Penanganan Terorisme di Indonesia

juga berunsur negara; meliter, pejabat sipil, dan milisi. Menurut Martinus Amin 26 , yang dapat dikenakan asas retroaktif selain kejahatan yang diatur dalam konvensi Roma, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh negara, alasanya supaya negara tidak begitu mudah mengenakan asas retroaktif terhadap warga. Hal ini mengingat watak kekuasaan yang cenderung korup, aturan yang ada diabaikan, apalagi yang bersifat elastis. Kalau disamakan penggunaan asas retroaktif terhadap kejahatan terorisme dengan pembuktian terbalik dalam UU Korupsi sangat tidak pas, karena sistem pembuktian terbalik substansi sangat berbeda, berisi pengaturan “beban pembuktian”, dimana seseorang wajib membuktikan harta benda yang dimilikinya bukan hasil korupsi dimuka sidang asas ini dikembangkan oleh ahli hukum, selain dianut oleh Indonesia juga oleh beberapa negara lain.

C. Penanganan Terorisme di Indonesia

Tertangkapnya Abu Dujana terkait dengan jaringan teroris beberapa waktu yang lalu membuktikan bahwa jaringan terorisme di Indonesia telah menjadi ancaman yang sulit ditebak. Fenomena terorisme telah mampu menciptakan rasa takut secara global dengan menggunakan jaringan dan transaksi internasional, 26 Martinus Amin, “Negara Hukum, Intervensi Asing, Ambiguitas Demokrasi”, dalam Syahdatul Kahfi ed., Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, Jakarta : SPECTRUM, 2006 h. 26 regional dan nasional. Jaringan terorisme di Indonesia merupakan bagian dari jaringan teroris internasional yang tumbuh subur di kawasan Asia. Selain masalah terorisme, ada persoalan lain yang dapat mempengaruhi terwujudnya keamanan nasional saat ini. Pertama, konflik ekonomi yang ditandai dengan ketegangan-ketegangan pada sektor perdagangan, seperti tarik ulur harga minyak goreng antara pemerintah dan produsen. Hal ini menjadi ironis karena rakyat harus membayar harga minyak goreng lebih mahal, padahal Indonesia produsen CPO kedua terbesar di dunia. Kedua, ancaman terhadap keamanan nasional terutama masih dilihat sebagai sumber dari dalam negeri. Seperti adanya konflik Poso, Ambon, Irian, Aceh dan lain-lain yang telah memberikan andil cukup besar bagi keterpurukan bangsa. Ketiga, penyelundupan manusia dan migrasi ilegal, khususnya yang terjadi di Asia juga turut memperburuk situasi keamanan dalam negeri. Migrasi ilegal dapat terjadi karena dua faktor utama, yaitu faktor pendorong dan penarik. Faktor pendorong berasal dari situasi internal negara asal seperti pengangguran yang meningkat sebagai akibat krisis ekonomi dan finansial, serta faktor-faktor keamanan dalam negeri yang timbul akibat pemerintahan rezim yang represif atau terjadi perang saudara. Faktor penarik yang berasal dari negara tujuan atau negara pilihan timbul karena negara tujuan tersebut sangat aman, secara politik stabil, kaya, ekonominya maju dan karenanya menjanjikan kehidupan baru yang lebih baik. Keempat, lalu lintas obat terlarang. Indonesia sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang lokasinya sangat mudah diakses dan banyak wilayah yang penjagaan keamanannya amat lemah, menjadikan negeri ini bukan saja sebagai lalu lintas transit yang aman untuk perdagangan narkotika ke Australia dan kawasan lainnya, tetapi juga seperti Thailand sangat memungkinkan Indonesia menjadi pusat perdagangan serta pasar narkotika dan obat bius lainnya. Kelima, aksi perompakan semakin nyata sebagai suatu ancaman bersama yang perlu dihadapi oleh negara-negara di dunia. Tidak jarang pelaku perompakan bukan hanya berasal dari satu kebangsaan tertentu saja, tetapi dari beragam bangsa yang terorganisasi dalam satu organisasi kejahatan lintas negara, seperti mereka yang beroperasi di Selat Malaka, Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur. Keenam, adanya perdagangan gelap senjata, penyalahgunaan teknologi informasi, konflik komunal yang terjadi di Aceh dan Ambon yang menggunakan senjata sebagai alat kekerasan, misalnya, tidak menutup kemungkinan diperoleh dari hasil perdagangan gelap. Sedangkan penyalahgunaan teknologi informasi seperti perusakan jaringan internet dan website milik TNI dan Polri maupun milik institusi dan perusahaan negara maupun swasta nasional lainnya. Tantangan yang perlu dijawab oleh pemerintah adalah harus mampu meyakinkan bahwa langkah-langkah yang dilakukan dalam upaya pemberantasan terorisme dan bahaya lain yang dapat merusak tatanan keamanan nasional digunakan untuk kepentingan kemakmuran seluruh rakyat. Dengan demikian upaya untuk mewujudkan keamanan nasional dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab negara untuk memberikan rasa aman suatu bangsa dari berbagai ancaman, baik politik, sosial maupun budaya, terhadap keutuhan dan kedaulatan wilayah. Keamanan nasional merujuk kepada kebijakan pemerintah untuk menjamin kelangsungan hidup dan keamanan negara bangsanya dengan mewujudkan perdamaian dan stabilitas dalam sebuah komunitas. Dengan memanfaatkan seluruh kekuatan diplomasi luar negeri tetap berpijak pada politik bebas aktif, mengolah potensi ekonomi nasional untuk kepentingan pertahanan negara serta penggunaan kekuatan militer berdasarkan prinsip demokrasi. Untuk mewujudkan langkah tersebut diawali dengan proses demokratisasi yaitu untuk mewujudkan keamanan nasional harus mengikutsertakan masyarakat seluas- luasnya. Hal tersebut sangat diperlukan mengingat sebagian masyarakat sudah telanjur mempunyai persepsi yang rancu bahwa fungsi keamanan hanya dimonopoli oleh aparat negara. Peran pemerintah sebagai regulator harus memberikan porsi yang lebih besar kepada masyarakat umum untuk melakukan langkah-langkah penangkalan secara dini di lingkungan masing-masing. Penangkalan tersebut dilakukan dengan proses pemberdayaan berdasarkan perkiraan-perkiraan matang mengenai perkembangan lingkungan, nasional maupun internasional, tanpa harus didominasi oleh negara. Dengan demikian keamanan nasional, apa pun definisinya pada intinya mengandung hal-hal yang bersifat partisipatif masyarakat menuju perdamaian dan stabilitas dalam sebuah komunitas negara. Berdasarkan konsep baru tentang keamanan nasional maka secara legal demokratik tercantum dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang menyatakan keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme di Indonesia merupakan bagian dari operasi militer selain perang Military Operation Other The War MOOW bukanlah hal yang tabu. Sydney Jones dari lembaga International Crisis Group ICG menyatakan TNI harus terlibat aktif memerangi terorisme untuk mengimbangi kekurangmampuan lembaga lain dalam menangani masalah ini. Paling tidak terdapat tiga peran yang dapat dimainkan. Pertama, operasi- operasi khusus. Termasuk di dalam peran ini adalah operasi-operasi yang membutuhkan keahlian di luar keahlian konvensional kepolisian. Tugas yang membutuhkan keahlian khusus seperti pada contoh ini lebih tepat dibebankan pada Detasemen 81 Gultor Penanggulangan Teroris Kopassus TNI-AD, Detasemen Jalamangkara Marinir TNI-AL dan Detasemen Bravo Paskas TNI-AU. Kedua, penjagaan perbatasan. Bruce Hoffman, salah satu pakar terorisme dunia, memprediksi bahwa pascaterusirnya Taliban dari Afghanistan, jaringan teror dunia akan mengalihkan sasaran ke wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang sangat rendah penjagaannya. Indonesia sendiri setidaknya memiliki 12 pulau terluar yang rawan penyelundupan dan akhirnya tentu bisa saja menjadi jalur lintas kegiatan terorisme. Sehingga akan lebih optimal jika penjagaan wilayah perbatasan dibebankan kepada personel TNI. Dan ketiga, deteksi dini potensi teror. Dengan kemampuan data base atas kegiatan radikal, instrumen pembinaan teritorial atau kewilayahan. Inteligence gathering pada strata terbawah komando teritorial akan bersentuhan langsung dengan masyarakat dan merupakan sarana efektif untuk mendeteksi potensi ancaman teror. Dengan adanya perspektif baru keamanan nasional yang ditekankan pada partisipasi masyarakat serta peran TNI dalam penanggulangan terorisme maka dalam kurun waktu ke depan perlu dibuat kebijakan tentang keamanan nasional yang komprehensif. Sehingga dapat diketahui secara jelas lembaga apa menangani ancaman apa, serta bagaimana partisipasi masyarakat dilakukan.

BAB IV IMPLIKASI KEBIJAKAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI DAN

RESPON UMAT ISLAM

A. Implikasi Kebijakan Megawati Soekarnoputri

Presiden Megawati Soekarnoputri adalah kepala negara pertama mengunjungi George W. Bush paska serangan teroris pada 11 September 2001 yang merubuhkan menara kembar World Trade Center di Amerika. Pertemuan kedua kepala negara ini banyak berbicara keinginan dan usaha untuk mengkonsolidasikan koalisi internasional yang baru terbentuk untuk melawan terorisme, terutama di negara berkembang. Indonesia salah satu komponen penting dalam upaya ini karena posisinya sebagai negara demokratis berpenduduk muslim terbanyak dan meningkatnya peran organisasi-organisasi Islam sejak runtuhnya rezim Orde Baru pada 1998. Adapula dugaan bahwa beberapa kelompok Islam radikal di Indonesia mempunyai kaitan dengan organisasi Osama Bin Laden, Al-Qaida. Ini juga berkaitan dengan pernyataan Menteri Senior Singapura kaki tangan AS, yang terang-terangan menuduh Indonesia sebagai “sarang para teroris”. Menurutnya, pemimpin teroris masih berkeliaran di Indonesia. 27 Aksi teror bom di Bali pada 12 Otober 2002, telah mendorong pemerintah Indonesia untuk menyatakan perang melawan terorisme dan mengambil langkah-langkah pemberantasan serius dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 12002, Perpu Nomor 22002 dan Inpres Nomor 42002, disusul 27 Lee Kwan Yew “The Asian Terorisme”, The Straits Time, 18 Februari 2002, h. 4