Sejarah dan Perkembangan Terorisme di Indonesia

B. Sejarah dan Perkembangan Terorisme di Indonesia

Sulit melepaskan motivasi agama dalam berbagai aksi terorisme di Indonesia, selain ada pengaruh dari luar Indonesia jaringan organisasi terorisme internasional, maka keberadaan terorisme dewasa ini di Indonesia sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari benang merah sejarah pemberontakan bernuansa keagamaan yang terjadi di tahun-tahun awal kemerdekaan. Dari sudut tujuannya ada persamaan, yaitu mendirikan sebuah negara berlandaskan prinsip keagamaan di bumi Nusantara. Perbedaannya terletak pada metode perjuangannya Pemberontakan di masa lampau memakai metode mobilisasi kekuatan bersenjata, sedangkan kelompok teroris saat ini menggunakan metode aksi- serangan teror yang dilakukan oleh kelompok kecil sel secara sporadis. Tujuannya untuk menciptakan instabilitas negara yang bermuara pada kejatuhan pemerintahan nasional dan digantikan dengan pemerintahan yang sejalan dengan pandangan atau keyakinan politik mereka 13 . Selain itu jika diteliti lebih dalam lagi maka dapat diketahui bahwa sebagian tokoh kunci kelompok teroris yang ada saat ini memiliki pertalian hubungan darah dengan pimpinan, anggota, aktivis DITII atau pimpinan, anggota, aktivis organisasi garis keras berlabel Islam yang kerap kali terlibat benturan kekerasan dengan aparat keamanan di masa lampau. Dengan demikian, terorisme di Indonesia dapat diidentifikasikan sebagai terorisme yang bermotivasi keyakinan agama di sini tidak dibahas apakah pemahaman keyakinan agama mereka itu benar atau keliru. Kebenaran untuk mereka, bukan kebenaran secara umum. Pertalian antara elemen organisasi garis keras berlabel Islam di Indonesia dengan jaringan terorisme international berawal di Afghanistan sekitar 13 Wawancara Bali Post dengan Muhcyar Yara mantan Jubir BIN, ”Melacak jejak terorisme di Indonesia” 10 Nopember 2003, h. 3 pertengahan dekade tahun 80-an. Pada tahun 1984 Osama bin Laden bersama- sama dengan Dr. Abdullah Azzam keturunan Jordanian-Palestina mendirikan Afghan Bureau yang dalam perkembangannya kemudian menjadi Al-Qaeda. Tujuannya menghimpun dan melatih para mujahidin dari seluruh dunia untuk membantu membebaskan Afghanistan dari pendudukan Uni Soviet. Afghan Bureau memperoleh dukungan penuh dalam bentuk dana, peralatan dan persenjataan dari Dinas Intelijen Pakistan ISI, Saudi Arabia dan Amerika Serikat CIA. Dari Indonesia berangkat ke Afghanistan untuk berjihad sebagai mujahidin sekitar 300 orang pemuda. Umumnya mereka dikenal sebagai aktivis organisasi garis keras berlabel Islam. Perekrutan para mujahidin tersebut dilakukan secara terbuka di beberapa masjid. Pemerintahan Orde Baru mendiamkan saja kegiatan perekrutan para mujahidin tersebut, karena kegiatan itu didukung oleh negara-negara sahabat, yaitu Saudi Arabia, Pakistan dan Amerika Serikat. Sepulang para mujahidin asal Indonesia ke Tanah Air secara bertahap, mereka senantiasa saling berkomunikasi satu dengan lainnya. Mereka menamakan kelompok itu sebagai G-272 singkatan dari Grup 272, yaitu jumlah mujahidin yang ada. G-272 inilah yang menjadi generasi pertama jaringan Al-Qaeda di Indonesia. mereka mulai terlibat dalam aksi-aksi serangan teror bom di Indonesia sejak pertengan tahun 2000. 14 Selanjutnya, dari sudut orientasi teologisnya terorisme di Indonesia dewasa ini dibedakan atas tiga kelompok, yaitu Kelompok Solo, Kelompok 14 Brigjen TNI Bambang Sumarno, ”Peran Aparat Intelijen dalam Mengatasi Terorisme di Indonesia”,artikel diakses pada 3 Mei 2008 dari httpwww.wordpressidtaqwawasanhtml Banten, dan Kelompok Lamongan. Meski demikian, komunikasi dan koordinasi di antara kelompok-kelompok tersebut berjalan cukup baik, karena memang memiliki tujuan yang sama. Hanya dalam hal-hal yang bersifat taktis terdapat variasi antara satu dengan lainnya. Kadang kala serangan-serangan teroris dilaksanakan dengan kerja sama antarkelompok itu. Tetapi, dapat juga dilakukan oleh masing-masing kelompok secara sendiri- sendiri. Peristiwa penggranatan fasilitas Kedubes AS di Jl. Telukbetung, Jakarta Pusat beberapa waktu yang lalu dilakukan oleh Sel Purwakarta yang merupakan bagian dari Kelompok Solo. Sedangkan serangan Bom Bali I dilakukan dengan kerja sama oleh sel-sel yang merupakan bagian dari ketiga kelompok tersebut. Bagaimana sejarah perkembangan kelompok teroris di Indonesia? Kelompok teroris di Indonesia pada awal berdirinya sekitar 1999 yang dipelopori oleh para mujahidin eks Afghanistan, terutama mereka yang pernah bergabung atau berlatih di kamp-kamp yang dikelola oleh Al-Qaeda di perbatasan Pakistan-Afghanistan. Dewasa ini jumlah anggota kelompok-kelompok teroris tersebut telah mencapai ratusan orang yang terdiri atas para pemuda yang direkrut kemudian. Anggota baru atau generasi baru itu, setelah diseleksi secara ketat, kemudian sebagian memperoleh latihan militer di kamp-kamp pelatihan yang didirikan di berbagai tempat terpencil di wilayah Indonesia seperti di Poso, dan sebagian lagi dikirim ke Kamp Abu Bakar milik MNLF di Filipina Selatan. Perekrutan anggota baru ini terus berjalan sampai kini. Berdasarkan informasi yang diterima, program perekrutan tersebut kini telah sampai pada generasi ketiga. Sasaran perekrutan adalah pemuda pengangguran tetapi yang sering mengunjungi masjid-masjid di beberapa tempat tertentu. Modus perekrutannya dilakukan secara sederhana. Para anggota yang lebih senior menyamar sebagai penjual pisang goreng atau singkong goreng yang mangkal di sekitar masjid-masjid tersebut. Mereka menyelidiki dan mengawasi para pemuda yang diincar. Lalu mereka diteliti latar belakang keagamaan keluarganya. Setelah dianggap tepat, baru kemudian didekati untuk diajak bergabung. Dengan demikian, jumlah anggota kelompok-kelompok teroris tersebut dari hari ke hari semakin bertambah, bukannya berkurang, meskipun sebagian dari mereka ada yang tertangkap petugas keamanan. Jika ditinjau dari perkembangan perekrutan di atas, serta dikaitkan dengan cita-cita perjuangan mendirikan sebuah negara berlandaskan agama di Indonesia yang sudah tertanam sejak lama, maka masalah terorisme di Indonesia bukanlah persoalan jangka pendek, melainkan persoalan jangka panjang. Sejak peristiwa Bom Bali I dan menyusul penangkapan-penangkapan yang dilakukan oleh Polri terhadap pihak-pihak yang dicurigai terlibat bom Bali, kelompok-kelompok teroris secara bersama sepakat untuk mengosongkan Pulau Jawa dan memindahkan para anggotanya keluar Pulau Jawa. Sementara yang ditinggalkan hanya segelintir anggota tingkat operasional rendahan saja. Beberapa waktu yang lalu media cetak memberitakan bahwa sejumlah LSM telah melaporkan pihak Polri melakukan penangkapan secara sewenang- wenang terhadap 15 orang tersangka pelaku bom Marriott serta menculik 25 orang aktivis Islam yang sejak beberapa waktu telah menghilang. Padahal sebenarnya 25 orang yang diberitakan hilang tersebut merupakan bagian dari anggota kelompok teroris yang melakukan eksodus dari Pulau Jawa. Dewasa ini kelompok-kelompok teroris berkumpul di tiga tempat, yaitu Sumatera, terutama wilayah antara Medan dan Pekanbaru termasuk pulau-pulau kecil di Kepulauan Riau, wilayah Sumatera Bagian Selatan Bengkulu dan Palembang. Lalu di Kalimantan, terutama Kalimantan Selatan sekitar Banjarmasin dan Kalimantan Timur, khususnya di pulau-pulau kecil di daerah perbatasan dengan Serawak Malaysia Pulau Sebatik, Pulau Nunukan, dll. Terakhir di Pulau Sulawesi, terutama di Sulawesi Tengah Palu-Poso 15 . Di satu daerah dapat saja didiami oleh satu kelompok teroris tertentu, tetapi dapat juga didiami oleh beberapa kelompok teroris, seperti di Palu-Poso terdapat Kelompok Lamongan dan Kelompok Banten. Bom Bali II dilakukan oleh jaringan ini. Pemberantasannya tidak bisa dilakukan oleh kepolisian saja. Terorisme hanya bisa dihilangkan oleh metode operasi intelijen yang tak hanya menangkap pelaku tetapi menghilangkan akar jaringannya. Operasi teroris biasanya dilaksanakan oleh elemen klandestin yang dilatih dan diorganisir secara khusus, tindakan pengamanan yang ketat diberlakukan setelah sasaran operasi dipilih. Anggota tim tidak dipertemukan sebelum pelaksanaan latihan pendahuluan sesaat sebelum berangkat menuju sasaran. Pengintaian dilaksanakan oleh elemen atau personel yang bertugas khusus sebagai intelijen kusus, untuk memeperbesar kemungkinan keberhasilan pelaksanaan operasi, lebih banyak serangan yang direncanakan dari pada yang dilancarkan. Teroris senantiasa mencari dan mengeksploitir titik lemah dari sasaran. Mereka 15 “Melacak Jejak Teroris di Indonesia”, Tempo, 5 Nopember 2003, h.1 seringkali menyerang sasaran yang tidak dilindungi atau kurang pengamanannya. Karakteristik dari operasi adalah kekerasan, kecepatan dan pendadakan. Metoda. Teroris beroperasi dalam hubungan unit kecil yang terdiri dari personel yang terlatih menggunakan senapan otomatis ringan, granat tangan, bahan peledak munisi dan radio transistor. Sebelum pelaksanaan operasi, teroris berbaur dengan masyarakat setempat untuk menghindari deteksi dari aparat keamanan. Setelah pelaksanaan operasi, mereka kembali bergabung dengan masyarakat untuk memperbesar kemungkinan pelolosan mereka. Adapun taktik. yang sering dilakukan oleh para teroris adalah 16 : 1. Bom; Taktik yang sering digunakan adalah pengeboman. Dalam dekade terakhir ini sering terjadi aksi teror yang dilaksanakan dengan menggunakan bom, baik di Indonesia maupun di luar negeri, dan hal ini kedepan masih mungkin terjadi. 2. Pembajakan; Pembajakan sangat populer dilancarkan oleh kelompok teroris. Pembajkan terhadap pesawat terbang komersial pernah terjadi di beberapa negara, termasuk terhadap pesawat Garuda Indonesia di Don Muang Bangkok pada tahun 1981. Tidak menutup kemungkinan pembajakan pesawat terbang komersial masih akaan terjadi saat ini dan massa yang akan datang, baik di Indonesia maupun di luar negeri. 3. Pembunuhan; Pembunuhan adalah bentuk aksi teroris yang tertua dan masih digunakan hingga saat ini. Sasaran dari pembunuhan ini seringkali telah diramalkan, teroris akan mengklaim bertanggungjawab atas pembunuhan yang dilaksanakan. Sasaran dari pembunuhan ini 16 Makalah Bambang Sumarno, ”Peran Aparat Intelijen dalam menangani terorisme di Indonesia”, 21 Januari 2008 biasanya adalah pejabat pemerintah, penguasa, politisi dan aparat keamanan. Dalam sepuluh tahun terakhir tercatat 246 kasus pembunuhan oleh teroris seluruh dunia. 4. Penculikan; Tidak semua penghadangan ditujukan untuk membunuh. Dalam kasus kelompok gerilya Abu Sayaf di Filipina, penghadangan lebih ditujukan untuk menculik personel, seperti yang dilakukan oleh kelompok GAM terhadap kameraman RCTI Ersa Siregar dan Fery Santoro di Aceh. Penculikan biasanya akan diikuti dengan tuntutan imbalan berupa uang atau tuntutan politik lainnya. 5. Penyanderaan; Perbedaan antara penculikan dan penyanderaan dalam dunia terorisme sangat tipis. Kedua bentuk operasi ini seringkali memiliki pengertian yang sama. Penculik biasanya menahan korbannya di tempat tersembunyi dan tuntutannya adalah berupa materi dan uang, sedangkan penyanderaan biasanya menahan sandera di tempat umum ataupun di dalam hutan seperti yang dilakukan oleh kelompok Kelly Kwalik di Papua yang menyandera tim peneliti Lorenz pada tahun 1996. Tuntutan penyannderaan lebih dari sekedar materi. Biasanya tuntutan politik lebih sering dilemparkan pada kasus penyanderaan ini.

BAB III KEBIJAKAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI TERHADAP