Pengaturan Pidana Bersyarat dalam RUU KUHP

E. Pengaturan Pidana Bersyarat dalam RUU KUHP

Pada penulisan ini yang dikatakan sebagai RUU KUHP adalah Rancangan Undang-Undang KUHP yang dilakukan pembahasannya pada tahun 2004 dan selanjutnya dalam tulisan ini akan disebutkan sebagai RUU KUHP. Dengan koordinator panitia terpadu penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah Prof. Dr. Muladi, S.H.. Pembahasan mengenai pidana bersyarat dalam tulisan ini akan dikaitkan dengan pidana sejenis ataupun pidana yang memiliki kemiripan dengan pidana bersyarat, yaitu pidana pengawasan. Menurut penulis jenis pidana tersebut merupakan pembaharuan dari pidana bersyarat yang berlaku secara positif di Indonesia saat ini, sebab dalam pidana ini juga diatur berlakunya pidana pokok lain apabila terpidana melanggar syarat-syarat yang telah dibebankan kepadanya, sebab dalam RUU KUHP tersebut tidak ditemukan pidana bersyarat. Jika kita menilik pada pembahasan bab sebelumnya terdapat penjelasan tentang tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP, yang dimuat dalam pasal 54 ayat 1 dan 2. Di dalam pasal tersebut dikatakan intinya bahwa tujuan pemidanaan sebagai upaya untuk memperbaiki perilaku salah atau menyimpang dari pelaku tindak pidana, sehingga sekalipun para pelaku tersebut sudah dikenai sanksi pidana akan tetapi mereka tetap dapat diterima dalam masyarakat dan sudah cenderung meninggalkan tujuan pemidanaan sebagai tindakan balas dendam semata. Selain tentang tujuan pemidanaan salah satu hal yang menarik untuk dicermati dalam RKUHP yaitu mengenai pengaturan pedoman pemidanaan yang diatur secara tegas dan dalam pasal tersendiri, yaitu dalam pasal 55 ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan : a. kesalahan pembuat tindak pidana; b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. sikap batin pembuat tindak pidana; d. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana; e. cara melakukan tindak pidana; f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; g. riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana; h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; j. Pemaafan dari korban danatau keluarganya ; danatau k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. Pasal 55 ayat 2 mengatakan bahwa; ”Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.” Dalam pasal 55 ayat 1 dan 2 tersebut nampak bahwa terdapat perkembangan yang memberikan jaminan bagi para pelaku tindak pidana untuk memperoleh tujuan hukum sebenarnya yaitu ”keadilan”, dengan pengaturan pedoman pemidanaan dengan terinci tersebut juga memudahkan hakim untuk dapat mengambil keputusan dalam sebuah perkara pidana, tetapi sekalipun hakim memiliki pedoman dalam memidana perlu diingat juga bahwa hakim bukanlah corong undang-undang semata akan tetapi mereka harus memepertimbangkan rasa keadilan korban, pelaku dan masyarakat. Pidana bersyarat pada RUU KUHP memang mengalami pembaharuan, dimana pidana pengawasan yang didalam beberapa pasal dalam RUU KUHP tersebut antara lain, pasal 77 yang menyebutkan bahwa terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tujuh tahun, dapat dijatuhi pidana pengawasan. Dalam Pasal 78 ayat 1 RUU KUHP mengatur bahwa Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya. Dan kemudian dalam ayat 2 menyebutkan bahwa Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dijatuhkan untuk waktu paling lama 3 tiga tahun. Sedangkan di ayat 3–nya terdapat beberapa syarat untuk dapat dijatuhkannya pidana pengawasan antara lain: a. terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; b. terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan; dan atau c. terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik. Berdasarkan beberapa pasal dalam RUU KUHP nampak bahwa keberadaan pidana bersyarat ini mempunyai maksud dan tujuan yang hampir sama dengan pidana bersyarat dalam hukum positif.

F. Pengaturan Pidana Bersyarat dalam Hukum Pidana Islam