1. Kemenangan dalam Pemilu 1988 Ikut Pencalonan menjadi Perdana Menteri

lawan politiknya Nawaz Sharif.

b. 1. Kemenangan dalam Pemilu 1988

Dalam Pemilu November 1988 tiga pesaing utama segera muncul yaitu PPP, IJI, dan MQM. IJI pimpinan Nawaz Sharif adalah partai aliansi yang terdapat dari beberapa partai sayap kanan, dengan anggota yang terbesar adalah PML. IJI mengumumkan jaminan atau kesanggupan untuk meneruskan kebijakan Zia, terutama melanjutkan kebijakan Islamisasi dalam bidang ekonomi dan kemasyarakatan. MQM pimpinan Altaf Hussain adalah partai politik baru untuk memajukan kedudukan kaum Muhajir di bidang ekonomi dan politik, yang merupakan para pengungsi dari Delhi Utar Pradesh, Bihar dan Madya Pradesh ketika India terpecah pada tahun 1947. PPP pimpinan Benazir Bhutto berkampanye untuk mengadakan pembaharuan demokrasi termasuk peninjauan kembali terhadap Amandemen ke-8 yang tercantum dalam konstitusi 1973 yang mana telah memperkuat kedudukan Presiden atas Legislatif. 67 PPP secara nyata mendapat manfaat dari sikap Benazir Bhutto yang membangkitkan kembali kenangan tentang ayahnya serta berjuang untuk perubahan. Dia mendapat manfaat karena popularitasnya di masyarakat, setelah 11 tahun di bawah pemerintahan militer, dan penampilan figur pemegang tampuk kekuasaan yang berbeda. IJI, bagaimanapun tidak mempunyai seoang figur yang populer. Tidak satupun para calon yang diunggulkan pada waktu itu, dapat menyaingi kharisma dan dinamisme Benazir Bhutto. Pemilu untuk Majelis Nasional diselenggarakan tanggal 16 November 1988. pemilu tersebut dilukiskan oleh para pengamat asing, sebagai pemilu yang dilaksanakan 67 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 61-62. secara terbuka. Pemilu ini untuk mengisi 237 kursi di Majelis Nasional, dengan perincian 207 kursi diperebutkan oleh partai politik dan kelompok independen sedangkan 30 kursi tambahan diberikan bagi 10 kursi untuk politikus non Islam dan 20 kursi untuk kaum wanita. 68 Hasil dari pemilu mengejutkan ketiga partai tersebut, PPP tidak mencapai hasil yang diharapkan, khususnya daerah Punjab. PPP mendapat 92 kursi dari 207 kursi yang diperebutkan. Hal ini bukan merupakan kemenangan mutlak meskipun PPP merupakan satu-satunya partai yang mempunyai kursi di keempat propinsi. Sedangkan IJI hanya mencapai hasil gemilang di daerah Punjab, dengan memperoleh total 54 kursi. Sementara itu MQM meraih kemenangan di Karachi dan Hyderebad, yaitu 2 kota terbesar di propinsi Sindh dengan memperoleh 13 kursi dan sisanya dikuasai oleh partai-partai kecil. lihat tabel 1 Tabel 1. Hasil Pemilihan Umum Anggota Majelis Nasional Bulan November 1988 69 NO. NAMA PARTAI PEROLEHAN KURSI 1. Pakistan People’s Party PPP 92 kursi 2. Islami Jamhoori Ittihad IJI 54 kursi 3. Muhajir Qaumi Movement MQM 13 kursi 4. Kelompok Independen 30 kursi 5. Partai Kecil 18 kursi 68 “Sekilas Perjalanan Politik Bhutto”, KOMPAS, 28 Desember 2007. h. 4. 69 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 63. TOTAL 207 kursi Dari tabel 1 terlihat bahwa PPP mendapat suara terbanyak. Dalam pemilihan di propinsi Sindh, Benazir Bhutto memperoleh suara terbanyak. Sementara IJI dan partai- partai kecil lainnya sama sekali tidak memperoleh suara di propinsi Sindh. Benazir Bhutto yang orang Sindh tentunya sangat dudukung oleh masyarakat Pakistan yang cenderung memilih PPP sebagai partainya. Hal ini jelas sangat berperan bagi menangnya Benazir Bhutto dalam pemilu 1988, karena jumlah penduduk di propinsi Sindh adalah nomor dua terbesar di Pakistan. Selain itu ia mampu memanfaatkan nama besar ayahnya, Ali Bhutto untuk menarik simpati masyarakat Pakistan lainnya yang berasal dari etnis yang berbeda dengannya, khususnya masyarakat pedesaan agar mendukungnya. Karena kebijakan-kebijakan di masa pemerintaha Ali Bhutto banyak mengutamakan kepentingan masyarakat bawah, dengan program “Sosialisme Islamnya”. 70 Ternyata strategi tersebut memberikan hasil yang menggembirakan dimana PPP berhasil menang pula di Punjab, yang merupakan tempat saingannya, Nawaz Sharif. Bahkan dengan semangat “Bhutoisme” pula, Benazir Bhutto berusaha bekerja sama dengan kaum Islam Populer yang dipimpin oleh kyai. Kyai ini berperan sebagai patron, dan dengan adanya kerja sama tersebut diharapkan Benazir Bhutto akan dapat menguasai kliennya, yaitu masyarakat pedasaan. Pada masa pemerintahan Ali Bhutto, para Kyai tersebut sangat mendukungnya di mana meskipun Ali Bhutto melakukan kebijakan Land Reform, namun kebijakannya tidak berlaku bagi para kyai. Kyai tersebut malah diberikan bantuan tanah wakaf. Pemerintah juga ikut memelihara tempat-tempat keramat leluhur mereka dan tetap melindungi tanah mereka. Dengan latar belakang 70 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. ix. tersebut, tentunya para Kyai cenderung mendukung Benazir Bhutto dengan partainya PPP sebagai pewaris kebijakan Ali Bhutto. Keberhasilan Benazir Bhutto untuk meraih suara moyoritas dalam pemilu 1988, tak lepas karena ia juga melakukan pendekatan kepada para wanita Pakistan dengan usahanya memberikan pengertian Islam dari segi sejarah. Ia mengatakan bahwa ratu Sheba pernah berkuasa pada masa pra Islam, Yaman pernah dikuasai oleh beberapa wanita Muslim, seperti malika Urwa yang berkuasa hampir 50 tahun pada abad ke-11. 71 Bahkan sebelum Benazir Bhutto muncul dalam politik Pakistan , telah ada Fatimah Jinnah yang memimpin partai Liga Muslim dan pernah mencalonkan diri dalam pemilihan Presiden melawan Jenderal Ayub Khan pada tahun 1964. 72 dengan demikian Benazir Bhutto dapat mengatakan bahwa sebenarnya wanita boleh menjadi pemimpin, sehingga kaum wanita Pakistan mayoritas masih buta huruf mendukungnya dan menganggap Benazir Bhutto sebagai generasi baru yang memperjuangkan emansipasi wanita Pakistan. 73 PPP tidak hanya mmperoleh suara mayoritas di propinsi Sindh, melainkan juga di propinsi Punjab. Padahal IJI dipimpin oleh Nawaz Sharif yang berasal dari Punjab. Hal ini dikarenakan Nawaz Sharif menganggap dirinya sebagai penerus kebijakan Zia ul-Haq. Sementara rakyat sudah bosan dengan cara kepemimpinan Zia ul-Haq yang keras dan represif. Saat itu rakyat berharap akan adanya suatu pemerintahan sipil yang demokratis. 71 Budi Winarno, “Wanita Berkuasa di Dunia”, artikel diakses pada 27 Februari 2007 dari http:search.yahoo.comsearch;_ylt=A0oGklLNMRlJBfEAPutXNyoA?p=pemilu+di+pakistan+1988y=S earchfr=moz2ei=UTF-8 72 Azaz Ahmad, Islamic Modernism 1957-1964, bab II London: University Press, 1992, h. 209. 73 Anita M Weiss, “Benazir Bhutto and The Future of Women in Pakistan”, ASIAN SURVEY. Vol. XXX No 5 , May 1990, h 445. Oleh karena itu, mereka cenderung memilih PPP yang dipimpin oleh Benazir Bhutto dan menganggapnya sebagai simbol demokrasi di Pakistan. Dalam pemilihan itu, beberapa figur yang terkemuka dari periode Zia ul-Haq, termasuk mantan PM khan Junejo gagal untuk mendapatkan tempat di Majelis Nasional dalam pemilu 1988. Bahkan dalam pemilu itu , Benazir sendiri sukses merebut 3 kursi sekaligus di daerah pemilihan Larkana, Lahore, dan Karachi. Hal ini memang sah karena konstitusi Pakistan tak melarang seorang calon maju di beberapa daerah pemilihan sekaligus. Sebaliknya, IJI hanya berhasil meloloskan Nawaz Sharif, Ketua Menteri propinsi Punjab. Dengan demikian kesempatan Benazir untuk terpilih sebagai Perdana Menteri Pakistan semakin terbuka sehingga Benazir Bhutto pun disibukan untuk mencari dukungan dari kemenangan MQM dan partai-partai kecil lainnya di parlemen. Memang dari tabel 1 dapat dilihat bahwa PPP telah memperoleh suara mayoritas. Namun Benazir Bhutto belum dapat di pastikan tampil sebagai perdana menteri, karena partainya tidak memperoleh mayoritas mutlak 23 dari seluruh jumlah kursi parlemen atau setidaknya minimal 50+1. Untuk itu, ia harus berkoalisi dengan partai-partai lainnya. Sementara itu, kelompok-kelompok sosial, ekonomi dan para profesional yang dijuluki oleh Benazir Bhutto “kaum Islamabad” menjadi ragu sebelum meminta Benazir Bhutto untuk membentuk sebuah pemerintahan. Para birokrat sipil dan militer, pedagang dan industrialis besar serta kelas menengah mempunyai alasan untuk mengkhawatirkan kembalinya PPP. Mereka seluruhnya pernah menjadi korban kebijakan politik PPP yang serius pada masa pemerintahan ayahnya, Zulfikar Ali Bhutto. 74 Keadaan ini membuat mereka memakai Ishaq Khan sebagai pelindung. Benazir Bhutto kemudian menyetujui beberapa prasyarat yang ditetepkan oleh “kaum Islamabad” yaitu membiarkan urusan militer untuk ditangani oleh golongan militer, melanjutkan kebijakan Zia mengenai perang sipil yang berkelanjutan di negara tetangga Afghanistan. Membujuk IJI untuk bekerja sama di Punjab dan melaksanakan program penyesuaian struktur ekonomi, melanjutkan sikap pemerintah sementara yang telah bekerja sama dengan International Monetery Found IMF dan World Bank. Untuk menjamin bahwa kesepakatan itu ditepati, Benazir Bhutto juga telah menyetujui permohonan “kaum Islamabad” yang meminta agar partainya menjadikan Ishaq Khan sebagai presiden. Sepuluh hari kemudian, Benazir Bhutto pun berhasil menjadi Perdana Menteri setelah membujuk MQM untuk berkoalisi membentuk pemerintahan bersama. Bahkan PPP bekerja sama dengan IJI dan MQM untuk memilih Ghulam Ishaq Khan sebagai Presiden dan Benazir Bhutto pun akhirnya mengukir sejarah besar menjadi Perdana Menteri wanita pertama di sebuah negara mayoritas Islam pada abad Modern. 75 b. 2. Dua Puluh Bulan di bawah Pemerintahan Benazir Bhutto. Sampai awal Agustus 1988, tak seorang pun menduga bahwa Benazir Bhutto bakal secepat itu menjadi Perdana Menteri. Bukan karena popularitasnya ataupun bakatnya, tetapi saat itu Zia ul-Haq telah nemutuskan untuk “menyingkirkan” Benazir Bhutto dari partai PPP selama hidupnya serta melakukan segala cara untuk melaksanakan hal tersebut mulai dari menggantung ayahnya, yaitu Zulfikar Ali Bhutto, mengadakan 74 Shahid Javed Burki, “Current History”, h. 118. 75 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 71-72. pemilu tanpa partai pada tahun 1979 serta memperkuat kelompok-kelompok politik untuk melawan PPP. 76 Namun demikian manipulasi politik, penendasan dan pengawasan yang dilancarkan Zia ul Haq ternyata tidak dapat menghancurkan kharisma Ali Bhutto serta dukungan rakyat terhadap partainya , PPP dan Benazir Bhutto. Sekalipun ia masih muda, pernah mengalami pahitnya penjara dan pembuangan, Benazir Bhutto tetap aktif di dalam kegiatan-kegiatan politik sebagai pemimpin oposisi yang terkemuka dan terkenal blak- blakan selama 11 tahun, yang akhirnya telah membentuk kualitas pribadi kepemimpinannya. Ia berhasil menduduki jabatan Perdana Menteri dalam usia 35 tahun, tanggal 2 Desember 1988 dan merupakan wanita pertama yang menjadi Perdana Menteri di negara Pakistan. 77 Ia mengobarkan semangat demokrasi ke seluruh pelosok Pakistan. Dengan mengobarkan semangat demokrasinya itu, pamornya menanjak dan mendapat dukungan di mana-mana. Rakyat Pakistan mendukung pemerintahannya karena rakyat memang menghendaki suatu pemerintahan sipil, di mana rakyat sudah bosan diperintah rezim militer yang otoriter selama 11 tahun. Sejak awal pemerintahannnya pada bulan Desember 1988, sebenarnya sudah dilemahkan dengan kenyataan bahwa PPP hanya mempunyai sejumlah kecil kursi di Majelis Nasional dan diawasi oleh dua dari empat pemerintahan propinsi, yaitu Sindh dan NWFP. Hal ini sempat memberi kekhawatiran terhadap pendukungnya dan mengusulkan sebaiknya Benazir mempertahankan posisinya sebagai oposisi saja daripada mencoba untuk menjalankan pemerintahan dengan kondisi yang kurang baik. 76 Raul B. Rais, “PAKISTAN IN 1988: From Command to Conciliaton Politics”, ASIAN SURVEY, Vol XXIX , No. 2, February 1989, h. 204. 77 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 72. Setelah wafatnya Jenderal Zia ul Haq, kekuasaan selama satu dekade yang terdiri dari dua pusat kekuasaan, pola Diarchy, yaitu Presiden dan Perdana Menteri Presiden Zia ul Haq waktu itu sekaligus menjabat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata, selanjutnya digantikan oleh sebuah “Troika” di Pakistan. Jabatan Kepala Staf Angkatan Darat dan Presiden yang semula dipegang oleh Zia ul Haq, kemudian diisi oleh dua orang yang berbeda, Yaitu Jenderal Mirza Aslam Beg selaku pemimpin Angkatan Bersenjata dan Ghulam Ishaq Khan yang sejak tanggal 17 Agustus 1988 menjabat sebagai presiden sementara pun segera mengadakan pemilihan umum. Pemilihan umum yang dilakukan berdasarkan pada sistem partai akan dilaksanakan pada tanggal 16 November 1988 dan telah menciptakan sebuah pusat kekuasaan yang lain, yaitu Perdana Menteri. 78 Pergeseran dari pola Diarchy ke Troika ini semula diharapkan dapat membuka peluang bagi keluwesan sistem politik Pakistan. Secara teoritis adalah dimungkinkan bagi Perdana Menteri untuk berurusan dengan militer dan Presiden secara terpisah, dan jika dibutuhkan dapat mempermiankan satu terhadap lainnya. Namun kenyataannya, politik segitiga ini nantinya malah menimbulkan banyak masalah untuk Perdana Menteri. Selama menjalankan pemerintahannya, ia dihadapkan pada persoalan ketidakcocokannya dengan Presiden Ghulam Ishaq Khan dan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Mirza Aslam Beg. Padahal untuk melanggengkan suatu pemerintahan di negara Pakistan, seorang perdana menteri harus dapat menjalankan hubungan dan kerja sama yang baik dengan Presiden dan militer. Apabila gagal, hal tersebut dapat menyebabkan jatuhnya pemerintahan yang dipimpinnya. 78 Samina Yusman, “the Politics of Dismissal in Pakistan”, Asian Studies Review, Vol 17. No. 1, July 1993 h. 86. Sebenarnya sejak Benazir Bhutto tampil sebagai pemimpin Pakistan, rongrongan militer sudah terasa. Bahkan ia harus memberikan konsensi tertentu kepada Angkatan Bersenjata, termasuk ikut campurnya militer dalam menentukan anggaran pertahanan keamanan, tahun 19891990 misalnya anggaran Angkatan Bersenjata mencapai Rs. 51,77 milyar atau 36,9 dari anggaran tahun 19891990. Pemerintahan Benazir Bhutto yang semula ingin meningkatkan anggaran di bidang kesehatan dan pendidikan, namun karena meningkatnya ketegangan dengan India adalah mustahil untuk berdebat demi pengurangan anggaran pertahanan keamanan ketika anggaran pertahanan keamanan tahun 19901991 dipresentasikan. Benazir Bhutto dalam hal apapun merasa enggan untuk memotong terlalu besar pengeluaran untuk militer karena ketakutannya akan meningkatnya campur tangan dan atau terjadinya konflik dengan militer. Bersamaan dengan hal tersebut Angkatan Bersenjata juga ragu-ragu untuk menjatuhkan pemerintahan demokratis karena hal ini pasti akan membuat Amerika memotong anggaran bantuan militernya untuk Pakistan. Oleh karena itu pihak Angkatan Bersenjata masih mempertahankan sumber pendapatan dan pengaruhnya yang paling dibutuhkan, sementara itu menghindarkan campur tangannya di dalam kontroversi politik yang dirasanya paling cocok ditangani oleh kaum politisi sipil. Meskipun Angkatan Bersenjata waktu itu secara resmi mengakui kedaulatan sipil, tetapi pengaruhnya di dalam memformulasikan kebijakan luar negeri tetap besar. Dalam hal ini, Benazir Bhutto juga harus memberikan konsensi terhadap militer mengenai masalah Afghanistan, di mana ia harus melanjutkan kebijakan Zia ul-Haq dalam soal Afghanistan. Namun akhirnya ia melakukan juga kesalahan dengan memecat Letjen. Hamid Gul, seorang Kepala Dinas Intellegen yang merupakan salah satu arsitek kebijakan tentang Afghanistan. Hal ini menimbulkan ketidaksukaan militer dan Presiden terhadap Benazir Bhutto. 79 Militer semakin tidak senang pada Benazir Bhutto karena telah ikut campur dalam masalah intern militer, dengan tindakannya memperpanjang masa dinas sejumlah pejabat militer yang sudah pensiun. Pimpinan militer menilai hal itu sebagai usaha yang jelas- jelas ingin memecah belah Angkatan Bersenjata, dan menganggap langkah yang ditempuhnya sebagai upaya untuk menarik dukungan perwira yang dipromosokannya itu. 80 Hubungan Benazir Bhutto dengan militer semakin memburuk ketika pemerintahannya tidak dapat mengatasi masalah etnis yang muncul kembali sejak tanggal 9 Maret 1989, yaitu konflik antara etnis Muhajir yang merupakan warga imigran India yang berbahasa Urdu melawan Pathan Punjabi yang berasal dari Karachi Utara, akibat MQM memboikot sebuah harian lokal berbahasa Urdu yang sebelumnya menolak meliputi kegiatan Muhajir. 81 Kemelut etnis ini memang telah memaksa pemerintah untuk menerapkan larangan ke luar rumah. Para pemimpin etnis yang bentrok pun sebenarnya mengadakan pertemuan untuk membuat strategi bersama guna menghentikan pertumpahan darah. Namun kerusuhan justru kian buruk, bahkan merembet melibatkan etnis Sindh dan melebar ke kota Hyderabad dan kota kecil Sindh. Pertentangan antara etnis Sindh dengan 79 Dhurorudin Mashad, Pemilu di Pakistan 1990; Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih Kekuasaan, h. 80. 80 Muladi Mughni, “Doktrin Militerisme dan Jihadisme di Pakistan”, artikel diakses pada 12 Agustus 2008 dari, http:klikinter.blogspot.com2008_02_01_archive.html 81 Sebenarnya hubungan kedua etnis tersebut telah tegang sejak 1986, terutama akibat persaingan lapangan kerja, penjualan obat terlarang dan senjata. Bahkan, pada bentrokan tahun 1986 sekitar 150 orang telah menjadi korban. Dan sampai tahun 1989 korban akibat bentrokan kedua etnis tersebut telah mencapai lebih dari 500 orang. Muladi Mughni, “Doktrin Militerisme dan Jihadisme di Pakistan.” etnis Muhajir yang telah mendominasi lapangan pekerjaan di propinsi Sindh. Konflik etnis pada masa pemerintahan Benazir Bhutto memuncak karena Benazir tidak memenuhi janjinya terhadap kaum Muhajir untuk antara lain: memberikan pekerjaan pada etnis Muhajir yang menganggur sebagai akibat dari sistem quota yang telah diberlakukan sejak Ali Bhutto; membebaskan para tahanan MQM yang di tahan sejak pemerintahan Zia ul Haq, dan janji Benazir Bhutto untuk membagi kekuasaan secara adil sebagaimana yang telah dijanjkan sewaktu pembentukan koalisi. 82 Kendati Angkatan Darat telah melihat kerusuhan ini sebagai persoalan serius, namun anehnya justru Benazir Bhutto terlihat tenang dan melukiskan kerusuhan tersebut hanya sebagai “pemberontakan kecil”. Benazir Bhutto hanya memerintahkan militer untuk mengirimkan kendaraan lapis baja dan memberlakukan jam malam sebagai upaya untuk meredakan konflik etnis tersebut, namun tindakan ini hanya bersifat sementara dan setelah militer pergi ternyata konflik antar etnis berlanjut lagi. 83 Sehingga Jenderal Aslam Beg atas inisiatifnya sendiri mengadakan pertemuan dengan beberapa pejabat, termasuk ketua Menteri propinsi Sindh, yang disusul pula dengan pembicaraan Aslam Beg bersama sejumlah perwira di Markas Besar Angkatan Darat di Karachi. Dalam kesempatan itu, Aslam Beg menyebut betapa kerusuhan itu sudah sedemikian parahnya sehingga tidak saja perlu menghukum beberapa pelaku kejahatan, melainkan perlu pula segera diambil suatu prakarsa politik untuk menyelesaikan berupa pengambilan secara langsung kekuasaan di Sindh oleh pemerintah federal dan memberlakukan Undang-Undang Darurat terbatas. 82 Charles H. Kennedy, “Policies of Ethnic Preference in Pakistan”, ASIAN SURVEY, vol. XII, NO. 6 , September 1989, hal. 695. 83 Muhammad Farouk, “Pengaruh Militer di Pakistan”, artikel diakses pada 28 meret 2008 dari, http:www.media-indonesia.comsubscribelogin.asp?mcid= Ternyata Benazir Bhutto mengabaikan usulan Aslam Beg dan malah menuduh militer dengan cara bermaksud untuk kembali berperan dalam politik. Benazir Bhutto takut tindakan ini akan mengandung semacam Undang-Undang Militer yang dapat menimbulkan tindakan intimidasi. 84 Akhirnya kerusuhan menjadi semakin parah dan bahkan pada tanggal 1 Mei 1989 pimpinan MQM, Altaf Hussein menarik para menterinya dari pemerintahan Benazir Bhutto dan dengan demikian menandai akhir dari koalisi pemerintahan MQM-PPP. 85 Sehingga MQM kemudian berpindah haluan ke Combined Opposition Party COP. Masalah utama yang selalu dihadapi oleh propinsi Sindh di bidang keamanan dan ketertiban memang mempunyai dampak yang luas, karena tidak hanya mempengaruhi sitiasi politik di propinsi Sindh itu sendiri, tetapi juga dalam lingkup nasional. Penyebabnya masih bersifat traditional, yaitu pertentangan antar kelompok, suku dan ras. Namun faktor yang paling dominan mempertajam pertentangan itu sehingga mempunyai dampak nasional adalah pertentangan antar partai MQM dengan PPP. Pengikut-pengikut kedua faksi tersebut selalu berbenturan satu sama lainnya, yang mengakibatkan jatuhnya korban dari kedua pihak. MQM dengan didukung oleh IJI, bersama-sama menjadikan masalah keamanan dan ketertiban propinsi Sindh ini sebagai isu nasional untuk kepentingan politiknya. Jenderal Mirza Aslam Beg berpendapat bahwa masalah keamanan dan ketertiban masyarakat hanya akan dapat diselesaikan secara tuntas, apabila militer diberi wewenang melebihi ketentuan yang tercantum dalam konstitusi. Namun Benazir Bhutto berkeberatan terhadap tuntutan militer tersebut, karena khawatir banyak dari pengikut- 84 84 Muhammad Farouk, “Pengaruh Militer di Pakistan.” 85 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 80. pengikut PPP yang terlibat kerusuhan akan dimasukkan dalam tahanan, apalagi pimpinan Angkatan Darat adalah Muhajir. Kalau hal ini sampai terjadi akan merugikan posisi PPP. Militer Pakistan sebenarnya tidak ingin orang sipil berkuasa di negeri itu. Jika Benazir tampil sebagai Pemimpin, hal itu tidak seluruhnya karena kharisma keluarga Bhutto atau pesona pribadi Benazir Bhutto, tetapi karena militer tidak siap untuk mengambil alih kekuasaan ketika Zia ul-Haq tewas dalam kecelakaan pesawat tanggal 17 Agustus 1988. Aslam Beg yang tampil pada masa transisi itu tidak mampu menghimpun kekuasaan dengan segera, sehingga secara artifisial mekanisme demokrasi sempat berjalan sampai tampilnya Benazir dalam pemilu 16 November 1988. tetapi ketika usaha konsolidasi berjalan dua tahun, militer sudah kembali merasa solid dan mulai merongrong pemerintahan demokratis pimpinan Benazir. Aslam Beg juga pada akhirnya telah mempengaruhi keputusan Benazir Bhutto untuk mengganti Ketua Menteri propinsi Sindh yaitu Qaim Ali Shah dengan Aftab Shaban Mirani. 86 Dari uraian tersebut, terlihat bahwa peranan militer sangat kuat di Pakistan. Benazir pun bisa naik ke posisi puncak pada akhir tahun 1988 tak lepas karena persetujuan para Jenderal Pakistan. Namun ketika dia tidak bisa mengatasi masalah- masalah yang terjadi di dalam negeri Pakistan, maka militer menarik kembali persetujuannya. Militer menganggap pemerintahan sipil di bawah pimpinan Benazir Bhutto telah gagal dalam mengatasi konflik etnis di Pakistan. Bahkan militer kemudian ikut mendeskriditkan PPP dengan tuduhan melakukan koripsi dan penyalahgunaan kekuasaan, sehubungan dengan adanya beberapa kasus mengenai ketidakbecusan kabinetnya serta korupsi dalam pemerintahan Benazir Bhutto. Sebagai contoh, pada bulan 86 Widiyartono R, “Jalan Darah Keluarga Benazir Bhutto Ayah digantung, Dua Adik ditembak Mati”, data diakses pada 16 Oktober 2008, dari http:www.wawasandigital.comindex.php?option=com_contenttask=viewid=15749Itemid=28 Desember 1989, Begum Rehan Sarwar, menteri negara urusan peranan wanita meresmikan sebuah pusat pelatihan komputer di Islamabad. Tetapi Benazir kemudian mengatahui bahwa pusat pelatihan tersebut telah bubar hanya dalam waktu 24 jam. Hal tersebut dikarenakan komputer-komputer yang ada di sana ternyata hanya disewa khusus untuk acara pembukaan tersebut. Lalu di bulan yang sama, menteri perdagangan ditemukan telah mengadakan negoisasi kontrak dagang yang sangat menguntungkan dengan sebuah perusahaan Abu Dhabi yang tidak dikenal sebelumnya yang memberi hak monopoli bernilai USD 30 Juta pertahunnya kepada perusahaan ekspor beras Pakistan untuk mengekspor beras ke negara Emirat Arab UAE. Paling tidak perjanjian ini merupakan penyalahgunaan kewenangan. 87 Dari awal pemerintahannya, Benazir Bhutto memang dinilai tidak memilih orang-orang yang tepat dalam anggota kabinet pemerintahannya. Ia hanya mempertahankan Sahebzada Yaqub Khan yang pernah menjabat sebagai menteri luar negeri dari pemerintahan sebelumnya. Tetapi rekan-rekan kabinetnya yang lain tidak mempunyai pengalaman dinas. Walaupun kabinetnya tercatat sebagai salah satu yang terbesar, namun dapat dikatakan bahwa tidak ada politisi yang berbobot dalam kabinet. Sementara itu, pihak oposisi yang ditulangpunggungi IJI cukup berhasil mengekspor isu yang di lontarkan oleh golongan dan partai-partai agama yang konservatif bahwa seorang wanita tidak dibenarkan memegang pemerintahan. Pemerintaha Benazir Bhutto terlibat pertikaian dengan para Ulama Pakistan yang berpegang teguh pada hukum Syariah dan menunjukan ketidak senangan atas pengangkatan seorang wanita untuk menjadi kepala pemerintahan di negara itu. 87 Tamir Hasan, “Peranan Militer Sangat Kuat di Pakistan”, artikel diakses pada 28 Maret 2008, dari http:beritadotcom.blogspot.com2007_11_15_archive.html Meskipun ia telah berusaha keras menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut, ia tetap tidak mampu meredakan penolakan para ulama atas dirinya. Penolakan para Ulama semakin keras ketika Benazir Bhutto mulai menjauhi Syariah Islam, bahkan ia menyatakan akan membatalkan pengadilan Syariah. 88 Kemudian ia juga telah mengeluarkan suatu kebijakan yang sangat ditentang oleh para Ulama dan militer. Benazir Bhutto yang dalam pidato-pidatonya menyatakan dukungannya kepada gerilyawan Mujahiddin sesuai dengan janjinya untuk melanjutkan kebijakan pemerintah sebelumnya, namun kenyataannya Benazir Bhutto tidak lagi mengupayakan kemenangan kaum Mujahiddin lewat pertarungan senjata tetapi mengupayakan suatu penyelesaian politik. Perubahan kebijakan Pakistan terhadap Afghanistan dapat dilihat dari kasus penggantian Letjen. Hamid Gul selaku Dirjen Badan Intellegen Antar Angtkatan dengan Jenderal Shamsur Rahman Kallu. Padahal Hamid Gul adalah salah seorang arsitek kebijakan Pakistan tentang Afghanistan. Ia dikabarkan cenderung memberi dukungan kuat terhadap kelompok fundamentalis di kalangan kaum Mujahiddin, khususnya faksi yang dipimpin Gulbuddn Hekmatyar. 89 Walaupun perubahan kebijakan itu dimaksudkan agar para pengungsi Afghanistan meninggalkan Pakistan guna memenuhi tuntutan warga Pakistan yang merasa terganggu oleh keberadaan lebih dari tiga juta pengungsi Afghanistan di Pakistan. Tetapi kalangan militer dan oposisi, pendukung kuat faksi-faksi garis keras Mujahiddin, tetap tidak bisa menerima alasan tersebut. Menurut mereka, sikap pemerintah Benazir 88 Nurani Soyomukti, “Dua Musuh Bubuyutan Bersaing Lagi”, artikel diakses pada 4 April 2008, dari http:majalah.tempointeraktif.comidarsip19890805SELmbm.19890805.SEL21028.id.html 89 Ahmad Jubaedi, “Kaum Fundamentalis di Pakistan”, artikel diakses pada 12 Agustus 2008, dari http:indonesia99.blogspot.com2007_12_01_archive.html Bhutto tidak sesuai dengan maksud utama negara Pakistan dalam membantu Mujahiddin Afghanistan, yaitu dalam upaya berdirinya negara Afghanistan yang Islamis di bawah pimpinan Gulbuddin Hekmatyar. Apalagi sikap pemerintah Benazir Bhutto ternyata pada akhirnya hanya untuk menyenangkan pihak Amerika Serikat saja. Hampir setiap sidang parlemen, pemerintahan Benazir Bhutto terus menerus diboikot oleh pihak oposisi. Bahkan oposisi melancarkan mosi tidak percaya terhadap Perdana Menteri Benazir Bhutto, walau akhirnya tidak berhasil menjatuhkan Benazir. Pengajuan dari mosi tidak percaya ini didahului oleh serangan protes terhadap pemerintahan Benazir Bhutto yang dituduh tidak mempu berprestasi, nepotisme dan melemahkan gerak Islamisasi. COP juga menggunakan fatwa dari para ulama Arab Saudi yang menegaskan lagi bahwa kepemimpinan seorang wanita tidak diperkenankan di sebuah negara Islam. Selain itu, di Pakistan masih ada budaya feodalisme yang menempatkan kedudukan pria lebih tinggi dari wanita. Hubungan Benazir Bhutto dengan Presiden Ghulam Ishaq Khan juga memburuk ketika Benazir ingin mencabut Amandemen ke-8 produk rezim Zia ul-Haq dengan alasan ingin memurnikan Konstitusi 1973. padahal alasan sebenarnya adalah Benazir khawatir kalau sewaktu-waktu dipecat Presiden karena tidak mampu mengatasi masalah-masalah dalam negeri Pakistan selama pemerintahannya. Pemerintahan PPP ingin mencabut Amandemen ke-8 yang memberikan kekuasaan lebih pada Presiden, sehingga dapat mengancam kedudukan Perdana Menteri. Adanya Amandemen ke-8 dalam kehidupan konstitusi telah mempersempit ruang gerak Benazir Bhutto sebagai kepala pemerintahan sehingga Benazir berusaha untuk menghapusnya. Namun pencabutan tersebut tidak mudah, karena memerlukan konsensus dari Majelis Nasional, sedangkan PPP saat itu bukanlah mayoritas, apalagi tidak didukung oleh oposisi Benazir bhutto saat itu terlalu yakin pada dukungan massa partainya, PPP dan hal ini merupakan kekeliruannya yang pertama selama masa pemerintahannya. Usia muda dan kekurang pengalamannya, menyebabkan Benazir Bhutto tergelincir berkonfrontasi melawan Presiden dan Kepala Staf Angkatan Darat yang akhirnya malah menyebabkan kejatuhannya. Hasil pembangunan yang dicapai oleh pemerintah Benazir Bhutto memang tidaklah terlalu mengesankan. Parlemen belum juga membuahkan produk Undang-Udang sejak berkuasanya Benazir Bhutto. Pendukung PPP menuduh bahwa hal tersebut terjadi karena kaum oposisi mempunyai kekuatan dan dukungan yang sangat luar biasa besarnya di Majelis Nasional, namun hal ini tidak juga menjelaskan kenyataan bahwa rancangan peraturan baru belum juga diajukan. Selain masalah tersebut di atas, juga terdapat beberapa masalah lain, yaitu adanya pertentangan antara pemerintah federal dengan propinsi Punjab, di mana yang menjadi Ketua Menteri adalah Nawaz Sharif, yang juga menjadi ketua IJI. Seperti halnya dengan masalah Sindh, pertentangan ini diperlebar menjadi isu nasional untuk kepentingan IJI. Nawaz Sharif membentuk Bank Daerah Punjab dan mengusulkan untuk membentuk stasiun televisi daerah. Dalam kaitannya dengan dua hal tersebut, ia menentang hak monopoli pemerintah federal. Kepentingan propinsi lain, sehingga seolah- olah sebagai pertentangan antara pusat dengan daerah secara menyeluruh. Misalnya, Ketua menteri propinsi Baluchistan, Nawab Akbar Bugti tergabung dengan Nawaz Sharif dan menuntut seperti yang diinginkan oleh IJI, yaitu antara lain: pemberian otonomi yang lebih luas dan masalah bersidangnya dewan untuk kepentingan umum Council of Comman Interst – CCI. CCI adalah suatu badan yang terdiri dari empat ketua menteri propinsi ditambah dengan empat menteri pemerintahan federal, yang digariskan pada Undang-undang 1973, meskipun Undang-Undang tersebut belum pernah disahkan. Presiden Ghulam Ishak Khan setelah berkonsultasi dengan pimpinan Angkatan Bersenjata Pakistan akhirnya pada tanggal 6 Agustus 1990 mengeluarkan keputusan No. 178, yaitu memberlakukan parlemen dan membekukan kabinet Benazir Bhutto. Adapun alasannya adalah: tidak berfungsinya badan legislatif; pertentangan antara pemerintah pusat dan propinsi; korupsi dan nepotisme; kegagalan menegakkan keamanan dan ketertiban di propinsi Sindh, dan pelanggaran konstitusi. Dengan bubarnya parlemen dan kabinet di tingkat federal, otomatis parlemen dan kabinet propinsi juga membubarkan diri. Dari uraian tadi terlihat bahwa Presiden Ghulam Ishaq Khan membubarkan kabinet pernah mengajukan mosi tidak percaya dengan tuduhan bahwa pemerintahan Benazir Bhutto korupsi, nepotisme dan tidak becus memerintah . Tetapi mosi yang dikemukakan dalam bulan November 1989 itu tidak memperoleh dukungan mayoritas, sehingga gagal menyingkirkan Benazir Bhutto. Namun, tuduhan yang sama terhadap Benazir Bhutto akhirnya muncul kembali dalam pengumuman Presiden Ghulam Ishaq Khan mengenai pembubaran kabinet Benazir Bhutto dan parlemen. Jelaslah bahwa kejatuhan pemerintahan Benazir Bhutto bisa dikatakan sebagai kudeta tanpa kekerasan, yang ujung tombaknya adalah Ghulam Ishak Khan tetapi diduga dalangnya adalah militer. Tindakan Ghulam Ishaq Khan untuk memecat pemerintahan Benazir Bhutto yang dinilai sebagai langkah yang berani, boleh jadi karena adanya tekanan dari pihak militer yang memang sudah berkali-kali merebut kekuasaan di negeri itu. b. 3. Kekalahan dalam Pemilu 1990 Tanggal 6 Agustus 1990, Presiden Ghulam Ishaq Khan memecat Benazir Bhutto dari jabatan Perdana Menteri. Ia mengumumkan pembubaran pemerintahan Benazir Bhutto, dengan alasan utama berupa korupsi dan nepotisme. Sesudah melakukan pemecatan, Ishaq Khan menunjuk saingan Benazir Bhutto, Ghulam Mustafa Jatoi 58 tahun sebagai Perdana Menteri untuk memimpin pemerintahan sementara sekaligus mempersiapkan pemilu pada bulan Oktober 1990. keempat Majelis Propinsi juga dibubarkan dan ditunjuk pula seorang Ketua Menteri sementara. 90 Benazir Bhutto menolak mengakui pemerintahan Ghulam Mustafa Jatoi ini dan mengajukan tuntutan kepada Mahkamah Agung agar pemerintahan Mustafa Jatoi dibubarkan dan diganti dengan kabinet peralihan yang netral. Namun Mahkamah Agung menolak tuntutan itu serta mengemukakan “sembilan tindakan pelanggaran dan kelalaian” yang memberikan alasan sah dan layak untuk memecat Benazir Bhutto. Pelanggaran dan kelalaian itu, misalnya: penyadapan telepon, penggunaan pesawat Angkatan Udara selama mosi tidak percaya di parlemen, kegagalan mendapat dukungan yang cukup di Majelis Tinggi yang didominasi oposisi, penyalahgunaan dana rahasia, kegagalan mengendalikan pelanggaran hukum di propinsi Sindh dan konfrontasi antara pusat dan pemerintah daerah. 91 Ghulam Mustafa Jatoi adalah pemimpin Combined Opposition Party COP. Ia memulai karir politiknya di Pakistan People’s Party PPP yang dibentuk oleh Zulfikar Al 90 Boentarto, “Martir Demokrasi Pakistan Benazir Bhutto 1953-2007”. 91 Boentarto, “Martir Demokrasi Pakistan Benazir Bhutto 1953-2007”. Bhutto dan pernah menjabat Ketua Menteri Propinsi Sindh pada masa pemerintahan Ali Bhutto. Namun ketika Benazir Bhutto mengambil alih kekuasaan pada 1988-1990, ia berperan sebagai tokoh oposisi bagi PPP. 92 COP, sebagaimana namanya adalah kelompok yang berbeda-beda, yang lebih dipersatukan oleh rasa kebencian yang sama terhadap pemerintahan Benazir Bhutto ketimbang program alternatif yang lebih masuk akal. Dalam hal ini COP nampaknya melanjutkan tradisi Pakistan National Alliance PNA yang ikut membantu kejatuhan Zulfikar Ali Bhutto pada tahun 1977 serta Gerakan untuk Perbaikan Demokrasi Movement for the Restiration of Democracy – MRD yang berkapanye menentang Zia ul-Haq sejak tahun 1981. 93 Pengikut terbesar dari COP adalah Islami Jamhoori Ittehad IJI, aliansi sembilan partai yang terbentuk sesaat sebelum pemilu tahun 1988. anggotanya yang paling kuat dari aliansi ini adalah Pakistan Moslem League PML, yang dipimpin oleh mantan Perdana Menteri Mohammad Khan Junejo dan Ketua Menteri propinsi Punjab, Nawaz Sharif. Pengikut kedua yang terpenting dari COP adalah kaum Muhajir yang tergabung dalam Muhajir Qoumi Movement MQM dari Karachi dan beberapa daerah urban di propinsi Sindh. COP nempaknya ingin meningkatkan tekanannya pada hal-hal yang berkaitan dengan Islam secara resmi, namun pada prakteknya harus sedikit membedakan program kerjanya dari apa yang dimiliki PPP. Pertikaian politik pada saat itu berpusat pada manusianya ketimbang mengenai ideologinya. COP mengatakan bahwa ia sanggup menyelenggarakan pemerintah yang lebih handal dan lebih jujur. Namun pada 92 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 163. 93 . Nurani Soyomukti, “Benazir Bhutto, Perempuan, dan Demokrasi”, atikel diakses pada 5 Oktober 2008, dari http:esaipolitiknurani.blogspot.com2008_02_01_archive.html kenyataannya tekanan-tekanan untuk mempererat partai koalisi yang terpecah belah jelas akan menjurus kepada sejenis tawar menawar politik dan perpindahan kaum politisi dari satu partai ke partai yang lain. Hal ini pada akhirnya tentu dapat mengakibatkan ketidakstabilan pemerintahan sipil di Pakistan. Setelah Presiden Ishaq Khan mengakhiri ketidakstabilan pemerintahan Benazir Bhutto, maka sesuai dengan konstitusi 1973 dan janji dari pemerintahan sementara untuk mempersiapkan pelaksanaan pemilu, dibentuklah panitia pemilu yang diketuai oleh hakim Naemuddin, untuk mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan pemilu. 94 Ishaq Khan juga telah menjadwalkan pemilu tingkat nasional maupun pemilihan Majelis Propinsi yang masing-masing ditetapkan pada tanggal 24 Oktober 1990 dan tanggal 27 Oktober 1990. 95 Walaupun Benazir Bhutto tetap mengkritik atas pemecatan dirinya, namun akhirnya dia bersedia untuk bertanding dalam pemilihan umum yang diharapkan “bebas dan adil”. Dalam rangka mengsukseskan pemilu, Komite Pemilu Nasional mengumumkan “Code of Conduct” sebagai tata tertib pemilu guna menjamin pelaksanaan pemilu yang bebas, jujur dan tidak memihak. Tata tertib itu antara lain; melarang mengganggu pertemuan yang diadakan partai lain; melarang menyampaikan pendapat atau bertindak dalam cara apapun yang sifatnya merugikan ideologi, kedaulatan, integritas dan keamanan negara; menghindari untuk secara langsung mengkritik partai-partai politik lain dan para pemimpinnya; menghindari pembicaraan yang menimbulkan rasa pertentangan antar masyarakat; melarang membawa senjata atau 94 Nurani Soyomukti, “Benazir Bhutto, Perempuan, dan Demokrasi”. 95 Shahid Javed Burki, Pakistan: The Continuting Search for Nationhood, secound edition San Francisko: Westview Press, 1993, h. 103. peledak dalam setiap pertemuan; dan melarang membawa spanduk-spanduk yang mempunyai unsur intimidasi lebih dari 400 yard di tempat pemungutan suara. Untuk pelaksanaan pemilu tersebut telah terdaftar 80 partai politik, namun hanya 45 partai politik saja yang akhirnya dinilai memenuhi syarat serta menyampaikan tanda gambarnya. Di antara partai-partai tersebut yang paling dominan dan menentukan perimbangan politik di Pakistan hanya ada dua kelompok, yaitu aliansi Islam Jamhoori Ittehad IJI pimpinan Nawaz Sharif dan People’s Democratic Aliance PDA pimpinan Benazir Bhutto. IJI terdiri dari Pakistan Muslem League PML, National People’s Party NPP-Jatoi, Jamiat ul Ulama i Islami Fazlur Rahman JUIF, Jamaat Islami JI, Jama’at Ulema Pakistan JUP, Awami National Party ANP, Jamhoori Watan Party JWP, Islamic Ahle Hadith Party, Jamaat ul Mashaikh, Azad Group dan Nizami Mustafa Group. Sedangkan People’s Democratic Alliance PDA terdiri dari Pakistan People’s Party PPP, Tehrik I Istiqlal, Tehrik Nifaz Firqah Jafariya dan Pakistan Moslem League PML Qasim Group. 96 Selama masa kampanye, kedua kelompok tersebut masing-masing telah menyampaikan program dan janji-janji mereka sebagai platform kampanye. Program PDA misalnya dapat dilihat dari manifesto. Manifesto itu antara lain berisi rencana penghapusan Amandemen ke-8; pengajuan daftar kekayaan sebelum dan sesudah menjadi presiden, perdana menteri, anggota-anggota parlemen dan pejabat-pejabat tinggi, perbaikan nasib pengacara, kebebasan pers; meningkatkan peranan wanita; menjamin hak-hak golongan minoritas dalam pemerintahan. Manifesto politik berisi pula rencana pengembangan sektor industri, pendidikan dan kesehatan, meningkatkan peranan ulama; 96 Sharif Al Mujahid, Pakistan History, The far East and Australasia 1993, 24 th edition London: Europa Publications Limited, 1992, h. 803. memberantas perdagangan obat-obat terlarang, peningkatan sarana angkutan, modernisasi angkatan bersenjata, pembangunan program nuklir untuk maksud damai, peningkatan politik luar negeri; peningkatan sarana untuk kepentingan rakyat seperti fasilitas listrik, gas, telepon, tempet-tempat rekreasi, sekolah dan rumah sakit. 97 Sedangkan program-program yang dicanangkan IJI, meliputi peningkatan perlindungan hak-hak azasi manusia; memperbaharui sistem peradilan sesuai dengan perinsip Islam; pembentukan pemerintahan yang jujur dan berwibawa; perbaikan lembaga kemasyarakatan; penyederhanaan cara mendapatkan pupuk, air minum, listrik, gas, telepon dan peningkatan pelayanan angkutan umum. Kendati masing-masing telah memiliki program konkrit seperti tercermin dari manifesto politiknya tadi, namun kenyataannya selama rapat-rapat umum, kedua kelompok besar tesebut lebih menfokuskan perdebatan pada isu saling menjelek-jelekan atau bersifat saling berusaha melemahkan posisi lawan saja. Keduanya jarang menyampaikan program-program yang sifatnya bermanfaat bagi rakyat. 98 Selama kampanye kubu PDA selalu dihantui oleh tindakan pertanggungjawaban acountability yang dilancarkan oleh pemerintahan sementara. Tindakan itu sebagai langkah lanjut atas tuduhan yang dilancarkan Presiden Ghulam Ishaq Khan terhadap Benazir Bhutto yang mengakibatkan dipecatnya perdana menteri wanita itu. Pemerintah sementara ini melakukan penyidikan dan penangkapan para aktifis PPP sesuai dengan tuduhan yang dijadikan alasan Presiden Ghulam Ishaq Khan untuk membubarkan pemerintahan Benazir Bhutto. Tidak hanya Benazir Bhutto yang diajukan ke pengadilan, 97 Riza Aulia, “Apa yang Terjadi di Pakistan?”, data diakses pada 29 Oktober 2008, dari http:hizbut-tahrir.or.id20071122apa-yang-terjadi-di-pakistan 98 Lawrence Ziring, “Pakistan in 1990: The fail of Benazir Bhutto”, ASIAN Survey, Vol. XXXI, No. 2 , Februari 1991, h. 119. tetapi banyak juga tokoh-tokoh PPP yang diajukan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan pengadilan sesuai dengan tuduhan atas tindakan mereka selama dua puluh bulan pemerintahan PPP berkuasa. Tuduhan-tuduhan yang akan dibuktikan di depan pengadilan meliputi tindak pidana korupsi, teror politik terhadap musuh-musuhnya serta tindakan-tindakan tidak konstutisional. Waktu itu banyak tokoh PDA khususnya PPP, yang di tangkap dan ditahan sehingga tidak memungkinkan bagi mereka untuk berkampanye di daerah para pemilihnya. Masalah pertanggungjawaban accountability mendapat reaksi keras tidak hanya dari PPP yang merasa dirugikan, tetapi juga memancing reaksi dari Amerika Serikat yang disampaikan melalui Duta Besar Amerika Serikat di Pakistan dengan mengkritik bahwa terjadi ketidakadilan karena diskriminatif hanya diberlakukan terhadap orang-orang PPP, dan bukan termasuk tokoh-tokoh pemerintah sebelumnya. Dari proses pelaksanaannya terlihat bahwa motif sebenarnya dari “pertanggungjawaban” accountability lebih bersifat politis, yaitu untuk menyingkirkan tokoh-tokoh PPP. Dengan demikian diharapkan dapat memperkuat kedudukan IJI. Pihak PPP tidak hanya mendapat tekanan dari pemerintah melalui pertanggungjawaban accountability. Pemerintahan Jatoi ternyata juga semakin keras berusaha mengeliminir pengaruh Benazir Bhutto dengan menarik para pendukung utama Benazir untuk bergabung dalam pemerintahan sementara. Jatoi menarik empat orang mantan sekutu Benazir Ghulam Mustafa Khan, Miraj Khalid, Mahdoem Shafiquzzaman dan Kazi Abdul Majed Abid, untuk menjadi menteri dalam pemerintahan sementara. Pengangkatan Makhdoem Shafiquzzaman ini menjadi pukulan berat bagi Benazir untuk mengumpulkan dukungan pada pemilu Oktober 1990. Makhdoem adalah keluarga kiyai yang dipuja para pengikutnya para santri di propinsi Sindh dan Punjab. Sebagaimana para kiyai lainnya, keluarga Makhdoem ini juga mengikat tali keluarga dengan kaum Zamidar tuan tanah muslim, yang juga berpengaruh besar pada rakyat pedesaan. 99 Pihak Angkatan Darat juga memberi peluang bagi kemenangan IJI. Hal ini terlihat dari penempatan pasukan Angkatan Darat di beberapa daerah para pemilih yang merupakan basis PPP. Alasan yang disampaikan pimpinan Angkatan Darat bagi penempatan pasukannya adalah untuk menangkal kemungkinan teror yang akan dilakukan pihak- pihak tertentu yang ingin mengacaukan pemilu. Namun daerah-daerah tersebut adalah tempat potensial bagi PPP untuk meraih kemenangan, seperti di propinsi Sindh dan beberapa tempat di Punjab. Melihat gelagat demikian, ketua PPP Benazir Bhutto dari awal telah dapat meramalkan bahwa pemilu tersebut tidak akan dapat terlaksana sebagaimana yang diharapkan, yaitu bebas, jujur dan tidak memihak. Proses pengadilan atas diri Benazir dan sejumlah mantan menterinya jelas merugikan PPP, terutama dalam menghadapi pemilu 1990 ini. Benazir tidak dapat berkampanye secara bebas karena harus menghadiri sidang pengadilan. Hal ini berpengaruh pada semangat para pendukung tokoh-tokoh PPP lainnya karena Benazir merupakan tokoh senteral PPP yang pada pemilu 1988 terbukti mampu memobilisasi massa. Dengan absennya Benazir dari beberapa kampanye PPP, tokoh-tokoh PPP lainnya tidak terlalu yakin akan dapat menarik simpati massa. Selain itu, selama pengadilan berlangsung, pers resmi cenderung pula membuat versi yang sudah mengarah pada “pengadilan oleh media”. Kondisi ini jelas akan berpengaruh besar sebab turunnya kredibilatas Benazir dan tokoh-tokoh PPP lain di hadapan masyarakat Pakistan. Media 99 Dhururudin Mashad, “Pemilu di Pakistan 1990: Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih Kekuasaan”, h. 80. massa pers adalah pembentuk “opini publik” yang sangat ampuh. Sehingga apa yang diinformasikan oleh pers tentang diri Benazir Bhutto akan langsung diterima mentah- mentah oleh masyarakat. Akhirnya pemilu tanggal 24 Oktober 1990 dimenangkan IJI dengan memperoleh 105 kursi dari 217 kursi yang diperebutkan untuk mengisi 217 kursi di parlemen. Sementara PDA yang didominasi PPP hanya memenangkan 45 kursi. Dalam pemilu ini, MQM tampil lagi sebagai kekuatan ketiga terbesar dengan memenangkan 15 kursi, ANP 11 kursi, JUIF 11 kursi, dan partai-partai kecil dan calon Independen 30 kursi lihat tabel 2. Dari hasil pemilu tesebut terlihat IJI bersama-sama dengan sekutunya berhasil memimpin perolehan suara dengan menjadi mayoritas. Tabel 2. Hasil Pemilihan Umum Anggota Majelis Nasional di Pakistan, 24 Oktober 1990 100 NO. NAMA PARTAI Perolehan Kursi 1. Islamic Jamhoori Ittehad IJI 105 kursi 2. Pakistan People’s Party PPP 45 kursi 3. Mohajir Qoumi Movement MQM 15 kursi 4. Awami National Party ANP 11 kursi 5. Jamaati Ulamai Islami JUI 11 kursi 6. Lainnya: - Nation People’s Party NPP, 100 Dhururudin Mashad, “Pemilu di Pakistan 1990: Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih Kekuasaan”, Jurnal Ilmu Politik 13 Jakarta: PT Gramedia, 1993, h. 82. - Sind National Party SNP, - Tehrik i Nifaz Fiqh i Jafrida TNFJ, - dan partai-partai kecil independent. 30 kursi Total 217 kursi NPP, SNP TI, TNFJ adalah pendukung People’s Democratic Alliance PDA pimpinan Benazir Bhutto. Kemenangan IJI ternyata tidak hanya terjadi pada tingkat nasional. Pada pemilihan tingkat propinsi tanggal 27 Oktober 1990, ternyata menghasilkan pola sama. IJI dan sekutunya memperoleh 325 kursi dari 473 kursi di keempat propinsi, PDA ternyata gagal memenangkan suara mayoritas propinsi asal Benazir Bhutto sendiri, Sindh. Alhasil, dengan kemenangan telak, IJI pun membentuk pemerintahan propinsi di Punjab. IJI juga menunjukkan kekuatannya di propinsi Sindh dan Baluchistan serta membentuk pemerintahan koalisi dengan ANP di NWFP. Untuk pertama kalinya pula, IJI dapat membentuk pemerintahan di empat propinsi.

C. Upaya Benazir Bhutto Menggoyahkan Pemerintahan Nawaz Sharif