88
bersekolah bagi anak bangsa minimal selesai SLTP, kewajiban belajar ini didasari oleh rendahnya sumber daya manusia Indonesia apalagi dengan meningkatnya
pernikahan dini yang menyebabkan anak putus sekolah Azwar, 2001. Karakteristik informan berdasarkan pekerjaan diketahui bahwa 3 informan
merupakan Ibu Rumah tangga, 1 informan merupakan buruh, 1 informan merupakan wiraswasta, dan 1 informan merupakan PNS guru agama sekalian, Pekerjaan juga
memengaruhi informan dalam menjawab, dimana informan yang tidak bekerja cenderung kurang mampu menjawab dibandingkan dengan informan yang memiliki
pekerjaan sampingan yang lebih ideal lebih mampu dalam mampu menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti.
Karakteristik informan berdasarkan pendapatan keluarg orang tua diketahui bahwa 1 informan berpenghasilan Rp. 700.000 perbulan, 1 informan berpenghasilan
Rp. 750.000 perbulan, 1 informan berpenghasilan 800.000 perbulan dan 1 informan berpenghasilan Rp.1.500.000 perbulan. 1 informan berpenghasilan 2.000.000
perbulan, 1 informan berpenghasilan 3.000.000, Tingkat sosial ekonomi masyarakat secara keseluruhan juga mempengaruhi terjadinya pernikahan dini. Masyarakat yang
tingkat ekonominya rendah, sering memilih pernikahan sebagai jalan keluar untuk mengatasi kesulitan ekonomi tersebut Azwar, 1987.
5.2 Pernikahan dini
Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan 7 informan, 4 pelaku pernikahan dini, 3 informan tokoh masyarakat dapat diketahui bahwa pengertian pernikahan
informan tentang pernikahan dini dan pendapatnya tentang pernikahan dini berbeda- beda, informan mengatakan pendapatnya tersebut berdasarkan pengalaman yang
Universitas Sumatera Utara
89
dialaminya sendiri, namun pada intinya pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh seseorang laki-laki dan seorang wanita, yang umur keduanya masih
dibawah batas minimum yang diatur oleh Undang-undang Rohmah, 2009. Pernikahan pada umur yang masih muda akan banyak mengundang masalah yang
tidak diharapkan, karena segi psikologisnya belum matang. Tidak jarang pasangan yang mengalami kegagalan dalam rumah tangganya karena usia yang masih terlalu
muda Walgito, 2002.
Seperti yang diungkapkan informan berikut ini : “Pernikahan dini…ya …kawin muda…yang belum umur 20 dah nikah
gitu..taunya dari pas sekolah dulu…mending ga usah lah kawin muda…ga bagus…pa lagi kayak awak …belum ada kerja mapan…semuanya masih
numpang ma orang tua…mana awak sering marah sama bini awak kak...ya...masalah-masalah kecil...tapi jadi besar juga, sama mamak awak sering
juga kak”
Hal senada juga diungkapakan oleh seorang informan lain :
“orang yang belum umur 20 tahun dah kawin…masih belasan tahun dah berumah tangga…masih rentan...belum siap mentalnya...dan alat
reproduksinya belum cukup untuk hamil...ga cocok kali ibu rasa…...pokoknya ga usah dulu lah nikah dini, ga bagus masih masa puber belum bisa beradaptasi
dengan keluarga…pa lagi dengan mertua…kan ga enak klo berantem terus…pa lagi klo belum kerja…kan nyusahin orang tua aja …sekolah dulu lah”
Menurut Haditono 1999 , secara umum remaja yang melakukan pernikahan sebelum usia biologis maupun psikologis yang tepat rentan menghadapi dampak
buruk dimana dari segi mental, emosi remaja belum stabil. Kestabilan emosi umumnya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat itulah orang mulai memasuki
usia dewasa. Masa remaja dapat dikatakan berhenti pada usia 19 tahun. Dan pada usia 20 – 24 tahun dikatakan sebagai usia dewasa muda atau lead edolesen. Pada masa ini,
Universitas Sumatera Utara
90
biasanya mulai timbul transisi dari gejolak remaja ke masa dewasa yang lebih stabil. Maka, kalau pernikahan dilakukan di bawah 20 tahun secara emosi labil belum
terkontrol si remaja masih ingin menemukan jati dirinya. Berdasarkan hasil penelitian diatas jelas bahwa pernikahan dini pada
umumnya belum siap untuk menghadapi tanggung jawab yang harus diterima seperti orang dewasa. Padahal kalau menikah kedua belah pihak harus sudah cukup dewasa
dan siap untuk menghadapi permasalahan-permasalahan baik itu ekonomi, pasangan, maupun anak. Sementara mereka yang menikah dini umumnya belum cukup mampu
menyelesaikan permasalahan secara matang, kondisi kematangan psikologis ibu menjadi hal utama karena sangat berpengaruh terhadap pola asuh anak di kemudian
hari. Dimana mendidik anak perlu pendewasaan diri, jadi harus ada kematangan dan pemahaman diri untuk dapat memahami anak. Kalau masih kekanak-kanakan, maka
sang ibu tidak akan bisa mengayomi anaknya. Yang ada hanya akan merasa terbebani karena di satu sisi masih ingin menikmati masa muda dan di sisi lain harus mengurusi
keluarganya. Hasil penelitian diatas sesuai dengan pendapat Haditono .
5.3 Usia Yang Tepat Bagi Pria Dan Wanita Untuk Menikah