Kebijakan pemerintahan Megawati Soekartno Putri tentang terorisme

(1)

KEBIJAKAN PEMERINTAHAN

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI TENTANG

TERORISME

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

OLEH: M. THOIYIBI NIM: 1010 3322 1795

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

KEBIJAKAN PEMERINTAHAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI TENTANG TERORISME

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh M. Thoiyibi 101033221795

Di Bawah Bimbingan

Dra. Haniah Hanafie, M.Si. NIP:150 299 932

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Sripsi ini berjudul “KEBIJAKAN PEMERINTAHAN MEGAWATI

SOEKARNOPUTRI TENTANG TERORISME” telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 31 Maret 2008. skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 31 Maret 2008

Sidang Munaqosyah,

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dra. Hermawati, M.A Dra. Wiwik Siti Sajaroh, M.Ag

NIP:150 227 408 NIP:150 270 808

Anggota,

Drs. Agus Nugraha, M.Si Nawiruddin, M.A

NIP:150 299 478 NIP:150 317 965

Dra. Haniah Hanafie, M.Si. NIP:150 299 932


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, atas segala nikmat yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sholawat dan salam selalu penulis haturkan kepada sang pembawa risalah kebenaran yang sempurna Nabi Muhammad SAW, juga sebagai revolusioner sejati dalam sejarah dunia yang hasilnya masih dinikmati sepanjang zaman.

Alhamdulillah, selalu penulis ucapkan, karena salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana strata satu (S-I) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, seorang mahasiswa wajib mengerjakan tugas akhir yaitu dengan membuat karya ilmiah (skripsi) sesuai dengan kemampuannya masing-masing, dan penulis sudah menyelesaikan dengan baik walaupun banyak kekurangannya.

Dengan penuh kesadaran, penulisan skripsi ini tidaklah dapat terselesaikan oleh penulis sendiri, akan tetapi berkat do’a, dukungan, masukan, motivasi dan bantuan dari kawan-kawan, ibu pembimbing dan kedua orang tua penulis yang selalu mendorong dan memaksa penulis untuk menyelesaikan tugas skripsi ini, oleh karnanya tanpa bantuan mereka semuanya, apalah arti seorang penulis. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada semua pihak terutama antara lain:

1. Dr. Amin Nurdin, MA., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Drs. Agus Darmaji, M.Fils. dan Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag., selaku ketua dan sekretaris jurusan


(5)

Pemikiran Politik Islam yang senantiasa siap dan sabar melayani penulis dalam setiap urusan administrasi dan akademik. Dan segenap dosen jurusan Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak memberikan motifasi dan bimbingan berupa ilmu selama penulis menjalankan studi di kampus tercinta.

2. Dra. Haniah Hanafie, M.Si., selaku dosen pembimbing yang baik dan sabar, meskipun di tengah-tengah kesibukannya yang padat, beliau tetap selalu melayani penulis, tidak pernah mengeluh dan selalu memberikan bimbingan, masukan, referensi dan motivasi, sehingga penulis bisa mengerjakan tugas akhir ini dengan baik.

3. Ayahanda Zainuddin Abbas MT dan Ibunda Siti Aisyah yang sangat penulis cintai, serta kakanda dan adinda. Berkat kasih sayang, perjuangan, pengorbanan, tanggung jawab dan do’a yang tulus kalian, sehingga penulis mampu melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi di ibu kota Indonesia, tidak mudah bagi seorang penulis sebagai orang kampung dan anak seorang petani untuk mengadu nasib di kota besar ini, namun penulis merasa sangat beruntung bilamana bisa melanjutkan studi di ibu kota Indonesia ini, itu semua adalah berkat dukungan kalian. Sebagai wujud, terima kasih dan bakti kepada kalian, penulis hanya bisa mempersembahkan skripsi ini kepada kalian, namun penulis akan berusaha memberikan yang terbaik buat kalian semua, semoga Allah SWT membalas amal baik, dan dijadikan amal sholeh kalian di hari kelak nanti amin.


(6)

4. Teman-teman, kakak-kakak dan abang-abang penulis: di SDN II Sungai Manau, MTSN I Sungai Manau, MAN DR (Daarerrahman), AMJ (Asrama Mahasiswa Jambi Jakarta), PERMAJA JAYA (Persatuan Mahasiswa Jambi Jakarta Raya), PPI/A angkatan 2001-2002 (Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), BMKJ (Badan Musyawarah Keluarga Jambi Jakarta) DPP KNPI (Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia), dan PPPGDI

5. Seluruh pihak yang tidak penulis sebutkan dan cantumkan namanya satu-persatu, maka tidak mengurangi rasa hormat penulis pada jasa kalian semua, semoga amal baik kalian diterima disisi Allah SWT. dan menjadi amal sholeh kalian amin.

Jakarta, 31 Maret 2008


(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 5

D. Metode Penelitian ... 6

E. Sistematika Penulisan... 7

BAB II KONSEP DASAR TENTANG TERORISME

A. Pengertian Terorisme... 8

B. Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Terorisme di Indonesia... 14

BAB III KEBIJAKAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI TERHADAP TERORISME

A. Pengertian Kebijakan... 21


(8)

B. Dasar Hukum Kebijakan Megawati Terhadap Terorisme... 24

C. Penanganan Terorisme di Indonesia... 36

BAB IV IMPLIKASI KEBIJAKAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI DAN RESPON UMAT ISLAM

A. Implikasi Kibijakan Megawati Soekarnoputri... 41

B. Respon Umat Islam Terhadap Kebijakan Megawati... 50

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 54


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berawal dari tragedi 11 September yang sangat memilukan, hanya dalam hitungan menit dua menara kembar World Trade Center (WTC) dan bangunan penting Departemen Pertahanan Amerika Serikat (Pentagon) di Washington DC, hancur total ditabrak oleh pesawat terbang komersial. Sulit dipastikan berapa nyawa yang menjadi korban, namun bisa diperkiarakan korban mencapai 4.000 orang lebih1 dalam tragedi ini. Memang layak kalau tragedi ini dikatakan tragedi nasional bagi Amerika Serikat.

Peristiwa 11 september 2001 ini, banyak memunculkan perubahan paradigma tentang “keamanan dan ancaman nasional”, bagi negara-negara besar di dunia khususnya Amerika Serikat dan sekutunya, peristiwa ini telah memunculkan dua fenomena yang sangat mewarnai percaturan politik internasional2. Pertama, makin meningkatnya ketegangan hubungan antara Amerika Serikat dibawah George W. Bush dengan dunia Islam, dimana perang melawan teroris sangat dirasakan mengarah kepada perang melawan Islam fundamental. Ketegangan tersebut disebabkan penyerangan Amerika Serikat terhadap dua negara yang berpenduduk mayoritas Islam, Afganistan dan Irak sebagai pembalasan atas penyerangan WTC. Disamping itu Bush cenderung menyamakan kelompok Islam fundamental dengan teroris. kedua,Bush juga tidak

1

Es. Soepriyadi, Ngruki & Jaringan Terorisme: Melacak Jejak Abu Bakar Ba’asyir dan Jaringannya dari Gruki Sampai Bom Bali, (Jakarta: Almawardi Prima, 2003) h. 126

2

Riza Sihbudi, “Dimensi Internasional Teroris”, dalam Syahdatul Kahfi (ed.), Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, (Jakarta : SPECTRUM, 2006), h.52


(10)

segan-segan memaksa penguasa yang di anggap sekutu untuk membasmi gerakan atau kelompok fundamentalis di negara masing-masing. Akibatnya, di sejumlah negara terjadi ketegangan antara penguasa yang sekuler dengan para aktivis Islam seperti yang terjadi di Indonesia.

Dalam perang melawan terorisme, Amerika Serikat dan sekutunya menginginkan perang melawan teroris ini tidak hanya menjadi perhatian mereka akan tetapi menjadi permasalahan semua negara di dunia. Indonesia dalam hal ini tidak luput dari bagian perang melawan teroris, walaupun Indonesia sering kali dicap sebagai sarang terorisme di Asia.

Kebijakan nasional Indonesia memang harus dilakukan, karena sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dalam pembukaan mengamanatkan bahwa negara-negara berkewajiban untuk melindungi setiap warga negaranya dari setiap ancaman kejahatan baik yang bersikap nasional, transnasional apalagi yang bersifat internasional. Perang melawan teroris adalah kebutuhan yang mendesak untuk melindungi warga negara Indonesia sesuai tujuan nasional yang diamanatkan UUD 19453 tersebut.

Terorisme merupakan kejahatan luar biasa dan dapat digolongkan kedalam kejahatan kemanusiaan, yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional, karenanya penanganan masalah ini memerlukan kerjasama internasional. Memerangi terorisme dari sudut pandang internasional adalah merupakan pelaksanaan komitmen Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang mengutuk dan menyerukan seluruh negara anggota PBB untuk mencegah dan memberantas terorisme. Walaupun kebijakan melawan

3

Ansyaad Mbai, “Memahami Aktivitas Terorisme”, dalam Syahdatul Kahfi (ed.), Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, (Jakarta : SPECTRUM, 2006) h. 26


(11)

terorisme harus sesuai dengan kebijakan internasional, namun penerapannya oleh Indonesia sudah barang tentu membutuhkan penyesuaian sesuai kondisi objektif.

Tepat setahun setelah peristiwa yang menghancurkan menara kembar WTC, terjadi peledakan di Bali tanggal 12 Oktober 2003, kejadian inilah awal malapetaka bagi umat Islam Indonesia, dimana pemerintahan Megawati Soekarnoputri telah membuat kebijakan dalam bentuk Undang-Undang No. 16 tahun 2003 tentang pemberlakuan Perpu No. 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Kemudian untuk mendukung itu, pemerintah Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Inpres No.5 tahun 2002 yang memberikan otoritas kepada Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mengkoordinasikan kegiatan Intelijen dalam menangani masalah terorisme.

Namun kebijakan pemerintah yang diterapkan dalam Perpu dan UU ini ibarat “pukat harimau” yang menjaring segala jenis ikan, binatang, bahkan kerang laut. Yang ditangkap oleh UU pukat harimau ini bukan hanya orang-orang yang benar-benar melakukan pengeboman seperti Amrozi, Imam Samudera, Mukhlas dan lain-lain, melainkan menangkap aktivis mesjid, santri-santri dan ustad-ustad (guru agama) yang tidak melakukan aktivitas terorisme sama sekali. Para penceramah yang keras juga sejak adanya Perpu dan UU ini mulai di incar aparat intelijen baik dari kepolisian maupun meliter.4 Target dari operasi intelijen ini adalah aktivis yang menginginkan penerapan Syariat Islam di berbagai daerah. Target selanjutnya adalah orang yang kritis terhadap pemerintah umpamanya penangkapan terhadap Abu Bakar Ba’asyir dan Suripto serta alumni jihad Ambon lainya.

4


(12)

Namun, sepak terjang kebijakan yang berupa undang-undang ini berakhir ketika Mahkamah Konstitusi mengabulkan Judicial Review (PK) yang diajukan kuasa hukum Masykur Abdul Kadir salah seorang tertuduh dalam kasus bom Bali. Alasan yang dipakai dalam pembatalan ini karena Undang-Undang ini menerapkan Azaz Retroaktif, yakni asas yang berlaku surut dalam kasus Bom Bali.5

Di tengah hantaman isu terorisme yang ditujukan kepada umat Islam, akibat pemberlakukan undang-undang “pukat harimau” dan walaupun Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 ini telah dibatalkan MK, ada beberapa hal menarik yang penting untuk di potret dan diteliti lebih jauh bagaimana sikap umat Islam dalam penanganan terorisme di Indonesia, dan bagaimana implikasi dan respon dari kebijakan Pemerintahan Megawati Soekarnoputri yang secara historis dan garis politik berbeda dan vis a vis dengan kalangan umat Islam. Berdasarkan deskripsi di atas, penulis mencoba meneliti masalah tersebut dengan judul :

Kebijakan Pemerintahan Megawati Soekarnoputri Tentang Terorisme.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

5

Martimus Amin, ”Makamah Konstitus, Konstitusi dan Demokrasi dalamRudhy Suharto dkk. (Ed.) Terorisme,Perang Global dan Masa Depan Demokrasi ( Depok : Matapena 2004) h. 12


(13)

fokus Penelitian ini akan diarahkan untuk menjawab secara spesifik pertanyaan dibawah ini :

1. Bagaimana sikap dan penangganan Pemerintah Megawati Soekarnoputri terhadap Terorisme.

2. Bagaimana respon umat Islam terhadap kebijakan Megawati

Soekarnoputri dalam pemberantasan Terorisme di Indonesia.

C. Tujuan dan Kegunanaan Penelitian

Berdasarkan dua pertanyaan pokok diatas, maka penulisan skripsi ini secara garis besar memiliki tujuan dan manfaat penelitian

1. Penelitian ini untuk memahami bagaimana sikap pemerintah pemerintahan Megawati Soekarnoputri dalam penangganan Terorisme.

2. Untuk mengetahui respon umat Islam terhadap pemerintahan Megawati Soekarnoputri dalam pemberantasan Terorisme di Indonesia.

3. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu politik tentang kebijakan politik dan memberikan sumbangsih bagi Program Studi (PPI) di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah.


(14)

Penelitian ini akan menganalisa tentang kebijakan pemerintahan Megawati Soekarnoputri terhadap terorisme, jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian kualitatif, yakni mengetahui secara mendalam permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan pemerintahan Megawati Soekarnoputri dalam menanggani permasalahan terorisme.

Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini bersifat deskriptif-analisis yakni menggambarkan secara keseluruhan tentang sikap dan penanganan Megawati Soekarnoputri dalam masalah terorisme di Indonesia kemudian dianalisa apakah terdapat implikasi dari kebijakan Megawati Soekarnoputri tentang terorisme dan bagaimana respon umat Islam yang terkena imbas dari kebijakan tersebut.

Adapun teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah metode dokumenter, yakni mengumpulkan data melalui dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah kebijakan Megawati tentang terorisme.

Sedangkan penulisannya berpedoman pada: Buku Pedoman Akademik 2006-2007 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(15)

Secara umum penulisan skripsi ini akan dibuat lima bab, yang mengikuti sistimatika sebagai berikut:

Bab Pertama adalah pendahuluan. Dalam bab ini akan membahas tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian pembahasan, sistimatika penulisan.

Bab Kedua ini menguraikan konsep dasar tentang terorisme, pengertian terorisme dan sejarah kelahiran dan perkembangan terorisme di Indonesia.

Bab Ketiga membahas tentang kebijakan Megawati Soekarnoputri terhadap terorisme, pengertian kebijakan, dasar hukum kebijakan megawati terhadap terorisme, dan penangganan terorisme di Indonesia.

Bab Keempat membahas implikasi kebijakan Megawati Soekarnoputri dan respon umat Islam. Akan diuraikan tentang implikasi kebijakan Megawati Soekarnoputri dan respon umat Islam terhadap kebijakan Megawati.

Bab Kelima adalah penutup yang akan menarik kesimpulan dari uraian secara keseluruhan dari uraian skripsi ini.


(16)

BAB II

KONSEP DASAR TENTANG TERORISME

A. Pengertian Terorisme

Kata “teroris” (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin ‘terrere’ yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata ‘Teror’ juga bisa menimbulkan kengerian. Tentu saja, kengerian di hati dan pikiran korbannya. Akan tetapi, hingga kini tidak ada definisi terorisme yang bisa diterima secara universal. Namun pada dasarnya, istilah “terorisme” merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif, karena terorisme menyebabkan terjadi pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa6.

Teror adalah fenomena yang cukup tua dalam sejarah. Menakut-nakuti, mengancam, memberi kejutan kekerasan atau membunuh dengan maksud menyebar rasa takut adalah taktik-taktik yang sudah melekat dalam perjuangan kekuasaan, jauh sebelum hal-hal itu dinamai “teror” atau “terorisme”.7 Namun ketika terorisme didefinisikan secara khusus dalam rumusan kata-kata menimbulkan cukup banyak varian, umumnya pendefinisian terorisme beranjak dari asumsi bahwa sejumlah tindakan kekerasan, khususnya menyangkut kekerasan politik (Political Violence), adalah Justifiabel dan sebagian lagi adalah unjustifiable. Kekerasan jenis terakhir inilah yang sering disebut sebagai teror. Sedangkan terorisme adalah paham yang berpendapat bahwa penggunaan

6

Drs. Abdul Wahid, SH., MA., dkk, Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, Ham dan Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2004),h. 22

7

Dr F. Budi Hardiman, dkk., Terorisme: Definisi, Aksi dan Regulasi, (Jakarta: Imparsial, 2005),h. 3


(17)

cara kekerasan dan menimbulkan ketakutan adalah cara yang sah untuk mencapai suatu tujuan.

T.P. Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964) mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal. Khususnya dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan.

Terorisme dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu enforcement terror

yang dijalankan penguasa untuk menindas tantangan terhadap kekuasaan mereka, dan agitation terror, yakni teror yang dilakukan mengganggu tatanan yang mapan untuk kemudian menguasai tatanan politik tersebut.8

Untuk mendapatkan definisi tentang terorisme, penting kiranya untuk mengulas lebih jauh tentang konsep dan sejarah terorisme. Walaupun harus diakui pada saat ini sangat sulit untuk menemukan definisi teroris yang dapat diterima semua pihak.

Bagi bangsa Indonesia sangat tidak mungkin mengikuti begitu saja definisi terorisme versi Amerika yang sekarang sangat gencar dikampanyekan dalam bentuk war againts terrorism keseluruh dunia. Terorisme lebih terkait dengan Islam radikal atau militan, Jamaah Islamiyyah, Al Qaida, atau apapun namanya, akhirnya terorisme identik dengan Islam Jika terminologi ini yang dipakai maka Indonesia sebagai bangsa muslim terbesar tentu saja rentan menjadi bidikan itu.

8

Azyumardi Azra, “Jihad dan Terorisme : Konsep dan Perkembangan Historis” dalam Jurnal Islamika, Edisi 4 April- Juni 1994.


(18)

Jika kita mau menelusuri lebih jauh, konsep terorisme tidak ada hubungan dengan Islam dan umat Islam. Jean Boudillard, seorang filosof Prancis menyatakan bahwa :

“Terorisme ibarat virus, ada dimana-mana. Terpendam secara global, terorisme ibarat bayang-bayang dari segala sistem dominasi, yang siap dimana-mana muncul sebagai agen ganda. Tidak ada batasan yang jelas untuk mendefinisikan hal tersebut; ini adalah kode inti dari budaya yang ingin melawan dominasi- dan keretakan yang tampak (kebencian) yang menentang, dalam level global, yang tereksploitasi dan terbelakang melawan dunia barat, adalah sangat rahasia terkait keretakan internal dalam sistem dominan”.9

Dari definisi diatas Boudillard seolah menyatakan bahwa terorisme merupakan anak kandung dari wacana kekuatan yang tunggal dan hegemoni. Teorisme mendulang energi dan menyemangati gerakannya dengan pertentangan atas keretakan dominasi barat (AS) yang telah eksploitatif. Artinya selama AS selalu ingin menjadi kekuatan hegemonik tunggal di dunia dan globalisasi dengan one world system-nya di paksakan berlangsung, maka selama itu pula terorisme akan selalu ada dan tidak mungkin dilenyapkan.

Sementara itu Jurgen Habermas memandang terorisme sebagai efek trauma modernisasi yang telah menyebar keseluruh penjuru dunia dengan suatu kecepatan patologis, sedangkan, Jacques Derrida memandang terorisme sebagai suatu gejala elemen traumatis yang instrinsik terhadap pengalaman modern.

9

A. Effendy Choirie, “Sesat Pikir penanganan terorisme”, dalam Syahdatul Kahfi (ed.), Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, (Jakarta : SPECTRUM, 2006) h.67


(19)

Keduanya sepakat bahwa globalisasi memainkan peran yang besar melawan terorisme.10

Dengan demikian, jika terorisme sama sekali tidak terkait dengan ajaran Islam, lantas apakah masyarakat global juga bisa menerima bahwa terorisme adalah anak kandung globalisasi atau hanya icon politik internasional Amerika Serikat untuk mempertahankan hegemoninya terhadap dunia.

Di awal masa modernisasi lahir, terorisme juga terjadi pada revolusi Prancis (1793-1794), dimana pemerintah teror berkuasa dan menangkapi 300.000 orang lebih, serta eksekusi 17.000 tahanan itu melalui proses pengadilan. Kemudian dalam sejarah revolusi Amerika setelah Civil War (1861-1865), kelompok pembangkang dikawasan Amerika Selatan mendirikan organisasi teroris Ku Kluk Klan untuk mengintimidasi pendukung pemerintah.

Memasuki abad 20, terorisme telah berkembang pesat dan menyebar luas di daratan Eropa, Amerika, Rusia dan China. Abad ini juga menandai terjadinya perubahan besar-besaran dalam motivasi dan telah menjadi bagian dari ciri pergerakan politik ekstrim kiri dan kanan dalam spektrum ideologi, kemajuan dan teknologi menjelma dalam kebijakan pemerintahan totaliter Adolf Hitler (Jerman) Stalin (Rusia) dan Mao Tse Tung (China). Bahkan menurut penelitian korban yang dihasilkan Mao berskala lebih besar dari yang dilakukan Stalin, sekitar 10-20 juta orang dimusnahkan hanya untuk mempertahankan pemerintahan teror Mao.

Terorisme juga digunakan oleh satu atau dua pihak dalam konflik anti kolonial, seperti yang terjadi di Irlandia Utara-Inggris-Algeria-Prancis,

10

Lihat Geovanna Borradori, Filsafat dalam MasaTerror; Dialog dengan Jurgen Habermas dan Jacques Derrida. Terj. Alfons Taryadi (Jakarta : Kompas 2005) h. 32-34


(20)

Amerika Serikat, perebutan wilayah dan perbedaan bangsa Palestina-Israel, perbedaan denomisasi agama; Katolik-Protestan di Irlandia Utara, maupun anti hegemoni tunggal dunia, seperti AS-Al-Qaeda.

Berdasarkan konsep historis tersebut diatas, maka pengertian terorisme yang lebih objektif bisa diajukan disini supaya bangsa ini memiliki kejelasan terhadap apa yang dihadapi terkait dengan keamanan nasional kita, baik sebagai bangsa, dan warga negara Indonesia maupun dunia. Artinya bangsa Indonesia sangat berhak merumuskan sendiri konsepsi tanpa harus didikte oleh kepentingan dan kekuatan internasional tertentu tentang terorisme dalam hubungannya dengan keamanan nasional kita sendiri tentunya definisi yang dibuat tanpa menafikan berbagai kesepakatan dan konvensi internasional serta resolusi PBB tentang terorisme.

Oleh karena itu konsepsi terorisme dari sekjend PBB Kofi Annan, dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme (UU Anti Terorisme), buku putih pertahanan Dephan, serta Sayidiman Suryohadiprodjo layak untuk dijadikan acuan untuk mendapatkan definisi terorisme yang lebih objektif.

Kofi Annan melihat terorisme sebagai “ satu ancaman dan negara harus melindungi warga negaranya dari ancaman itu. Negara tidak hanya mempunyai hak tetapi juga harus sangat berhati-hati untuk memastikan bahwa tindakan-tindakan melawan terorisme tidak berubah menjadi tindakan-tindakan-tindakan-tindakan untuk menutupi atau membenarkan pelanggaran HAM.”11

Dalam buku putih pertahanan, depertemen pertahanan mengkonsepsikan tindakan terorisme sebagai sebuah tindakan yang “ selalu menimbulkan korban

11


(21)

jiwa, mengancam keselamatan publik menimbulkan kekacauan yang luas sehingga keselamatan bangsa dan kedaulatan negara, .terorisme telah merupakan ancaman nyata terhadap keselamatan bangsa, bahkan menjadi ancaman bagi demokrasi dan masyarakat sipil (civil soceity).”12

Dengan begitu, terorisme dapat didefinisikan oleh bangsa Indonesia sebagai “ Segala bentuk ancaman, intimidasi dan tindakan kekerasan, tindakan ilegal menimbulkan suasana teror (dampak psikologis) yang dilakukan perorangan maupun kelompok secara sadar dan sengaja yang mengakibatkan kerugian nyawa, harta benda, fasilitas negara, (Publik) atau objek vital strategis lainnya dan menimbulkan ancaman nyata terhadap keselamatan publik bangsa, warga negara, maupun warga dunia”.

12

Lihat Departemen Pertahanan, Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21, (Jakarta : Depertemen pertahanan 2003 ) h. 21 dan 31


(22)

B. Sejarah dan Perkembangan Terorisme di Indonesia

Sulit melepaskan motivasi agama dalam berbagai aksi terorisme di Indonesia, selain ada pengaruh dari luar Indonesia (jaringan organisasi terorisme internasional), maka keberadaan terorisme dewasa ini di Indonesia sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari benang merah sejarah pemberontakan bernuansa keagamaan yang terjadi di tahun-tahun awal kemerdekaan. Dari sudut tujuannya ada persamaan, yaitu mendirikan sebuah negara berlandaskan prinsip keagamaan di bumi Nusantara. Perbedaannya terletak pada metode perjuangannya

Pemberontakan di masa lampau memakai metode mobilisasi kekuatan bersenjata, sedangkan kelompok teroris saat ini menggunakan metode aksi-serangan teror yang dilakukan oleh kelompok kecil (sel) secara sporadis. Tujuannya untuk menciptakan instabilitas negara yang bermuara pada kejatuhan pemerintahan nasional dan digantikan dengan pemerintahan yang sejalan dengan pandangan atau keyakinan politik mereka13. Selain itu jika diteliti lebih dalam lagi maka dapat diketahui bahwa sebagian tokoh kunci kelompok teroris yang ada saat ini memiliki pertalian hubungan darah dengan pimpinan, anggota, aktivis DI/TII atau pimpinan, anggota, aktivis organisasi garis keras berlabel Islam yang kerap kali terlibat benturan kekerasan dengan aparat keamanan di masa lampau. Dengan demikian, terorisme di Indonesia dapat diidentifikasikan sebagai terorisme yang bermotivasi keyakinan agama (di sini tidak dibahas apakah pemahaman keyakinan agama mereka itu benar atau keliru. Kebenaran untuk mereka, bukan kebenaran secara umum). Pertalian antara elemen organisasi garis keras berlabel Islam di Indonesia dengan jaringan terorisme international berawal di Afghanistan sekitar

13

Wawancara Bali Post dengan Muhcyar Yara mantan Jubir BIN, ”Melacak jejak terorisme di Indonesia” 10 Nopember 2003, h. 3


(23)

pertengahan dekade tahun 80-an. Pada tahun 1984 Osama bin Laden bersama-sama dengan Dr. Abdullah Azzam (keturunan Jordanian-Palestina) mendirikan Afghan Bureau (yang dalam perkembangannya kemudian menjadi Al-Qaeda). Tujuannya menghimpun dan melatih para mujahidin dari seluruh dunia untuk membantu membebaskan Afghanistan dari pendudukan Uni Soviet.

Afghan Bureau memperoleh dukungan penuh dalam bentuk dana, peralatan dan persenjataan dari Dinas Intelijen Pakistan (ISI), Saudi Arabia dan Amerika Serikat (CIA). Dari Indonesia berangkat ke Afghanistan untuk berjihad sebagai mujahidin sekitar 300 orang pemuda. Umumnya mereka dikenal sebagai aktivis organisasi garis keras berlabel Islam. Perekrutan para mujahidin tersebut dilakukan secara terbuka di beberapa masjid. Pemerintahan Orde Baru mendiamkan saja kegiatan perekrutan para mujahidin tersebut, karena kegiatan itu didukung oleh negara-negara sahabat, yaitu Saudi Arabia, Pakistan dan Amerika Serikat.

Sepulang para mujahidin asal Indonesia ke Tanah Air (secara bertahap), mereka senantiasa saling berkomunikasi satu dengan lainnya. Mereka menamakan kelompok itu sebagai G-272 (singkatan dari Grup 272), yaitu jumlah mujahidin yang ada. G-272 inilah yang menjadi generasi pertama jaringan Al-Qaeda di Indonesia. mereka mulai terlibat dalam aksi-aksi serangan teror bom di Indonesia sejak pertengan tahun 2000.14

Selanjutnya, dari sudut orientasi teologisnya terorisme di Indonesia dewasa ini dibedakan atas tiga kelompok, yaitu Kelompok Solo, Kelompok

14

Brigjen TNI Bambang Sumarno, ”Peran Aparat Intelijen dalam Mengatasi Terorisme di Indonesia”,artikel diakses pada 3 Mei 2008 dari http//www.wordpress/id/taq/wawasan/html


(24)

Banten, dan Kelompok Lamongan. Meski demikian, komunikasi dan koordinasi di antara kelompok-kelompok tersebut berjalan cukup baik, karena memang memiliki tujuan yang sama. Hanya dalam hal-hal yang bersifat taktis terdapat variasi antara satu dengan lainnya. Kadang kala serangan-serangan teroris dilaksanakan dengan kerja sama antarkelompok itu.

Tetapi, dapat juga dilakukan oleh masing-masing kelompok secara sendiri-sendiri. Peristiwa penggranatan fasilitas Kedubes AS di Jl. Telukbetung, Jakarta Pusat beberapa waktu yang lalu dilakukan oleh Sel Purwakarta yang merupakan bagian dari Kelompok Solo. Sedangkan serangan Bom Bali I dilakukan dengan kerja sama oleh sel-sel yang merupakan bagian dari ketiga kelompok tersebut.

Bagaimana sejarah perkembangan kelompok teroris di Indonesia? Kelompok teroris di Indonesia pada awal berdirinya (sekitar 1999) yang dipelopori oleh para mujahidin eks Afghanistan, terutama mereka yang pernah bergabung atau berlatih di kamp-kamp yang dikelola oleh Al-Qaeda di perbatasan Pakistan-Afghanistan.

Dewasa ini jumlah anggota kelompok-kelompok teroris tersebut telah mencapai ratusan orang yang terdiri atas para pemuda yang direkrut kemudian.

Anggota baru atau generasi baru itu, setelah diseleksi secara ketat, kemudian sebagian memperoleh latihan militer di kamp-kamp pelatihan yang didirikan di berbagai tempat terpencil di wilayah Indonesia (seperti di Poso), dan sebagian lagi dikirim ke Kamp Abu Bakar milik MNLF di Filipina Selatan. Perekrutan anggota baru ini terus berjalan sampai kini.

Berdasarkan informasi yang diterima, program perekrutan tersebut kini telah sampai pada generasi ketiga. Sasaran perekrutan adalah pemuda


(25)

pengangguran tetapi yang sering mengunjungi masjid-masjid di beberapa tempat tertentu. Modus perekrutannya dilakukan secara sederhana. Para anggota yang lebih senior menyamar sebagai penjual pisang goreng atau singkong goreng yang mangkal di sekitar masjid-masjid tersebut. Mereka menyelidiki dan mengawasi para pemuda yang diincar. Lalu mereka diteliti latar belakang keagamaan keluarganya. Setelah dianggap tepat, baru kemudian didekati untuk diajak bergabung. Dengan demikian, jumlah anggota kelompok-kelompok teroris tersebut dari hari ke hari semakin bertambah, bukannya berkurang, meskipun sebagian dari mereka ada yang tertangkap petugas keamanan.

Jika ditinjau dari perkembangan perekrutan di atas, serta dikaitkan dengan cita-cita perjuangan mendirikan sebuah negara berlandaskan agama di Indonesia yang sudah tertanam sejak lama, maka masalah terorisme di Indonesia bukanlah persoalan jangka pendek, melainkan persoalan jangka panjang.

Sejak peristiwa Bom Bali I dan menyusul penangkapan-penangkapan yang dilakukan oleh Polri terhadap pihak-pihak yang dicurigai terlibat bom Bali, kelompok-kelompok teroris secara bersama sepakat untuk mengosongkan Pulau Jawa dan memindahkan para anggotanya keluar Pulau Jawa. Sementara yang ditinggalkan hanya segelintir anggota tingkat operasional rendahan saja.

Beberapa waktu yang lalu media cetak memberitakan bahwa sejumlah LSM telah melaporkan pihak Polri melakukan penangkapan secara sewenang-wenang terhadap 15 orang tersangka pelaku bom Marriott serta menculik 25 orang aktivis Islam yang sejak beberapa waktu telah menghilang. Padahal sebenarnya 25 orang yang diberitakan hilang tersebut merupakan bagian dari anggota kelompok teroris yang melakukan eksodus dari Pulau Jawa.


(26)

Dewasa ini kelompok-kelompok teroris berkumpul di tiga tempat, yaitu Sumatera, terutama wilayah antara Medan dan Pekanbaru (termasuk pulau-pulau kecil di Kepulauan Riau), wilayah Sumatera Bagian Selatan (Bengkulu dan Palembang). Lalu di Kalimantan, terutama Kalimantan Selatan (sekitar Banjarmasin) dan Kalimantan Timur, khususnya di pulau-pulau kecil di daerah perbatasan dengan Serawak Malaysia (Pulau Sebatik, Pulau Nunukan, dll.) Terakhir di Pulau Sulawesi, terutama di Sulawesi Tengah (Palu-Poso)15.

Di satu daerah dapat saja didiami oleh satu kelompok teroris tertentu, tetapi dapat juga didiami oleh beberapa kelompok teroris, seperti di Palu-Poso terdapat Kelompok Lamongan dan Kelompok Banten.

Bom Bali II dilakukan oleh jaringan ini. Pemberantasannya tidak bisa dilakukan oleh kepolisian saja. Terorisme hanya bisa dihilangkan oleh metode operasi intelijen yang tak hanya menangkap pelaku tetapi menghilangkan akar jaringannya.

Operasi teroris biasanya dilaksanakan oleh elemen klandestin yang dilatih dan diorganisir secara khusus, tindakan pengamanan yang ketat diberlakukan setelah sasaran operasi dipilih. Anggota tim tidak dipertemukan sebelum pelaksanaan latihan pendahuluan sesaat sebelum berangkat menuju sasaran. Pengintaian dilaksanakan oleh elemen atau personel yang bertugas khusus sebagai intelijen kusus, untuk memeperbesar kemungkinan keberhasilan pelaksanaan operasi, lebih banyak serangan yang direncanakan dari pada yang dilancarkan. Teroris senantiasa mencari dan mengeksploitir titik lemah dari sasaran. Mereka

15


(27)

seringkali menyerang sasaran yang tidak dilindungi atau kurang pengamanannya. Karakteristik dari operasi adalah kekerasan, kecepatan dan pendadakan.

Metoda. Teroris beroperasi dalam hubungan unit kecil yang terdiri dari personel yang terlatih menggunakan senapan otomatis ringan, granat tangan, bahan peledak munisi dan radio transistor. Sebelum pelaksanaan operasi, teroris berbaur dengan masyarakat setempat untuk menghindari deteksi dari aparat keamanan. Setelah pelaksanaan operasi, mereka kembali bergabung dengan masyarakat untuk memperbesar kemungkinan pelolosan mereka. Adapun taktik. yang sering dilakukan oleh para teroris adalah16:

1. Bom; Taktik yang sering digunakan adalah pengeboman. Dalam dekade terakhir ini sering terjadi aksi teror yang dilaksanakan dengan menggunakan bom, baik di Indonesia maupun di luar negeri, dan hal ini kedepan masih mungkin terjadi.

2. Pembajakan; Pembajakan sangat populer dilancarkan oleh kelompok teroris. Pembajkan terhadap pesawat terbang komersial pernah terjadi di beberapa negara, termasuk terhadap pesawat Garuda Indonesia di Don Muang Bangkok pada tahun 1981. Tidak menutup kemungkinan pembajakan pesawat terbang komersial masih akaan terjadi saat ini dan massa yang akan datang, baik di Indonesia maupun di luar negeri. 3. Pembunuhan; Pembunuhan adalah bentuk aksi teroris yang tertua dan

masih digunakan hingga saat ini. Sasaran dari pembunuhan ini seringkali telah diramalkan, teroris akan mengklaim bertanggungjawab atas pembunuhan yang dilaksanakan. Sasaran dari pembunuhan ini

16

Makalah Bambang Sumarno, ”Peran Aparat Intelijen dalam menangani terorisme di Indonesia”, 21 Januari 2008


(28)

biasanya adalah pejabat pemerintah, penguasa, politisi dan aparat keamanan. Dalam sepuluh tahun terakhir tercatat 246 kasus pembunuhan oleh teroris seluruh dunia.

4. Penculikan; Tidak semua penghadangan ditujukan untuk membunuh. Dalam kasus kelompok gerilya Abu Sayaf di Filipina, penghadangan lebih ditujukan untuk menculik personel, seperti yang dilakukan oleh kelompok GAM terhadap kameraman RCTI Ersa Siregar dan Fery Santoro di Aceh. Penculikan biasanya akan diikuti dengan tuntutan imbalan berupa uang atau tuntutan politik lainnya.

5. Penyanderaan; Perbedaan antara penculikan dan penyanderaan dalam dunia terorisme sangat tipis. Kedua bentuk operasi ini seringkali memiliki pengertian yang sama. Penculik biasanya menahan korbannya di tempat tersembunyi dan tuntutannya adalah berupa materi dan uang, sedangkan penyanderaan biasanya menahan sandera di tempat umum ataupun di dalam hutan seperti yang dilakukan oleh kelompok Kelly Kwalik di Papua yang menyandera tim peneliti Lorenz pada tahun 1996. Tuntutan penyannderaan lebih dari sekedar materi. Biasanya tuntutan politik lebih sering dilemparkan pada kasus penyanderaan ini.


(29)

BAB III

KEBIJAKAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI TERHADAP TERORISME

A. Pengertian Kebijakan

Kebijakan (policy) adalah sebuah intrumen pemerintah, bukan saja dalam arti government yang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan governance

yang menyentuh seluruh pengelolaan negara yang baik dan saling menguntungkan. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara17.

Banyak sekali definisi mengenai kebijakan. Sebagian besar ahli memberikan pengertian kebijakan dengan keputusan pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap akan membawa dampak baik bagi warganya, seperti kata Bridgman dan Davis, kebijakan pada umumnya mengandung pengertian mengenai ’whatever government choose to do or not to do.’ Artinya, kebijakan adalah ‘apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan.

Dalam beberapa literatur yang membahas tentang ‘kebijakan’, menurut Prof. DR. M. Solly Lubis, SH ditemukan beberapa definisi untuk menjelaskan pengertian kebijakan diantaranya 18:

17

Edi Suharto, Phd, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, (Bandung; Alfabeta, 2007),h. 3

18


(30)

1. Kebijakan adalah serangkaian konsep tindakan yanag diusulkan oleh seseorang atau sekelompok orang atau pemerintah dalam satu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan peluang, terhadap pelaksanaan usulan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.Ada beberapa pokok-pokok dalam suatu kebijakan yakni adanya tujuan (goal), sasaran (objektif), kehendak (Purpose).19 2. Amara Raksasataya mengatakan, kebijakan adalah suatu taktik dan

strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Ada tiga unsur dalam kebijakan menurut Amara, pertama identifikasi tujuan yang akan dicapai, kedua strategi untuk mencapainya, ketiga penyedian berbagai input atau masukan yang memungkinkan pelaksanaanya. 3. James Anderson

Kebijakan negara (State Policy) adalah kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga pejabat pemerintah dengan ciri-ciri khas sebagai berikut :

a. Kebijakan itu mempunyai tujuan b. Kebijakan itu berisi tindakan

c. Kebijakan itu ada tindakan yang nyata bukan sekedar harapan d. Kebijakan itu mungkin positif dan negatif

e. Kebijakan itu selalu dituangkan dalam peraturan yang otoritatif 4. David Easton menyebut kebijakan pemerintah itu sebagai “

kewenangan untuk mengalokasikan nilai-nilai” bagi masyarakat secara menyeluruh.Berarti yang mengatur secara menyeluruh kepentingan masyarakat adalah pemerintah bukan lembaga yang lain.

19

Said Zainal Abidin, PhD, Kebijakan Publik, ( Jakarta : Yayasan Pancur Siwah 2004 ) H. 20-21


(31)

5. Lasswell dan Kaplan melihat kebijakan itu sebagai “sarana” untuk mecapai “tujuan”. Kebijakan itu tertuang dalam “program” yang diarahkan dalam pencapaian tujuan, nilai, dan praktek.

6. Hugh Heglo mengatakan kebijakan suatu yang bermaksud mencapai tujuan (goal, end) tertentu ( a course of action intended to accomplis some end).20

7. Thomas R. Dye mengatakan kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk menentukan langkah untuk “berbuat” atau “tidak berbuat” (to do or not to do).

B. Dasar Hukum Kebijakan Megawati Soekarnoputri Terhadap Terorisme

Abad 21 merupakan abad globalisasi, baik dalam perkembangan di bidang ekonomi, sosial, politik, hukum dan perkembangan di bidang teknologi. Kecanggihan teknologi informasi telah menjadikan kehidupan manusia tidak lagi

20


(32)

dibatasi ruang dan waktu. Bahkan dapat dikatakan bahwa jarum yang jatuh disuatu negara atau di wilayah tertentu dalam yurisdiksi negara yang bersangkutan akan segera diketahui oleh seluruh bangsa di dunia. Sehingga tidak akan tersisa sedikit pun informasi mengenai kejadian-kejadian lokal yang luput dari perhatian dunia. Apalagi kejadian lokal atau nasional tersebut mempunyai aspek internasional. Seperti yang terjadi di Indonesia yang sangat menghentakkan ketenangan anak bangsa yakni peristiwa peledakan bom 12 Oktober 2002 di Bali. Yang mengindikasikan keterlibatan kelompok yang di cap teroris.

Kejadian ini sangat membuat pemerintah kesulitan untuk menjelaskan kepada dunia apa yang sebenarnya telah terjadi, karena pada peristiwa bom Bali banyak dari warga negara asing yang menjadi korban. Untuk mengatasi peristiwa tersebut agar tidak terulang kembali, pemerintah Megawati Soekarnoputri menempuh cara untuk mengatasi permasalahan teroris dengan membentuk aturan-aturan yang berkaitan dengan terorisme. Yakni dengan diterbitkannya Peraturan-aturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu No. 2 tahun 2002 tentang pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 pada peristiwa bom Bali tanggal 12 Oktober 2002, maka pemerintah bekerjasama dengan DPR RI mengesahkan kedua Perpu tersebut menjadi undang No. 15 Tahun 2003 dan Undang-undang No 16 Tahun 2003.

Penyusunan naskah rancangan Undang-undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mulai dilakukan sejak minggu keempat bulan april 2002 oleh satu tim yang terdiri dari unsur pemerintah dan unsur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Penyusunan draf Rancangan Undang-undang tersebut


(33)

dimulai dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat luas, termasuk kepada Organisasi Islam dan mahasiswa. Sosialisasi tersebut dilaksanakan pada bulan Juni 2002 di Jakarta dan Surabaya.

Dalam penyusunan naskah rancangan undang-undang ini, tim telah melakukan study banding atas undang-undang tentang pemberantasan terorisme di berbagai negara, diantaranya : Singapura, Malaysia, Australia, Kanada, India dan Amerika. Selain itu tim juga telah banyak memperoleh masukan dari ahli terorisme Kanada, Australia, dan Amerika melalui diskusi intensif yang berlangsung di Jakarta.

Setelah melakukan dua kali sosialisasi di dua kota besar, tim merasa perlu untuk menambah sosialisasi di tiga kota besar lainnya yakni Bandung, Medan dan Ujung Pandang. Tujuan sosialisasi ini untuk memperoleh masukan dari masyarakat luas dan sekaligus upaya untuk menumbuhkan pemahaman yang sama dikalangan masyarakat akan pentingnya dan perlunya mempunyai undang-undang tentang tindak pidana terorisme. Tujuan lain adalah untuk menghilangkan kesan bahwa undang-undang yang akan dibentuk atas perintah Amerika dan tekanan dunia internasional.

Untuk menyempurnakan naskah rancangan undang-undang ini tim telah di berkonsultasi dengan pakar hukum pidana dan hukum internasional serta menghapus beberapa ketentuan yang bersifat krusial yang memungkinkan timbulnya kontroversi di kalangan masyarakat, diantaranya21 :

21

Romli Atmasasmita, Masalah Pengaturan Terorisme dan Perspektif Indonesia, (Jakarta : Percetakan Negara RI, 2002 ) h. 12-13


(34)

1. Menghapus rancangan semula mengenai ketentuan tentang “Pembentukan badan anti terorisme” dengan pertimbangan kerena dikhwatirkan akan berpotensi mengembalikan trauma masyarakat terhadap kehadiran lembaga Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (KOMKAMTIB) dimasa lampau, dan untuk menghapus kesan undang-undang ini sebagai undang-undang subversi “gaya baru” yang dapat merugikan citra dan niat baik pemerintah secara politis. Namun demikian tim mencoba memasukkan usulan mengenai kemungkinanan pembentukan SATGAS berdasarkan Keputusan Presiden atas usulan kepala kepolisian Republik Indonesia. Hal ini terjadi ketika Polri sudah tidak mampu mengatasi situasi teror.

2. memasukkan ketentuan yang mengatur tentang perlindungan tersangka dan korban tindak terorisme dengan tetap menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai landasan kepolisian dalam melakukan tindakan pro justisia. Tim juga telah memasukkan tentang konpensasi dan rehabilitasi bagi korban tindak pidana terorisme, sehingga diharapkan Rancangan Undang-Undang ini dapat memelihara keseimbangan perlakuan terhadap kedua subjek hukum. Guna mencegah perlakuan yang bersifat diskriminasi. Selanjutnya dalam naskah Rancangan Undang-Undang ini juga tetap mempertimbangkan mengenai perlindungan atas kedaulatan negara Republik Indonesia, yaitu dengan menegaskan perluasan diberlakukannya Undang-undang ini keluar batas-batas teritorial (Ekstratoritorial Jurisdction) untuk dapat menuntut pelaku terorisme


(35)

di Indonesia yang melarikan diri keluar negeri, dan dapat melindungi warga negara Indonesia yang menjadi korban di luar negeri

3. memasukkan ketentuan mengenai penilaian terhadap laporan Intelijen, dari Imigrasi, Kejaksaan, Kepolisian, Bea Cukai, dan dari Badan Intelijen Negara (BIN) serta Badan Intelijen Strategis (BAIS), yang dilaksanakan melalui proses hearing di bawah ketua pengadilan Negeri atau Hakim yang ditunjuk. Prosedur ini baru dan tidak terdapat didalam KUHAP, namun sangat penting mengingat pengalaman dan sejarah terorisme yang memiliki kecanggihan modus operandinya karena didukung organisasi internasional yang kuat baik segi finansial maupun teknologi yang canggih dan jaringan intelijen yang kuat. 4. Mengeluarkan motivasi politik dari tindak pidana terorisme sehingga

setiap gerakan atau aksi demontrasi untuk melaksanakan hak-hak politik, ekonomi dan sosial dapat diwujudkankan tanpa perlu adanya rasa takut dituduh sebagai teroris. Namun jika terjadi akses yang jelas terbukti terjadi pelanggaran hukum maka pasal-pasal KUHP yang akan diberlakukan terhadap pelakunya.

Untuk mendukung peradilan terhadap pelaku tindak terorisme, tim penyusun memasukkan ketentuan baru mengenai alat bukti elektronik sebagai alat bukti baru selain yang diatur oleh KUHAP, sehingga akan dapat meningkatkan efisiensi kinerja aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.


(36)

Naskah Rancangan undang-undang ini juga memasukkan sejumlah ketentuan yang telah diatur dalam konvensi Internasional, antara lain mengenai pemboman oleh teroris, pembekuan dan penyitaan finansial terorisme serta sejumlah ketentuan lainnya yang berasal dari konvensi internasional lainnya.

Dari Rancangan undang-undang yang mengacu kepada Perpu No. 1 Tahun 2002 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 ini pemerintah bersama DPR mengesahkan menjadi Undang No. 15 Tahun 2003 dan Undang-undang No. 16 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Terdapat sejumlah pasal dalam Undang-undang Pemberantasan terorisme No. 15 dan 16 tahun 2003 yang berpeluang memberi wewenang tak terbatas kepada aparat penegak hukum dan keamanan. Menurut Todung Mulya Lubis dam Munir,22 pasal-pasal tersebut adalah :

1. Pasal 20 :

Setiap orang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, penasehat hukum dan atau hakim yang menangani tindak pidana terorisme, sehingga proses peradilan menjadi terganggu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas tahun)

2. Pasal 26

Ayat 1 “Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen”.

22

Todung Mulya Lubis, “Pasal-pasal Rawan dalam UU No. 15&16 tahun 2003”, Tempo, 29 Agustus 2004, h. 4


(37)

Menurut Munir dan Todung Mulya Lubis, rumusan itu memberi peluang penyalahgunaan kekuasaan negara, terutama pemberian kesempatan luas kepada Intelijen dari BIN dan TNI. Bisa saja laporan dibuat untuk tujuan lain dan berbeda selain dari untuk mencegah atau mengumpulkan informasi terkait dengan terorisme.

3. Pasal 28

Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasar bukti permulaan yang cukup untuk paling lama 7 X 24 jam”.

Menurut Munir pasal ini memberikan mandat yang sangat luas kepada penyidik (Polisi) untuk berbuat sewenang-wenang memeriksa seseorang tanpa perlu memberitahu keluargannya, dan didampingi penasehat hukum. Padahal cara-cara kekerasan fisik untuk mengorek keterangan masih dijadikan jalan pintas oleh polisi dalam memeriksa seseorang.

4. Pasal 30

Ayat 1: “ Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana terorisme, maka penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari pihak Bank dan lembaga jasa keuangan mengenai harta kekayaan dari setiap orang yang diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme

5. Pasal 31


(38)

a. Membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melaui pos dan jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana terorisme yang sedang diperiksa.

b. Menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lainnya yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme.Menurut Todung, kedua pasal ini mengancam hak-hak individual. Apalagi hanya berdasar laporan intelijen.23

6. Pasal 46

“Berlaku surut sebelum adanya undang-undang ini”.

Menurut Todung, memperlakukan ketentuan pidana terorisme secara retroaktif (berlaku surut) adalah pelanggaran serius terhadap prinsip legalitas dan dalam hukum pidana ada prinsip Nullum Delictum Nulls Poena Sine Previa Lege Poenali, tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali ada ketentuan pidana sebelum perbuatan itu terjadi.

Mengingat banyak terdapat pasal-pasal rawan yang bersifat multitafsir dan memberikan peluang penyalahgunaan kekuasaan politik kepada pemerintah dengan mengijinkan badan-badan intelijen non yudisial, baik BIN maupun badan intelijen meliter, menjadi bagian dari institusi penegak hukum (pasal 26) ditambah lagi pemberlakuan ketentuan pemberantasan tindak pidana terorisme secara berlaku surut atau retroactif yang jelas-jelas pelanggaran serius terhadap prinsip legalitas. Beberapa kalangan mengajukan

23


(39)

yudisial reveuw ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meninjau kembali tentang aturan-aturan dalam undang-undang tindak pidana terorisme.

Pada Jumat, 23 Juli 2004, Mahkamah Konstitusi menjatuhkan keputusan yang sangat mengejutkan24. Putusan yang menggegerkan dunia internasional, khususnya Australia yang warganya banyak meninggal akibat peristiwa bom Bali 12 Oktober 2002 dan AS yang sedang giat-giatnya melancarkan perang antiterorisme.

Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan UU No. 16 tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang No.2 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme pada peristiwa bom Bali 12 Oktober 2002 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Dalam memberi keputusan MK ini ada yang menarik, putusan ini bukanlah putusan bulat, lima hakim setuju termasuk ketuanya sedangkan empat orang hakim lainnya tidak setuju. Hal ini mencerminkan, dikalangan akedemisi, praktisi hukum, dan masyarakat juga akan terbelah pendapatnya mengenai putusan itu.

Putusan itu memang kontroversial, tetapi berdasarkan aneka pertimbangan hukum yang dikemukakan dapat dipahami meski banyak yang tidak sependapat. Dalam pasal 1 ayat (1) KUHP disebutkan “ Tidak satu perbuatan pun dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan Undang-undang yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan ”. Berdasarkan pasal tersebut, suatu ketentuan pidana tidak dapat diberlakukan surut atau retroaktif. Asas tersebut merupakan asas universal yang ada dalam hukum pidana semua

24


(40)

sistem hukum. Apakah asas universal tersebut harga mati atau bukan?, Apakah dalam hal-hal tertentu yang sangat mendasar tidak boleh terjadi penyimpangan atas asas tersebut?.

Ada dua pendapat tentang boleh tidaknya pemberlakuan asas retroaktif ini, pendapat pertama25, yang juga dikemukakan 4 orang hakim yang mempunyai pendapat berbeda (Disenting Opinion) mengatakan pada dasarnya konstitusi Indonesia tidak memperbolehkan dalam perundang-undangan, akan tetapi pemerintah menganggap kasus bom Bali sebagai kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime) sehingga harus dihadapi secara luar biasa, dengan memberlakukan undang-undang yang bersifat retroaktif. Pengecualian ini sebenarnya pernah diterapkan pada undang-undang korupsi, dimana Indonesia tidak memperkenankan pembuktian terbalik karena menyalahi due process of law. Tapi dalam undang-undang korupsi sistem pembuktian terbalik dapat diberlakukan, karena mengingat kedua kejahatan tersebut (teroris dan korupsi) ancaman yang amat membahayakan keamanan negara dan secara internasional dianggap membahayakan keamanan dan budaya dunia.

Dalam UU No. 16 Tahun 2003 yang dibatalkan MK, terorisme didefinisikan sebagai perbuatan yang merupakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital

25

Frans H. Winata, “Putusan Mahkamah Konstitusi soal Undang-umdang Antiteroris”, dalam Syahdatul Kahfi (ed.), Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, (Jakarta :


(41)

yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa terorisme termasuk kejahatan luar biasa terhadap kemanusian (extra ordinary crime against humanity). Dan peristiwa bom Bali merupakan kejahatan terhadap kemanusian (extraordinary crime) sehingga harus ditindak dengan pengkhususan tertentu yang di dalam hal ini pemberlakuan asas retroaktif. Terorisme saat ini telah menjadi momok dunia, sehingga diperlukan kerjasama multilateral untuk menaggulanginya.

Sebenarnya, pada tanggal 17 Juli 1998, telah terbentuk International Criminal Cort (ICC) untuk mengadili pelaku-pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) dan statuta Roma ini telah diratifikasi oleh 60 negara.

Tujuan pembentukan ICC untuk mengadili para pelaku kejahatan yang dianggap dapat membahayakan umat manusia dimanapun kajahatan itu terjadi. Aneka kejahatan dalam statuta Roma adalah kehamilan yang dipaksakan, pemerkosaan massal, kejahatan perang, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida terhadap kebudayaan, dan agresi. Kecuali invasi yang harus dirumuskan lagi. Statuta Roma ini dilakukan secara retroaktif dengan tujuan agar dapat mengadili penjahat-penjahat perang Yugoslavia.

Asas retroaktif juga pernah diberlakukan sebelumnya, yaitu pada pengadilan untuk penjahat perang Nurenberg, untuk mengadili anggota Nazi Jerman yang membantai lima juta kaum Yahudi. Korban teror Twin Tower New York dengan 3000 orang tewas dan korban bom Bali yang tidak bisa dibandingkan secara kuantitas, tetapi sama kejamnya.


(42)

Pendapat kedua yang tidak setuju dengan pemberlakuan asas retroaktif berargumen bahwa hal tersebut bertentangan dengan pasal 1 ayat (1) KUHP disebutkan “ Tidak satu perbuatan pun dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan Undang-undang yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan ”. Adapun alasan bahwa permasalahan terorisme telah menjadi momok bagi dunia, dan telah diratifikasi statuta Roma oleh 60 negara, yang menjadi dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk mengadili kejahatan kemanusiaan dan telah diratifikasi oleh banyak negara, namun dibawah pemerintahan Bush, pada tahun 2002 Kongres Amerika Serikat telah menerbitkan “American Service Member Protection Act (ASPA), isinya melarang setiap kerjasama dengan ICC. ASPA juga memberikan wewenang yang luar biasa kepada AS menggunakan segala cara termasuk menyerang suatu negara untuk membebaskan warga dan sekutunya.

Dalam kontek kerjasama memerangi teroris ternyata AS menunjukkan sikap ambigu, tingkat kepercayaan mayoritas masyarakat internasional terhadap citra positif demokrasi AS semakin luntur, dan keganasan tentaranya menjadi sorotan banyak negara. Melalui siaran pers Menlu Vatikan, Kardinal Angelo Sodano menyatakan penyerangan AS atas komplek suci Imam Ali Najab, melanggar kesapakatan konvensi Jeneva/Jenewa dan hukum Internasional.

Selain itu, dari praktek-praktek hukum internasional ternyata pihak-pihak yang diadili adalah pihak-pihak negara (regime), bukan warga (sipil) contohnya pada pengadilan HAM adhoc kasus Tanjung Periok dan Timor Leste, pihak yang diadili berdasarkan Undang-undang HAM secara retroaktif


(43)

juga berunsur negara; meliter, pejabat sipil, dan milisi. Menurut Martinus Amin26, yang dapat dikenakan asas retroaktif selain kejahatan yang diatur dalam konvensi Roma, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh negara, alasanya supaya negara tidak begitu mudah mengenakan asas retroaktif terhadap warga. Hal ini mengingat watak kekuasaan yang cenderung korup, aturan yang ada diabaikan, apalagi yang bersifat elastis.

Kalau disamakan penggunaan asas retroaktif terhadap kejahatan terorisme dengan pembuktian terbalik dalam UU Korupsi sangat tidak pas, karena sistem pembuktian terbalik substansi sangat berbeda, berisi pengaturan “beban pembuktian”, dimana seseorang wajib membuktikan harta benda yang dimilikinya bukan hasil korupsi dimuka sidang asas ini dikembangkan oleh ahli hukum, selain dianut oleh Indonesia juga oleh beberapa negara lain.

C. Penanganan Terorisme di Indonesia

Tertangkapnya Abu Dujana terkait dengan jaringan teroris beberapa waktu yang lalu membuktikan bahwa jaringan terorisme di Indonesia telah menjadi ancaman yang sulit ditebak. Fenomena terorisme telah mampu menciptakan rasa takut secara global dengan menggunakan jaringan dan transaksi internasional,

26

Martinus Amin, “Negara Hukum, Intervensi Asing, Ambiguitas Demokrasi”, dalam Syahdatul Kahfi (ed.), Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, (Jakarta : SPECTRUM, 2006) h. 26


(44)

regional dan nasional. Jaringan terorisme di Indonesia merupakan bagian dari jaringan teroris internasional yang tumbuh subur di kawasan Asia.

Selain masalah terorisme, ada persoalan lain yang dapat mempengaruhi terwujudnya keamanan nasional saat ini. Pertama, konflik ekonomi yang ditandai dengan ketegangan-ketegangan pada sektor perdagangan, seperti tarik ulur harga minyak goreng antara pemerintah dan produsen. Hal ini menjadi ironis karena rakyat harus membayar harga minyak goreng lebih mahal, padahal Indonesia produsen CPO kedua terbesar di dunia.

Kedua, ancaman terhadap keamanan nasional terutama masih dilihat sebagai sumber dari dalam negeri. Seperti adanya konflik Poso, Ambon, Irian, Aceh dan lain-lain yang telah memberikan andil cukup besar bagi keterpurukan bangsa.

Ketiga, penyelundupan manusia dan migrasi ilegal, khususnya yang terjadi di Asia juga turut memperburuk situasi keamanan dalam negeri. Migrasi ilegal dapat terjadi karena dua faktor utama, yaitu faktor pendorong dan penarik. Faktor pendorong berasal dari situasi internal negara asal seperti pengangguran yang meningkat sebagai akibat krisis ekonomi dan finansial, serta faktor-faktor keamanan dalam negeri yang timbul akibat pemerintahan rezim yang represif atau terjadi perang saudara. Faktor penarik yang berasal dari negara tujuan atau negara pilihan timbul karena negara tujuan tersebut sangat aman, secara politik stabil, kaya, ekonominya maju dan karenanya menjanjikan kehidupan baru yang lebih baik.

Keempat, lalu lintas obat terlarang. Indonesia sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang lokasinya sangat mudah diakses dan banyak wilayah yang


(45)

penjagaan keamanannya amat lemah, menjadikan negeri ini bukan saja sebagai lalu lintas transit yang aman untuk perdagangan narkotika ke Australia dan kawasan lainnya, tetapi juga seperti Thailand sangat memungkinkan Indonesia menjadi pusat perdagangan serta pasar narkotika dan obat bius lainnya.

Kelima, aksi perompakan semakin nyata sebagai suatu ancaman bersama yang perlu dihadapi oleh negara-negara di dunia. Tidak jarang pelaku perompakan bukan hanya berasal dari satu kebangsaan tertentu saja, tetapi dari beragam bangsa yang terorganisasi dalam satu organisasi kejahatan lintas negara, seperti mereka yang beroperasi di Selat Malaka, Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur. Keenam, adanya perdagangan gelap senjata, penyalahgunaan teknologi informasi, konflik komunal yang terjadi di Aceh dan Ambon yang menggunakan senjata sebagai alat kekerasan, misalnya, tidak menutup kemungkinan diperoleh dari hasil perdagangan gelap. Sedangkan penyalahgunaan teknologi informasi seperti perusakan jaringan internet dan website milik TNI dan Polri maupun milik institusi dan perusahaan negara maupun swasta nasional lainnya.

Tantangan yang perlu dijawab oleh pemerintah adalah harus mampu meyakinkan bahwa langkah-langkah yang dilakukan dalam upaya pemberantasan terorisme dan bahaya lain yang dapat merusak tatanan keamanan nasional digunakan untuk kepentingan kemakmuran seluruh rakyat. Dengan demikian upaya untuk mewujudkan keamanan nasional dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab negara untuk memberikan rasa aman suatu bangsa dari berbagai ancaman, baik politik, sosial maupun budaya, terhadap keutuhan dan kedaulatan wilayah.

Keamanan nasional merujuk kepada kebijakan pemerintah untuk menjamin kelangsungan hidup dan keamanan negara bangsanya dengan


(46)

mewujudkan perdamaian dan stabilitas dalam sebuah komunitas. Dengan memanfaatkan seluruh kekuatan diplomasi luar negeri (tetap berpijak pada politik bebas aktif), mengolah potensi ekonomi nasional untuk kepentingan pertahanan negara serta penggunaan kekuatan militer berdasarkan prinsip demokrasi. Untuk mewujudkan langkah tersebut diawali dengan proses demokratisasi yaitu untuk mewujudkan keamanan nasional harus mengikutsertakan masyarakat seluas-luasnya. Hal tersebut sangat diperlukan mengingat sebagian masyarakat sudah telanjur mempunyai persepsi yang rancu bahwa fungsi keamanan hanya dimonopoli oleh aparat negara. Peran pemerintah sebagai regulator harus memberikan porsi yang lebih besar kepada masyarakat umum untuk melakukan langkah-langkah penangkalan secara dini di lingkungan masing-masing. Penangkalan tersebut dilakukan dengan proses pemberdayaan berdasarkan perkiraan-perkiraan matang mengenai perkembangan lingkungan, nasional maupun internasional, tanpa harus didominasi oleh negara. Dengan demikian keamanan nasional, apa pun definisinya pada intinya mengandung hal-hal yang bersifat partisipatif masyarakat menuju perdamaian dan stabilitas dalam sebuah komunitas negara.

Berdasarkan konsep baru tentang keamanan nasional maka secara legal demokratik tercantum dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang menyatakan keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme di Indonesia merupakan bagian dari operasi militer selain perang Military Operation Other The War (MOOW) bukanlah hal yang tabu. Sydney Jones dari lembaga International Crisis Group (ICG) menyatakan TNI harus terlibat aktif memerangi terorisme


(47)

untuk mengimbangi kekurangmampuan lembaga lain dalam menangani masalah ini. Paling tidak terdapat tiga peran yang dapat dimainkan. Pertama, operasi-operasi khusus. Termasuk di dalam peran ini adalah operasi-operasi-operasi-operasi yang membutuhkan keahlian di luar keahlian konvensional kepolisian. Tugas yang membutuhkan keahlian khusus seperti pada contoh ini lebih tepat dibebankan pada Detasemen 81 Gultor (Penanggulangan Teroris) Kopassus TNI-AD, Detasemen Jalamangkara Marinir TNI-AL dan Detasemen Bravo Paskas TNI-AU. Kedua, penjagaan perbatasan. Bruce Hoffman, salah satu pakar terorisme dunia, memprediksi bahwa pascaterusirnya Taliban dari Afghanistan, jaringan teror dunia akan mengalihkan sasaran ke wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang sangat rendah penjagaannya. Indonesia sendiri setidaknya memiliki 12 pulau terluar yang rawan penyelundupan dan akhirnya tentu bisa saja menjadi jalur lintas kegiatan terorisme. Sehingga akan lebih optimal jika penjagaan wilayah perbatasan dibebankan kepada personel TNI. Dan ketiga, deteksi dini potensi teror. Dengan kemampuan data base atas kegiatan radikal, instrumen pembinaan teritorial atau kewilayahan. Inteligence gathering pada strata terbawah komando teritorial akan bersentuhan langsung dengan masyarakat dan merupakan sarana efektif untuk mendeteksi potensi ancaman teror.

Dengan adanya perspektif baru keamanan nasional yang ditekankan pada partisipasi masyarakat serta peran TNI dalam penanggulangan terorisme maka dalam kurun waktu ke depan perlu dibuat kebijakan tentang keamanan nasional yang komprehensif. Sehingga dapat diketahui secara jelas lembaga apa menangani ancaman apa, serta bagaimana partisipasi masyarakat dilakukan.


(48)

BAB IV

IMPLIKASI KEBIJAKAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI DAN RESPON UMAT ISLAM

A. Implikasi Kebijakan Megawati Soekarnoputri

Presiden Megawati Soekarnoputri adalah kepala negara pertama mengunjungi George W. Bush paska serangan teroris pada 11 September 2001 yang merubuhkan menara kembar World Trade Center di Amerika. Pertemuan kedua kepala negara ini banyak berbicara keinginan dan usaha untuk mengkonsolidasikan koalisi internasional yang baru terbentuk untuk melawan terorisme, terutama di negara berkembang. Indonesia salah satu komponen penting dalam upaya ini karena posisinya sebagai negara demokratis berpenduduk muslim terbanyak dan meningkatnya peran organisasi-organisasi Islam sejak runtuhnya rezim Orde Baru pada 1998. Adapula dugaan bahwa beberapa kelompok Islam radikal di Indonesia mempunyai kaitan dengan organisasi Osama Bin Laden, Al-Qaida. Ini juga berkaitan dengan pernyataan Menteri Senior Singapura (kaki tangan AS), yang terang-terangan menuduh Indonesia sebagai “sarang para teroris”. Menurutnya, pemimpin teroris masih berkeliaran di Indonesia.27

Aksi teror bom di Bali pada 12 Otober 2002, telah mendorong pemerintah Indonesia untuk menyatakan perang melawan terorisme dan mengambil langkah-langkah pemberantasan serius dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 1/2002, Perpu Nomor 2/2002 dan Inpres Nomor 4/2002, disusul

27


(49)

dengan penetapan Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Nomor Kep-26/Menko/Polkam/11/2002 tentang pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme. Perpu Nomor 1/2002 dan Perpu Nomor 2/2002 telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15/2003. Berkaitan dengan teror bom di Bali dan memberikan wewenang penuh kepada datasemen 88 dan BIN untuk memberantas terorisme.

Detasemen Khusus 88 (penulisan selanjutnya Densus 88) adalah direktorat anti teror di Indonesia, lembaga ini yang yang menjadi ujung tombak memerangi terorisme di Indonesia, lembaga di bawah Mabes Polri ini, banyak menerima bantuan asing dalam jumlah yang sangat besar. Kewenangan Densus 88 dan BIN yang tidak terbatas dengan mengekploitasi undang-undang No. 15 dan 16 tahun 2003 untuk membasmi teroris di Indonesia ini mendapat protes dari kalangan masyarakat. Lembaga ini mempunyai superbody yang tak tersentuh hukum, kendati banyak oknumnya melakukan pelanggaran hukum dan sering menyakiti umat Islam, khususnya para ulama dan aktivis muslim yang dituduh teroris tanpa ada bukti yang jelas28.

Kalangan masyarakat yang merasa dirugikan dengan keberadaan Densus 88 menuntut pembubaran departemen ini karena bertentangan dengan semangat demokrasi, meresahkan masyarakat dan pelanggaran HAM, yang telah dimanfaatkan oleh kelompok anti Islam untuk memberangus para aktivis muslim yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka. Mereka berpendapat, jika lembaga ini tetap dipertahankan maka kesalahan Orde Baru yang terkenal

28

Fauzan Al-Anshory, Detasemen 88, dalam Syahdatul Kahfi (ed), Terorisme Perang Global Dan Masa Depan Demokrasi, (Jakarta : SPECTRUM, 2006) h. 57


(50)

sangat represif terhadap umat Islam dengan Operasi Khususnya akan terulang terulang kembali. Bedanya dengan Era Repormasi, jika Orde Baru operatornya adalah TNI untuk menjalankan kepentingan rezim, operatornya beralih ke polisi untuk mendukung hegemoni tersebut29.

Lembaga ini juga yang telah melakukan penangkapan lebih tepat penculikan terhadap ratusan aktivis muslim paska Bom Bali. Penculikan selalu disertai dengan penyiksaan, seperti yang pernah diungkapkan oleh imam samudera, Ali Gufron, Ali Imron dan Amrozi saat menjadi saksi dalam persidangan kasus Ustadz Abu Bakar Ba’asir di Kemayoran. saat itu Imam Samudera menyebut dua nama pelaku penyiksaan, yakni Beni Mamoto dan Carlo Tewu. Keduanya dituduh melakukan penelanjangan terhadap mereka. Mirip dengan kasus dipenjara Abu Ghuraib di Irak yang menghebohkan dunia, bedanya keempat orang tersebut tidak disuruh sodomi.

Dalam pelaksanaan penculikan oleh Densus 88, mendapat sorotan tajam dari masyarakat, sebagian tokoh Islam membentuk Tim Pembela Korban UU Antiterorisme (TIM KUAT) yang bertujuan untuk mengadvokasi para korban. Hal ini dilakukan karena mereka buta terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sehingga mereka tidak tahu haknya sebagai tersangka.

Istilah penculikan digunakan karena prosedur penangkapan terhadap para tersangka teroris tersebut tidak berdasarkan hukum yang berlaku dan mengacu pada Kitab Undang-Undang hukum acara pidana (KUHAP) pasal 18 ayat 1 yang berbunyi bahwa pelaksana tugas penangkapan dilakukan oleh

29


(51)

petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa., kemudian tembusan surat penangkapan tersebut harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapa30n.

Undang-undang No.15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme tidak mengatur prosedur penangkapan, sehingga polisi harus merujuk kepada KUHAP, namun pada saat penangkapan tersangka teroris yang memiliki bukti permulaan cukup adalah 7 X 24 jam sedangkan bagi tersangka berdasarkan KUHP hanya 1 X 24 jam. Untuk memperoleh bukti permulaan itu penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen setelah dilakukan proses pemeriksaan oleh ketua dan wakil ketua pengadilan negeri. Jika kemudian tidak terbukti, polisi harus segera membebaskan dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian penyelidikan (SP3). Namun mereka yang tidak terbukti tersebut sudah terlanjur ditangkap dan disiksa, seharusnya mereka mendapat kompensasi, namun kedua undang-undang teroris tidak mengatur hal tersebut. Para korban penculikan dan siksaan dapat dikatakan korban teror dari kepolisian. Misalnya yang terjadi pada Syaifuddin Umar, alumni Gontor dan Ummul Quro Mekkah yang mengakibatkan luka-luka disekujur tubuh. Seperti sundutan api rokok, pukulan dikepala, punggung, dan lepasnya kuku ibu jari, lebam di bibir kiri dan depresi dengan gejala sering bergumam dan takut dengan orang yang tidak dikenal.31

30

KUHAP, (Surabaya : Karya Anda 2000) h. 14 31


(52)

Lalu siapa yang bertanggung jawab terhadap penyiksaan terhadap guru ngaji tersebut, atau proses penangkapan sudah sesuaikah dengan proses hukum, Densus 88 antiterorlah yang melakukan dan diakui oleh mereka. Penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian adalah bentuk pelanggaran undang-undang dasar 1945 pasal 28 ayat 1 yakni hak untuk tidak disiksa, sekalipun terhadap tersangka. Tugas polisi sebagai penyidik adalah untuk menemukan bukti-bukti kuat terhadap tuduhan yang disangkakan kepada tersangka, bukan mengejar pengakuan yang justru akan mendorong terjadinya penyiksaan.

Ironis memang melihat penegakan supermasi hukum di Indonesia, ketika penyiksaan dilakukan kepada para tersangka teroris sementara kepada tersangka konglomerat hitam, penjual aset negara, koruptor, pelaku ilegal logging dan penumpasan tokoh separatis RMS. Para tersangka kejahatan ini jauh lebih dahsyat daripada peledakan bom, ini sering mendapatkan hak-haknya, seperti panggilan resmi sebanyak tiga kali, jika sakit diberi kesempatan berobat. Tetapi bagi tersangka teroris hak-hak tersebut tidak didapatkan.

Setahun setelah peristiwa bom Bali 12 Oktober 2002. tepatnya 11 September 2003, Menko Polkam saat itu, Soesilo Bambang Yudoyono menyampaikan prestasi Indonesia dalam memerangi teroris kepada Deputi Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Paul Wolfowitz di Washington DC dalam acara jamuan makan malam khusus yang diselenggarakan oleh asosiasi persahabatan AS- Indonesia (Usindo Soceity).


(53)

Dalam acara makan malam tersebut selain dihadiri Wolfowitz, hadir wakil Menlu AS untuk Asia Pasifik James Kelly dan Duta Besar AS untuk Indonesia Ralp L. Boyce. Dalam jamuan istemewa tersebut Wolfowitz mengajak semua hadirin toas untuk SBY sebagai penghormatan atas keberhasilan menangkap 97 (sembilan tujuh) teroris paska bom Bali Dan inilah bentuk dari kebijakan Megawati Soekarnoputri.

Ternyata memang banyak pengamat berpendapat bahwa gerakan Islam politik akan tidak bisa berkembang, kalau Megawati Soekarnoputri menjadi presiden akan sangat merugikan gerakan dan umat Islam itu sendiri, terbukti saat itu.32

Setelah tiga tahun peristiwa peledakan menara kembar WTC di AS, AS berusaha menekan pemerintah Indonesia agar bermain dalam kampanye anti-torisme. Bahkan kalangan petinggi AS membuka suara agar Washington memberikan bantuan polisi dan meliter Indonesia, selain bantuan ekonomi yang selama ini diberikan melalui via IMF dan Faris Club. Dibalik bantuan itu, sebagaimana diungkapkan sejumlah pengamat, AS sebenarnya ingin mengintervensi pemerintah Indonesia agar melakukan penagkapan terhadap sejumlah tokoh Islam Indonesia yang seringkali baru atas tuduhan sepihak dan atas bukti-bukti “kemasan” AS yang memojokkan sejumlah tokoh Islam sebagai “aktor teroris”33.

Keberhasilan AS mengintervensi pemerintah Indonesia dengan banyaknya tersangka teroris di Indonesia yang tertangkap hingga mencapai

32

Agung Pribadi,”Hubungan Buruk Megawati dengan Gerakan Politik Islam”dalam, Resonansi: Jurnal Pemikiran Kaum Muda, Vol ! No. 4 Tahun 2003 (Jakarta:DPPKNPI, 2003)h. 50

33

Idi Subandi Ibrahim dan Asep Syamsul M. Romli, Amerika, Terorisme dan Islamophobia: Fakta dan Imanjinasi Jaringan Kaum Radikal, (Bandung: Nuasa, 2007), h. 25


(54)

sekitar 150 (seratus lima puluh) orang. Diantaranya hasil penculikan terhadap aktivis Islam kloter pertama sekitar 30 orang, 10 orang kasus Cimanggis, 6 orang kasus mahasiswa Indonesia di Pakistan, 7 orang korban penculikan terakhir adalah Urwah, Ari Setiawan, Lutfi Haidaroh, Syaifudin Umar, Ismail, Candra dan Sonhadi. Dari ketujuh korban penculikan tersebut yang paling menyedihkan menimpa Syaifudin Umar, dia diculik didekat Asrama Haji Sukolilo Surabaya (14 Agustus 2004) dan ditemukan dalam keadaan depresi berat dan luka-luka yang menggenaskan34. Keluarga korban menduga Densus 88 yang paling bertanggung jawab atas penculikan dan penyiksaan terhadap orang-orang yang dituduh teroris.

Maraknya penculikan terhadap aktivis muslim ini, tentunya menimbulkan kegelisah tersendiri dikalangan masyarakat karena setiap saat orang dapat ditangkap dan diculik tanpa disertai dengan surat penangkapan dan disiksa oleh Densus 88 untuk mendapatkan keterangan. Tentunya pola-pola seperti pada masa Orde baru ini mendapat protes keras dari kalangan masyarakat.melalui unjuk rasa seperti yang dilakukan beberapa kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Front Perlawanan Penculikan (FPP) Surakarta dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Solo yang mendesak pembubaran Densus 88 Anti Teror Mabes Polri. Mereka menilai Densus 88 tersebut telah menyimpang dari tugasnya yang sebenarnya. Tuntutan tersebut diteriakkan FPP Surakarta dan MMI Solo saat menggelar aksi unjuk rasa di depan Mapolwil Surakarta,35. Unjuk rasa yang diikuti sekitar 100 orang ini

34

Siapa yang Melakukan Penculikan” Tempo, tanggal 21 Agustus 2004, h. 1

35

FPP dan MMI Solo Tuntut Pembubaran Densus 88 Anti Teror, diambil dari sumber tempo news http://www.tempo.com/2008/04/opini/475536.htm


(55)

merupakan bentuk solidaritas atas nasib yang dialami M Syaifudin Umar, ustad asal Surabaya, yang ditangkap dan dianiaya petugas. Dalam pernyataan sikap bersama, pengunjuk rasa menilai Densus 88 Anti Teror justru telah melakukan pelanggaran HAM berat dengan melakukan penculikan dan penyiksaan. "Densus 88 ini bukan lagi menegakkan hukum tapi justru lebih banyak menebarkan teror bagi masyarakat," demikian pernyataan mereka. Mereka kemudian mencontohkan adanya sejumlah penangkapan aktivis masjid dan pesantren yang dilakukan tanpa prosedur dan aturan yang berlaku. "Termasuk yang dialami ustad Syaifudin Umar adalah ulah Densus 88 ini," ujar Ahmad Sigit, salah seorang pengurus MMI Solo dalam orasinya. Pengunjuk rasa juga menyebut Densus 88 ini nyata-nyata telah melakukan pelecehan terhadap hukum dan perundang-undangan yang berlaku dengan menculik dan menyiksa. "Pemerintah dan DPR harus mengontrol institusi ini. Kami mencurigai Densus ini diatur oleh luar negeri khususnya Amerika Serikat yang telah memberikan bantuan dana," tandas Kholid Saifullah, juru bicara FPP. Pengunjuk rasa juga menuntut para petinggi dan anggota dari detasemen ini yang terlibat dalam penculikan untuk diperiksa dan diadili. Sementara itu menyangkut penyiksaan yang dialami Syaifudin Umar alias Abu Fida oleh petugas, mereka mendesak para pelakunya diseret ke pengadilan karena telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Melihat dari banyaknya bantuan yang diberikan AS dan sekutunya kepada Indonesia bukanlah pemberian bantuan secara gratis, ada kepentingan-kepentingan mereka terhadap Indonesia yang harus dipenuhi pemerintah. Hal


(56)

ini dapat terlihat ketika satu bulan sebelum peledakan bom Bali, yakni tanggal 16 September 2002, menurut penerjemah Deplu AS Frederick Burks terjadi pertemuan rahasia dirumah Megawati di jalan Teuku Umar yang dihadiri lima orang diantaranya, Megawati, Ralp L. Boyce(Dubes AS), Karen Brooks (Direktur NSC Asia Pasifik), Burks dan seorang agen wanita CIA yang menjadi utusan Bush. Pertemuan tersebut didominasi agen CIA untuk menahan ustad Abu Bakar ba’asir, namun Megawati Soekarnoputri menolak karena takut instabilitas politik dan agama. Agen CIA mengancam,”situasi akan bertambah buruk”.

Bom Bali meledak 12 Oktober 2002, sepekan kemudian lahir dua Perpu antiteroris. Ustadz Abu menjadi tersangka. 28 Oktober 2002 Ustadz Abu diseret dari RS PKU Solo dalam keadaan sakit, kemudian dipenjara dan dibebaskan tanggal 14 Juni 2006.

Tentunya ada beberapa pihak yang diuntungkan dengan isu bahwa Indonesia adalah sarang teroris, diantaranya pihak meliter Indonesia dan Polisi. Karena dua institusi inilah yang menjadi garda terdepan untuk memerangi bahaya terorisme yang dihembuskan AS.

Dengan adanya kampanye perang melawan teroris, Polri merasa sangat diuntungkan dan menjadikan keadaanya lebih baik, karena banyaknya bantuan dari negara asing sehingga Polri mampu memiliki peralatan muktahir, dan mendapatkan pelatihan-pelatihan dalam penanganan teroris, dengan suntikan dana juta dolar tersebut membuat Polri semangat melakukan perang terhadap teroris, dan selalu siap mengikuti kepentingan asing, seperti yang menimpa Ustadz Abu Bakar Ba’asyir.


(57)

B. Respon Umat Islam Terhadap Kebijakan Megawati Soekaroputri

Dalam masalah pemberantasan terorisme, kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah berupa undang-undang antiterorisme tentunya menimbulkan respon dari kalangan masyarakat, ada yang menilai positif dan yang negatif.

Bagi kalangan yang merespon positif kebijakan yang diambil pemerintah dalam menangani masalah terorisme, mereka berpendapat bahwa terorisme tidak layak hidup dan berkembang di Indonesia, karena aktivitas terorisme perbuatan yang tidak berperadaban dan merugikan. Banyak orang yang tidak bersalah menjadi korban. Di samping mengakibatkan korban jiwa, juga merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat terutama dibidang industri pariwisata. Paska peledakan Bom di Bali misalnya banyak pebisnis pariwisata yang gulung tikar karena kejadian tersebut. Dan tentunya terorisme juga disesalkan kelompok Islam yang moderat yang selama ini terus menampilkan dan memperjuangkan citra Islam sebagai agama yang ramah dan rahmat bagi seluruh umat.

Untuk memulihkan bisnis dan industri pariwisata, Indonesia harus berjuang dengan menciptakan sebagai negara aman dan nyaman dengan penduduk muslim yang ramah. Keamanan harus ditingkatkan dan pemberantasan terorisme harus sampai keakarnya. Menurut Menteri Negara Pariwisata dan Budaya I Gede Ardika saat itu, beliau mengajak khususnya pelaku pariwisata di Indonesia untuk melawan terorisme. Melawan terorisme bukan dengan cara yang sama dilakukan oleh teroris tetapi dengan pantang menyerah dan pantang mundur untuk selalu


(1)

Bagi Respon negatif atas kebijakan pemerintah dikarenakan kebijakan penanganan lebih banyak merugikan hak-hak masyarakat sipil seperti penculikan para aktivis muslim yang marak terjadi diberbagai propinsi di Indonesia. penculikan ini disertai dengan penyiksaan untuk mendapatkan keterangan. Penculikan dan penyiksaan ini ditentang oleh umat Islam dan kelompok pembela Hak Asasi manusia (HAM), karena apa yang dilakukan oleh Polisi dengan Densus 88 telah melanggar ketentuan undang-undang dan melanggar HAM. Sehingga terjadi penuntutan pembubaran densus 88 yang mereka anggap bukan lagi hendak menegakkan hukum tapi justru lebih banyak menebarkan teror bagi masyarakat. penolakan terhadap kebijakan pemberantasan terorisme juga dilakukan melalui jalur hukum seperti yang dilakukan Masykur Abdul Kadir. Terdakwa yang ikut terlibat dalam bom Bali. Dengan mengajukan hak uji materil terhadap undang-undang No.16/2003, tentang penerapan Perpu No.2/2003 tentang pemberlakuan Perpu No.1/2003, penanggulangan tindak pidana terorisme dalam kasus bom Bali yang memberlakukan asas berlaku surut (retroactive).

Pada tanggal 23 Juli 2004, Mahkamah Konstitusi yang diketuai Jimly Asshidiqqie mengabulkan permohonan uji materil undang-undang tersebut dengan alasan undang-undang tersebut melanggar konstitusi.

Paska pembatalan undang-undang No. 16 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme oleh Mahkamah Konstitusi, Majelis Ulama Indonesia menyambut penuh gembira atas putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan hak uji materiil atas Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme. Menurut Din Syamsudin, keputusan Mahkamah Konstitusi ini


(2)

merupakan langkah tepat. karena dari awal MUI menilai UU Anti terorisme adalah produk hukum yang dipaksakan dan merupakan pesanan Amerika Serikat.

Sambutan kegembiraan juga tidak hanya dari MUI yang dapat diprentasikan sebagai pendapat umat Islam, tapi juga dari kalangan aktivis muslim dan semua keluarga korban yang menjadi tersangka dalam kasus teroris. Dan kegembiraan ini tidak hanya dirasakan kalangan Islam tetapi juga para pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Memerangi terorisme adalah kewajiban sebuah negara. secara prosedural, kewajiban ini menimbulkan sebuah dilema antara keniscayaan pemberian kewenangan kepada institusi negara disatu pihak dan keharusan negara untuk tetap melindungi kebebasan sipil (civil liberty), terutama yang termasuk non derogable rights (Hak tidak mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar). Kebijakan untuk memerangi terorisme harus senantiasa bertolak dari beberapa prinsif :

1. Perlindungan kebebasan hak sipil, penghargaan dan perlindungan terhadap hak-hak individu serta pembatasan terhadap hak-hak demokratik.

2. Pembatasan dan pencegahan penyalahgunaan kekuasaan oleh negara. Dapat dilakukan dengan menerapkan secara utuh prinsip checks and balances dalam proses perumusan dan pengambilan keputusan, spesialisasi fungsi institusi pelaksana kebijakan, dan tersediannya mekanisme akuntabilitas publik bagi pelaksana kebijakan. Negara punya kewajiban untuk mengutamakan kepentingan publik.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Said Zainal, Kebijakan Publik, ( Jakarta : Yayasan Pancur Siwah, 2004 ) Amin, Martimus, ”Makamah Konstitus, Konstitusi dan Demokrasi” dalam

Rudhy Suharto dkk. (ed.) Terorisme, Perang Global dan Masa Depan

Demokrasi, (Depok : Matapena, 2004)

---, “Negara Hukum, Intervensi Asing, Ambiguitas Demokrasi”, dalam Syahdatul Kahfi (ed.), Terorisme di Tengah Arus Global

Demokrasi, (Jakarta : SPECTRUM, 2006)

Ari Wibowo, Aloysius (dkk), Tak Ada Jalan Pintas: Perjalanan Panjang Seorang

Perempuan, (Jakarta: LBKN-Antara Pustaka Utama, 2003)

Abu Fariz, M. Abdul Qodir, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Robbani Press, 2000) Andi Natsif, Fadli, Prahara Trisakti dan Semanggi: Analisis Sosio-Yuridis

Pelanggaran HAM Berat di Indonesia, (Makassar: to ACCAe Publishing,

2006)

Azra, Azyumardi, Jihad dan Terorisme : Konsep dan Perkembangan Historis

dalam Jurnal Islamika, Edisi 4 April- Juni 1994

Al-Anshari, Fauzan, Awas! Operasi Intelijen, (Tangerang: Ar-Rahma Media, 2006)

Atmasasmita, Romli, Masalah Pengaturan Terorisme dan Perspektif Indonesia, ( Jakarta : Percetakan Negara RI, 2002 )

Esposito, Jhon L dan Jhon O Voll, Demokrasi di Negara Muslim: Proplem dan

Prospek, terj. Rahmani Astuti, (Bandung : Mizan, 1999)

Gaffar, Afan, “Islam dan Politik dalam Era orde Baru: Mencari Bentuk

Artikulasi Yang Tepat”, Jurnal Ulumul Qur’an Vol. IV, no. 2 1993

Gautama, Sidarta, Megawati Soekarnoputri; Harapan dan Tantangan di Kursi

Wapres RI,( Jakarta : Rineka Cipta 2000)

Hifner, Robert W., Civil Islam, Islam dan Demokratisasi di Indonesia, Terj. Ahmad Baso, (Jakarta : ISAI, 2000)

Hardiman, Budi dkk, Terorime: Definisi, Aksi, dan Regulasi, (Jakarta: Imparsial, 2005)


(4)

Ibrahim, Idi Subandi dan M. Romli, Asep Syamsul, Amerika, Terorisme dan

Islamophobia: Fakta dan Imanjinasi Jaringan Kaum Radikal, (Bandung:

Nuasa, 2007)

Karim, M. Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Antiara Wacana, 1999)

---, Negara, “Islam Politik” dan Eksistensi ICMI: dalam Ahmar

(Peny), ICMI: Kekuasaan dan Demokrasi, (Yogyakarta: PT. Pena cendikia

Indonesia, 1995)

Ki Sukanyata, Saat Terindah dalam Hidup Megawati Soekarnoputri, (Tanggerang : Totalitas tt)

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka 1996). h. 641

Lubis Solly, Kebijakan Publik, ( Bandung : Mandar Maju, 2007 )

Muchtar, Rusdi, Dkk, Megawati Soekarnoputri Presiden RI, (Depok: PT. Rumpun Dian Nugraha, 2002).

N. Dunn, Wiliam, buku Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press 2003)

Pribadi, Agung, “Cuak” dalam Hidayatullah November 2002

---,”Hubungan Buruk Megawati dengan Gerakan Politik Islam”dalam, Resonansi: Jurnal Pemikiran Kaum Muda, Vol.1 No. 4 Tahun 2003 (Jakarta:DPPKNPI 2003)

Ramage, Douglas E, Pencaturan Politik di Indonesia; Demokrasi Islam dan

Idiologi Toleransi, Terj. Hartono Hadikusumo. (Jakarta: MATA

BANGSA, 2002)

Sihbudi, Riza, “Dimensi Internasional Teroris”, dalam Syahdatul Kahfi (ed.),

Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, (Jakarta : Mitra Alembana

Grafika, pt 2006)

Sirait, Sabam, Untuk Demokrasi Indonesia, ( Jakarta : Forum Adil Sejahtera 1997)

Soepriyadi, Es., Ngruki & Jaringan Terorisme: Melacak Jejak Abu Bakar

Ba’asyir dan Jaringannya dari Gruki Sampai Bom Bali,(Jakarta:

Almawardi Prima, 2003)

Siagian, H. Aris, Hj. Megawati Soekarnoputri dan Islam: Presiden Perempuan


(5)

Suharto, Edi, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, (Bandung; Alfabeta, 2007)

Tjokroamijdjojo, Bintoro dan Mustopadidjaya A.R., Kebijakan dan Administrasi

Pembangunan , Perkembangan Teori dan Penerapan, (Jakarta : LP3ES

1988)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 & 16 Tahun 2003

Winters, Jeffrey A., Ketidakpastian di Indonesia Era Soeharto, (Jakarta : Djambatan, 1999)

Wahab, Abdul, S., Dalam Pengantar Analisa Kebijakan Negara, (Malang : Rineke Cipta 1989)

Wahid, Abdul, dkk, Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, Ham dan Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2004)

Winata, Frans Hendra, “Putusan Mahkamah Konstitusi soal Undang-umdang Antiteroris”, dalam Syahdatul Kahfi (ed.), Terorisme di Tengah Arus

Global Demokrasi, (Jakarta : SPECTRUM, 2006)

Zada, Khaitami, Islam Radikal; Pergulatan Orrmas-ormas Islam Garis Keras di

Indonesia, (Jakarta: TERAJU, 2002)


(6)