Di sisi lain, Komisi Yudisial meminta tidak hanya untuk menjaga integritas individu, tapi juga diperlukan upaya untuk mengubah sistem
kepemimpinan. Lebih penting lagi, kemampuan Komisi Yudisial untuk menggabungkan kolaborasi dalam mendukung anggota pemerintah dan legislative
dalam memperbaiki UU No. 242002 perlu dipertimbangkan.
B. Efektifitas Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial dalam
Mengawasi Hakim dan Pengaruhnya terhadap Kekuasaan Kehakiman
Menurut Mas Achmad Santosa, bahwa lemahnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1 kualitas dan integritas
pengawas yang tidak memadai, 2 proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan, 3 belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk
menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya ketiadaan akses, 4 semangat membela sesama korps esprit de corps yang mengakibatkan
penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang
selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu, dan 5 tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk
menindak-lanjuti hasil pengawasan. Beranjak dari pendapat di atas, menunjukkan bahwa tidak efektifnya
fungsi pengawasan internal badan peradilan pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu adanya semangat membela sesama korps esprit de corps dan
tidak adanya kehendak yang sungguh-sungguh dari pimpinan badan peradilan untuk menindaklanjuti hasil pengawasan internal terhadap hakim, sehingga
membuka peluang bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dan kode etik. Oleh karena itu, dibutuhkan kehadiran suatu lembaga khusus yang
menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim. Lembaga khusus tersebut adalah Komisi Yudisial.
Dibentuknya Komisi Yudisial pada perubahan ke 3 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan reaksi terhadap
kegagalan sistem peradilan untuk menciptakan peradilan yang lebih baik. Kegagalan sistem peradilan tersebut menyangkut banyak aspek mulai dari aspek
kelembagaan, aspek substansi dan aspek budaya hukum. Aspek kelembagaan antara lain mencakup sub aspek pengawasan baik pengawasan administrasi, teknis
yudisial maupun perilaku hakim. Kegagalan sistem pengawasan sebagaimana tersebut diatas yang
kelihatannya belum dapat diatasi oleh Mahkamah Agung, namun dilain pihak pada waktu yang bersamaan juga dilaksanakan konsep peradilan satu atap one roof
system yang justru menimbulkan kekhawatiran terjadinya monopoli kekuasaan kehakiman di Mahkamah Agung.
a. Kedudukan
Kedudukan Komisi Yudisial bila dilacak dalam proses pembahasan UUD 1945, menunjukkan bahwa kedudukan Komisi Yudisial adalah lembaga negara
mandiri yang terlepas dari intervensi kekuasaan manapun dalam menjalankan
tugasnya. Komisi Yudisial dirancang untuk menciptakan checks and balances dalam sistem kekuasaan kehakiman melalui wewenang pengangkatan dan
pengawasan hakim. Penulis berpendapat, bila dilihat dalam proses pembahasan UUD 1945
mengenai Komisi Yudisial terlihat bahwa apa yang dimaksud „mandiri’ dalam Pasal 24B memang menjadi perdebatan tersendiri. Bahkan pembahasan
mengenai itu pada Masa Perubahan Kedua masih menjadi pembahasan yang alot, apakah Komisi Yudisial menjadi lembaga yang berada dalam struktur
internal Mahkamah Agung atau sebagai lembaga mandiri yang terlepas dari struktur Mahkamah Agung. Meskipun pada akhirnya muncul rumusan
sementara bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga mandiri yang terlepas dari Mahkamah Agung.
Pada Masa Perubahan Ketiga perdebatan mengenai Komisi Yudisial sebagai lembaga negara mandiri semakin menemukan titik terang. Apa yang
dimaksud „mandiri’ adalah terlepas dari struktur lembaga lain utamanya Mahkamah Agungbadan peradilan dan juga independen dalam arti bebas dari
pengaruh lembaga-lembaga manapun. Sebagaimana terlihat dari pendapat Hamdan Zoelva pada rapat Pleno PAH I BP MPR ke-35, 25 September 2001,
dengan agenda Pembahasan Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman,sebagai berikut:
Hal yang dikhawatirkan apabila para hakim adalah tidak bisa memberikan putusan tanpa berpihak. Oleh karena itu dibutuhkan satu lembaga, satu komisi
independen yang keberadaannya tidak di internal lembaga peradilan tersebut dan keanggotaannya benar-benar independen. Komisi yang independen itu
bentuk oleh undang-undang, sehingga kewenangan dan kekuatan putusan yang dikeluarkan oleh Komisi ini diharapkan akan lebih independen dan tidak pernah
mempunyai masalah internal dengan hakim-hakim yang ada. Dengan demikian, kewenangan komisi ini jauh lebih tinggi dan lebih kuat dari Irjen dan juga jauh
lebih kuat dari Dewan Kehormatan Hakim yang ada pada waktu itu. Sementara itu terkait apakah Komisi Yudisial sebagai ordinary organ
atau supporting organ dalam pandangan penulis tidak terlalu relevan diperdebatkan. Pertimbangannya, UUD 1945 tidak lagi menggunakan
pembagian kekuasaan secara vertikal semata sebagaimana dirumuskan dalam UUD 1945 Pra-mandemen. UUD 1945 Pasca Amandemen sebagaimana telah
dijelaskan pada Bab sebelumnya telah menganut pemisahan kekuasaan dengan mekanisme checks and balance. Atau dengan meminjam terminologi Arthur
Mass, UUD 1945 menganut pembagian kekuasaan, yaitu capital division of power untuk pengertian yang berada pada garis horisontal dan bersifat
fungsional, dan territorial division of power untuk pengertian yang vertikal dan bersifat kewilayahan atau kedaerahan.
Posisi Komisi Yudisial dalam terminologi tersebut masuk dalam ranah capital divission of power, yang dengan demikian posisi Komisi Yudisial
dengan lembaga negara lainnya seperti Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK dalam posisi horisontalsederajat dan hanya dipisahkan secara fungsi.