Pasal 46 Dasar Hukum Kebijakan Megawati Soekarnoputri Terhadap Terorisme

a. Membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melaui pos dan jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana terorisme yang sedang diperiksa. b. Menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lainnya yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme.Menurut Todung, kedua pasal ini mengancam hak-hak individual. Apalagi hanya berdasar laporan intelijen. 23

6. Pasal 46

“Berlaku surut sebelum adanya undang-undang ini”. Menurut Todung, memperlakukan ketentuan pidana terorisme secara retroaktif berlaku surut adalah pelanggaran serius terhadap prinsip legalitas dan dalam hukum pidana ada prinsip Nullum Delictum Nulls Poena Sine Previa Lege Poenali, tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali ada ketentuan pidana sebelum perbuatan itu terjadi. Mengingat banyak terdapat pasal-pasal rawan yang bersifat multitafsir dan memberikan peluang penyalahgunaan kekuasaan politik kepada pemerintah dengan mengijinkan badan-badan intelijen non yudisial, baik BIN maupun badan intelijen meliter, menjadi bagian dari institusi penegak hukum pasal 26 ditambah lagi pemberlakuan ketentuan pemberantasan tindak pidana terorisme secara berlaku surut atau retroactif yang jelas-jelas pelanggaran serius terhadap prinsip legalitas. Beberapa kalangan mengajukan 23 Todung Mulya Lubis, “Pasal-pasal Rawan dalam UU No. 1516 tahun 2003”, h. 4 yudisial reveuw ke Mahkamah Konstitusi MK untuk meninjau kembali tentang aturan-aturan dalam undang-undang tindak pidana terorisme. Pada Jumat, 23 Juli 2004, Mahkamah Konstitusi menjatuhkan keputusan yang sangat mengejutkan 24 . Putusan yang menggegerkan dunia internasional, khususnya Australia yang warganya banyak meninggal akibat peristiwa bom Bali 12 Oktober 2002 dan AS yang sedang giat-giatnya melancarkan perang antiterorisme. Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan UU No. 16 tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang No.2 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme pada peristiwa bom Bali 12 Oktober 2002 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam memberi keputusan MK ini ada yang menarik, putusan ini bukanlah putusan bulat, lima hakim setuju termasuk ketuanya sedangkan empat orang hakim lainnya tidak setuju. Hal ini mencerminkan, dikalangan akedemisi, praktisi hukum, dan masyarakat juga akan terbelah pendapatnya mengenai putusan itu. Putusan itu memang kontroversial, tetapi berdasarkan aneka pertimbangan hukum yang dikemukakan dapat dipahami meski banyak yang tidak sependapat. Dalam pasal 1 ayat 1 KUHP disebutkan “ Tidak satu perbuatan pun dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan Undang-undang yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan ”. Berdasarkan pasal tersebut, suatu ketentuan pidana tidak dapat diberlakukan surut atau retroaktif. Asas tersebut merupakan asas universal yang ada dalam hukum pidana semua 24 “Keputusan MK sangat mengejutkan” Kompas, 24 Juli 2004, h. 1 sistem hukum. Apakah asas universal tersebut harga mati atau bukan?, Apakah dalam hal-hal tertentu yang sangat mendasar tidak boleh terjadi penyimpangan atas asas tersebut?. Ada dua pendapat tentang boleh tidaknya pemberlakuan asas retroaktif ini, pendapat pertama 25 , yang juga dikemukakan 4 orang hakim yang mempunyai pendapat berbeda Disenting Opinion mengatakan pada dasarnya konstitusi Indonesia tidak memperbolehkan dalam perundang-undangan, akan tetapi pemerintah menganggap kasus bom Bali sebagai kejahatan luar biasa ekstra ordinary crime sehingga harus dihadapi secara luar biasa, dengan memberlakukan undang-undang yang bersifat retroaktif. Pengecualian ini sebenarnya pernah diterapkan pada undang-undang korupsi, dimana Indonesia tidak memperkenankan pembuktian terbalik karena menyalahi due process of law. Tapi dalam undang-undang korupsi sistem pembuktian terbalik dapat diberlakukan, karena mengingat kedua kejahatan tersebut teroris dan korupsi ancaman yang amat membahayakan keamanan negara dan secara internasional dianggap membahayakan keamanan dan budaya dunia. Dalam UU No. 16 Tahun 2003 yang dibatalkan MK, terorisme didefinisikan sebagai perbuatan yang merupakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital 25 Frans H. Winata, “Putusan Mahkamah Konstitusi soal Undang-umdang Antiteroris”, dalam Syahdatul Kahfi ed., Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, Jakarta : SPECTRUM, 2006 h. 26 yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa terorisme termasuk kejahatan luar biasa terhadap kemanusian extra ordinary crime against humanity. Dan peristiwa bom Bali merupakan kejahatan terhadap kemanusian extraordinary crime sehingga harus ditindak dengan pengkhususan tertentu yang di dalam hal ini pemberlakuan asas retroaktif. Terorisme saat ini telah menjadi momok dunia, sehingga diperlukan kerjasama multilateral untuk menaggulanginya. Sebenarnya, pada tanggal 17 Juli 1998, telah terbentuk International Criminal Cort ICC untuk mengadili pelaku-pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan crime against humanity dan statuta Roma ini telah diratifikasi oleh 60 negara. Tujuan pembentukan ICC untuk mengadili para pelaku kejahatan yang dianggap dapat membahayakan umat manusia dimanapun kajahatan itu terjadi. Aneka kejahatan dalam statuta Roma adalah kehamilan yang dipaksakan, pemerkosaan massal, kejahatan perang, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida terhadap kebudayaan, dan agresi. Kecuali invasi yang harus dirumuskan lagi. Statuta Roma ini dilakukan secara retroaktif dengan tujuan agar dapat mengadili penjahat-penjahat perang Yugoslavia. Asas retroaktif juga pernah diberlakukan sebelumnya, yaitu pada pengadilan untuk penjahat perang Nurenberg, untuk mengadili anggota Nazi Jerman yang membantai lima juta kaum Yahudi. Korban teror Twin Tower New York dengan 3000 orang tewas dan korban bom Bali yang tidak bisa dibandingkan secara kuantitas, tetapi sama kejamnya. Pendapat kedua yang tidak setuju dengan pemberlakuan asas retroaktif berargumen bahwa hal tersebut bertentangan dengan pasal 1 ayat 1 KUHP disebutkan “ Tidak satu perbuatan pun dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan Undang-undang yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan ”. Adapun alasan bahwa permasalahan terorisme telah menjadi momok bagi dunia, dan telah diratifikasi statuta Roma oleh 60 negara, yang menjadi dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional ICC untuk mengadili kejahatan kemanusiaan dan telah diratifikasi oleh banyak negara, namun dibawah pemerintahan Bush, pada tahun 2002 Kongres Amerika Serikat telah menerbitkan “American Service Member Protection Act ASPA, isinya melarang setiap kerjasama dengan ICC. ASPA juga memberikan wewenang yang luar biasa kepada AS menggunakan segala cara termasuk menyerang suatu negara untuk membebaskan warga dan sekutunya. Dalam kontek kerjasama memerangi teroris ternyata AS menunjukkan sikap ambigu, tingkat kepercayaan mayoritas masyarakat internasional terhadap citra positif demokrasi AS semakin luntur, dan keganasan tentaranya menjadi sorotan banyak negara. Melalui siaran pers Menlu Vatikan, Kardinal Angelo Sodano menyatakan penyerangan AS atas komplek suci Imam Ali Najab, melanggar kesapakatan konvensi JenevaJenewa dan hukum Internasional. Selain itu, dari praktek-praktek hukum internasional ternyata pihak- pihak yang diadili adalah pihak negara regime, bukan warga sipil contohnya pada pengadilan HAM adhoc kasus Tanjung Periok dan Timor Leste, pihak yang diadili berdasarkan Undang-undang HAM secara retroaktif juga berunsur negara; meliter, pejabat sipil, dan milisi. Menurut Martinus Amin 26 , yang dapat dikenakan asas retroaktif selain kejahatan yang diatur dalam konvensi Roma, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh negara, alasanya supaya negara tidak begitu mudah mengenakan asas retroaktif terhadap warga. Hal ini mengingat watak kekuasaan yang cenderung korup, aturan yang ada diabaikan, apalagi yang bersifat elastis. Kalau disamakan penggunaan asas retroaktif terhadap kejahatan terorisme dengan pembuktian terbalik dalam UU Korupsi sangat tidak pas, karena sistem pembuktian terbalik substansi sangat berbeda, berisi pengaturan “beban pembuktian”, dimana seseorang wajib membuktikan harta benda yang dimilikinya bukan hasil korupsi dimuka sidang asas ini dikembangkan oleh ahli hukum, selain dianut oleh Indonesia juga oleh beberapa negara lain.

C. Penanganan Terorisme di Indonesia