BAB IV IMPLIKASI KEBIJAKAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI DAN
RESPON UMAT ISLAM
A. Implikasi Kebijakan Megawati Soekarnoputri
Presiden Megawati Soekarnoputri adalah kepala negara pertama mengunjungi George W. Bush paska serangan teroris pada 11 September 2001
yang merubuhkan menara kembar World Trade Center di Amerika. Pertemuan kedua kepala negara ini banyak berbicara keinginan dan usaha untuk
mengkonsolidasikan koalisi internasional yang baru terbentuk untuk melawan terorisme, terutama di negara berkembang. Indonesia salah satu komponen
penting dalam upaya ini karena posisinya sebagai negara demokratis berpenduduk muslim terbanyak dan meningkatnya peran organisasi-organisasi
Islam sejak runtuhnya rezim Orde Baru pada 1998. Adapula dugaan bahwa beberapa kelompok Islam radikal di Indonesia mempunyai kaitan dengan
organisasi Osama Bin Laden, Al-Qaida. Ini juga berkaitan dengan pernyataan Menteri Senior Singapura kaki tangan AS, yang terang-terangan menuduh
Indonesia sebagai “sarang para teroris”. Menurutnya, pemimpin teroris masih berkeliaran di Indonesia.
27
Aksi teror bom di Bali pada 12 Otober 2002, telah mendorong pemerintah Indonesia untuk menyatakan perang melawan terorisme dan
mengambil langkah-langkah pemberantasan serius dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 12002, Perpu Nomor 22002 dan Inpres Nomor 42002, disusul
27
Lee Kwan Yew “The Asian Terorisme”, The Straits Time, 18 Februari 2002, h. 4
dengan penetapan Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Nomor Kep-26MenkoPolkam112002 tentang pembentukan
Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme. Perpu Nomor 12002 dan Perpu Nomor 22002 telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 152003.
Berkaitan dengan teror bom di Bali dan memberikan wewenang penuh kepada datasemen 88 dan BIN untuk memberantas terorisme.
Detasemen Khusus 88 penulisan selanjutnya Densus 88 adalah direktorat anti teror di Indonesia, lembaga ini yang yang menjadi ujung
tombak memerangi terorisme di Indonesia, lembaga di bawah Mabes Polri ini, banyak menerima bantuan asing dalam jumlah yang sangat besar.
Kewenangan Densus 88 dan BIN yang tidak terbatas dengan mengekploitasi undang-undang No. 15 dan 16 tahun 2003 untuk membasmi teroris di
Indonesia ini mendapat protes dari kalangan masyarakat. Lembaga ini mempunyai superbody yang tak tersentuh hukum, kendati banyak oknumnya
melakukan pelanggaran hukum dan sering menyakiti umat Islam, khususnya para ulama dan aktivis muslim yang dituduh teroris tanpa ada bukti yang
jelas
28
. Kalangan masyarakat yang merasa dirugikan dengan keberadaan
Densus 88 menuntut pembubaran departemen ini karena bertentangan dengan semangat demokrasi, meresahkan masyarakat dan pelanggaran HAM, yang
telah dimanfaatkan oleh kelompok anti Islam untuk memberangus para aktivis muslim yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka. Mereka berpendapat,
jika lembaga ini tetap dipertahankan maka kesalahan Orde Baru yang terkenal
28
Fauzan Al-Anshory, Detasemen 88, dalam Syahdatul Kahfi ed, Terorisme Perang Global Dan Masa Depan Demokrasi, Jakarta : SPECTRUM, 2006 h. 57
sangat represif terhadap umat Islam dengan Operasi Khususnya akan terulang terulang kembali. Bedanya dengan Era Repormasi, jika Orde Baru operatornya
adalah TNI untuk menjalankan kepentingan rezim, operatornya beralih ke polisi untuk mendukung hegemoni tersebut
29
. Lembaga ini juga yang telah melakukan penangkapan lebih tepat
penculikan terhadap ratusan aktivis muslim paska Bom Bali. Penculikan selalu disertai dengan penyiksaan, seperti yang pernah diungkapkan oleh imam
samudera, Ali Gufron, Ali Imron dan Amrozi saat menjadi saksi dalam persidangan kasus Ustadz Abu Bakar Ba’asir di Kemayoran. saat itu Imam
Samudera menyebut dua nama pelaku penyiksaan, yakni Beni Mamoto dan Carlo Tewu. Keduanya dituduh melakukan penelanjangan terhadap mereka.
Mirip dengan kasus dipenjara Abu Ghuraib di Irak yang menghebohkan dunia, bedanya keempat orang tersebut tidak disuruh sodomi.
Dalam pelaksanaan penculikan oleh Densus 88, mendapat sorotan tajam dari masyarakat, sebagian tokoh Islam membentuk Tim Pembela
Korban UU Antiterorisme TIM KUAT yang bertujuan untuk mengadvokasi para korban. Hal ini dilakukan karena mereka buta terhadap Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana KUHP sehingga mereka tidak tahu haknya sebagai tersangka.
Istilah penculikan digunakan karena prosedur penangkapan terhadap para tersangka teroris tersebut tidak berdasarkan hukum yang berlaku dan
mengacu pada Kitab Undang-Undang hukum acara pidana KUHAP pasal 18 ayat 1 yang berbunyi bahwa pelaksana tugas penangkapan dilakukan oleh
29
Fauzan Al-Anshory, Detasemen 88, h. 58
petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang
mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia
diperiksa., kemudian tembusan surat penangkapan tersebut harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapa
30
n. Undang-undang No.15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak
pidana terorisme tidak mengatur prosedur penangkapan, sehingga polisi harus merujuk kepada KUHAP, namun pada saat penangkapan tersangka teroris
yang memiliki bukti permulaan cukup adalah 7 X 24 jam sedangkan bagi tersangka berdasarkan KUHP hanya 1 X 24 jam. Untuk memperoleh bukti
permulaan itu penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen setelah dilakukan proses pemeriksaan oleh ketua dan wakil ketua pengadilan negeri.
Jika kemudian tidak terbukti, polisi harus segera membebaskan dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian penyelidikan SP3. Namun mereka
yang tidak terbukti tersebut sudah terlanjur ditangkap dan disiksa, seharusnya mereka mendapat kompensasi, namun kedua undang-undang teroris tidak
mengatur hal tersebut. Para korban penculikan dan siksaan dapat dikatakan korban teror dari kepolisian. Misalnya yang terjadi pada Syaifuddin Umar,
alumni Gontor dan Ummul Quro Mekkah yang mengakibatkan luka-luka disekujur tubuh. Seperti sundutan api rokok, pukulan dikepala, punggung, dan
lepasnya kuku ibu jari, lebam di bibir kiri dan depresi dengan gejala sering bergumam dan takut dengan orang yang tidak dikenal.
31
30
KUHAP, Surabaya : Karya Anda 2000 h. 14
31
diambil dari indopos http:www.indopos.com090804opini475536.htm
Lalu siapa yang bertanggung jawab terhadap penyiksaan terhadap guru ngaji tersebut, atau proses penangkapan sudah sesuaikah dengan proses
hukum, Densus 88 antiterorlah yang melakukan dan diakui oleh mereka. Penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian adalah bentuk pelanggaran
undang-undang dasar 1945 pasal 28 ayat 1 yakni hak untuk tidak disiksa, sekalipun terhadap tersangka. Tugas polisi sebagai penyidik adalah untuk
menemukan bukti-bukti kuat terhadap tuduhan yang disangkakan kepada tersangka, bukan mengejar pengakuan yang justru akan mendorong terjadinya
penyiksaan. Ironis memang melihat penegakan supermasi hukum di Indonesia,
ketika penyiksaan dilakukan kepada para tersangka teroris sementara kepada tersangka konglomerat hitam, penjual aset negara, koruptor, pelaku ilegal
logging dan penumpasan tokoh separatis RMS. Para tersangka kejahatan ini jauh lebih dahsyat daripada peledakan bom, ini sering mendapatkan hak-
haknya, seperti panggilan resmi sebanyak tiga kali, jika sakit diberi kesempatan berobat. Tetapi bagi tersangka teroris hak-hak tersebut tidak
didapatkan. Setahun setelah peristiwa bom Bali 12 Oktober 2002. tepatnya 11
September 2003, Menko Polkam saat itu, Soesilo Bambang Yudoyono menyampaikan prestasi Indonesia dalam memerangi teroris kepada Deputi
Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Paul Wolfowitz di Washington DC dalam acara jamuan makan malam khusus yang diselenggarakan oleh asosiasi
persahabatan AS- Indonesia Usindo Soceity.
Dalam acara makan malam tersebut selain dihadiri Wolfowitz, hadir wakil Menlu AS untuk Asia Pasifik James Kelly dan Duta Besar AS untuk
Indonesia Ralp L. Boyce. Dalam jamuan istemewa tersebut Wolfowitz mengajak semua hadirin toas untuk SBY sebagai penghormatan atas
keberhasilan menangkap 97 sembilan tujuh teroris paska bom Bali Dan inilah bentuk dari kebijakan Megawati Soekarnoputri.
Ternyata memang banyak pengamat berpendapat bahwa gerakan Islam politik akan tidak bisa berkembang, kalau Megawati Soekarnoputri
menjadi presiden akan sangat merugikan gerakan dan umat Islam itu sendiri, terbukti saat itu.
32
Setelah tiga tahun peristiwa peledakan menara kembar WTC di AS, AS berusaha menekan pemerintah Indonesia agar bermain dalam kampanye
anti-torisme. Bahkan kalangan petinggi AS membuka suara agar Washington memberikan bantuan polisi dan meliter Indonesia, selain bantuan ekonomi
yang selama ini diberikan melalui via IMF dan Faris Club. Dibalik bantuan itu, sebagaimana diungkapkan sejumlah pengamat, AS sebenarnya ingin
mengintervensi pemerintah Indonesia agar melakukan penagkapan terhadap sejumlah tokoh Islam Indonesia yang seringkali baru atas tuduhan sepihak dan
atas bukti-bukti “kemasan” AS yang memojokkan sejumlah tokoh Islam sebagai “aktor teroris”
33
. Keberhasilan AS mengintervensi pemerintah Indonesia dengan
banyaknya tersangka teroris di Indonesia yang tertangkap hingga mencapai
32
Agung Pribadi,”Hubungan Buruk Megawati dengan Gerakan Politik Islam”dalam, Resonansi: Jurnal Pemikiran Kaum Muda, Vol No. 4 Tahun 2003 Jakarta:DPPKNPI, 2003h. 50
33
Idi Subandi Ibrahim dan Asep Syamsul M. Romli, Amerika, Terorisme dan Islamophobia: Fakta dan Imanjinasi Jaringan Kaum Radikal, Bandung: Nuasa, 2007, h. 25
sekitar 150 seratus lima puluh orang. Diantaranya hasil penculikan terhadap aktivis Islam kloter pertama sekitar 30 orang, 10 orang kasus Cimanggis, 6
orang kasus mahasiswa Indonesia di Pakistan, 7 orang korban penculikan terakhir adalah Urwah, Ari Setiawan, Lutfi Haidaroh, Syaifudin Umar, Ismail,
Candra dan Sonhadi. Dari ketujuh korban penculikan tersebut yang paling menyedihkan menimpa Syaifudin Umar, dia diculik didekat Asrama Haji
Sukolilo Surabaya 14 Agustus 2004 dan ditemukan dalam keadaan depresi berat dan luka-luka yang menggenaskan
34
. Keluarga korban menduga Densus 88 yang paling bertanggung jawab atas penculikan dan penyiksaan terhadap
orang-orang yang dituduh teroris. Maraknya penculikan terhadap aktivis muslim ini, tentunya
menimbulkan kegelisah tersendiri dikalangan masyarakat karena setiap saat orang dapat ditangkap dan diculik tanpa disertai dengan surat penangkapan
dan disiksa oleh Densus 88 untuk mendapatkan keterangan. Tentunya pola- pola seperti pada masa Orde baru ini mendapat protes keras dari kalangan
masyarakat.melalui unjuk rasa seperti yang dilakukan beberapa kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Front Perlawanan Penculikan FPP
Surakarta dan Majelis Mujahidin Indonesia MMI Solo yang mendesak pembubaran Densus 88 Anti Teror Mabes Polri. Mereka menilai Densus 88
tersebut telah menyimpang dari tugasnya yang sebenarnya. Tuntutan tersebut diteriakkan FPP Surakarta dan MMI Solo saat menggelar aksi unjuk rasa di
depan Mapolwil Surakarta,
35
. Unjuk rasa yang diikuti sekitar 100 orang ini
34
“Siapa yang Melakukan Penculikan” Tempo, tanggal 21 Agustus 2004, h. 1
35
FPP dan MMI Solo Tuntut Pembubaran Densus 88 Anti Teror
,
diambil dari sumber tempo news http:www.tempo.com200804opini475536.htm
merupakan bentuk solidaritas atas nasib yang dialami M Syaifudin Umar, ustad asal Surabaya, yang ditangkap dan dianiaya petugas.
Dalam pernyataan sikap bersama, pengunjuk rasa menilai Densus 88 Anti Teror justru telah melakukan pelanggaran HAM berat dengan melakukan
penculikan dan penyiksaan. Densus 88 ini bukan lagi menegakkan hukum tapi justru lebih banyak menebarkan teror bagi masyarakat, demikian
pernyataan mereka. Mereka kemudian mencontohkan adanya sejumlah penangkapan aktivis masjid dan pesantren yang dilakukan tanpa prosedur dan
aturan yang berlaku. Termasuk yang dialami ustad Syaifudin Umar adalah ulah Densus 88 ini, ujar Ahmad Sigit, salah seorang pengurus MMI Solo
dalam orasinya. Pengunjuk rasa juga menyebut Densus 88 ini nyata-nyata telah melakukan pelecehan terhadap hukum dan perundang-undangan yang
berlaku dengan menculik dan menyiksa. Pemerintah dan DPR harus mengontrol institusi ini. Kami mencurigai Densus ini diatur oleh luar negeri
khususnya Amerika Serikat yang telah memberikan bantuan dana, tandas Kholid Saifullah, juru bicara FPP. Pengunjuk rasa juga menuntut para
petinggi dan anggota dari detasemen ini yang terlibat dalam penculikan untuk diperiksa dan diadili. Sementara itu menyangkut penyiksaan yang dialami
Syaifudin Umar alias Abu Fida oleh petugas, mereka mendesak para pelakunya diseret ke pengadilan karena telah melanggar Hak Asasi Manusia
HAM. Melihat dari banyaknya bantuan yang diberikan AS dan sekutunya
kepada Indonesia bukanlah pemberian bantuan secara gratis, ada kepentingan- kepentingan mereka terhadap Indonesia yang harus dipenuhi pemerintah. Hal
ini dapat terlihat ketika satu bulan sebelum peledakan bom Bali, yakni tanggal 16 September 2002, menurut penerjemah Deplu AS Frederick Burks terjadi
pertemuan rahasia dirumah Megawati di jalan Teuku Umar yang dihadiri lima orang diantaranya, Megawati, Ralp L. BoyceDubes AS, Karen Brooks
Direktur NSC Asia Pasifik, Burks dan seorang agen wanita CIA yang menjadi utusan Bush. Pertemuan tersebut didominasi agen CIA untuk
menahan ustad Abu Bakar ba’asir, namun Megawati Soekarnoputri menolak karena takut instabilitas politik dan agama. Agen CIA mengancam,”situasi
akan bertambah buruk”. Bom Bali meledak 12 Oktober 2002, sepekan kemudian lahir dua
Perpu antiteroris. Ustadz Abu menjadi tersangka. 28 Oktober 2002 Ustadz Abu diseret dari RS PKU Solo dalam keadaan sakit, kemudian dipenjara dan
dibebaskan tanggal 14 Juni 2006. Tentunya ada beberapa pihak yang diuntungkan dengan isu bahwa
Indonesia adalah sarang teroris, diantaranya pihak meliter Indonesia dan Polisi. Karena dua institusi inilah yang menjadi garda terdepan untuk
memerangi bahaya terorisme yang dihembuskan AS. Dengan adanya kampanye perang melawan teroris, Polri merasa
sangat diuntungkan dan menjadikan keadaanya lebih baik, karena banyaknya bantuan dari negara asing sehingga Polri mampu memiliki peralatan muktahir,
dan mendapatkan pelatihan-pelatihan dalam penanganan teroris, dengan suntikan dana juta dolar tersebut membuat Polri semangat melakukan perang
terhadap teroris, dan selalu siap mengikuti kepentingan asing, seperti yang menimpa Ustadz Abu Bakar Ba’asyir.
B. Respon Umat Islam Terhadap Kebijakan Megawati Soekaroputri