Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial dalam Mengawasi Hakim

independen yang keberadaannya tidak di internal lembaga peradilan tersebut dan keanggotaannya benar-benar independen. Komisi yang independen itu bentuk oleh undang-undang, sehingga kewenangan dan kekuatan putusan yang dikeluarkan oleh Komisi ini diharapkan akan lebih independen dan tidak pernah mempunyai masalah internal dengan hakim-hakim yang ada. Dengan demikian, kewenangan komisi ini jauh lebih tinggi dan lebih kuat dari Irjen dan juga jauh lebih kuat dari Dewan Kehormatan Hakim yang ada pada waktu itu. Sementara itu terkait apakah Komisi Yudisial sebagai ordinary organ atau supporting organ dalam pandangan penulis tidak terlalu relevan diperdebatkan. Pertimbangannya, UUD 1945 tidak lagi menggunakan pembagian kekuasaan secara vertikal semata sebagaimana dirumuskan dalam UUD 1945 Pra-mandemen. UUD 1945 Pasca Amandemen sebagaimana telah dijelaskan pada Bab sebelumnya telah menganut pemisahan kekuasaan dengan mekanisme checks and balance. Atau dengan meminjam terminologi Arthur Mass, UUD 1945 menganut pembagian kekuasaan, yaitu capital division of power untuk pengertian yang berada pada garis horisontal dan bersifat fungsional, dan territorial division of power untuk pengertian yang vertikal dan bersifat kewilayahan atau kedaerahan. Posisi Komisi Yudisial dalam terminologi tersebut masuk dalam ranah capital divission of power, yang dengan demikian posisi Komisi Yudisial dengan lembaga negara lainnya seperti Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK dalam posisi horisontalsederajat dan hanya dipisahkan secara fungsi.

b. Wewenang Pengawasan

Kehadiran Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal mendapat justifikasi Pasal 24B hasil perubahan Ketiga UUD 1945 yang salahsatunya berfungsi menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. „menjaga berarti preventif’ sementara „menegakkan’ berarti represifkorektif. Hanya saja wewenang pengawasan Komisi Yudisial oleh Dewan Perwakilan Rakyat direduksi melalui UU No 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Dalam Bab III Pasal 13 UU No.22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial diatur mengatur bahwa, wewenang pengawasan Komisi Yudisial hanya „menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim’. Selain itu, UU No 22 Tahun 2004 juga menjadi titik lemah terkait dengan wewenang pengawasan Komisi Yudisial karena produk pengawasan akhir Komisi Yudisial hanya berupa rekomendasi yang sifatnya tidak mengikat, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat 1 huruf e yang menyebutkan bahwa “ dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial:….e. membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung danatau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.”. Ditambah lagi tidak ada klausul yang jelas bagaimana konsekwensinya jika Mahkamah Agung tidak mengindahkan rekomendasi yang diberikan oleh Komisi Yudisial.