Benazir Bhutto untuk meraih kekuasaan melalui pemilu yang akan segera dilaksanakan. Apalagi militer sebagai unsur yang paling menentukan dalam politik Pakistan ternyata
mengambil sikap yang lebih realistis, dengan membiarkan terlaksananya pemilu secara jujur dan adil. Pemilu tersebut akhirnya dimenangkan PPP. Benazir Bhutto pun akhirnya
tampil kembali ke puncak kekuasaan di Negara Pakistan pada tanggal 19 Oktober 1993. Untuk mendapatkan gambaran secara lebih jelas tentang faktor faktor
keberhasilan Benazir Bhutto dalam usahanya meraih kekuasaan, pada bab ini akan diuraikan lebih luas mengenai perpolitikan Pakistan pada waktu itu, mulai dari konflik
antara Ishaq Khan-Nawaz Sharif yang menyebabkan kejatuhan Nawaz Sharif, sikap politik militer menjelang pemilu sampai terlaksananya pemilu Pakistan tahun 1993 yang
akhirnya mampu mengantarkan Benazir Bhutto ke kursi Perdana Menteri untuk kedua kalinya di Republik Pakistan.
A. Konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif
Salah satu faktor keberhasilan Benazir Bhutto meraih kembali kekuasaan menjadi Perdana Menteri adalah dengan adanya konflik Ishaq khan-Nawaz Sharif, dimana kedua
tokoh ini yang tadinya bersama-sama melawan Benazir Bhutto untuk mengganjal untuk tidak terpilih menjadi menteri pada pemilu 1990. tetapi pada akhirnya kedua tokoh ini
pun dihadapkan pada perselisihan yang menyebabkan permusuhan di antara keduanya. Konflik antara Ishaq Khan-Nawaz Sharif sebenarnya berakar pada Amandemen
ke-8, dimana Presiden dapat memecat Perdana Menteri, dengan berlakunya Amandemen ke-8 sistem parlementer telah berubah menjadi kekuasaan “tunggal” di bawah Presiden
dengan kekuasaan di bidang eksekutif, yudikatif dan militer. Sedangkan sistem
parlementer sesungguhnya Presiden tidak bisa memecat Perdana Menteri karena wewenang memecat Perdana Menteri hanya berada di tangan parlemen.
Dengan adanya konflik ini sangatlah menguntungkan Benazir Bhutto sebagai pemimpin Oposisi, disini Benazir dapat menyikapi konflik tersebut dengan baik yang
menyebabkan peluang untuk menggulingkan pererintahan Nawaz Sharif semakin nyata. A. 1. Pemecatan Perdana Menteri Nawaz Sharif oleh Presiden Ishaq Khan.
Tindakan Presiden Ghulam Ishaq Khan memecat Nawaz Sharif terjadi terutama setelah kemunculan Nawaz Sharif di televisi yang menuduh Presiden Ghulam Ishaq Khan
telah mengganggu stabilitas pemerintahan terpilih yang dipimpinnya. Pemecatan ini ternyata membuat “goncangan” politik yang luar biasa. Perdana Menteri menolak
keputusan Presiden itu. Ia menyatakan bahwa dirinya mempunyai dukungan yang sangat besar di Majelis Nasional dan oleh karenanya tidak akan mundur ataupun menyerah.
Bahkan Sharif menantang Presiden Ghulam Ishaq Khan untuk “bertarung” di pengadilan. Maka percekcokan pun memuncak diantara dua orang yang paling berkuasa di Pakistan,
yang telah berlangsung sejak berbulan-bulan. Selama lebih kurang dua tahun Nawaz Sharif telah bekerja sama dengan Ghulam
Ishaq Khan dan Angkatan Bersenjata dalam menjalankan pemerintahan. Namun keadaan berubah pada tahun 1992, ketika Nawaz Sharif mulai secara sepihak menjalankan roda
pemerintahan. Bahkan akhirnya timbul pula ketidak cocokan tentang pengangkatan pejabat-pejabat senior di Angkatan Bersenjata, Lembaga Yudikatif dan pertahanan
sipil.
122
Percekcokan yang paling seruis mencuat ketika Kepala Staf Angkatan Darat,
122
Deepak Tripathi, “Pakistan in Turmoul, h. 102.
Jenderal Asif Nawaz Janjua mendadak meninggal dunia pada tanggal 3 Januari 1993.
123
Nawaz Sharif dan Ghulam Ishaq Khan masing-masing memiliki kepentingan atas pengangkatan Kepala Staf Angkatan Darat yang baru, karena pengaruhnya yang besar
dalam perpolitikan Pakistan. Nawaz Sharif diketahui telah berusaha mengusulkan beberapa nama atas pilihannya sendiri untuk menggantikan jabatan tersebut. Nawaz
Sharif kesal karena Presiden sering campur tangan dalam hal kewenangannya sebagai Perdana Menteri di dalam menjalankan pemerintahan. Ia ingin menaruh orangnya sendiri
pada posisi tersebut, yaitu orang yang akan mendukungnya, atau paling tidak akan tetap netral. Namun ketiga nama yang diusulkan Nawaz Sharif ditolak Presiden Ghulam Ishaq
Khan dan sekutunya di Angkatan Bersenjata. Presiden menginginkan seorang sekutu yang terpercaya, tidak hanya untuk
menjaga kekuasaan Presidensial yang besar, sebagai akibat dari Amandemen ke-8 dalam konstitusi Pakistan, tetapi juga untuk membantunya terpilih kembali untuk masa jabatan
kedua dalam pemilihan Presiden yang akan dilakukan 10 bulan berikutnya. Presiden Ghulam Ishaq Khan akhirnya menunjuk Jenderal Abdul Waheed Kakar, rekan sejawat
yang masih satu suku dengan Presiden, sebagai Kepala Staf Angkatan Darat yang baru, melompati enam oring Letnan Jenderal yang senior tanpa konsultasi dengan Perdana
Menteri.
124
Walaupun kedua pemimpin itu sepertinya mencapai konsensus dalam pemilihan tersebut, bentrokan kepentingan antar keduanya menjadi jelas bagi umum, Nawaz Sharif
123
“Asif Nawaz”,
data diakses
pada 13
November 2008,
dari http:en.wikipedia.orgwikiAsif_Nawaz
124
Tahir Amin,” Pakistan in 1993: Some Dramatic Changes”, ASIAN SURVEY, Vol. XXXIV, No. 2, February 1994, h. 192.
mengumumkan bahwa ia menginginkan agar Amandemen ke-8 dihapuskan, sehingga kekuasaan akan kembali ke Perdana Menteri dan parlemen.
A. 2. Kontroversi Amandemen ke-8 Percekcokan antara Presiden dengan Perdana Menteri di Pakistan sebenarnya
berakar pada Amandemen ke-8 yang telah diberlakukan oleh Jenderal Zia Ul Haq pada tanggal 2 Maret 1985.
125
Amandemen tersebut memungkinkan Presiden mempunyai kekuasaan untuk menghapus atau membatalkan kabinet pemerintahan terpilih hasil
pemilu, serta memungkinkan Presiden menunjuk Dewan Militer atau Pejabat Militer untuk menjalankan pemerintahan.
Nawaz Sharif berpendapat bahwa bentuk pemerintahan pada saat ini telah melangkahi kewenangannya sebagai kepala pemerintahan. Sistem parlementer
sesungguhnya tidak memperbolehkan Presiden untuk campur tangan dalam urusan pengadilan pemerintahan sehari-hari dan tidak bisa memecat Perdana Menteri kerena
wewenang memecat Perdana Menteri hanya berada di tangan parlemen, namun akibat berlakunya Amandemen ke-8, system parlementer telah berubah menjadi kekuasaan
“tunggal” di bawah Presiden dengan kekuasaan di bidang eksekutif, yudikatif, militer dan pemerintahan daerah.
Berkat Amandemen ke-8 dalam konstitusi, Presiden juga diberikan hak prerogratif untuk mengangkat pejabat-pejabat tinggi di kalangan Angkatan Bersenjata,
pengangkatan gubernur untuk empat propinsi dan pengangkatan hakim pada Mahkamah Agung. Namun penunjukan oleh Presiden tersebut harus mendapat persetujuan dari
angkatan bersenjata. Dengan demikian berarti bahwa militer selalu berada di belakang
125
Yudi Prianto, “About the Islamic Republic of Pakistan”, data ini diakses pada 13 November 2008, dari http:zhyntativ.blogspot.com2008_07_01_archive.html
penobatan aktor-aktor politik di Pakistan. Angkatan Bersenjata adalah jaminan yang paling canggih bagi stabilitas keamanan negara tersebut.
Presiden menyatakan bahwa adalah tugasnya untuk melindungi konstitusional, termasuk di dalamnya Amandemen ke-8, yang ia warisi dari Zia ul-Haq dan merupakan
“kunci pengaman” dari hukum militer dan kuatnya kedudukan Presiden. Dampaknya adalah para birokrat yang dekat dengan presiden seringkali tidak menunjukkan rasa
hormatnya terhadap Perdana Menteri Nawaz Sharif. Sementara itu para Ketua Menteri propinsi serigkali melecehkannya sampai-sampai tidak menyebutnya saat Perdana
Menteri Nawaz Sharif mengunjungi mereka. Sebaliknya jika para ketua Menteri tersebut berkunjung ke Islamabad, mereka hanya mengadakan kunjungan kehormatan kepada
Presiden tetapi tidak kepada Perdana Menteri. Bahkan sejak penunjukannya, Kepala Staf Angkatan Darat yang baru mengadakan kunjungan kehormatan sebanyak hanya dua kali
ke Perdana Menteri, namun sedikitnya sudah enam kali pertemuan dengan Presiden. Tidak jelas apa yang menyebabkan Nawaz Sharif memilih berseteru dengan
Presiden, padahal dia tidak memiliki 23 suara mayoritas di Majelis Nasional yang diperlukan untuk menghapus suatu amandemen. Ia juga tidak memiliki hubungan yang
baik dengan PPP, partai oposisi utama pimpinan Benazir Bhutto yang juga tidak mengakui hasil pemilu tahun 1990.
Dalam konflik tersebut Presiden akhirnya merekayasa atau perpecahan di dalam partai yang berkuasa, yaitu Pakistan Muslim League PML yang menghasilkan banyak
menteri yang mengundurkan diri. Beberapa orang menteri yang mengundurkan diri adalah Menteri Negara Urusan Zakat Haji Gul Sher, Menteri perencanaan pembangunan
Hamid Naser Chatta, Menteri Lingkungan Hidup Anwar Saifullah dan penesehat resmi
setingkat menteri Asad Junejo. Atas tekanan ghulam Ishaq Khan, para menteri kabinet mulai mengucilkan Nawaz Sharif. Nawaz Sharif yang mulai menyadari kesalahannya,
kemudian berusaha menawarkan Ghulam Ishaq Khan suatu nominasi resmi dari partai yang berkuasa IJI untuk menjadi Presiden yang kedua kalinya, tetapi Presiden menolak
tawaran damai itu. Memperkirakan dia akan segera dipecat, Nawaz Sharif melakukan suatu pidato
yang keras di televisi pada tanggal 17 April 1993 yang menyalahkan Presiden sebagai “akar” dari krisis politik yang terjadi, dan menyatakan:
“I will not resign and Iwill not take dictation.
126
[“Saya tidak akan mundur dan saya tidak akan mau didikte.”]
Sebaliknya pada 18 April 1993 Presiden menyatakan, pidato Nawaz Sharif itu sebagai suatu aksi “sebversi” dan menuduh pemerintahan Nawaz Sharif telah berbuat korupsi,
nepotisme, melecehkan lawan-lawan politik, kurangnya transparansi dalam proses swastanisasi. Bahkan Ghulam Ishaq Khan secara implisit juga menuduh pemerintah
sebagai bertanggung jawab atas kematian mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Asif Nawaz Janjua, sehubungan dengan pernyataan janda Jenderal tersebut bahwa
suaminya tidak meninggal secara wajar, melainkan karena suatu pembunuhan politis akibat diracun oleh persekongkolan yang melibatkan Brigjen Imtiaz kepala Intelejen
dan Nisar Ali penasehat Nawaz Sharif.
127
Kedua orang tersebut lantas dicopot dari jabatannya atas desakan Ghulam Ishaq Khan.
Ghulam Ishaq Khan kemudian menginstruksikan pada Nawaz Sharif agar melakukan penyelidikan atas laporan janderal Asif Nawaz Janjua tersebut. Namun lagi-
126
Tafsir Amin,’ ASIAN SURVEY”, h. 193.
127
Firman Noor, “Bhutto, Sosialisme, dan Islam”, artikel ini diakses pada 13 November 2008, dari http:jawabali.comadapakistan
lagi Nawaz Sharif menunjukkan sikap menentang. Sehingga Ghulam Ishaq Khan semakin mantap untuk mengeluarkan keputusan memecat Nawaz Sharif. Dengan menggunakan
kekuatannya yang didukung oleh Amandemen ke-8, Ghulam Ishaq Khan memecat Perdana Menteri tinggal 18 April 1993, membubarkan Majelis Nasional, dan
mengumumkan pemilu baru yang akan dilaksanakan pada tanggal 14 juli 1993 di bawah kepemimpinan Perdana Menteri sementara, Mir Balakh Sher Mazari. PPP menjadi unsur
utama dalam pemerintahan sementara. Namun pemerintahan sementara itu hanya bertahan enam minggu. Mahkamah
Agung atas dasar petisi tertulis dari Nawaz Sharif, menyatakan bahwa keputusan Presiden tersebut adalah illegal dan tidak konstitusional. Mahkamah Agung dengan
perbandingan suara 10 : 1 mengumumkan bahwa tindakan Presiden memecat Nawaz Sharif dan membubarkan Majelis Nasional adalah telah melampaui batas-batas
kekuasaannya, dan oleh karenanya lantas mengembalikan kekuasaan Perdana Menteri Nawaz Sharif dan Majelis Nasional.
Tak lama setelah kembali menjabat Perdana Menteri, akhir bulan Mei 1993, Nawaz Sharif segera menempatkan kembali 137 anggota parlemen pusat di Islamabad
dan parlemen propinsi Punjab dengan dikawal beberapa polisi federal. Kebijakan ini mendapat tantangan keras dari Mansor Watto Ketua Menteri Punjab, dengan cara
mengirim polisi Punjab serta menagkap beberapa orang kiriman Nawaz Sharif. Bahkan Mansor Watto dengan dukungan gubernur Punjab, Chaudhury Altaf Hussein segera
membubarkan parlemen propinsi. Tindakan tersebut jelas ditentang Nawaz Sharif. Sebab, jika ia menerima
maneuver politik Chaudhury Altaf Hussein ini berarti Nawaz Sharif harus melaksanakan
pemilu baru bagi parlemen propinsi itu. Padahal masa pemerintahan dan masa tugas parlemen hasil pemilu baru berakhir tahun 1995. keberatan Nawaz Sharif ini mendapat
dukungan dari Pengadilan Tinggi Punjab, sehingga pada tanggal 28 Juni 1993 keberadaan majelis itu dikukuhkan kembali.
128
Namun pemerintahan Punjab Pro-Ishaq Sharif untuk memperkuat posisinya di propinsi asalnya itu. Pada saat yang sama Majelis propinsi
North West Frontier Province NWFP dibubarkan, dan suatu mosi tidak percaya diajukan terhadap Ketua Menteri propinsi Sindh. Dengan memanipulasi perpolitikan
propinsi, Presiden kemudian mengisolasi pemerintah pusat pimpinan Perdana Menteri Nawaz Sharif.
Pemerintahan Nawaz Sharif lantas berusaha mengeluarkan pasal 234 di parlemen, dalam upaya mendapatkan kembali kendali atas Punjab. Krisis makin menjadi ketika
Angkatan Darat memutuskan untuk menolak menerima perintah dari pemerintah pusat tanpa persetujuan Prsiden. Angkatan darat memiliki kepentingan untuk berpihak pada
Presiden, mengingat bahwa Jenderal Abdul Waheed Kakar adalah orang pilihan Ghulam Ishaq Khan. Apalagi antara Angkatan Bersenjata dengan pemerintahan Nawaz Sharif
tampaknya juga timbul perselisihan karena kecewa dengan hasil operasi militer di propinsi Sindh dalam rangka memberantas kelompok bandit dan pejabat politik.
A. 3. Sikap Benazir Bhutto terhadap konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif Akibat pertentangannya dengan Presiden sejak februari 1993, pendukung Nawaz
Sharif terpecah menjadi dua kubu pro-Nawaz Sharif dan Pro Ishaq Khan.
129
Perpecahan ini tentunya akan berakibat fatal dalam pemilu berikutnya karena sebelum pecah kedua
kubu tersebut adalah merupakan satu kekuatan melawan Benazir Bhutto. Bahkan dengan
128
“North-West Frontier
Province”, data
ini diakses
pada 13
November 2008,
darihttp:en.wikipedia.orgwikiNorth-West_Frontier_Province
129
Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 198.
adanya kedua kubu tersebut, bukan mustahil kubu yang pro-Ishaq Khan nantinya akan mendukung Benazir Bhutto dalam pemilu 1993.
Benazir Bhtuto saat itu mendapatkan posisi menguntungkan, karena baik Presiden maupun Perdana Menteri berusaha mendapatkan dukungannya ia kemudian
mengambil kebijakan dua-jalur, yaitu ia bersedia berkompromi dengan pemerintah dan menerima tawaran jabatan tersebut dari pemerintah Nawaz Sharif adalah karena ia ingin
menggalang kekuatan dengan Nawaz Sharif untuk bersama-sama menghapuskan Amandemen ke-8 yang memberi kewenangan kepada Presiden untuk membubarkan
parlemen hasil pemilu dan memecat Perdana Menteri yang selama ini mereka anggap telah menghalangi kekuasaan Perdana Menteri dalam memimpin pemerintahan. Dengan
kedekatannya terhadap pemerintah, ia saat itu juga berusaha untuk mengeluarkan suaminya, Asif Zardari dari penjara.
Akan tetapi diluar dugaan ia sekaligus juga melakukan tawar menawar rahasia dengan Presiden, dan meyakinkan Ghulam Ishaq Khan bahwa ia akan mendukung
Presiden untuk melawan Nawaz Sharif maupun untuk pemilihan Presiden berikutnya, dan sebagai balasannya ia akan mendapatkan pemilu secepatnya. Pertanyaan yang muncul,
kenapa Benazir Bhutto mendukung pemecatan Nawaz Sharif padahal tindakan Presiden Ghulam Ishaq Khan yang seperti ini pernah dikecamnya ketika ia mengalaminya pada
tahun 1990? Alasannya adalah: Pertama, Ishaq Khan berjanji akan memberi beberapa jabatan Menteri dalam kabinet sementara kepada kubu Benazir. Kedua, Ishaq Khan
berjanji untuk segera melaksanakan pemilu yang akan menggantikan pemerintahan Nawaz Sharif. Benazir berharap bahwa lewat pemilu mendatang, partainya akan menang.
Ketiga, apabila partainya menang dalam pemilu 1993, Benazir Bhutto berharap dirinya
bisa tampil lagi menjadi Perdana Menteri Pakistan. Posisi Benazir yang ambivalen ini memperkeruh persaingan kekuasaan antara Perdana Menteri dan Presiden.
130
Lebih jauh lagi, sikap benazir Bhutto ini akhirnya juga telah menyulut kembali permusuhan Benazir Bhutto-Nawaz Sharif, yang semula sempat mereda. Sebenarnya
dukungan Benazir Bhutto terhadap Ghulam Ishaq Khan tidaklah menguntungkan dirinya, misalnya: pertama, jika saja ia tetap konsisten pada sikapnya, tentu kekuatan Benazir
Bhutto-Nawaz Sharif akan mampu menghapus amandemen ke-8 yang selama ini dianggap telah menghambat terwujudnya kehidupan demokratis di Pakistan. Kedua,
Ishaq Khan ternyata telah melanggar kesepakatan dengan memberikan jatah jabatan menteri tidak lebih dari seperempat jumlah kabinet. Benazir merasa kecewa, meskipun
suaminya telah pula menduduki salah satu dari jabatan menteri tersebut. Lebih sial lagi, pemerintahan Nawaz Sharif yang telah dipecat oleh Ishaq Khan ternyata berkuasa
kembali berkat keputusan Mahkamah Agung Pakistan yang telah membatalkan tindakan pemecatan yang dilakukan Ishaq Khan. Ketiga, sikap Benazir Bhutto yang kelihatan
sekali berambisi untuk meraih kekuasaan dengan tindakannya menyetujui pemecatan pemerintahan Nawaz Sharif, dikhawatirkan rakyat akan berpikir dua kali untuk
memilihnya dalam pemilu karena ternyata ia bukan seorang demokrat tulen seperti yang telah ia gambarkan selama ini.
B. Sikap Politik Militer