lembaga yang mampu menyaring filter pengaduan tersebut maka akan sangat mengganggu konsentrasi hakim dalam setiap pekerjaannya. Maka Komisi Yudisial
hadir sebagai pengawas eksternal dan media penerima pengaduan-pengaduan tersebut dengan meneliti terlebih dahulu pengaduan tersebut.
Dalam menjalankan fungsinya, komisi Yudisial berkiblat pada Pasal 40 ayat 1 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
yaitu melakukan pengawasan eksternal untuk menegakkan kehormatan dan menjaga keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Hal ini semakin
dipertegas dalam ayat 2 bahwa Komisi Yudisial harus tetap menjaga agar kode etik hakim tetap terpatri dalam diri para hakim. Jika terdapat pelanggaran kode
etik, maka komisi yudisial harus memeriksanya terlebih dahulu lalu membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi kepada Mahkamah Agung dalam
hal penjatuhan sanksi terhadap hakim yang telah melanggar kode etik. Masalah yang muncul kembali ialah jika tidak adanya koordinasi yang
baik antara Komisi yudisial dan Mahkamah Agung dalam hal pengawasan menyebabkan saling tumpah tindih serta gengsi berlebih. Hal ini berdampak ketika
masuk rekomendasi dari Komisi Yudisial ke Mahkamah Agung, terkadang tidak diindahkan sama sekali. Sehingga laporan hasil pemeriksaan tersebut tidak
ditindak lanjuti. Hal inilah yang mengakibatkan kekacauan sistem pengawasan bersama.
Jika tak ada kordinasi serta kerjasama yang baik maka sampai kapanpun akan sangat susah untuk menciptakan lembaga pengadilan yang bersih dan
beretika jika masing-masing dari para pengawas memiliki ego masing-masing, akibatnya pun akan sangat kompleks. Maka salah satu bentuk perjuangan
merekonstruksi sistem pengawasan terletak pada pembahasan Rancangan Undang- Undang Komisi Yudisial. Mari kita berharap pembahasan Rancangan Undang-
Undang Komisi Yudisial berisi terobosan pengawasan yang baru dan progresif.
26
26
Muhammad Fhadil, Menjelajahi Sistem Pengawasan Hakim, Artikel di akses pada tanggal 15 Januari 2014 dari
http:muhammadfadhilpermahi.blogspot.com201212menjelajahisistempengawasan -hakim.html.
41
BAB III HUBUNGAN DAN KERJASAMA KOMISI YUDISIAL DALAM
PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN HAKIM DENGAN KEKUASAAN KEHAKIMAN
A. Mekanisme Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial dalam
Mengawasi Hakim
Pengawasan perilaku hakim diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial sebagaiman diamanahkan oleh konstitusi
yang tertuang dalam pasal 24 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Ketentuan pengawasan perilaku hakim dalam Undang-Undang
Nomor 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial diatur dalam lima pasal yaitu pasal 13 huruf b, pasal 20, pasal 21, pasal 22, dan pasal 23. Beberapa pasal
tersebut diatur mengenai fungsi kontrol ekstern dalam menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan menjaga perilaku hakim.
1
Adanya kewenangan pengawasan Komisi Yudisial merupakan fungsi penting dalam menunjang independensi peradilan dengan menguatkan kinerja
pengawasan fungsional intern yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Dalam pasal 21 Undang-Undang Komisi Yudisial secara
terminologis hakim yang dimaksud adalah Hakim Agung dan Hakim pada badan
1
Rishan, Idul. Komisi Yudisial “Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan”,
Jakarta: Genta Press, 2013, h. 89.
peradilan di semua lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung serta Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam konstitusi . untuk
kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap
hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung danatau Mahkamah Konstitusi.
2
Mekanisme pengawasan Komisi Yudisial dalam melaksanakan kontrol ekstern diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang
Komisi Yudisial yaitu sebagai berikut: 1.
Komisi Yudisial menerima laporan masyarakat danatau informasi tentang dugaan pelanggaran Kode etik danatau Pedoman Perilaku Hakim.
2. Komisi Yudisial meminta keterangan atau data kepada Badan Peradilan
danatau Hakim. 3.
Komisi Yudisial melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim.
4. Komisi Yudisial memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga
melanggar kode etik perilaku hakim. 5.
Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung danatau Mahkamah Konstitusi, serta tindakannya
disampaikan kepada Presiden dan DPR. Dalam hal pengawasan perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai
berbagai hambatan setelah wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan
2
Ibid, h. 90-91.
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim diterjemahkan dalam UU Nomor 22 Tahun 2004 hanya sebatas memanggil, memeriksa hakim dan
memberikan rekomendasi. Apalagi setelah permohonan sebanyak 31 orang hakim agung untuk menghapuskan beberapa pasal dalam UU Nomor 22 Tahun 2004
dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
3
Beberapa penguatan kewenangan Komisi Yudisial terkait dengan pengawasan perilaku hakim dalam Undang-Undang Revisi
4
ini: 1. Pengawasan Etika dan Perilaku Hakim
5
a. Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim b. Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran kode etik
danatau pedoman perilaku hakim. c. Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan
pelanggaran kode etik danatau pedoman perilaku hakim. d. Memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran kode etik danatau
pedoman perilaku hakim. e. Mengambil langkah hukum danatau langkah lain terhadap orang
perseorangan, kelompok orang dan atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluruhan martabat hakim.
3
Ibid. h. 106-107.
4
Lihat UU No. 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
5
Lihat pasal 20 UU No. 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisal.
Perbandingan dengan ketentuan yang lain, bahwa dalam revisi Undang-Undang Komisi Yudisial sudah dijabarkan dalam beberapa turunan
kegiatan yang menegaskan fungsi pengawasan Komisi Yudisial. Hal ini dapat dimaknai sebagai jawaban atas ketidakpastian hukum yang dijadikan
Mahkamah Konstitusi sebagai dasar untuk menganulir beberapa ketentuan dalam Undang-Undang sebelumnya.
2. Penyadapan
6
Untuk mendukung dan memperkuat pelaksanaan tugas yang bersifat refresif
7
dapat meminta bantuan aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran
kode etik danatau pedoman perilaku hakim. Penyadapan ini merupakan kewenangan baru bagi Komisi Yudisial dalam menjalankan fungsi
pengawasannya. Revisi Undang-Undang ini, Komisi Yudisial tidak memiliki kewenangan menyadap telepon hakim secara langsung. Komisi Yudisial hanya
dapat meminta bantuan aparat penegak hukum dari lembaga KPK, Kepolisian dan kejaksaan yang memiliki kewenangan tersebut karena mengingat Komisi
Yudisial bukanlah lembaga penegak hukum dalam kapasitas yang pro-justicia.
8
6
Lihat pasal 20 ayat 1 huruf d sampai dengan huruf e dan ayat 3 UU No. 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisal.
7
Komisi Yudisial mempunyai hak dalam menetukan dan menilai hakim yang melakukan pelanggaran terhadap etika dan perilaku hakim yang dianggap dapat mencedrai kehormatan, keluhuran
dan martabat hakim.
8
Rishan, Idul. Komisi Yudisial “Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan”, h.
109-110.
3. Rekomendasi Sanksi Pelaksanaan sanksi sering terjadi kontroversi, sekarang ditegaskan
dalam Undang-Undang. Jika putusan Komisi Yudisial di diamkan saja dalam waktu 60 hari, hal itu otomatis berlaku dan wajib dilaksanakan Mahkamah
Agung. Dahulu memang harus ditentukan oleh Mahkamah Agung, sekarang tidak lagi. Jadi, ketika Komisi Yudisial menjatuhkan rekomendasi sanksi bagi
hakim, Mahkamah Agung harus mengikuti. Jika rekomendasi tersebut tidak dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dalam waktu 60 hari, maka rekomendasi
tersebut otomatis berlaku.
9
4. Sanksi Terperinci Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial
mengatur sanksi lebih variatif yaitu: a
Sanksi ringan, berupa teguran lisan, teguran tertulis dan pernyataan tidak puas secara tertulis.
b Sanksi sedang, yaitu penundaan kenaikan gaji berkala paling lama satu
tahun, penurunan kenaikan gaji berkala paling lama satu tahun, penundaan kenaikan pangkat paling lama satu tahun dan hakim non palu paling lama
enam bulan., dan, c
Sanski berat, yaitu pembebasan dari jabatan struktural, hakim non palu lebih dari enam bulan sampai dengan dua tahun, pemberhentian sementara,
9
Ibid, h. 111.