Mekanisme Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial dalam

3. Rekomendasi Sanksi Pelaksanaan sanksi sering terjadi kontroversi, sekarang ditegaskan dalam Undang-Undang. Jika putusan Komisi Yudisial di diamkan saja dalam waktu 60 hari, hal itu otomatis berlaku dan wajib dilaksanakan Mahkamah Agung. Dahulu memang harus ditentukan oleh Mahkamah Agung, sekarang tidak lagi. Jadi, ketika Komisi Yudisial menjatuhkan rekomendasi sanksi bagi hakim, Mahkamah Agung harus mengikuti. Jika rekomendasi tersebut tidak dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dalam waktu 60 hari, maka rekomendasi tersebut otomatis berlaku. 9 4. Sanksi Terperinci Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial mengatur sanksi lebih variatif yaitu: a Sanksi ringan, berupa teguran lisan, teguran tertulis dan pernyataan tidak puas secara tertulis. b Sanksi sedang, yaitu penundaan kenaikan gaji berkala paling lama satu tahun, penurunan kenaikan gaji berkala paling lama satu tahun, penundaan kenaikan pangkat paling lama satu tahun dan hakim non palu paling lama enam bulan., dan, c Sanski berat, yaitu pembebasan dari jabatan struktural, hakim non palu lebih dari enam bulan sampai dengan dua tahun, pemberhentian sementara, 9 Ibid, h. 111. pemberhentian tetap dengan hak pensiun, dan pemberhentian tetap dengan tidak hormat. Ketentuan ini dikecualikan bagi rekomendasi Komisi Yudisial berupa pemberhentian tetap dengan tidak hormat. Untuk sanksi ini sudah diatur melalui proses Majelis Kehormatan Hakim. 5. Bidang Seleksi Hakim Komisi Yudisial kini bukan lagi hanya menyeleksi hakim agung, tetapi juga hakim ad hoc di Mahkamah Agug karena itulah Komisi Yudisial kini bertanggung jawab untuk menghasilkan hakim ad hoc yang berkualitas Lihat Pasal 13 huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial. 6. Peningkatan Kapasitas Hakim dan Kesejahteraan Hakim Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dalam Pasal 20 ayat 2 lebih memperhatikan aspek-aspek kebutuhan dan kepentingan hakim sehingga dalam melaksanakan tugasnnya, hakim dapat menjaga wibawa dan kehormatannya demi menghindari tindakan atau sikap yang dapat melanggar etika, perilaku hakim, sampai dengan penyalahgunaan wewenang. 7. Penghubung di Daerah Komisi Yudisial dapat mengangkat penghubung di daerah sesuai dengan kebutuhan, dimana dalam penjelasannya, lembaga penghubung ini betugas untuk membantu melaksanakan tugas Komisi Yudisial. Lihat Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dibentuk untuk meningkatkan fungsi tugas dan kinerja Komisi Yudisial. Demi menyongsong pembaharuan pengawasan di badan peradilan tentunya bukan Komisi Yudisial saja yang mempunyai tugas akan tetapi control intern Mahkamah Agung harus terus dioptimalkan fungsi pengawasannya sehingga dapat mewujudkan peradilan yang transparan dan akuntabel. 10 B. Hubungan dan Kerjasama Komisi Yudisial dalam Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Hakim dengan Kekuasaan Kehakiman Menurut Jimly Asshiddiqie, 11 maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan ke- Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya, itu kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial independent and impartial judiciary diharapkan dapat diwujudkan sekaligus 10 Ibid, h. 123-124. 11 Jimly Asshiddiqie, “Kata Pengantar” dalam buku A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial Reformasi Peradilan Jakarta: ELSAM, 2004, h, 13-14. diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun dari segi etika. Untuk itu, diperlukan institusi pengawasan yang independen terhadap para hakim itu sendiri. Meskipun lembaga ini tidak menjalankan kekuasaan kehakiman, tetapi keberadaannya diatur dalam UUD 1945 Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Karena itu, keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan kehakiman. Dari ketentuan mengenai Komisi Yudisial ini dapat dipahami bahwa jabatan hakim dalam konsepsi UUD 1945 dewasa ini adalah jabatan kehormatan yang harus dihormati, dijaga dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat mandiri, yaitu Komisi Yudisial. 12 Lebih lanjut Jimly menegaskan, bahwa rumusan ketentuan Pasal 24B ayat 1 UUD 1945 hasil Perubahan Ketiga dapat menimbulkan kontroversi tersendiri di kemudian hari. Di situ dirumuskan dengan sangat jelas: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Artinya, tugas pertama komisi ini adalah mengususlkan pengangkatan hakim agung dan tugas keduanya adalah menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Karena tugas pertama dikaitkan dengan „hakim agung’ dan tugas kedua dengan „hakim’ saja, maka secara harfiah jelas sekali artinya, yaitu Komisi Yudisial 12 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, cet. Ke-2, Jakarta; Konstitusi Press, 2011, h, 199. bertugas menjaga preventif dan menegakkan korektif dan represif kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku semua hakim di Indonesia. Dengan demikian, hakim yang harus dijaga dan ditegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilakunya mencakup hakim agung, hakim pengadilan umum, pengadilan agama, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan militer serta ternasuk hakim konstitusi. Berdasarkan ketentuan Pasal 24B ayat 4 UUD 1945 di atas, dikeluarkanlah UU Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 ditegaskan bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lebih lanjut, dalam Pasal 2 ditegaskan, bahwa Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Pengawasan terhadap perilaku hakim adalah bagian kepentingan publik yang tidak bisa diabaikan. Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk mengawasi perilaku hakim sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2004 yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial dan UU Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan terhadap UU Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. 13 13 Amir Syamsuddin, Integritas Penegak Hukum Hakim,Jaksa, Polisi, dan Pengacara Jakarta: Kompas, 2008, h, 31. Di dalam Bab VI Pasal 39 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dipaparkan ketentuan pengawasan Mahkamah Agung sebagai berikut: 1 Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung. 2 Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan. 3 Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung. 4 Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Kalau sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial belum bisa menjawab konflik pengawasan ini, maka dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011, perbedaan cara pandang tersebut dapat diselesaikan melalui pemeriksaan bersama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung terkait rekomendasi penjatuhan sanksi, mekanisme pemeriksaan bersama antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung apabila terjadi beda pendapat terkait dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan Komisi Yudisial tersebut Pasal 22E ayat 2. Walaupun kemudian jika belum juga terdapat kesepakatan, maka sanksi oleh Komisi Yudisial otomatis berlaku dan harus dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Pasal 22E ayat 3. Pemeriksaan bersama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung merupakan mekanisme pengawasan refleksif reflexive control artinya pengawasan yang penyelesaiannya dilakukan melalui proses timbal balik berupa dialog dan negoisasi antara pengawas dan yang diawasi. Model pengawasan ini bertujuan untuk mencari fakta fact finding terhadap pelanggaran etika dan perilaku oleh hakim dalam menjalankan tugasnya baik di dalam persidangan maupun di luar persidangan. Adanya mekanisme pemeriksaan bersama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung yang dijabarkan dalam Pasal 22E ayat 2 UU Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial tentu dapat mengatasi konflik-konflik yang terjadi antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial khususnya dalam hal pengawasan terhadap perilaku hakim. Akan tetapi demi menunjang fungsi pasal ini tentu perlu diupayakan membangun sinergi pengawasan hakim baik melalui kontrol intern yang dilakukan Mahkamah Agung maupun kontrol ekstern yang dilakukan Komisi Yudisial. Oleh karena itu, demi mengoptimalkan implementasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial ini khususnya untuk mencegah konflik atau ketegangan dalam melaksanakan fungsi pengawasan maka dianggap perlu membangun sinergi pengawasan antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial dengan beberapa pemikiran sebagai berikut: a. Saling menghormati Komisi Yudisial harus menunjukkan penghargaan terhadap Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. Sebaliknya, Mahkamah Agung harus memandang Komisi Yudisial adalah mitra untuk mempercepat reformasi peradilan. b. Saling percaya Dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial, harus dibangun rasa saling percaya antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam melaksanakan fungsi pengawasan. Untuk itu kedepannya Komisi Yudisial dapat melakukan pendekatan secara kultural dengan Mahkamah Agung yakni keselarasan dalam menghayati pandangan sikap dan falasafah yang secara menyeluruh mendasari pentingnya transparansi dan akuntabilitas dari pengadilan. Sehingga ke depan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dapat membangun bersama sinergi pengawasan hakim dalam penerapan Undang-Undang Komisi Yudisial. 14

C. Teori Efektifitas Hukum 1. Pengertian Efektifitas Hukum

Efektifitas secara bahasa berasal dari kata efek yaitu pengaruh yang ditimbulkan oleh sebab, akibatdampak. didalam kamus Ilmiah Populer efektif 14 Rishan, Idul. Komisi Yudisial, Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan, Genta, 2013, h, 147. memiliki arti berhasil, sedangkan efektifitas menurut bahasa ketepatgunaan, hasil guna, menunjang tujuan. 15 Sedangkan Dalam Blacks Law Dictionary, effective ialah bentuk adjective yang apabila disandingkan dengan kata order, contract, dst. Berarti in operation of given time. bisa juga berarti performing whitin the range of normal and efected standarch atau juga productive achieving a result 16 . Efektifitas Hukum dapat diartikan sebagai keberhasilgunaan hukum, yang dalam hal ini berkenaan dengan keberhasilan pelaksanaan hukum itu sendiri. Bila berbicara efektifitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. efektifitas hukum dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis. 17 Berkaitan dengan realitas hukum menyatakan bahwa apabila seseorang mengatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal mencapai tujuannya, maka hal itu biasanya diukur apakah pengaruhnya berhasil mengatur sikap tindak. 18 dia juga menambahkan mengenai derajat efektifitas suatu hukum 15 Pius A. Partanto dan Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola. 1994, h. 128. 16 Hidayatullah, Skripsi Efektiftas Mediasi di pengadilan Agama Depok ”. Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, h. 47. 17 Zainudin Ali, Sosiologi Hukum , Jakarta: Sinar Grafika, 2007, h. 62. 18 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum Jakarta: Rajawali Press, 1983, h. 7. ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya. sehingga dikenal suatu asumsi, bahwa: 19 Taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator yang berfungsinya suatu sistem hukum. dan berfungsinya hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha mempertahankan dan melindung masyarakat dalam hidup. Dalam sosiologi hukum, masalah kepatuhan atau ketaatan hukum atau kepatuhan terhadap kaidah-kaidah hukum pada umumnya telah menjadi faktor yang pokok dalam menakar efektif tidaknya sesuatu yang ditetapkan dalam hal hukum ini. 20 Efektifitas hukum sedikit banyaknya ditentukan oleh sahnya hukum; artinya apakah hukum dibentuk dan dilaksanakan oleh orang-orang atau badan- badan yang berwenang, yakni kekuasaan yang diakui oleh masyarakat. 21

2. Bekerjanya Hukum

Efektifitas hukum baik secara etimologi maupun terminologi dan telah menjadi sebuah postulat hukum bahwa berfungsinya sebuah hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup. 19 Fariha, Tesis Efektifitas Penyelesaian Perkara Perceraian Melalui Sistem Sidang Keliling Di Pengadilan Agama Kabupaten Malang Jawa Timur, UIN Malang: Program Magister al- Ahwalsyakhsiyah, 2012, h. 17. 20 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar Bandung: Rajawali Press, 1996 h. 20. 21 Soerjono soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 1988 Cet. 5, h. 80. agar hukum dapat berfungsi dalam masyarakat secara benar-benar, harus memenuhi tiga unsur law of life, yakni berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Pada realisasinya tidak semudah itu, karena utuk mengejar berfungsinya hukum yang benar-benar merefleksi dalam kehidupan masyarakat sangat bergantung pada usaha-usaha menanamkan hukum, reaksi masyarakat dan jangka waktu menanamkan ketentuan hukum tersebut secara efektif. 22

3. Teori Efektifitas

Di Negara hukum, berlaku efektifnya sebuah hukum menurut Bustanul Arifin apabila didukung oleh tiga pilar pokok, yaitu: 23 a Lembaga atau Penegak hukum yang berwibawa dan dapat diandalkan, b Peraturan hukum yang jelas dan sistematis, c Kesadaran hukum masyarakat tinggi. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penegakan hukum, atau dapat dikatakan efektifnya sebuah penegakan hukum dilandaskan beberapa faktor, antara lain: 24 a Faktor Hukum 22 Fariha, Tesis Efektifitas Penyelesaian Perkara Perceraian Melalui Sistem Sidang Keliling Di Pengadilan Agama Kabupaten Malang Jawa Timur, UIN Malang: Program Magister al- Ahwalsyakhsiyah, 2012, h.19-20 23 Ibid, h. 17-18. 24 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007 h. 5. Masalah-masalah yang terjadi terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang disebabkan karena: 25 1 Tidak sesuai dengan asas-asas berlakunya undang-undang, 2 Belum adanya peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang, 3 Penafsiran undang-undang yang kurang relevan dan penerapannya diakibatkan oleh ketidakjelasan arti kata-kata undang-undang. b Faktor Penegak Hukum Yaitu pihak-pihak yang membentuk ataupun menerapkan hukum, yang dimaksud dengan penegakan hukum dibatasi pada kalangan yang secara langsung berkecimpung didalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement akan tetapi juga peace maintenance. kalangan- kalangan tersebut seperti mereka yang bertugas dibidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, keadvokatan dan pemasyarakatan. 26 c Faktor Sarana atau Fasilitas Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. sarana atau fasilitas tersebut, antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. Apabila hal-hal tesebut tidak terpenuhi maka mustahil 25 Ibid, h. 17-18. 26 Ibid, h. 19.