BAB II POKOK–POKOK PENGANGKUTAN DI JALAN MENURUT UNDANG-
UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
A. Penyelengaraan Angkutan di Jalan
Dalam pengertian “ menyelenggarakan pengangkutan “, termasuk juga menyerahkan barang kepada penerima di tempat tujuan. Tempat tujuan adalah
tempat dimana penyelenggaraan pengangkutan berakhir. Di tempat tujuan penerimaan membayar biaya pengangkutan, kecuali jika sudah dibayar lebih
dahulu oleh pengirim
1
. Sifat dan hubungan hak antara pengangkut dengan pengguna jasa adalah
perjanjian pelayanan berkala karena tidak selamanya pengguna jasa menggunakan jasa pengangkutan dan perjanjian pemberian kuasa gengan upaya
menyebabkan kedudukan yang sederajat. Sedangkan hubungan pengusaha pengangkutan dengan supir adalah perjanjian perburuhan karena pengemudi
bekerja pada pengusaha angkutan atau dengan kata lain pengusaha angkutan
1
Abdul kadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1991., h. 17.
24
tersebut adalah bertindak sebagai majikan sedangkan supir tersebut bertindak sebagai buruh
2
. Apabila dalam hal pengangkut tidak menyelenggarakan pengangkutan
sebagaimana mestinya, ia harus bertanggung jawab. Artinya ia harus bertanggung jawab memikul semua akibat yang timbul dari perbuatan penyelengaraan
pengangkutan, baik karena kesengajaan ataupun kelalaian pengangkutan itu sendiri. Timbulnya konsep tanggung jawab adalah karena pengangkut tidak
memenuhi tangung jawabnya sebagaimana mestinya atau tidak baik, tidak jujur bahkan tidak dipenuhinya dsama sekali. Tetapi dalam perjanjian pengangkutan
ada beberapa hal yang bukan tanggung jawab pengangkut. Artinya apabila timbul kerugian, pengangkut bebas dari pembayaran ganti kerugian. Beberapa hal
tersebut antara lain : 1.
Keadaan memaksa overmacht. 2.
Cacat pada barang atau penumpang itu sendiri. 3.
Kesalahan atau kelalaian penumpang atu pengirim barang. Ketiga hal ini diakui baik dalam Undang – undang maupun dalam doktrin
ilmu hukum. Diluar ketiga hal tersebut pengangkut wajib bertanggung jawab
3
.
2
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1994., h. 16.
3
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : PT Rineka Cipta, 2000., h. 139.
Di dalam pengangkutan jalan terutama pengangkutan penumpang, pengangkut juga bias disebut sebagai pengusaha pengangkutan yang memiliki
dan menjalankan perusahaan pengangkutan yang dilakukan oleh Badan Hukum Indonesia dan Warga Negara Indonesia.
Usaha pengangkutan penumpang tersebut harus dilakukan berdasarkan izin yang sejenis, tata cara, persyaratan untuk memperoleh izin diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 Tentang Angkutan Jalan Umum. Peraturan pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 tersebut menjadi dasar
hukum bagi kopaja yang berbadan hukum koperasi untuk menyelenggarakan pengangkutan. Kopaja mengacu kepada Pasal 8 ayat 1 butir c, yaitu “kegiatan
usaha angkutan orang danatau angkutan barang dengan kendaraan umum dilakukan oleh koperasi
4
”. Dalam melakukan kegiatan usaha pengangkutan, perusahaan pengangkutan dibantu oleh pegawainya untuk menyelenggarakan
kegiatan pengangkutan penumpang atau orang yang dalam hal ini menggunakan kendaraan umum. Pegawai dari perusahaan pengangkutan ini biasa disebut
pengemudi atau supir dalam hal ini pembahasan disini yang akan dibahas adalah mengenai kopaja sebagai pengangkut yang dikemudikan atau dijalankan oleh
supir atau yang dikopaja diistilahkan sebagai pengemudi atau crew kopaja
5
. Pengusaha angkutan dengan awak kendaraan mempunyai sifat hubungan
4
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 Tentang Angkutan Jalan Umum Pasal 8 ayat 1 butir c.
5
Buku Kumpulan Peraturan Kopaja, Jakarta : Koperasi Angkutan Jakarta, 2007., h. 48.
perjanjian kerja yaitu perjanjian perburuhan, seperti yang diatur di dalam Pasal 1367 ayat 1 KUHPdt, yang berbunyi :
“Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatanya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
perbuatan orang–orang yang menjadi tanggunganya atau disebabkan oleh barang–barang yang berada dibawah penguasaanya”
Adapun maksud dari pasal 1367 ayat 1 KUHPdt tersebut adalah pengusaha yang dalam hal ini menjadi atasan atau majikan dari pengemudi
tersebut yang lalai dan akhirnya mengakibatkan perbuatan–perbuatan melawan hukum, maka pengusaha tersebut bertanggung jawab atas tuntutan ganti kerugian
yang diajukan oleh penumpang, pengirim barang maupun pihak ketiga yang mengalami kerugian.
B. Asas – asas Hukum Pengangkutan