemukan fakta bahwa Kompas dan Republika memiliki perbedaan perspektif dalam memberitakan konflik Tolikara. Kompas memberitakan pada aspek perdamaian sebagai solusi terbaik. Penyebab dari konflik ialah karena komunikasi yang tidak berjalan dengan baik anata kelompok GIDI, umat muslim dan pemerintah. Sementara Republika lebih menekankan pada penegakan hukum mutlak dilakukan bagi pelaku penyerangan, dan umat Islam diposisikan sebagai pihak korban, anggota GIDI diposisikan sebagai pihak yang bersalah.


(6)

ii

Subhanahu Wataala yang telah memberikan ridho dan rahmat kepada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa disanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta seluruh keluarga, sahabat dan para pengikutnya.

Penulis menyadari dalam proses penulisan skripsi ini, begitu banyak uluran bantuan dan semangat dari berbagai pihak. Oleh karenanya, ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada;

1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Dr. H. Arief Subhan, M.A, Wakil Dekan Bidang Akademik, Suparto, M. Ed Ph. D, Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum, Dr. Hj Roudonah, MA, serta Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Dr. Suhaimi, M. Si.

2. Ketua Prodi Jurnalistik, Kholis Ridho M.Si serta Sekertaris Prodi Jurnalistik Hj. Musfirah Nurlaily M.A yang telah membantu penulis selama massa pekuliahan.

3. Dosen Pembimbing Skripsi, Kholis Ridho M. Si yang telah mengajarkan dan menuntun penulis selam proses penulisan skripsi, hingga selesai dengan baik dan lancar.

4. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi atas segala ilmu yang telah diberikan kepada penulis.

5. Segenap Pimpinan dan staf Harian Umum Kompas dan Republika. Khususnya Wakil Redaktur Pelaksana Kompas Sutta Dharmasaputra dan Redaktur Halaman Utama Republika Fitriyan Zamzami.

6. Kedua orangtua tercinta, Ayahanda H. Muhammad Tohir dan Ibunda Siti Romlah atas segala curahan kasih sayang, semangat dan doa yang selalu dipanjatkan untuk keberhasilan putrinya.


(7)

iii

8. Ahmad Ridwan Hakim yang selalu mengingatkan penulis untuk mencintai proses dan jangan pernah lelah untuk berproses.

9. Teman terbaik yang siap membantu dalam massa sulit, Elsa Faturahmah. Terimakasih telah meminjamkan notebook selama penulisan skripsi.

10.Teman-teman jurnalistik A: Qurrota A‟yuni, Nur Fatkhin Nisafitria, Kartika Sari Dewi, Rama Virda Ayu, Arsita Murtisari dan Alm. Nurul Rofah. Juga teman-teman jurnalistik B angkatan 2011, keluarga KKN KAMI 2014, keluarga RDK 107,9 FM, penulis bangga menjadi bagian dari kalian dan kalian inspirasi bagi penulis.

Selanjutnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini belum mencapai kesempurnaan.Oleh sebab itu, kritikan dan saran penulis harapkan demi perbaikan kedepannya.Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Jakarta, 22 Maret 2016


(8)

iv

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Batasan Masalah dan Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metodologi Penelitian ... 9

E. Tinjauan Pustaka ... 14

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II LANDASAN TEORITIS A. Teori Konstruksi Sosial ... 16

B. Framing Zhongdang Pan dan Gerald M Kosicki ... 18

C. Konseptualisasi Berita ... 33

D. Konseptualisasi Surat Kabar ... 36

E. Konseptualisasi Konflik ... 37

BAB III GAMBARAN UMUM A. Profil Harian Kompas ... 40

B. Profil Harian Republika ... 45

BAB IV ANALISIS TEMUAN DAN INTERPRETASI A. Analisis Temuan Teks Berita Kompas dan Republika ... 50

B. Perbedaan Bingkai Kompas dan Republika………. 150

C. Interpretasi ... 152

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 158

B. Saran ... 159

DAFTAR PUSTAKA ... ix


(9)

v

Tabel 3.2 Lead Kompas & Republika Edisi 20 Juli 2015……….. 58

Tabel 3.3 Latar informasiKompas& Republika Edisi 20 Juli 2015………… 59

Tabel 3.4 Kutipan NarasumberKompas& Republika Edisi 20 Juli 2015…… 62

Tabel 3.5 Pernyataan Kompas& Republika Edisi 20 Juli 2015……….. 65

Tabel 3.6 PenutupKompas& Republika Edisi 20 Juli 2015……… 66

Tabel 3.7 5W+1H Kompas& Republika Edisi 20 Juli 2015………... 66

Tabel 3.8 DetailKompas& Republika Edisi 20 Juli 2015………... 68

Tabel 3.9 Koherensi Kompas& Republika Edisi 20 Juli 2015……… 69

Tabel 3.10 Bentuk Kalimat Kompas& Republika Edisi 20 Juli 2015…... 70

Tabel 3.11 Kata Ganti Kompas& Republika Edisi 20 Juli 2015………... 72

Tabel 3.12 LeksikonKompas& Republika Edisi 20 Juli 2015…………... 73

Tabel 3.13 GrafisKompas& Republika Edisi 20 Juli 2015………... 76

Tabel 4.1 HeadlineKompas& Republika Edisi 21 Juli 2015………... 82

Tabel 4.2 Lead Kompas& Republika Edisi 21 Juli 2015………... 82

Tabel 4.3 Latar Informasi Kompas & Republika Edisi 21 Juli 201…………. 84

Tabel 4.4 Kutipan Narasumber Kompas & Republika Edisi 21 Juli 2015…. 85 Tabel 4.5 PernyataanKompas& Republika Edisi 21 Juli 2015………... 87

Tabel 4.6 Penutup Kompas & Republika Edisi 21 Juli 2015……… 88

Tabel 4.7 5W+1H Kompas & Republika Edisi 21 Juli 2015………... 89

Tabel 4.8 DetailKompas& Republika Edisi 21 Juli 2015………... 91

Tabel 4.9 KoherensiKompas& Republika Edisi 21 Juli 2015………... 92

Tabel4.10 Bentuk Kalimat Kompas & Republika Edisi 21 Juli 2015………… 93

Tabel 4.11 Leksikon Kompas & Republika Edisi 21 Juli 2015……… 94

Tabel 4.12 Grafis Kompas & Republika Edisi 21 Juli 2015………. 96

Tabel 5.1 Headline Kompas & Republika Edisi 24 Juli 2015……… 100

Tabel 5.2 Lead Kompas & Republika Edisi 24 Juli 2015………... 102

Tabel 5.3 Latar InformasiKompas& Republika Edisi 24 Juli 2015……….. 106

Tabel 5.4 Kutipan Narasumber Kompas & Republika Edisi 24 Juli 2015…… 107

Tabel 5.5 Pernyataan Kompas & Republika Edisi 24 Juli 2015………. 111

Tabel 5.6 PenutupKompas & Republika Edisi 24 Juli 2015……….. 112

Tabel 5.7 5W+1HKompas & Republika Edisi 24 Juli 2015………. 113

Tabel 5.8 Detail Kompas& Republika Edisi 24 Juli 2015………... 115

Tabel 5.9 Koherensi Kompas & Republika Edisi 24 Juli 2015………. 117

Tabel 5.10 Kata GantiKompas & Republika Edisi 24 Juli 2015………... 119

Tabel 5.11 Leksikon Kompas & Republika Edisi 24 Juli 2015………. 120

Tabel 5.12 GrafisKompas & Republika Edisi 24 Juli 2015………. 121

Tabel 6.1 Headline Kompas& Republika Edisi 25 Juli 2015………... 128

Tabel 6.2 Lead Kompas & Republika Edisi 25 Juli 2015………... 128

Tabel 6.3 Latar Informasi Kompas & Republika Edisi 25 Juli 2015………… 130

Tabel 6.4 Kutipan Narasumber Kompas & Republika Edisi 25 Juli 2015..… 130


(10)

vi

Tabel 6.11 Kata Ganti Kompas & Republika Edisi 25 Juli 2015………. 146

Tabel 6.12 Leksikon Kompas & Republika Edisi 25 Juli 2015……… 147

Tabel 6.13 Grafis Kompas & Republika Edisi 25 Juli 2015………. 149


(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri dari masyarakat berbagai suku, budaya, ras dan agama. Selain itu, keberagaman masyarakat Indonesia juga nampak dari tingkat pendidikan, ekonomi, dan sosial politik. Perbedaan ini lah yang umumnya dapat berpotensi menjadi konflik sosial.1

Konflik sosial yang terjadi di Indonesia sebagian besar diletarbelakangi isu etnoreligius. Seperti konflik ambon yang awalnya dipengaruhi oleh persaingan distribusi ekonomi dan politik kemudian berkembang menjadi perkelahian kelompok dan agama.2 Selanjutnya kasus poso, bermula dari kekerasan terhadap seorang pemuda Muslim oleh tiga pemuda Kristen yang sedang mabuk karena minuman keras. Sehingga berbuntut panjang menjadi konflik antara kelompok agama Islam dan Kristen. Kemudian konflik sambas yang terjadi antara penduduk lokal etnis Sambas dengan penduduk pendatang asal Madura.3

Ihsan Ali Fauzi, Rudi Harisyah Alam dan Samsu Rizal Pangabean menyatakan bahwa konflik atas nama agama menjadi sorotan utama karena

1

Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropoligi Agama, (Ciputat: UIN Press, 2015), h. 70.

2

Rusmin Tumangor, dkk., Panduan Pengelolaan Konflik Etnoreligius: Dengan Pendekatan Riset Aksi Pertisipatori, (Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan dan Kemantrian Agama RI dan INCIS), h.31.

3

Rusmin Tumangor, dkk., Panduan Pengelolaan Konflik Etnoreligius: Dengan Pendekatan Riset Aksi Pertisipatori, h. 32.


(12)

intensitasnya yang tinggi dan pola persebaran konflik yang cukup merata di Indonesia. Hasil penelitian Ikhsan Ali Fauzi dkk., tercatat terjadi 832 insiden konflik pada 29 provinsi di Indonesia dalam kurun waktu 1990-2008, yang mengakibatkan 55.080 korban jiwa dan 1.993 kerugian materi.4

Dari hasil penelitian tersebut, konflik sosial di Indonesia dapat dikategorikan sebagai kejadian luar biasa karena memiliki dampak yang cukup besar dengan menelan banyak korban jiwa dan kerugian materil. Maka hampir dapat dijumpai pemberitaan terkait konflik di berbagai media massa. Tentunya, hal ini bersesuaian dengan nilai-nilai berita, diantaranya keluarbiasaan, kebaruan, aktual, akibat, kedekatan, kejutan dan konflik.5

Peristiwa konflik sosial yang tak jauh berbeda dengan konflik-konflik sebelumnya kembali terjadi di Indonesia. Pada 17 Juli 2015, bertepatan dengan hari raya Idul Fitri terjadi peristiwa konflik di Tolikara, Papua. Konflik sosial ini berlatar belakang isu etnoreligius. Konflik tolikara menyebabkan sejumlah kios serta satu bangunan masjid terbakar.

Konflik Tolikara bermula dari beredarnya surat dari pihak kelompok Gereja Injili di Indonesia (GIDI) di Papua terkait pelarangan penggunaan pengeras suara dan shalat Ied di lapangan terbuka, dengan alasan di hari yang sama akan diadakan seminar nasional GIDI. Namun umat Islam tetap melaksanakan solat Ied di lapangan terbuka dengan dijaga pihak keamanan.

4

Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, (Ciputat: UIN Press, 2015), h. 73-78.

5

Pamela J Soemaker dan Stephen D. Reese, Mediating The Message Theories of Influence on Mass Media Content, ((New York, USA: Longman Publisher, 1996), h. 111.


(13)

Buntut peristiwa tersebut terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh sejumlah besar massa dan berujung pada pada penyerangan yang dilakukan massa tersebut pada pihak keamanan dan warga muslim yang hendak melaksanakan shalat Ied. Kemudian pihak keamanan merasa terdesak hingga terpaksa melepaskan tembakan dan menewaskan satu orang dari pihak GIDI. Hal tersebut memicu kemarahan massa hingga massa menuju lokasi kios dan membakarnya, kemudian api merebet ke sebuah masjid.6

Sejumlah media massa, baik media cetak, elektronik maupun online turut menyoroti isu terkait konflik tolikara tersebut. Bahkan sebagian media menjadikan pemberitaan ini sebagai headline. Pemberitaan terkait konflik tolikara di media massa tentunya akan membawa pengaruh terhadap khalayak banyak nantinya. Pengaruh tersebut dapat dikatakan apakah nantinya pemberitaan konflik bisa menjadi hal positif atau justru sebaliknya. Hal ini akan nampak dari cara media mengemas informasi terkait konflik, apakah pemberitaan media akan membantu meredakan konflik dengan menggambarkan situasi dan akar masalah yang bisa mendukung perbaikan situasi dan perdamaian. Atau justru akan menyebabkan eskalasi konflik semakin meluas dengan hanya menekankan pada aspek kekerasan dan penggambaran yang tidak proporsional terhadap aktor yang berkonflik.

Sepatutnya konflik harus dihindarkan jika bisa dilakukan, setidaknya berupaya untuk mencegah berulangnya konflik sosial di Indonesia. Peran semua pihak diperlukan untuk menekan resiko konflik sosial di Indonesia,


(14)

termasuk peran pers. Peran pers dalam pengendalian konflik sosial tentunya tidak secara langsung dalam upaya partisipasi lapangan ataupun upaya-upaya memelihara perdamaian, membentuk perdamaian, membangun perdamaian, dan penyelesaian nyata dari konflik yang telah terjadi. Namun peran pers dalam pencegahan konflik dapat dilakukan sesuai dengan peranan pers yang tertuang dalam undang-undang No 40 tahun 1999 tentang pers pasal 3 ayat 1 yang menyatakan fungsi pers diantaranya ialah sebagai media informasi dan pendidikan.7

Terkait dengan pencegahan konflik dan fungsi pers sebagai media informasi dan pendidikan. Maka seharusnya pers mampu menyajikan informasi yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Seperti menyajikan informasi dan pendidikan terkait wawasan nusantara dan wawasan multikulturalisme. Memberikan pemahaman dan kesadaran kepada masyarakat bahwa interaksi antar golongan memiliki potensi konflik. Namun, konflik merupakan suatu keniscayaan dan suatu hal yang wajar dalam bermasyarakat yang perlu dihadapi secara arif dan bijak.8

Namun, peran dan fungsi pers tersebut saat ini bias sebab kepentingan-kepentingan yang bertarung didalamnya. Masing-masing media dengan seperangkat pandangan, ideologi dan kebijakan media mencoba membangun, menciptakan, mengembangkan, dan menyuguhkan pemberitaan

7

Wina Armada Sukardi, Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, (Jakarta: Dewan Pers, 2013), cet ke-II, h. 398.

8


(15)

tersebut kepada masyarakat dengan angle yang berbeda. Sehingga peristiwa yang sama memiliki sudut pandang yang warna-warni di berbagai media.

Kenyataan tersebut menandakan bahwa media saat ini mencoba mengkonstruk pemberitaan. Berita sebagai konstruksi realitas, tentunya dibangun atas penyusunan bahasa yang terbentuk dari kumpulan kata-kata. Dalam konstruksi realitas, bahasa merupakan unsur pertama dan instrument pokok untuk mencitrakan realitas.9 Disini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas sosial sesuai dengan kepentingannya.10 Media saat ini ditekan untuk menyajikan pemberitaan yang sesuai kehendak dan kepentingan golongan tertentu. Media tidak lagi memegang prinsip jurnalisme, dimana kewajiban pertama awak media ialah kepada khlayak.11

Media mencoba mengkonstruk realitas dengan cara melakukan penyeleksian isu, dimana media mencoba melakukan pemilihan fakta. Aspek mana yang akan ditampilkan dan mana yang tidak. Mengalihkan fakta yang satu dengan fakta lain, atau bahkan mungkin menutupi sisi tertentu. Selain itu, media juga mencoba menonjolkan satu aspek tertentu dari pemberitaan, sehingga tampak menarik dan melekat dihati khalayak.12

9

Ibnu Hamad dan Agus Sudibyo, M. Qodari, Kabar-kabar Kebencian Prasangka di Media Massa, (Jakarta: ISAI, 2001), h. 69.

10

Luwi Ishwara, Catatan-catatan Jurnalisme Dasar (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), h. 177.

11

Bill Kovach dan Tom Rosenstill, Elemen-elemem Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan yang Diharapkan Publik, (Jakarta: ISAI dan Kedutaan Amerika Serikat, 2004), cet ke-II, h. 60.

12

Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, (Yogyakarta: LKiS, 2012), cet ke-VII, h. 224.


(16)

Jika demikian, bukan tidak mungkin jika masyarakat akan memiliki gambaran tentang suatu peristiwa sesuai dengan apa yang ditampilkan oleh media yang ia lihat atau ia baca. Masyarakat bisa saja menganggap satu pihak sebagai pahlawan dan pihak lain sebagai penyebab kekacauan, padahal belum tentu pihak yang dianggap penyebab kekacauan melakukan kesalahan. Inilah dampak dari pemaknaan yang disuguhkan media. Tanpa sadar khlayak digiring untuk sepaham dan sependapat dengan media tertentu.

Bingkai pemberitaan dari media yang berbeda-beda ini akan menyebabkan realitas bentukan yang berbeda.13 Terlebih untuk memperkuat kebenaran atas pemberitaannya, media mencoba menyuguhkan berbagai argumentasi yang dinilai kuat untuk mendukung gagasannya tersebut. Sehingga tak heran, jika hasil konstruksi atas realitas bentukan media nampak benar dan terlihat apa adanya, sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan.

Media yang mengangkat pemberitaan terkait insiden Tolokara diantaranya ialah Harian Umum Republika dan Kompas. Kedua surat kabar tersebut secara barturut-turut, edisi 20-25 Juli 2015 memberitakan isu terkait insiden di Tolikara. Republika, dalam enam edisi menjadikan berita tersebut sebagai headline. Tak jauh berbeda dengan Kompas, dari keenam edisi tersebut, tiga diantaranya Kompas turut menjadikan pemberitaan ini sebagai headline. Sedangkan sebagainnya lagi terdapat pada rubrik Politik dan Hukum. Melihat dari penelitian sebelumnya terhadap pemberitaan di Harian Kompas selama Januari 1990 hingga Agustus 2008 mengungkapkan fakta

13

Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, (Yogyakarta: LKiS, 2012), cet ke-VII, h. 225.


(17)

bahwa wilayah persebaran aksi damai terkait konflik keagamaan di Indonesia lebih luas dibandingkan dengan aksi kekerasan.14 Kemudian terkait konflik di tolikara, bagaimana Kompas membingkai pemberitaan konflik tolikara? akankah Kompas kembali membingkai pemberitaan konflik pada aspek aksi perdamai seperti yang diungkap dalam penelitian sebelumnya, atau justru berbeda? Lalu, bagaimana dengan pembingkaian Republika dalam pemberitaan konflik di tolikara?

Mengingat pemilihan media cetak Harian Republika dan Kompas dalam penelitian ini menjadi menarik, tentunya didasari dengan alasan dari penulis. Dilihat dari sumbu konflik yang terjadi di Tolikara terindikasi adanya isu konflik yang dilatar belakangi isu konflik religius antara penganut agama yang berbeda, yakni umat Nasrani dan Muslim. Maka pengangkatan kedua media ini sangat mempengaruhi alasan penulis dari sisi kepemilikan dan ideologi kedua media tersebut. Dimana Republika didirikan dari cita-cita para cendekiawan Muslim se-Indonesia yang tergabung dalam organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Selain itu, Republika juga dikenal dengan media beridiologi islam.15 Sedangkan Harian Kompas diterbitkan oleh Yayasan Bentara Rakyat yang dipimpin oleh para pimpinan partai Katolik dan pimpinan organisasi-organisasi Katolik, diantaranya ialah Jakob Oetama dan Petrus Kanisius Ojong.16

14

Hasil Penelitian Ikhsan Ali Fauzi, dkk., dalam Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropoligi Agama, h. 75.

15

Company Profile, Pusat Data Harian Umum Republika, h. 1.

16

F. A. Santoso, Sejarah, Organisasi, dan Visi-Misi Kompas, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2010), h. 2.


(18)

Pertanyaan dan pernyataan tersebut yang ada dibenak penulis, sehingga penulis merasa tertarik untuk mengungkap jawaban atas pertanyaan dan pernyataan tersebut. Oleh karena itu, penulis memilih kajian skripsi yang berjudul “Analisis Framing Pemberitaan Konflik Tolikara Pada Harian Kompas dan Republika”.

B.Batasan dan Rumusan Masalah

Agar pembahasan dalam penulisan ini lebih terarah, maka penulisan skripsi ini dibatasi pada analisis tekstual dari berita “Konflik tolikara”. Adapun media cetak yang akan dinalisis ialah Harian Umum Republika dan Kompas, edisi 20, 21, 24, dan 25 Juli 2015.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya dan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimana bingkai pemberitaan konflik tolikara pada Harian Kompas dan Republika?

2. Bagaimana perbedaan bingkai pemberitaan konflik tolikara pada Harian Kompas dan Republika?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui bingkai pemberitaan konflik tolikara pada surat kabar Republika dan Kompas.


(19)

2. Mengetahui perbedaan bingkai pemberitaan konflik tolikara pada Harian Kompas dan Republika

Dari tujuan penulisan di atas, maka penelitian ini memiliki manfaat secara akademis dan praktis.

1. Manfaat Akademis

Dalam segi akademis penelitian ini dilakukan guna mengaplikasikan teori analisis faraming Zhongdang Pan dan Gerald M Kosicki untuk memahami bagaimana bingkai berita konflik tolikara pada harian Kompas dan Republika.

2. Manfaat Praktis

Penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan refrensi terhadap kajian analisis framing di media massa. Khususnya kajian analisis faraming model Zhongdang Pan dan Gerald M Kosicki. Model analisis teks yang dikemukakan Pan dan Kosicki ini melalui empat elemen (sintaksis, skrip, tematik, dan retoris) dan setiap elemen memiliki unit-unit yang secara runtun membedah teks mulai dari judul hingga penutup. Sehingga teks dapat diamati dengan lebih rinci dan detail.

D. Metodologi Penelitian

1. Paradigma Penelitian

Paradigma yang digunakan oleh penulis dalam usaha memahami pembingkaian pada media cetak Republika dan Kompas terkait pemberitaan Konflik tolikara ialah paradigma kontruktivisme. Paradigma konstruktivisme memandang bahwa realitas bukanlah suatu hal yang natural, melainkan hasil


(20)

dari sebuah konstruksi.17 Dengan paradigma ini penulis akan melihat dan mengetahui bagaimana media mengkonstruksi realitas. Titik perhatian dalam paradigma ini tidak terletak pada bagaiman seseorang mengirimkan pesan, melainkan bagaimana masing-masing pihak terlibat proses komunikasi dalam memproduksi dan mempertukarkan makna.

Penulisan dengan paradigma konstruktivis memiliki beberapa karakteristik, diantaranya; memiliki tujuan untuk menentukan realitas yang terjadi sebagai hasil interaksi antara penulis dengan objek penilitian, penulis melibatkan dirinya dengan realitas yang diteliti, makna yang dihasilkan dari suatu teks merupakan hasil negosiasi antara teks dengan penulis, hasil penulisan merupakan interaksi antara penulis dan objek penulisan, subjektivitas penulis menjadi dasar dari proses analisis, kualitas dilihat dari sejauh mana penulis mamapu menyerap dan mengerti bagaimana individu mengkonstruksi realitas.18

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian dalam skripsi ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mencari makna terhadap sesuatu. Penelitian kualitatif berupaya menghimpun data, mengolah data, dan menganalisa suatu data. Penelitian dengan metode ini dilakukan lebih mendalam dalam penangkapan suatu makna atau masalah.19 Penelitian

17

Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, (Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang, 2012), cet. Ke-VII, h.43.

18

Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h. 51-74.

19

Lexy J. Moleong, Metode Penulisan Kualitatif, (Bandung: PT. Rosda Karya, 2005), h. 13.


(21)

kualitatif merupakan penelitian yang berhubungan dengan data visual dan data verbal di mana proses dalam penulisannya menggunakan metode pengumpulan data dan metode analisis data.20 Dengan pendekatan kualitatif ini tidak menghitung seberapa banyak data, namun diutamakan data yang diperoleh kemudian dimaknai secara mendalam.

3. Subjek dan Objek Penulisan

Subjek dalam penulisan ini adalah harian Republika dan Kompas.Sedangkan yang menjadi objek penulisan ialah berita seputar Konflik tolikara edisi 20, 21, 24, dan 25 Juli 2015.

4. Waktu dan Tempat Penelitian

Penulisan ini dilakukan mulai bulan Juli 2015. Tempat penulisan dimulai dikediaman penulis sendiri kemudian dilanjutkan dengan mewawancarai pihak redaksi dari kedua media tersebut. Berita terkait konflik tolikara pada harian Republika dalam edisi yang diteliti selalu menjadi headline. Sehingga, keterangan dari Redaktur Halaman Utama Republika, Fitriyan Zamzami dirasa perlu. Karena, tentunya ia memiliki wewenang dalam proses pembingkaian atas berita tersebut.

Begitupun dengan Kompas, pemberitaan terkait konflik tolikara dalam beberapa edisi menjadi headline dan sebagian besar terdapat pada rubrik politik dan hukum. Sehingga, keterangan dari pihak yang menangani rubrik poltik dan hukum pada Harian Kompas perlu untuk mengetahui dan mengkonfrmasi hasil temuan teks terkait pembingkaian berita tersebut. Oleh karenanya, penulis

20

M. Antonius Birowo, MetodePenulisan Komunikasi Teori dan Aplikasi, (Gitanyali: Yogyakarta, 2004), h.2.


(22)

mewawancarai Redaktur Rubrik Politik dan Hukum Kompas, Sutta Dharmasaputra.

5. Teknik Analisis Penelitian

Berdasarkan dari permasalah di atas penulis akan menghubungkan fakta-fakta temuan dari kedua surat kabar tersebut terkait pemberitaan Konflik tolikara dengan kerangka analisis framing. Analisi framing yang digunakan oleh penulis ialah analisis framing yang dikemukakan oleh Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Dalam pendangan Pan dan Kosicki perangkat framing dapat dibagi menjadi empat struktur besar, yakni struktur sintaksis yang berhubungan dengan bagaimana wartawan menyususn peristiwa. Kemudian struktur skrip yang berhubungan dengan bagaimana wartawan mengisahkan atau menceritakan peristiwa kedalam bentuk berita. Struktur tematik, berhubungan dengan bagaiman wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa kedalam proposisi, kalimat atau hubungan antar kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan. Terakhir ialah struktur retoris, yang berhubungan dengan bagaimana wartawan menekankan arti tertentu ke dalam berita.21

Table 1.1

Model Analisis Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki

STRUKTUR PERANGKAT

FRAMING

UNIT YANG DIAMATI

SINTAKSIS

Cara wartawan menyusun fakta

1. Skema berita Headline, lead, latar informasi, kutipan, sumber, pernyataan, penutup

21


(23)

SKRIP

Cara wartawan mengisahkan fakta

2. Kelengkapan berita 5W+1H

TEMATIK

Cara wartawan menulis fakta

3. Detail 4. Koherensi 5. Bentuk kalimat 6. Kata ganti

Paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antarkalimat

RETORIS

Cara wartawan menekankan fakta

7. Leksikon 8. Grafis 9. Metafora

Kata, idiom, gambar/foto, grafik

6. Teknik Pengumpulan Data a. Dokumentasi

Dokumentasi sebagai suatu metode pengumpulan data, bertujuan menggali data-data secara sistematis dan objektif, ini merupakan instrument pengumpulan data yang bertujuan mendapatkan informasi yang mendukung analisis dan interpretasi data.22 Dokumentasi yang dimaksud dalam penulisan ini didapatkan dari surat kabar Republika dan Kompas edisi 20, 21, 24, dan 25 Juli 2015 yang memuat berita terkait Konflik tolikara.

b. Wawancara

Wawancara dalam penulisan ini dilakukan dengan wawancara mandalam, bebas namun dituttut pedoman wawancara.Wawancara dalam riset kualitatif yang disebut sebagai wawancara intensif, bebas namun terarah sesuai dengan konteks pembahasan.23

Penulis mewawancarai Redaktur Pelaksana Kompas Sutta Dharmasaputra dan Redaktur Halaman Utama Republika Fitriyan Zamzami,

22

Rachmat Kriyantono, Teknis Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2008), Edisi 1, cet ke-III, h. 100.

23

Rachmat Kriyantono, Teknis Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2008), Edisi 1, cet ke-III, h. 36.


(24)

untuk mengkonfirmasi data sekunder yang berupa temuan dari beberapa dokumantasi surat kabar Republika dan Kompas terkait pemberitaan Konflik tolikara.

H. Tinjauan Pustaka

Sebagai acuan dalam penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada beberapa penulisan yang telah dilakukan sebelumnya. Beberapa diantaranya adalah penulisan skripsi berjudul “Analisis Framing Pemberitaan Gayus Tambunan di Republika dan Media Indonesia” karya Ririn Restu Utami, Mahasiswi Konsentrasi Jurnalistik UIN Jakarta. Kemudian penulisan karya Reza Andrian dengan judul “Analisi Framing Berita Konflik Muslim Rohingya Dan Budha Rakhine Di Myanmar Pada Republika Online dan DetikCom Periode Juni 2012”, skripsi karya Marisha Arianti Agustin mahasiswi Jurnalistik, dengan judul “Wacana Mundurnya Luthfi Hasan Ishaaq pada Pemberitaan Harian Kompas”. Serta skripsi karya Rahmadaniati Marchelina dengan judul “Analisis Framing Pemberitaan Harry Tanoesoedibjo di Harian Media Indonesia dan Seputar Indonesia”. Beberapa tinjauan pustaka tersebut dijadikan acuan oleh penulis, karena terdapat persamaan jenis penelitian yakni mengenai framing. Namun tentunya terdapat perbedaan antara skripsi tersebut dengan skripsi penulis, yakni mengenai kasus yang diangkat, media massa yang menjadi objek penelitian, serta konsep yang digunakan, hasil temuan dan analisis data


(25)

I. Sistematika Penulisan

BAB I: Pada bab ini dijabarkan mengenai latar belakang masalah yang diambil oleh penulis, batasan serta rumusan masalah, tujuan serta manfaat penulisan, metodologi penulisan, tinjauan pustaka dan bagian akhir dari bab ini ialah sistematika penulisan.

BAB II: Bab ini akan dibahas menenai landasan teori dan teknik analisis framing yang digunakan sebagai mata pisau dalam menganalisis data temuan.

BAB III: Pada bab ini pemb ahasan terkait gambaran umum dari kedua media cetak, yakni gambaran keseluruan mengenai Harian Umum Republika dan Kompas.

BAB IV: Bagian bab ini akan dibahas secara mendalam dan terperinci hasil dari temuan serta hasil analisis dari pemberitaan Konflik tolikara pada Harian Umum Republika dan Kompas edisi 20,21, 24 dan 25 Juli 2015 yang dihubungkan dengan argumentasi serta teori-teori yang terdapat pada bab II.

BAB V: Bab penutup dari berbagai sub bab yang terdapat dalam penyusunan skripsi ini merangkum seluruh kesimpulan dan saran dari permasalahan yang diangkat.


(26)

16 BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A.Teori

B. Teori Konstruksi Sosial

Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya “The Social Construction of Reality, a treatise in the Socialogical of Knowledge” berpandangan bahwa sebuah realitas merupakan suatu bentukan (konstruksi). Konsturksi sosial menggambarkan dimana terjadinya proses sosial melalui tindakan dan interaksi, individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.17 Konstruksi merupakan suatu teori yang dapat digunakan dalam metode analisis framing. Teori ini mengenai pembentukan sebuah realitas yang dilihat dari bagaimana sebuah realitas sosial itu memiliki makna. Sehingga realitas sosial dimaknai dan dikonstruksi oleh individu secara subjektif kepada individu lainnya sehingga realitas tersebut dapat dilihat secara objektif dan pada akhirnya individu akan mengkonstruksi realitas yang ada dan merekonstruksikan kembali ke dalam dunia realitasnya.

Manusia memaknai dirinya dan objek di sekelilingnya berdasarkan sifat-sifat atau sensasi yang dialaminya saat berhubungan dengan objek tersebut. Pemaknaan tersebut berasal dari tindakan yang terpola dan terjadi secara terus menerus yang pada akahirnya mengalami objektifasi dalam kesadaran mereka yang mempersepsikannya. Dalam aspek psikologis

17


(27)

manusia melihat sebuah realitas akan memiliki persepsi yang berbeda sesuai dengan apa yang dipahaminya. Oleh kerenanya, realitas yang sama bisa jadi akan dipahami dan digambarkan secara berbeda pula oleh setiap individu. Individu mampu secara aktif dan kreatif mengembangkan segala realitas sesuai dengan stimulus dalam kognitifnya.

Berger dan Luckman menyatakan bahwa proses konstruksi sosial ada melalui tiga moment simultan. Pertama, eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia.18 Kedua, obyektifasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan.19 Dalam tahap ojektifasi yang terpenting adalah pembuatan signifikasi, yakni pembuatan tanda-tanda oleh manusia.20 Ketiga, internalisasi, yaitu proses di mana individu mengidentifikasi dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial di tempat individu menjadi anggotanya.21

Proses pembentukan realitas dalam media massa memiliki tiga tahap, yang terdiri dari tahap menyiapkan materi konstruksi, tahap sebaran konstruksi dan tahap pembentukan konstruksi realitas. Dalam tahap menyiapkan materi konstruksi yang terpenting adalah melihat keberpihakan media massa kepada kapitalisme yang menjadi dominan, mengingat dimana media massa adalah mesin produksi kapitalis yang harus menghasilkan keuntungan. Pada tahap sebaran konstruksi, dilihat dari strategi media massa

18

Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Kencana: Jakarta, 2008, h.15.

19

Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 15.

20

Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 17.

21


(28)

dalam menyebarkan informasi. Pada umumnya persebaran konstruksi sosial media massa menggunakan model satu arah. Dimana media berkuasa penuh terhadap penyebar informasi dan penonton atau pembaca tidak memiliki pilihan selain mengonsumsi informasi tersebut. Selanjutnya, tahap pembentukan konstruksi realitas, yang terdiri atas pembentukan konstruksi realitas, pembentukan konstruksi citra. Tahapan terakhir mengkonfirmasi, tahapan ini ketika media massa maupun pembaca memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembentukan konstruksi.22

Realitas yang ditampilkan oleh media pada dasarnya merupakan hasil konstruksi media itu sendiri. Realitas dalam media massa dikonstruksi dengan melalui tiga tahap, yaitu tahap konstruksi realitas pembenaran, kesediaan dikonstruksi oleh media massa dan sebagai pilihan konsumtif. Pertama, konstruksi realitas pembenaran merupakan realitas yang dikonstuksi media massa dan apa yang disajikan di media massa seluruhnya diangap sebagai suatu kebenaran. Kedua, tahap kesediaan dikonstruksi oleh media massa, kesediaan khalayak menjadi konsumen media. ketiga, tahap pilihan konsumtif, yaitu ketergantungan individu terhadap media.23

2.Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki

Gagasan mengenai framing pertama kali dikemukakan oleh Beterson tahun 1995. Saat itu, framing dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan,

22

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, h. 195-197.

23


(29)

dan wancana, serta yang menyediakan ketegori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Kemudian konsep ini dikembangkan lebih jauh oleh Erving Goffman pada 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan prilaku (strip of behavior) yang membimbing individu membaca realitas.24

Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya.25 Dari pemahaman tersebut dapat diartikan bahwasaanya framing ialah suatu pendekatan untuk mengetahui dan memahami bagaimana wartawan saat memproduksi berita, yakni bagaimana wartawan menyeleksi dan menuliskan berita. Cara pandang tersebut akhirnya menentukan mana fakta yang akan diambil, mana bagian yang akan ditonjolkan atau sembunyikan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut.26 Kerenanya, berita menjadi manipulatif dan bertujuan mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakan.27

24

Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, h. 161-162.

25

Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, h, 162.

26

Bimo Nugroho, Eriyanto, Frans Sudiarsis, Politik Media Mengemas Berita, (Jakarta: ISAI, 1999), h. 21.

27

Teguh Irawan, Media Surabaya Mengaburkan Makna, (Jakarta: Pantau Edisi 9, 2000), h. 65-73.


(30)

Selain itu terdapat beberapa definisi mengenai framing yang dikemukakan oleh para tokoh. Menurut William A. Gamson, framing ialah cara bercerita atau gagasan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk dalam sebuah kemasan (package). Kemasan itu semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima. Menurut Robert N. Etnman framing ialah proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol ketimbang aspek lain. Ia juga menyertakan penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar dari pada sisi yang lain.28

Menurut George Junus Aditjondro dalam Arifatul Choiri Fauzi, mengartikan framing sebagai sebuah penyajian realitas di mana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, tetapi dibelokak secara halus, memberikan sorotan pada terhadap aspek-aspek tertentu saja, menggunakan istilah-istilah yang mempunyai konotasi tertentu, bantuan foto, karikatur, dan menggunakan alat ilustrasi lainnya.29

Sejalan dengan hal tersebut, Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki memaknai framing sebagai strategi konstruksi dan memproses berita.

28

Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h. 77-78. 29

Arifatul Choiri Fauzi, kabar-kabar Kekerasan dari Bali, (Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 28.


(31)

Perangkat kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita.30 Pengertian tersebut menegaskan bahwasnnya konsep framing akan melihat bagaimana media membingkai isu-isu, sehingga akan nampak kearah mana pemberitaan tersebut akan diarahkan.

Proses framing terkadang dibenturkan dengan alasan-alasan teknis seperti keterbatasan kolom dan halaman (pada media cetak) dan waktu (pada media elektronik), jarang ada media yang membuat berita secara utuh mulai dari menit pertama kejadian hingga menit akhir. Atas nama kaidah jurnalistik, peristiwa yang panjang, lebar dan rumit dicoba “disederhanakan” melalui mekanisme pembingkaiaan fakta-fakta dalam bentuk berita sehingga layak terbit atau layak tayang.31

Terdapat dua aspek dalam framing, yakni memilih fakta atau realitas dan menuliskan fakta.32 Pertama, memilih fakta merupakan proses dimana seorang wartawan melihat suatu peristiwa. Fakta dipilih berdasarkan asumsi serta perspektif wartawan. Wartawan akan memilih realitas mana yang akan diambil dan memilih angle tertentu. Dengan pemilihan ini artinya terdapat aspek tertentu dari realitas yang tidak diberitakan dan aspek tertentu justru ditonjolkan. Jika demikian, tentunya pemahaman dan konstruksi realitas atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain.

Kedua, menuliskan fakta atau realitas. proses ini merupakan bagaimana cara wartawan menyajikan fakta yang telah dipilih dengan cara penonjolan realitas. Bagaimana wartawan menekankan fakta tersebut dalam bentuk kata, kalimat dan proposisi tertentu serata dengan bantuan aksentuasi

30

Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h.79.

31

Ibnu Hammad, Konstruksi Realitas Politik, (Jakarta: Granit, 2004), h.21.

32


(32)

foto dan gambar. Selain itu fakta yang telah dipilih ditekankan agar nampak lebih menonjol, misalnya dengan nempatkan sebagai headline depan atau bagian belakang, pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan meperkuat penonjolan, pemakaian lebel tentu untuk mendeskripsikan orang atau peristiwa, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar dan sebagainya.

Pemilihan fakta dan penulisan fakta yang menggunakan kata, kalimat atau foto itu merupakan hubungan memilih aspek tertentu dari realitas. Aspek tertentu yang sengaja ditonjolkan tersebut akan mendapatkan alokasi dan perhatian yang besar dibanding aspek lain. Sehingga kemenonjolan tersebut, memiliki peluang besar untuk sebuah berita diperhatikan, dianggap lebih bermakna dan akan lebih diingat oleh khalayak.

Model analisis framing diperkenalkan oleh banyak tokoh, salah satunya ialah model analisis framing yang dikenalkan oleh Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Menurut Pan dan Kosicki terdapat dua konsepsi framing yang berkaitan, yakni konsep psikologi dan konsep sosiologi. Konsep psikologi lebih menekankan pada bagaimana seseorang memproses berita dalam dirinya. Sedangkan konsep sosiologis menekankan pada bagaimana seseorang mengklasifikasikan, mengorganisasikan, dan menafsirkan pengalaman sosialnya untuk mengerti dirinya dan realitas di luar dirinya.

Framing dimaknai sebagai suatu strategi atau cara wartawan dalam mengkonstruksi dan memproses peristiwa untuk disajikan kepada khalayak.


(33)

Dalam proses konstruksi berita, wartawan tidak hanya dibekali oleh pikiran yang ada dalam dirinya saja. Namun, proses mengkonstruksi berita akan melibatkan nilai-nilai sosial yang nantinya akan mempengaruhi bagaimana realitas akan dipahami. 33

Pendekatan framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki terbagi kedalam empat struktur besar; struktur sintaksis, struktur skrip, struktur tematik dan struktur retoris.34 Melalui keempat struktur ini, dapat dilihat bagaimana kecondongan wartawan dalam memahami suatu peristiwa dan menginterpretasikan pemahamannya ke dalam bentuk berita. Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digambarkan dalam bentuk skema sebagai berikut:

Table 1.2

Konsep Analisis Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki

STRUKTUR PERANGKAT

FRAMING

UNIT YANG DIAMATI

SINTAKSIS

Cara wartawan menyusun fakta

1. Skema berita Headline, lead, latar informasi, kutipan, sumber, pernyataan, penutup

SKRIP

Cara wartawan mengisahkan fakta

2. Kelengkapan berita

5W+1H

TEMATIK

Cara wartawan menulis fakta

3. Detail 4. Koherensi 5. Bentuk kalimat 6. Kata ganti

Paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antarkalimat

RETORIS

Cara wartawan

7. Leksikon 8. Grafis 9. Metafora

Kata, idiom,

gambar/foto, grafik

33

Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h. 292.

34


(34)

menekankan fakta

Tabel tersebut merupakan gambaran struktur dari perangkat framing Zongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Pertama, struktur sintaksis berhubungan dengan bagaimana wartwan menyusun peristiwa, menyususn pernyataan, opini, kutipan pengamatan atas peristiwa kedalam bentuk susunan berita. Sintaksis dalam pengertian umum adalah susunan kata atau frase dalam kalimat.35 Dalam wacana berita, sintaksis merujuk pada pengertian susunan dan bagian berita seperti headline, lead, latar informasi, sumber, penutup yang terdapat dalam satu kesatuan teks berita secara keseluruhan.36 Biasanya struktur sintaksis yang paling populer dalam teks berita ialah bentuk piramida terbalik, dimana bagian yang atas ditampilkan lebih penting dibanding dengan bagian bawahnya. Selain itu struktur piramida terbalik ini mengacu pada pengorganisasian bagian-bagian struktur yang runtut, seperti headline (judul utama), lead (kepala berita atau penduhuluan), episode (runtutan cerita), background (latar belakang), dan ending or conclusion (penutup atau kesipulan).

Headline merupakan aspek sintaksis yang menunjukan tingkat kemenonjolan dan kecenderungan berita. Pembaca cenderung mengingat headline ketimbang bagian berita. Headline mempengaruhi bagaimana

35

Hasan Alwi, dkk, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), h. 36.

36


(35)

kisah dimengerti untuk kemudian digunakan dalam membuat pengertian isu dan peristiwa sebagaimana media paparkan.37

Headline biasanya menjadi pusat perhatian pembaca sebelum bagian berita lainnnya, oleh sebab itu kemasan dan variasi dari headline dibutuhkan untuk lebih menarik bagi pembaca. Terdapat beberapa jenis headline yang didasarkan pada kepentingan berita, keserasian (susunan), baris headline-nya (deks), tipografi, penempatan berita (di halaman surat kabar atau majalah). Beberapa jenis headline tersebut ialah;38

1. Banner headline, digunakan untuk berita yang dianggap sangat penting. Headline dibuat dengan jenis dan ukuran huruf yang mencerminkan sifat gagah dan kuat, dalam arti hurufnya lebih besar dan lebih tebal ketimbang jenis headline lainnya, serta menduduki tempat lebih dari empat kolom surat kabar.

2. Spread headline, untuk berita penting. besar dan tebal hurufnya lebih kecil dari jenis banner headline. tempat yang diperlukannya pun hanya tiga atau empat kolom saja.

3. Secondary headline, untuk berita yang kurang penting. Ukuran dan ketebalan hurufnya lebih kecil dari spread headline. tempat yang disediakan untuk headline jenis ini tidak lebih dari dua kolom.

4. Surbordinated headline, untuk berita yang dianggap tidak penting. kehadirannya terkadang dibutuhkan hanya untuk menutup tempat kosong pada halaman yang bersangkutan. Kosong dalam arti sisa tempat pada halaman yang memuat berita-berita lain yang dianggap lebih penting. karena itu tempatnya pun tidak lebih dari satu kolom dan dengan ukuran huruf serta ketebalan lebih rendah ketimbang jenis lainnya.

Selain headline, lead juga merupakan perangkat sintaksis lain yang sering digunakan. Lead pada umumnya menunjukan sudut pandang dari berita serta menunjukan perspektif tertentu dari peristiwa yang diberitakan. Lead yang disebut juga teras atau intro dalam berita ialah sebuah kalimat

37

Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h. 297.

38

Kustadi Suhandang, Pengantar Jurnalistik: Seputar Organisasi, Produk & Kode Etik, (Bandung: Nuansa, 2004), h. 115-116.


(36)

atau sejumlah kalimat pertama pada sebuah berita yang dimaksudkan untuk menarik minat agar khlayak mengikuti berita tersebut. Lead juga dimaksudkan untuk membuat jalan supaya alur berita tersusun dan untuk menekankan arti berita.39

Lead berita terbagi menjadi beberapa macam. Pada berita yang ditulis dengan cara piramida terbalik lead terbagi menjadi dua macam. Pertama, formal lead yaitu lead yang mengandung unsur (5W+1H). Kedua, informal lead yaitu lead yang hanya mengandung sebagian unsur berita.40

Selain headline dan lead ada pula aspek sintaksis lain yakni latar atau latar belakang dari sebuah peristiwa. Melalui latar yang dipilih akan menentukan ke arah mana pandangan khalayak akan dibawa. Kenampakan latar biasanya berada pada awal bagian berita sebelum pendapat wartawan yang sebenarnya muncul. Hal ini memberikan kesan bahwa pendapat wartawan dalam berita nantinya bukanlah pandangan subjektif dari wartawan, namun padangannya sangat beralasan. Melalui latar dapat diketahui bagaimana wartawan memberi pemaknaan atas suatu peristiwa.

Kemudian yang termasuk dalam struktur sintaksis ialah pengutipan sumber berita. Bagian ini dalam penulisan berita dimaksudkan untuk membangun objektivitas. Pengutipan sumber berita juga bertujuan untuk memberikan penekanan bahwa apa yang ditulis oleh wartawan bukanlah

39

Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru, (Ciputat: Kalam Indonesia, Desember 2005), h. 97-98.

40


(37)

pendapat wartawan melainkan pendapat dari orang yang mempunyai otoritas tertentu.41 Pengutipan sumber ini menjadi prangkat framing atas tiga hal. Pertama, mengklaim validitas atau kebenaran dari pernyataan yang dibuat dengan mandasarkan diri pada klaim otoritas akademik. Kedua, menghubungkan poin tertentu dari pandangannya kepada pejabat yang berwenang. Ketiga, mengecilkan pendapat atau pandangan tertentu yang dihubungkan dengan kutipan atau pandangan mayoritas sehingga pandangan tersebut tampak sebagai menyimpang. 42

Struktur skrip melihat bagaimana strategi bercerita atau bertutur yang dipakai wartawan dalam mengemas peristiwa kedalam bentuk berita.43 Umumnya bentuk skrip yang dibuat wartawan memenuhi pola 5W+1H (who, what, when, where, why, dan how). Namun, terkadang tidak semua pemberitaan terkandung unsur-unsur tesebut. Unsur kelengkapan berita ini akan menjadi penanda penting dari framing. Melalui skrip wartawan mampu mengkonstruksi berita, bagaimana suatu peristiwa dipahami melalui cara tertentu dengan menyusun bagian-bagian peristiwa dengan urutan tertentu.44 Melalui skrip wartawan mampu memberikan tekanan bagian mana yang didahulukan dan bagian mana yang disembunyikan. Cara penyembunyian tersebut dapat dilakukan dengan

41

Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h. 298.

42

Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h. 298-299.

43

Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, h. 175.

44


(38)

menaruh bagian tersebut diakhir paragraf teks berita, sehingga memberi kasan informasi tersebut tidak atau kurang penting.

Struktur tematik berhubungan dengan bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam proposisi, kalimat atau hubungan antar kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan.45 Tematik menurut Pan dan Kosicki, berita mirip sebuah pengujian hipotesis: peristiwa yang diliput, sumber yang dikutip, dan pernyataan yang diungkapkan, semua perangkat itu digunakan untuk membuat dukungan yang logis bagi hipotesis yang dibuat.46 Struktur tematik melihat bagaimana fakta tersebut ditulis, bagaimana kalimat yang digunakan, bagaimana menempatkan dan menulis sumber ke dalam teks berita secara keseluruhan.

Elemen dari struktur tematik diantaranya ialah koherensi. Koherensi ialah pertalian atau jalinan antarkata, proposisi atau kalimat.47 Koherensi ini berfungsi intuk menggabungkan dua kalimat atau dua proposisi dari fakta yang berbeda, sehingga kedua fakta tersebut tampak memiliki kaitan (berhubungan). Jelasnya, koherensi memberikan kesan kepada khlayak bagaimana dua fakta diabstraksikan dan dihubungkan.Terdapat beberapa jenis koherensi; pertama, koherensi sebab-akibat. Kalimat atau proposisi satu dipandang sebagai akibat atau sebab dari proposisi lain. Contoh kata penghubungnya ialah “mengakibatkan” atau “menyebabkan”. Kedua,

45

Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, h. 176

46

Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h. 301.

47


(39)

koherensi penjelas. Kalimat atau proposisi yang satu sabagai penjelas dari proposisi lain. Koherensi penjelas ini ditandai dengan kata “dan”, “lalu”, atau “yang”. Ketiga, koherensi pembeda. Proposisi atau kalimat satu dipandang sebagai lawan dari proposisi atau kalimat lain. Koherensi pembeda ini ditandai dengan kata hubung “dibandingkan” atau “sedangkan”.

Kemudian yang termasuk kedalam struktur tematik adalah detail. Detail berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan wartawan.48 Melalui elemen detail dapat diketahui bagaimana wartawan mengekspresikan sikapnya secara tersembunyi. Melalui detail akan nampak seberapa besar ruang yang disediakan wartawan untuk menguraikan aspek tertentu dari pemberitaan. Detail dapat diketahui dengan melihat keseluruhan dimensi peristiwa, bagian mana yang diuraikan secara panjang lebar dan bagian mana yang diuraikan dengan detail sedikit. Mengapa wartawan lebih memilih menguraikan dimensi tertentu dan bukan dimensi lain? Apa efek dari penguraian detail itu terhadap seseorang atau kelompok atau gagasan yang diberitakan oleh wartawan.49

Elemen berikutrnya dalam prangkat tematik ialah bentuk kalimat. Bentuk kalimat ialah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berfikir logis, yaitu prinsip kausalitas. Logika kausalitas jika diterjemahkan ke dalam bahasa menjadi susunan subjek (kata yang menerangkan) dan predikat (yang diterangkan). Dari bentuk kalimat dapat diamati makna yang dibetuk dalam susunan kalimat. Dalam kalimat berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek dari pernyataannya, sedangkan kalimat berstruktur pasif seseorang menjadi objek dari pernyataannya. Struktur kalimat dapat dibuat

48

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 238.

49


(40)

aktif maupun pasif, namun umumnya pokok yang dipandang penting selalu ditempatkan diawal kalimat.50

Bentuk kalimat ini menentukan apakah subjek dieksperesikan secara implisit atau eksplisit dalam teks. Penempatan kalimat diawal atau diakhir dapat mempengaruhi makna yang timbul karena akan menunjukan bagian mana yang lebih ditonjolkan kepada khalayak. Bentuk kalimat dapat pula diamati dalam teks berita dari bentuk kalimat yang digunakan. Apakah berita tersebut menggunakan bentuk deduktif atau induktif. Kalimat deduktif ialah kalimat yang inti kalimatnya (umum) berada diawal kalimat dan kemudian kalimat khusus. Sedangkan kalimat induktif sebaliknya, dimana kalimat khusus diletakan diawal, dan inti kalimat diletakkan di akhir. Dalam bentuk kalimat deduktif, penonjolan terhadap aspek tertentu lebih terlihat sementar dalam bentuk induktif inti kalimat nampak samar dan tersembunyi, karena diletakan diakhir kalimat.51

Kemudian dari elemen kata ganti. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukan dimana posisi seseorang dalam wacana. Pemakaian kata ganti “kita” atau “kami” mempunyai gambaran menumbuhkan solidaritas, aliansi, perhatian publik, serta mengurangi kritik dan oposisi hanya kepada diri sendiri. Selain itu kata ganti “kami” menandakan batas antara komunikator dan khalayak dengan sengaja dihilangkan untuk menunjukan apa yang menjadi sikap komunikator juga menjadi sikap khalayak. Berbeda jika menggunakan kata “saya” atau “kita”,

50

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, 251. 51


(41)

seolah menunjukan sikap tersebut merupakan sikap resmi komunikator semata-mata. Begitupun dengan kata ganti “kami” dan “mereka” justru menciptakan jarak dan memisahkan antara pihak “kami” dan “mereka”. Untuk yang dianggap sependapat dengan wartawan maka digunakan kata ganti “kami”, tetapi bagi yang tidak sependapat digunakan kata ganti “mereka”.52

Kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas inmajinatif.53

Struktur retoris berhubungan dengan bagaimana wartawan menekankan arti tertentu kedalam berita.54 Struktur retoris dari wacana berita menggambarkan pilihan gaya atau kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkan oleh wartawan.

Wartawan menggunakan perangkat retoris untuk membuat citra, meningkatkan kemenonjolan pada sisi tertentu dan meningkatkan gambaran yang diinginkan dari suatu berita. Struktur retoris dari wacana berita juga menunjukan kecenderungan bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah suatu fakta dan kebenaran bukan sekedar persuasi.55

Terdapat beberapa elemen dari struktur retoris yang dipakai oleh wartawan. Elemen tersebut ialah elemen leksikon, grafis dan metafora. Leksikon merupakan elemen terpenting, leksikon melihat pada pemilihan dan penggunaan kata-kata tertentu untuk menandai atau menggambarkan peristiwa.56 Suatu fakta umumnya terdiri atas beberapa kata yang memiliki sinonim kata. Diantara beberapa sinonim kata tersebut, komunikator bebas

52

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 253-254. 53

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 254.

54

Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, h. 176.

55

Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h. 304.

56


(42)

memilih kata mana yang akan digunakan. Namun, pilihan kata yang digunakan tidak semata-mata hanya sebuah kebetulan, tetapi juga secara ideologis menunjukan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap realitas.57 Bahkan tak jarang apabila suatu peristiwa yang terjadi mengenai keburukan komunikator, penggunaan kata yang dipilih akan nampak lebih halus dengan menggunakan kosakata yang dihaluskan (eufemisme). Pilihan kata tersebut menunjukan sikap dan ideologi tertentu.

Elemen kedua dari retoris ialah grafis. Selain lewat kata, penekanan pesan dalam berita juga dapat dilakukan dengan menggunakan unsur grafis. Grafis biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat berdeda dibandingkan tulisan lain. Pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran yang lebih besar.Termasuk di dalamnya adalah pemakaian caption, raster, grafik, foto, gambar, atau tabel untuk mendukung arti penting suatu pesan. Bagian-bagian yang ditonjolkan ini menekankan kepada khalayak pentingnya bagian tersebut. Bagian yang dicetak berbeda tersebut adalah bagian yang dianggap penting oleh komunikator, dimana ia menghendaki khlalayak menaruh perhatian lebih pada bagian tersebut. Elemen grafik memeberikan efek kognitif, ia mengontrol perhatian dan ketertarikan secara intensif dan menunjukan apakah suatu informasi itu dianggap penting dan menarik sehingga harus dipusatkan atau difokuskan.58

57

Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Poltik Media, h.305.

58


(43)

Elemen retoris yang terakhir ialah metafora. Dalam suatu wacana berita, wartawan tidak hanya menyampaikan pesan pokok lewat teks, tetapi juga kiasan, ungkapan, metafora yang dimaksudkan sebagai bumbu pelengkap dari suatu berita. Akan tetapi, pemakaian metafora tertentu bisa jadi menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna suatu teks.

Metefora tertentu dipakai oleh wartawan secara strategis sebagai landasan berfikir, alasan pembenaran atas pendapat atau gagasan tertentu kepada publik.Wartawan menggunakan kepercayaan masyarakat, ungkapan sehari-hari, peribahasa, pepatah, petuah leluhur, kata-kata kuno, bahkan mungkin ungkapan yang diambil dari ayat-ayat suci, yang semuanya dipakai untuk memperkuat pesan utama.59

C. Konsep Teori 1. Berita

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departeman Pendidikan Nasional Balai Pustaka terdapat pengertian berita, yaitu cerita atau keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat, kabar, laporan, pemberitahuan, pengumuman.60 Satu kata terakhir memberi tekanan bahwa berita ialah sebuah peristiwa yang hangat, dalam artian baru saja terjadi dan penting untuk diketahui oleh khalayak.61

Beberapa tokoh juga mnedefinisikan kata berita. Menurut Tom Clarke, seorang direktur sebuah institut jurnalistik mengatakan bahwa NEWS (berita) berasal dari suatu akronim (singkatan) yaitu: N(orth), E(ast), W(est), S(outh). Dari akronim tersebut Clarke ingin menggambarkan bahwa

59

Eriyanto,Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 259.

60

R. Masri Sareb Putra, Teknik Menulis Berita dan Featur, (PT. Indeks, 2006), h. 11.

61

Suhaimi dan Rulli Nasrullah, Bahasa Jurnalistik, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), cet ke-I, h. 27-28.


(44)

berita sebagai suatu hal yang dapat memenuhi kebutuhan naluri keingintahuan manusia dengan memberi kabar dari segala penjuru dunia. Maksudnya adalah sifat berita yang menghimpun keterangan atau informasi dari empat penjuru arah.62

Menurut Sudirman Tebba berita adalah jalan cerita tentang peristiwa.63 Bagi Jakob Oetama dalam bukunya “Perspektif Pers Indonesia” mendefinisikan berita bukalah suatu fakta, tapi laporan tentang fakta itu sendiri. Suatu peristiwa menjadi berita hanya apabila ditemukan dan dilaporkan oleh wartawan atau membuatnya masuk dalam kesadaran publik dan dengan demikian menjadi pengetahuan publik.64 Paul De Maeseneer dalam buku Here’s the News juga menyebutkan bahwa berita merupakan informasi yang memiliki pengaruh pada khalayak serta relevan dan layak dinikmati oleh khlayak.65

Sejalan dengan pandangan di atas, Menurut prof. Mitchel V. Charney dikutip oleh Onong Uchjana Efendi dalam bukunya “Ilmu, Teori, dan Filsafat Komuikasi” menyatakan bahwa news is the time of fact or opinion of either interest of importance, of both, to a considerable number of people (berita adalah laporan tercepat menganai fakta atau opini yang mengandung hal yang menarik minat atau penting, atau kedua-duanya, bagi sejumlah besar penduduk).66 Definisi berita menurut Dean M. Lyle Spencer adalah

62

Sedia Willing Barus, Jurnalistik:Petunjuk Teknis Menulis Berita, (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 25.

63

Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru, h. 55.

64

Sedia Willing Barus, Jurnalistik: Petunjuk Teknis Menulis Berita, h. 26.

65

Helena Olii, Berita dan Informasi, (PT. Indeks, 2007). Cet ke-1, h. 25.

66


(45)

setiap fakta yang akurat atau suatu ide yang dapat menarik perhatian bagi sejumlah besar pembaca.67

Disamping itu, definisi berita dalam praktiknya, menurut AS Haris Sumadiria berita adalah semua hal yang terjadi di dunia, apa yang ditulis dalam surat kabar, apa yang disiarkan di radio, dan apa yang ditayangkan oleh televisi. Berita menyampaikan fakta tetapi tidak setiap fakta merupakan berita, berita menyangkut orang-orang walau tidak setiap orang menjadi berita, dan berita merupakan sejumlah peristiwa yang terjadi di dunia, tetapi sebagian kecil yang dilaporkan.68 Menurut Torben Brandt, Eric. S dan Arya Gunawan dalam buku mereka “Jurnalisme Radio”, berita ialah informasi yang aktual, memiliki akibat pada kehidupan orang banyak, mengandung unsur ketokohan, langka, mengandung konflik dan mengandung unsur entrtainment.69

Dari beberapa pengertian pakar tersebut, penulis menyimpulkan bahwasannya berita ialah jalan cerita atau laporan tentang suatu peristiwa baik sekitar kita maupun di seluruh penjuru dunia. Peristiwa tersebut merupakan fakta disekitar kita atau diseluruh penjuru dunia yang baru terjadi, aktual, mengandung unsur keluarbiasaan, ketokohan, langka, konflik, entertainment dan penting diketahui khlayak serta memiliki pengaruh terhadap khalayak. Laporan peristiwa tersebut dimuat di media tertentu, baik media cetak, elektronik maupun online

67

Indah Suryawati, Jurnalistik Suatu Pengantar: Teori dan Praktik, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h.68.

68

AS. Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature, (Bandung: Rosdakarya, 2008), cet ke-III, h. 63.

69


(46)

2. Surat Kabar

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), surat kabar diartikan sebagai, “Lembaran kertas bertuliskan kabar atau berita dan sebagainya, terbagi dalam kolom-kolom (8-9 kolom), yang terbit setiap hari secara periodik.”70

Menurut Indah Suryawati, dari segi periode terbit tidak hanya harian namun juga terdapat surat kabar mingguan. Dari segi ukurannya, terdapat surat kabar yang terbit dalam bentuk plano dan ada pula yang terbit dalam bentuk tabloid.71

Dilihat dari fungsinya, Surat kabar yaitu media komunikasi yang berbentuk cetak yang menitikberatkan pada penyebaran informasi (fakta maupun peristiwa) agar diketahui publik. Dari segi ruang lingkupnya, terdapat surat kabar lokal dan surat kabar nasional.72

Sedangkan menurut Dja‟far H. Assegaf, surat kabar tidak hanya dilihat sebagai media yang berisikan berita saja, namun juga berisi iklan-iklan. “Penerbitan yang berupa lembaran-lembaran yang berisi berita-berita, karangan-karangan dan iklan, yang dicetak dan diterbitkan secara tetap atau periodik dan dijual untuk umum”.73 Selain itu Surat kabar dianggap memiliki kelebihan dari media massa lainnya, yakni mampu

70

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 2003), h.28

71

Indah Suryawati, Jurnalistik Suatu Pengantar: Teori dan Praktik, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h, 40.

72

Syarifudin Yunis, Jurnalistik Terapan, (Ghalia Indonesia, 2010), h. 29.

73Dja‟far H. Assegaff,

Jurnalistik Masa Kini, Pengantar ke Praktek Kewartawanan, (Jakarta : Ghali Indonesia, 1985), h.63


(47)

menyajiakan informasi atau berita secara komprehensif, bisa dibawa kemana-mana, bisa didokumentasikan, dan dapat dibaca berulang-ulang.74

3. Konflik

Konflik merupakan bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok, karena mereka terlibat memiliki perbedaan sikap, kepercayaan, nilai atau kebutuhan. Konflik juga merupakan suatu proses yang terjadi ketika satu pihak secara negatif mempengaruhi pihak lain, dengan melakukan kekerasan psikis atau fisik yang membuat perasaan orang lain dan fisik orang lain terganggu.75

Konflik merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih, baik individu maupun kelompok yang merasa dirugikan atau diperlakukan secara tidak adil dalam berbagai aspek kehidupan agama, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, keorganisasian sosial, bahasa dan komunikasi, kesenian dan lainnya.76

Dari penyataan di atas, konflik dapat terjadi karena pihak-pihak yang berlawanan merasa dirugikan dan diperlakukan tidak adil. Oleh karenanya satu atau kedua pihak berupaya untuk mendapatkan keadilan dalam segala aspek kehidupan. Dapat dikatakan bahwa pihak yang berlawanan ini berupaya untuk memperoleh sumber daya yang terbatas. Perebutan sumberdaya ini tidak selalu berbentuk materi, namun juga dapat berbentuk

74

Indah Suryawati, Jurnalistik Suatu Pengantar: Teori dan Praktik, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h, 40.

75

Alo Liliweri, M.S., Prasangka & Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural, (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 249.

76

Rusmin Tumanggor, dkk., Panduan Pengelolaan Konflik Etnoreligius: Dengan Pendekatan Riset Aksi Partisipatori, h. 6.


(48)

perebutan yang sifatnya ideologis, seperti rasa ingin dihargai, atau penghormatan terhadap kepercayaan yang dianut.

Dilihat dari tipe dasar konflik, menurut Lewis Coser terbagi menjadi dua tipe. Pertama, konflik realistik. Konflik realistik memiliki sumber yang konkrit atau bersifat matrial, seperti sengketa sumber ekonomi dan wilayah. Kedua, konflik non realistik didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis, seperti konflik antar etnis dan agama. Coser menambakan bahawa konflik jenis pertama dapat diatasi dengan baik jika sumber daya dari masing-masing pihak dapat terpenuhi secara adil. Namun, untuk jenis konflik kedua cenderung sulit untuk menemukan solusi konflik untuk mencapai perdamaian. Dalam suatu konflik juga memungkinkan memiliki kedua tipe dasar konflik tersebut.77

Dari pernyataan di atas menjelaskan bahwa konflik dapat disebabkan karena multi faktor. Konflik bisa dipicu oleh sebab-sebab lain yang melatar belakangi peristiwa konflik. Misalnya dalam konflik keagamaan, penyebab dari konflik ini bisa berawal dari kesenjangan ekonomi kemudian hingga menyulut tindak kekerasan atas nama agama secara massif.

Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya suatu konflik. Terdapat empat faktor dominan penyebab terjadinya konflik; pertama, Kesenjangan distribusi ekonomi dan sumberdaya natural yang tidak merata atau tidak seimbang. Kedua, kebijakan politik nasional dan internasional, diantaranya tentang pola migrasi dan tata ruang wilayah yang kurang terarah dan rawan konflik. Ketiga, persoalan perbedaan identitas dan pola adaptasi sosial yang beragam sehingga memunculkan sentimen keagamaan, etnisitas dan golongan. Keempat, adanya profokasi atau penyulut konflik.78

77

Rusmin Tumanggor, dkk., Panduan Pengelolaan Konflik Etnoreligius: Dengan Pendekatan Riset Aksi Partisipatori, h. 42.

78


(49)

Faktor perbedaan identitas dan pola adaptasi sosial dapat menjadi penyebab konflik karena setiap individu tentunya memiliki perbedaan pendirian dan perasaan akan suatu hal. Ini yang menyebabkan sesorang terkadang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Kemudian, adanya perbedaan latar belakang kebudayaan yang membentuk pribadi-pribadi yang berbeda yang dapat memicu konflik jika tidak bersesuaian dengan lingkungan sosialnya. Selanjutnya, terdapat perbedaan kepentingan antar individu dan kelompok yang menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Terakhir, terjadinya perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat, perubahan yang cepat dapat membuat individu atau kelompok dalam lingkungan sosial sulit kembali untuk beradaptasi. Atau bahkan mungkin terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat setempat.79

Dari faktor –faktor tersebut, jika dianalogikan seperti bagian sebuah bom. Maka kesenjangan ekonomi dan sumber daya menjadi sebuah bahan utama atau menjadi isinya. Kemudian bahan utama tersebut dibungkus oleh persoalan kebijakan politik. Kemudian sumbunya ialah perbedaan identitas sepeti perbedaan etnis, suku dan agama yang mampu menyulut konflik. Dan terakhir jika bom tersebut disulut dengan api, atau adanya aksi provokator, maka ledakan konflik akan terjadi.80

79

Rusmin Tumanggor, dkk., Panduan Pengelolaan Konflik Etnoreligius: Dengan Pendekatan Riset Aksi Partisipatori, h. 43-45.

80


(50)

40 A.Profil Kompas

Menjelang awal tahun 1965, suhu politik di Indoneisa kembali memanas dengan hadirnya Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sering melakukan kegitan sepihak. PKI bahkan menyuarakan perlunya dibentuk angkatan kelima untuk menghadapi alat-alat keamanan negara yang sah (ABRI). Bahkan saat itu PKI adalah salah satu partai besar di Indonesia pada 1950-an dan 1960-an, serta PKI memenangkan tempat keempat dalam pemilihan umum 1955, sehingga partai ini memiliki pengaruh besar di masyarakat kala itu.70 Hingga suatu hari, Letjen Ahmad Yani selaku Panglima TNI-AD menelpon rekan sekabinetnya yakni Drs. Frans Seda. Letjen Ahmad Yani melemparkan ide untuk menerbitkan surat kabar untuk menandingi wacana PKI yang berkembang.71

Selanjutnya, Frans Seda menanggapi ide tersebut dan kemudian membicarakan hal itu dengan rekanya Ignatus Josef Kasimo (sesama rekan di Partai Katolik) dan dengan rekannya yang lain yakni Petrus Kanisisus Ojong dan Jakob Oetama yang saat itu sebagai pemimpin majalah Intisari. Namun secara pribadi Jakob Oetama dan beberapa pemuka agama Katolik seperti Monsignor Albertus Soegijapranata, Ignatius Joseph Kasimo tidak

70

F. A. Santoso, Sejarah, Organisasi, dan Visi-Misi Kompas, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2010), h. 1.

71


(51)

mau menerima begitu saja mengingat kontekstual politik, ekonomi dan infrastruktur pada saat itu tidak mendukung.72

Namun tekad Pertai Kotolik menerbitkan koran semakin bulat. PK Ojong dan Jakob Oetama menerima ide tersebut dan segera mempersiapkan penerbitan surat kabar. Surat kabar tersebut semuala akan dinamai “Bentara Rakyat” yang memiliki arti pembela rakya. Nama tersebut dipilih dan dimaksudkan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa pembela rakya sebenarnya bukanlah PKI.Akan tetapi menjelang penerbitan, Frans Seda yang saat itu menjabat sebagai menteri perkebunan rakyat menghadap ke Istana Merdeka untuk menemui Presiden Soekarno. Saat itu Soekarna telah mendengar bahwa Frans Seda akan menerbitkan surat kabar, kemudian Presiden mengajukan usulan nama yakni “Kompas” yang memiliki arti “pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan hutan rimba”, arti ini merupakan sebuah harapan bahwa Surat Kabar Kompas dapat menjadi petunjuk arah dan juga petunjuk jalan bagi masyarakat. Kompas mampu menyajikan pemberitaan yang menjadi petunjuk atau mencerahkan masyarakat. Maka nama usulan presidenlah yang resmi digunakan, yakni “Kompas”. Sementara nama“Bentara Rakya” digunakan sebagai nama dari yayasan penerbitan dimana Kompas bernaung dibawahnya.73

Meski mendapat restu Presiden Soeharto, bahkan nama “Kompas” merupakan ide presiden pula, namun diawal berdirinya Kompas melewati

72

Diakses dari http://www.fimadani.com/sejarah-harian-Kompas-sebagai-pers-partai-katolik/ yang dikutip dari Jakob Oetama, “Mengantar Kepergian P.K. Ojong”, KOMPAS, 22 juni 1980.

73


(52)

banyak rintangan, terutama pihak yang tidak senang dari partai komunis. Izin sudah ditangan namun Kompas tak kunjung terbit.Rupanya rintangan belum semuanya berlalu, masih ada satu halangan yang mesti dilalui, yakni izin dari Panglima Militer Jakarta yang saat itu dijabat oleh Letnan Kolonel Dachja. Dari Markas Militer Jakarta, diperolehlah jawaban atas izin tersebut baru akan disetujui jika syarat dari 5.000 tanda tangan pelanggan terpenuhi. Hingga akhirnya pada wartwan mengumpulkan tanda tangan dari anggota petani, gutu sekolah, anggota koprasi di Kabupaten Ende Lio, Kabupaten Sikka dan Kabupaten Flores Timur yang mayoritas penduduknya beragama Katolik, pada akhirnya persyaratan tersebut terpenuhi.74

Tak henti sampai disitu, PKI mulai menghasut masyarakat dengan mengartikan kata “Kompas” sebagai singkatan dari “komando pastor”. Hal ini berusaha mereka kaitkan dengan kondisi sebagaian besar kepengurusan Kompas yang berasal dari para pemimpin organisasi Partai Katolik, wanita katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Diantara nama-nama yang tercatat, antara lain; IJ. Kasimo (Ketua Yayasan Bentara Rakyat), Drs. Frans Seda (Wakil Ketua Yayasan Bentara Rakyat), penulis 1: Palaunsuka, penulis II: Jakob Oetama, dan bendahara: Petrus Kanisius Ojong.

Harian Kompas lahir tanggal 28 Juni 1965 dengan moto “Amanat Hati Nurani Rakyat”.Kompas diterbitkan oleh PT Kompas Media Nusantara yang merupakan bagian dari kelompok usaha Kompas Gramedia (KG), yang

74

Diakses dari http://www.fimadani.com/sejarah-harian-Kompas-sebagai-pers-partai-katolik/ yang dikutip dari Daniel Dhakidae, “THE STATE, THE RISE OF


(53)

didirikan oleh PK. Ojong (almarhum) dan Jakob Oetama.75 Kompas pertama kali terbit empat halaman berisi sebelas berita luar negeri dan tujuh berita dalam negeri di halaman pertama. Berita utama di halam satu, saati itu berjudul “KAA Ditunda Empat Bulan”. Dihalaman pertama pojok kiri atas tertulis nama Pemimpin Redaksi : Drs. Jakob Oetama. Staf Redaksi; Drs. J. Adisubrata. Lie Hwat Nio SH, Marcel Beding, Th. Susilastuti, Tan Soei Sing, J. Lambangdjaja, Tan Tik Hong, Yh. Ponis Purba, Tinon Prabawa, dan Eduard Liem.76

Sementra itu istilah tajuk rencana ketika itu belum ada, namun halaman 2 terdapat kisah lahirnya Kompas dan berita luar negeri serta dua berita dalam negeri. Serta terdapat kolom hiburan senyum simpul.Di halaman 3 terdapat tiga artikel, satu diantaranya mengenai luar negeri.Terdapat pula ulasan mengenai penyakit ayan dari Dr. Kompas. Sedangkan di halaman terakhir terdapat dua berita olahraga mengenai “Persiapan Team PSSI ke Pyongyang”, dan dua artikel luar negeri dan satu dari dalam negeri. Saat itu iklan masih kurang, dari enam iklan diantaranya dari redaksi Kompas mengenai permintaan menjadi langganan Kompas.

Kompas terus mengalami perkembangan dan kemajuan. Oplah Kompas selalu naik dari semula hanya 4.800 eksemplar menjadi 8.003 eksemplar. Saat ini rata-rata 500.000 eksemplar pada hari Senin hingga Jumat, dan berkisar 600.000 eksemplar pada weekand. Oplah terbesar

75

Diakses dari http://profile.print.kompas.com/profil/, diakses pada 20 September 2015.

76


(54)

dicapai pada saat bertepatan dengan ulang tahun Bung Karno ke 100 tahun dengan oplah 750.000 eksemplar dalam edisi khusus.77

Dengan moto “Amanat Hati Nurani Rakyat” menggambarkan visi dan misi bagi disuarakannya hati nurani rakyat. Kompas ingin berkembang sebagai institusi pers yang mengedepankan keterbukaan, meninggalkan pengotakan latar belakang, suku, agama, ras, dan golongan. Ingin berkembang sebagai "Indonesia Mini”, karena Kompas sendiri adalah lembaga yang terbuka dan kolektif. Ingin ikut serta dalam upaya mencerdaskan bangsa. Kompas ingin menempatkan kemanusiaan sebagai nilai tertinggi, mengarahkan fokus perhatian dan tujuan pada nilai-nilai yang transenden atau mengatasi kepentingan kelompok.78

Sesuai dengan moto tersebut, visi Kompas ingin menjadi institusi yang memberikan pencerahan bagi perkembangan masyarakat Indonesia yang demokratis dan bermartabat, serta menjungjung tinggi asas dan nilai kemanusiaan. Kompas juga turut berpartisipasi membangun masyarakat Indonesia baru berdasarkan Pancasila melalui prinsip persatuan dalam perbedaan dengan menghormati individu dan masyarakat yang adil dan makmur. Begitupun dengan misi Kompas, mengantisipasi dan merespon dinamika masyarakat secara profesional, sekaligus memberi arah perubahan (Trend Setter) dengan menyediakan dan menyebarluaskan informasi terpercaya.” Hal ini diperjelas dalam lima sasaran oprasional; Kompas adalah lembaga pers yang bersifat umum dan terbuka. Kompas tidak

77

F. A. Santoso, Sejarah, Organisasi, dan Visi-Misi Kompas, h. 3.

78


(55)

melibatkan diri dalam kelompok-kelompok tertentu baik politik, agama, sosial atau golongan dan ekonomi. Kompas secara atif membuka dialog dan berinteraksi positif dengan segala kelompok. Kompas adalah koran nasional yang berusaha mewujudkan aspirasi dan cita-cita bangsa, Kompas bersifat luas dan bebas dalam pandangan yang dikembangkan tetapi selalu memperhatikan konteks struktur kemasyarakatan dan pemerintahan yang menjadi lingkungan. 79

B.Profil Republika

Sejarah kehadiran Harian Umum Republika tidak dapat dipisahkan dari sejarah berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Republika tercetus dari pemikiran para anggota ICMI. ICMI berdiri pada 5 Desember 1990. Sebagai komunitas cendekiawan muslim, ICMI menilai bahwa hingga tahun 1990-an belum ada media atau pers islam yang cukup berpengaruh di Indonesia, media islam yang mampu mendorong bangsa menjadi kritis dan berkualitas dan mendorong masyarakat untuk menjadikan bangsa Indonesia menjadi maju dengan berpegangan pada nilai-nilai spiritualitas sebagai perwujudan pancasila yang menjadi filsafat bangsa, serta memiliki arah gerak seperti digariskan UUD 1945.80

Dalam mewujudkan hal tersebut, ICMI membentuk suatu program yang berorientasi pada tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa melalui program yang dikenal dengan 5K, yakni; dengan peningkatan kualitas iman,

79

F. A. Santoso, Sejarah, Organisasi, dan Visi-Misi Kompas, h. 4-5

80


(56)

kualitas hidup, kualitas kerja, kualitas karya dan kualitas pikir. ICMI mengelompokan program kerja mereka dengan nama pancalogi (program kerja) yang terdiri dari program pengkajian, pengembangan produktivitas sumber daya manusia, pengembangan dialog dan komunikasi, aksi kemasyarakartan, dan hubungan internasional.81 Untuk merealisasikan tujuan tersebut, maka pada tanggal 17 Agustus 1992 berkumpulah para tokoh dari berbagai elemen pemerintahan dan masyarakat yang berdedikasi pada pembangunan bangsa dan masyarakat Indonesia untuk mendirikan yayasan yang diberi nama Abdi Bangsa.

Anggota yang tergabung dalam yayasan Abdi Bangsa ini awalnya berjumlah 48 orang, yang terdiri dari beberapa menteri kabinet pemerintahan Soeharto, pejabat tinggi negara, cendekiawan tokoh masyarakat, serta pengusaha. Nama-nama yang tercantum diantara mereka ialah, penasehat yayasan dijabat oleh Presiden Soeharto.Ketua yayasan dijabat oleh Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie (saat itu masih tercatat pula seagai ketua ICMI). Angota-anggota yayasan tersebut antara lain; Ir. Drs. Ginanjar Karta Sasmita, H. Harmoko, Ibnu Sutowo, Muhammad Hasan, Tien Soeharto, dan Ir. Abu Rizal Bakri.

Yayasan Abdi Bangsa menyususn tiga program utamanya yaitu; pertama, pengembangan islamiccenter. Kedua, pengembangan Center for Information and Development Studies (CIDES).Ketiga, penerbitan Harian Umum Republika.Saat itu sistem pers di Indonesia bercorak sistem pers

81

Idris Thaha, Posisi ICMI Di Tengah Arsu Perubahan Dalam Abrar Muhammad, ed., ICMI Harapan Umat, (Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam, 1991), h. 175.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)