Aspek Budaya Jawa terhadap orang yang menginginkan pernikahan Dini

105 Berdasarkan pernyataan informan diatas dapat diketahui bahwa dari tinjauan psikologis sendiri, anak remaja masih jauh dari kedewasaan mapan dan matang, dan kondisi kejiwaannya masih labil dan karenanya belum siap benar menjadi isteri apalagi orang tua. Dari sisi kemandirian, pada usia remaja, sebagian besar aspek kehidupannya masih tergantung pada orang tua dan belum mementingkan aspek kasih sayang.

5.10 Aspek Budaya Jawa terhadap orang yang menginginkan pernikahan Dini

Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan informan mengenai siapa yang menginginkan pernikahan mereka dapat diketahui bahwa orang tua berperan penting dalam pernikahan dini seperti yang disampaikan informan berikut ini : “Orang tua awak…karena memang dah waktunya awak kawin…memang kayak gitu disini…jadi biasa aja..sebenarnya awak pengen juga sekolah lagi tapi ga ada biaya kak…tapi jarang juga orang disini lanjut sekolah..jadi ga papa awak kawin.. Ya…biasa aja kak…namanya mamak awak dah pengen awak kawin…jadi ya ga ada kenapa-kenapa…kawan awak pun udah ga ada, udah kawin semuanya…awak pun ga sekolah lagi…jadi ya ga apa-apa kak”. Pada Masyarakat Jawa keputusan anak muda untuk menikah sering kali dibuat oleh orang tua atau masyarakat. Norma sosial, adat dan situasi ekonomi semua menyumbang tekanan yang menempatkan perempuan untuk menikah di usia muda. orang tua percaya dengan menikahkan anak mereka pada usia muda maka mereka membantu anak mereka untuk melengkapi fungsi sosialnya sebagai istri dan ibu. Orang tua juga percaya mereka memberikan perlindungan dengan membatasi Universitas Sumatera Utara 106 hubungan seksual hanya kepada satu orang dan menjamin stabilitas ekonomi untuk anak perempuan dan keluarga Syaifuddin, 2002. Tidak peduli berapa baik harapan orang tua namun pada kenyataannya pernikahan usia dini tidak memberikan perlindungan sama sekali, faktanya adalah yang terjadi kebalikannya. Serta menyingkirkan perempuan muda dari masa kanak- kanaknya, impiannya dan hak asai serta hak kesehatannya Sofian, 2008. Informan lain mengatakan : “Anak sendiri juga ada...orang tua juga ada...klo anak ya dari pergaulan tadi dan dari lingkungan...ya memang kawannya sudah kawin semua...tidak ada lagi kawan yang seumuran dengan dia...sehingga bila sudah ada pacar suka sama suka ya...menikah...klo orang tua biasa sudah mencarikan jodoh untuk anak yang dianggap bisa membimbing anaknya berumah tangga, dengan ditunangkan tadi...temponya...tergantung...ada yang 6 bulan...ada juga 1 tahun...dan orang tua yakin akan kehidupan anaknya... Klo reaksi orang tua...sebenanrnya orang tua tidak memaksa tapi melihat lingkungan si anak yang membuat orang tua takut apalagi klo anaknya tadi liar ya...orang tua mencarikan jodoh atau anak sendiri...ya minimnya pendidikan,ekonomi,di keluarga tadi lah...yang menyebabkan menikah muda ini”. Pada masyarakat Jawa orang tua takut apabila anaknya dianggap sebagai perawan tua, maka orang tua akan menjodohkan dan menikahkan putrinya begitu beranjak remaja, para orang tua khawatir saat menjumpai anak-anak kesayangannya melakukan aktivitas yang disebut pacaran, dari pada pacaran yang terlalu sering lebih baik berpikir solusi yang paling aman. Satu-satunya solusi yang tanpa resiko dan pasti terjamin keamanannya hanyalah menyegerakan anaknya menikah, walaupun anaknya dengan umur yang masih sangat muda. Masa tenggang pada waktu bertunangan difungsikan untuk kompromi dengan keluarga dan saudara pihak Universitas Sumatera Utara 107 perempuan, di samping juga untuk menyelidik latar belakang laki-laki secara teliti dan hati-hati. Hal yang sama juga terjadi pada anak laki-laki, para orang tua biasanya mulai berpikir jika anak laki-lakinya dipandang sudah siap untuk berkeluarga mereka akan mencari dan memperhatikan beberapa gadis yang dikenalinya. Di samping sebagai jalan untuk mencari jodoh, juga dimaksudkan untuk mengetahui latar belakang calon menantu perempuan, kesuciannya, dan juga kepribadiannya, juga mencakup hal-hal yang berkaitan dengan keterampilan rumah tangga, adab sopan-santun, tingkah laku, bagaimana paras wajahnya, dan juga pengetahuan gadis tersebut tentang agamanya Ridwan, 2005. Sejajar dengan pandangan universal bahwa pernikahan merupakan tolak ukur yang dipakai di dalam menentukan konsep keluarga. Di dalam kesatuan sosial inilah dilembagakan berbagai hubungan insani manusia sesuai dengan fungsi kodrat kehidupan keluarga. Disamping sebagai usaha pengambangan keturunan reproduksi, kehidupan keluarga mempunyai fungsi yang lebih luas seperti diantaranya merupakan lembaga di mana para individu dapat menikmati bantuan utama bagi kelangsungan hidupnya. Di dalamnya juga meliputi pelembagaan bidang ekonomi, pengasuhan ataupun pendidikan Koentjoroningrat, 1974.

5.11 Aspek Budaya Jawa Mengenai Pernikahan Dini Dalam Keluarga Sudah Menjadi TradisiKebiasaan