BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berawal dari tragedi 11 September yang sangat memilukan, hanya dalam hitungan menit dua menara kembar World Trade Center WTC dan bangunan
penting Departemen Pertahanan Amerika Serikat Pentagon di Washington DC, hancur total ditabrak oleh pesawat terbang komersial. Sulit dipastikan berapa
nyawa yang menjadi korban, namun bisa diperkiarakan korban mencapai 4.000 orang lebih
1
dalam tragedi ini. Memang layak kalau tragedi ini dikatakan tragedi nasional bagi Amerika Serikat.
Peristiwa 11 september 2001 ini, banyak memunculkan perubahan paradigma tentang “keamanan dan ancaman nasional”, bagi negara-negara besar
di dunia khususnya Amerika Serikat dan sekutunya, peristiwa ini telah memunculkan dua fenomena yang sangat mewarnai percaturan politik
internasional
2
. Pertama, makin meningkatnya ketegangan hubungan antara Amerika Serikat dibawah George W. Bush dengan dunia Islam, dimana perang
melawan teroris sangat dirasakan mengarah kepada perang melawan Islam fundamental. Ketegangan tersebut disebabkan penyerangan Amerika Serikat
terhadap dua negara yang berpenduduk mayoritas Islam, Afganistan dan Irak sebagai pembalasan atas penyerangan WTC. Disamping itu Bush cenderung
menyamakan kelompok Islam fundamental dengan teroris. kedua, Bush juga tidak
1
Es. Soepriyadi, Ngruki Jaringan Terorisme: Melacak Jejak Abu Bakar Ba’asyir dan Jaringannya dari Gruki Sampai Bom Bali, Jakarta: Almawardi Prima, 2003 h. 126
2
Riza Sihbudi, “Dimensi Internasional Teroris”, dalam Syahdatul Kahfi ed., Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, Jakarta : SPECTRUM, 2006, h.52
segan-segan memaksa penguasa yang di anggap sekutu untuk membasmi gerakan atau kelompok fundamentalis di negara masing-masing. Akibatnya, di sejumlah
negara terjadi ketegangan antara penguasa yang sekuler dengan para aktivis Islam seperti yang terjadi di Indonesia.
Dalam perang melawan terorisme, Amerika Serikat dan sekutunya menginginkan perang melawan teroris ini tidak hanya menjadi perhatian mereka
akan tetapi menjadi permasalahan semua negara di dunia. Indonesia dalam hal ini tidak luput dari bagian perang melawan teroris, walaupun Indonesia sering kali
dicap sebagai sarang terorisme di Asia. Kebijakan nasional Indonesia memang harus dilakukan, karena sesuai
dengan Undang-Undang Dasar 1945 dalam pembukaan mengamanatkan bahwa negara-negara berkewajiban untuk melindungi setiap warga negaranya dari setiap
ancaman kejahatan baik yang bersikap nasional, transnasional apalagi yang bersifat internasional. Perang melawan teroris adalah kebutuhan yang mendesak
untuk melindungi warga negara Indonesia sesuai tujuan nasional yang diamanatkan UUD 1945
3
tersebut. Terorisme merupakan kejahatan luar biasa dan dapat digolongkan kedalam
kejahatan kemanusiaan, yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional, karenanya penanganan masalah ini memerlukan kerjasama
internasional. Memerangi terorisme dari sudut pandang internasional adalah merupakan pelaksanaan komitmen Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-
Bangsa DK PBB yang mengutuk dan menyerukan seluruh negara anggota PBB untuk mencegah dan memberantas terorisme. Walaupun kebijakan melawan
3
Ansyaad Mbai, “Memahami Aktivitas Terorisme”, dalam Syahdatul Kahfi ed., Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, Jakarta : SPECTRUM, 2006 h. 26
terorisme harus sesuai dengan kebijakan internasional, namun penerapannya oleh Indonesia sudah barang tentu membutuhkan penyesuaian sesuai kondisi objektif.
Tepat setahun setelah peristiwa yang menghancurkan menara kembar WTC, terjadi peledakan di Bali tanggal 12 Oktober 2003, kejadian inilah awal
malapetaka bagi umat Islam Indonesia, dimana pemerintahan Megawati Soekarnoputri telah membuat kebijakan dalam bentuk Undang-Undang No. 16
tahun 2003 tentang pemberlakuan Perpu No. 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Kemudian untuk mendukung itu, pemerintah Megawati
Soekarnoputri mengeluarkan Inpres No.5 tahun 2002 yang memberikan otoritas kepada Badan Intelijen Negara BIN untuk mengkoordinasikan kegiatan Intelijen
dalam menangani masalah terorisme. Namun kebijakan pemerintah yang diterapkan dalam Perpu dan UU ini
ibarat “pukat harimau” yang menjaring segala jenis ikan, binatang, bahkan kerang laut. Yang ditangkap oleh UU pukat harimau ini bukan hanya orang-orang yang
benar-benar melakukan pengeboman seperti Amrozi, Imam Samudera, Mukhlas dan lain-lain, melainkan menangkap aktivis mesjid, santri-santri dan ustad-ustad
guru agama yang tidak melakukan aktivitas terorisme sama sekali. Para penceramah yang keras juga sejak adanya Perpu dan UU ini mulai di incar aparat
intelijen baik dari kepolisian maupun meliter.
4
Target dari operasi intelijen ini adalah aktivis yang menginginkan penerapan Syariat Islam di berbagai daerah.
Target selanjutnya adalah orang yang kritis terhadap pemerintah umpamanya penangkapan terhadap Abu Bakar Ba’asyir dan Suripto serta alumni jihad Ambon
lainya.
4
Agung Pribadi, “Cuak” dalam Hidayatullah edisi November 2002
Namun, sepak terjang kebijakan yang berupa undang-undang ini berakhir ketika Mahkamah Konstitusi mengabulkan Judicial Review PK yang diajukan
kuasa hukum Masykur Abdul Kadir salah seorang tertuduh dalam kasus bom Bali. Alasan yang dipakai dalam pembatalan ini karena Undang-Undang ini
menerapkan Azaz Retroaktif, yakni asas yang berlaku surut dalam kasus Bom Bali.
5
Di tengah hantaman isu terorisme yang ditujukan kepada umat Islam, akibat pemberlakukan undang-undang “pukat harimau” dan walaupun Undang-
Undang No. 16 Tahun 2003 ini telah dibatalkan MK, ada beberapa hal menarik yang penting untuk di potret dan diteliti lebih jauh bagaimana sikap umat Islam
dalam penanganan terorisme di Indonesia, dan bagaimana implikasi dan respon dari kebijakan Pemerintahan Megawati Soekarnoputri yang secara historis dan
garis politik berbeda dan vis a vis dengan kalangan umat Islam. Berdasarkan deskripsi di atas, penulis mencoba meneliti masalah tersebut dengan judul :
Kebijakan Pemerintahan Megawati Soekarnoputri Tentang Terorisme.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah