Naskah Rancangan undang-undang ini juga memasukkan sejumlah ketentuan yang telah diatur dalam konvensi Internasional, antara lain
mengenai pemboman oleh teroris, pembekuan dan penyitaan finansial terorisme serta sejumlah ketentuan lainnya yang berasal dari konvensi
internasional lainnya. Dari Rancangan undang-undang yang mengacu kepada Perpu No. 1
Tahun 2002 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 ini pemerintah bersama DPR mengesahkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 dan Undang-
undang No. 16 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Terdapat sejumlah pasal dalam Undang-undang Pemberantasan
terorisme No. 15 dan 16 tahun 2003 yang berpeluang memberi wewenang tak terbatas kepada aparat penegak hukum dan keamanan. Menurut Todung
Mulya Lubis dam Munir,
22
pasal-pasal tersebut adalah :
1. Pasal 20 :
Setiap orang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum,
penasehat hukum dan atau hakim yang menangani tindak pidana terorisme, sehingga proses peradilan menjadi terganggu, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 15 lima belas tahun
2. Pasal 26
Ayat 1 “Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen”.
22
Todung Mulya Lubis, “Pasal-pasal Rawan dalam UU No. 1516 tahun 2003”, Tempo, 29 Agustus 2004, h. 4
Menurut Munir dan Todung Mulya Lubis, rumusan itu memberi peluang penyalahgunaan kekuasaan negara, terutama
pemberian kesempatan luas kepada Intelijen dari BIN dan TNI. Bisa saja laporan dibuat untuk tujuan lain dan berbeda selain dari untuk
mencegah atau mengumpulkan informasi terkait dengan terorisme.
3. Pasal 28
“Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasar bukti
permulaan yang cukup untuk paling lama 7 X 24 jam”. Menurut Munir pasal ini memberikan mandat yang sangat luas
kepada penyidik Polisi untuk berbuat sewenang-wenang memeriksa seseorang tanpa perlu memberitahu keluargannya, dan didampingi
penasehat hukum. Padahal cara-cara kekerasan fisik untuk mengorek keterangan masih dijadikan jalan pintas oleh polisi dalam memeriksa
seseorang.
4. Pasal 30
Ayat 1: “ Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana terorisme, maka penyidik, penuntut umum atau hakim
berwenang untuk meminta keterangan dari pihak Bank dan lembaga jasa keuangan mengenai harta kekayaan dari setiap orang yang
diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme ” 5. Pasal 31
Ayat 1 : berdasarkan bukti permulaan yang cukup penyidik berhak :
a. Membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melaui pos
dan jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana terorisme yang sedang diperiksa.
b. Menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi
lainnya yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme.Menurut
Todung, kedua pasal ini mengancam hak-hak individual. Apalagi hanya berdasar laporan intelijen.
23
6. Pasal 46