Pernikahan dini Determinan Pernikahan Dini Pada Suku Jawa Di Desa Pematang Johar Kecamatan Labuhan Deli Tahun 2013

88 bersekolah bagi anak bangsa minimal selesai SLTP, kewajiban belajar ini didasari oleh rendahnya sumber daya manusia Indonesia apalagi dengan meningkatnya pernikahan dini yang menyebabkan anak putus sekolah Azwar, 2001. Karakteristik informan berdasarkan pekerjaan diketahui bahwa 3 informan merupakan Ibu Rumah tangga, 1 informan merupakan buruh, 1 informan merupakan wiraswasta, dan 1 informan merupakan PNS guru agama sekalian, Pekerjaan juga memengaruhi informan dalam menjawab, dimana informan yang tidak bekerja cenderung kurang mampu menjawab dibandingkan dengan informan yang memiliki pekerjaan sampingan yang lebih ideal lebih mampu dalam mampu menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti. Karakteristik informan berdasarkan pendapatan keluarg orang tua diketahui bahwa 1 informan berpenghasilan Rp. 700.000 perbulan, 1 informan berpenghasilan Rp. 750.000 perbulan, 1 informan berpenghasilan 800.000 perbulan dan 1 informan berpenghasilan Rp.1.500.000 perbulan. 1 informan berpenghasilan 2.000.000 perbulan, 1 informan berpenghasilan 3.000.000, Tingkat sosial ekonomi masyarakat secara keseluruhan juga mempengaruhi terjadinya pernikahan dini. Masyarakat yang tingkat ekonominya rendah, sering memilih pernikahan sebagai jalan keluar untuk mengatasi kesulitan ekonomi tersebut Azwar, 1987.

5.2 Pernikahan dini

Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan 7 informan, 4 pelaku pernikahan dini, 3 informan tokoh masyarakat dapat diketahui bahwa pengertian pernikahan informan tentang pernikahan dini dan pendapatnya tentang pernikahan dini berbeda- beda, informan mengatakan pendapatnya tersebut berdasarkan pengalaman yang Universitas Sumatera Utara 89 dialaminya sendiri, namun pada intinya pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh seseorang laki-laki dan seorang wanita, yang umur keduanya masih dibawah batas minimum yang diatur oleh Undang-undang Rohmah, 2009. Pernikahan pada umur yang masih muda akan banyak mengundang masalah yang tidak diharapkan, karena segi psikologisnya belum matang. Tidak jarang pasangan yang mengalami kegagalan dalam rumah tangganya karena usia yang masih terlalu muda Walgito, 2002. Seperti yang diungkapkan informan berikut ini : “Pernikahan dini…ya …kawin muda…yang belum umur 20 dah nikah gitu..taunya dari pas sekolah dulu…mending ga usah lah kawin muda…ga bagus…pa lagi kayak awak …belum ada kerja mapan…semuanya masih numpang ma orang tua…mana awak sering marah sama bini awak kak...ya...masalah-masalah kecil...tapi jadi besar juga, sama mamak awak sering juga kak” Hal senada juga diungkapakan oleh seorang informan lain : “orang yang belum umur 20 tahun dah kawin…masih belasan tahun dah berumah tangga…masih rentan...belum siap mentalnya...dan alat reproduksinya belum cukup untuk hamil...ga cocok kali ibu rasa…...pokoknya ga usah dulu lah nikah dini, ga bagus masih masa puber belum bisa beradaptasi dengan keluarga…pa lagi dengan mertua…kan ga enak klo berantem terus…pa lagi klo belum kerja…kan nyusahin orang tua aja …sekolah dulu lah” Menurut Haditono 1999 , secara umum remaja yang melakukan pernikahan sebelum usia biologis maupun psikologis yang tepat rentan menghadapi dampak buruk dimana dari segi mental, emosi remaja belum stabil. Kestabilan emosi umumnya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat itulah orang mulai memasuki usia dewasa. Masa remaja dapat dikatakan berhenti pada usia 19 tahun. Dan pada usia 20 – 24 tahun dikatakan sebagai usia dewasa muda atau lead edolesen. Pada masa ini, Universitas Sumatera Utara 90 biasanya mulai timbul transisi dari gejolak remaja ke masa dewasa yang lebih stabil. Maka, kalau pernikahan dilakukan di bawah 20 tahun secara emosi labil belum terkontrol si remaja masih ingin menemukan jati dirinya. Berdasarkan hasil penelitian diatas jelas bahwa pernikahan dini pada umumnya belum siap untuk menghadapi tanggung jawab yang harus diterima seperti orang dewasa. Padahal kalau menikah kedua belah pihak harus sudah cukup dewasa dan siap untuk menghadapi permasalahan-permasalahan baik itu ekonomi, pasangan, maupun anak. Sementara mereka yang menikah dini umumnya belum cukup mampu menyelesaikan permasalahan secara matang, kondisi kematangan psikologis ibu menjadi hal utama karena sangat berpengaruh terhadap pola asuh anak di kemudian hari. Dimana mendidik anak perlu pendewasaan diri, jadi harus ada kematangan dan pemahaman diri untuk dapat memahami anak. Kalau masih kekanak-kanakan, maka sang ibu tidak akan bisa mengayomi anaknya. Yang ada hanya akan merasa terbebani karena di satu sisi masih ingin menikmati masa muda dan di sisi lain harus mengurusi keluarganya. Hasil penelitian diatas sesuai dengan pendapat Haditono .

5.3 Usia Yang Tepat Bagi Pria Dan Wanita Untuk Menikah